Anda di halaman 1dari 33

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN MOBILISASI DINI

PADA IBU POST SECTIO CAESAREA (SC) DENGAN ANESTESI

SPINAL DI RUANG MELATI 2 RSUD Dr. SOEKARDJO

KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2020

KTI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar D3 Kebidanan

CICI LISMAYANTI

NIM. MA1217004

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA TASIKMALAYA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses persalinan dapat melalui beberapa cara, yaitu normal,

vakum, forsep dan sectio caesarea. Ibu hamil menginginkan dapat

melahirkan secara normal, tetapi dalam kondis tertentu dari faktor janin

(bayi besar, kelainan letak, ancaman gawat janin, janin abnormal,

kelainan tali pusat, dan bayi kembar), dari faktor ibu (keadaan panggul,

kelainan kontraksi rahim, ketuban pecah dini dan preeklampsi) harus

dilakukan operasi sectio caesarea (Kasdu, 2003).

Menurut WHO (World Health Organization, 2015), angka

kejadian Sectio Caesarea (SC) meningkat di negara-negara berkembang.

WHO menyatakan standar rata-rata operasi sectio caesarea sekitar 5-

15% untuk setiap negara, jika tidak sesuai indikasi operasi SC dapat

meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi.

Angka kelahiran di Indonesia masih tinggi, kira-kira 15% dari

seluruh wanita hamil mengalami komplikasi dalam persalinan. Hal ini

menjadi salah satu penyebab meningkatnya persalinan dengan SC. Hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan kelahiran

bedah sesar sebesar 9,8 %, sedangkan menurut Profil Kesehatan

Indonesia (2014) jumlah ibu dengan persalinan secara sectio caesarea

sebanyak 18,5% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan

terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%).


Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukan

bahwa persalinan SC di Jawa Barat sebanyak 8,7%,sedangkan presentase

persalinan dengan SC di RSUD Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya tahun

2013 dari 4558 ibu bersalin sebanyak 1192 (26,15%) persalinan dengan

sectio caesarea.

Sectio caersarea tentunya tidak terlepas dari tindakan anestesi.

Menurut Morgan (2013), menyebutkan bahwa anestesi pada umumnya

dibagi atas anestesi general dan anestesi regional. Umumnya pada tindakan

sectio caesarea dilakukan teknik anestesi regional, anestesi regional yang

yang dilakukan pada pasien obstetric adalah dengan teknik blok

subarachnoid. Anestesi spinal (blok subarachnoid) merupakan pilihan

utama dalam tindakan sectio caesarea.

Meskipun anestesi spinal merupakan teknik anestesi terbaik bagi

sectio caesarea, tetapi anestesi spinal juga memliki kekurangan. Menurut

Majid (2011), teknik anestesi spinal memiliki kekurangan seperti

terjadinya hipotensi, bradikardi, apneu, pernafasan tidak adekuat, mual

muntah dan pusing kepala.

Faktor penyebab ibu dilakukan operasi Sectio Caesarea (SC)

sebanyak 13,4% karena ketuban pecah dini, 5,49% karena preeklampsi,

5,14% karena perdarahan, 4,40% kelainan letak janin, 4,25% karena

rupture uterus. Jumlah persalinan Sectio Caesarea (SC) di Indonesia,

terutama di rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total


jumlah persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta lebih tinggi yaitu 30-

80% dari total jumlah persalinan (Riskesdas, 2012).

Menururt Kasdu (2003) diperlukan pengawasan khusus terhadap

indikasi dilakukannya sectio caesarea maupun perawatan ibu setelah

tidakan sectio caesarea. Perawatan dasar pada masa nifas atau pasca

persalinan sectio caesarea adalah mobilisasi dini. Menurut Hamilton

(2010), Mobilisasi dini sangat penting untuk mengembalikan fungsi usus,

mempercepat proses involusi, memperlancar peredaran darah,

mempercepat proses penyembuhan luka dan mencegah terjadinya

trombosis. Oleh karena itu, mobilisasi merupakan suatu proses yang sangat

penting dilakukan oleh ibu post partum.

Secara fisik tindakan sectio caesarea (SC) menyebabkan nyeri

pada abdomen yang berasal dari luka bekas operasi, rasa nyeri meningkat

pada hari pertama post operasi sectio caesarea (SC). Secara psikologis

tindakan sectio caesarea (SC) berdampak terhadap rasa takut, cemas dan

nyeri yang dirasakan setelah analgetik hilang (Utami, 2009). Menurut

Perry dan Potter (2013) nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks,

kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri, nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan cemas.

Hampir 80% ibu yang baru melahirkan mengalami kecemasan, ini

bisa di sebabkan karena ibu merasa cemas akan keadaan tubuh yang tidak

menarik, produksi ASI yang sedikit, cemas akan kesehatan bayinya dan
kesehatan dirinya sendiri. Kecemasan ini akan membuat kondisi ibu tidak

stabil. Aspek-aspek psikologis yang terjadi pada ibu post Sectio Caesarea

(SC) adalah takut melakukan banyak gerakan, biasanya ibu khawatir

dengan gerakan-gerakan yang dilakukannya akan menimbulkan dampak

yang tidak diinginkan (Rita,2013).

Dari data yang didapatkan di RSUD Dr. Soekardjo Kota

Tasikmalaya pada Tahun……………………………

Berdasarkan studi pendahuluan…………………………….

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Tingkat Kecemasan dengan

Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea (SC) dengan

Anestesi Spinal di Ruang Melati 2 RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

Tahun 2020”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitia ini adalah “Adakah Hubungan Tingkat Kecemasan dengan

Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea (SC) dengan

Anestesi Spinal di Ruang Melati 2 RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

Tahun 2020?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Tingkat Kecemasan dengan

Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea (SC)

dengan Anastesi Spinal di Ruang Melati 2 RSUD Dr. Soekardjo

Kota Tasikmalaya Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mendapatkan gambaran tingkat kecemasan ibu di ruang melati 2

RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun 2020.

b. Mendapatkan gambaran mobilisasi dini pada ibu post Operasi

Sectio Caesarea (SC) dengan anestesi spinal di ruang melati 2

RSUD Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun 2020.

c. Menganalisa Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mobilisasi

Dini pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea (SC) dengan

Anestesi Spinal di Ruang Melati 2 RSUD Dr.Soekardjo Tahun

2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pengetahuan bagi

pengembangan ilmu kebidanan khususnya tentang ibu post Operasi

Sectio Caesarea (SC).

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Bagi Institusi Pelayanan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam

meningkatkan profesionalisme perawat dalam memberikan

pelayanan kepada pasien khususnya dalam mobilisasi dini post

operasi sectio caesarea.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan dan sebagai bahan perbandingan serta dapat

dijadikan referensi bagi mahasiswa lain yang ingin melakukan

penelitian lanjutan.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat khususnya ibu post operasi sectio

caesarea (SC) tentang mobilisasi dini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Kecemasan

2.1.1 Pengertian

Ansietas atau kecemasan adalah suatu perasaan takut akan

terjadinya sesuatu yang disebabkan oleh antisipsi bahaya dan

merupakan sinyal yang membantu individu untuk bersiap mengambil

tindakan menghadapi ancaman. Pengaruh tuntutan, persaingan, serta

bencana yang terjadi dalam kehidupan dapat membawa dampak

terhadap keshatan fisik dan psikologis. Salah satu dampak psikologis

yaitu ansietas atau kecemasa (Sutejo, 2018).

Kecemasan merupakan suatu keadaan aprehensi atau keadaan

khawatir yang mengeluhkan bahwa suatu yang buruk akan segera

terjadi. Banyak yang dapat menimbulkan kecemasan misalnya, ujian,

kesehatan, relasi social, karier dan kondisi lingkungan adalah beberapa

hal yang menjadi sumber kekhawatiran (Hidayati, 2008).

2.1.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan pasien dengan ansietas adalah

khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya, mudah tersinggung,

pasien merasa tegang, tidak tenang, gelisah, pasien mengatakan takut

bila sendiri atau pada keramaian dan gangguan pola tidur (Sutejo,

2018).
2.1.3 Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan dapat dikelompokan dalam beberapa

tingkatan diantaranya yaitu kecemasan ringan (Mild anxiety),

kecemasan sedang (Moderate anxiety) dan kecemasan berat (Severe

anxiety) (Soetjiningsih, 2017).

a. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyebabnya, seseorang menjadi lebih waspada, sehingga

persepsinya meluas. Kecemasan ringan masih mampu memotivasi

individu untuk belajar dan memecahkan masalah secara efektif.

b. Kecemasan sedang

Memusatkan perhatian pada hal-hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain

c. Kecemasan berat

Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsiorang lain.

Seseorasng akan cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang

terincidan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain.

2.1.4 Faktor-faktor penyebab kecemasan

Kecemasan seringkali berkembang dalam jangka waktu dan

sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup

seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat

mempercepat munculnya serangan kecemasan. Ada beberapa faktor

yang menujukan reaksi kecemasan, di antaranya yaitu :


a. Lingkungan

Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara

berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini

disebabkan karena pengalaman yang tidak menyenangnkan pada

individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja.

Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap

lingkungannya.

b. Emosi

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan

jalan keluar untuk perasaannya sendiri dengan hubungan personal

ini, terutama jika dirinya menekan rasa m,arahatau frustasi dalam

jangka waktu yang sangat lama.

c. Sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam

kondisi misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih

dari penyakit. Selama ditimpa kondis-kondisi ini perubahan-

perubahan perasaan muncul dan ini dapat menimbulkan

kecemasan.

2.2 Tinjauan Umun Tentang Nifas

2.2.1 Pengertian Masa Nifas

Masa nifas (puerperium) adalah masa dimulai setelah

plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali


seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifasberlangsung

selama kira-kira 6 minggu. Selama masa pemulihan tersebut

berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan,baik fisik

maupun psikologis. Sebenarnya sebagian besar berrsifat fisiologis,

namun jika tidak dilakukan pendampingan melalui asuhan kebidanan

maka akan terjadi keadaan patologis (Sulistiyawati, 2009).

Masa nifas adalah 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai 6

minggu berikutnya. Waktu yang tepat disebut postpartum adalah 2-6

jam, 2 jam sampai 6 hari, 2 jam sampai 6 minggu (boleh juga disebut

6 jam, 6 hari, dan 6 minggu) pasca melahirkan (Ahmad, 2012).

2.2.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas

Menurut Saleha, 2009 tujuan daripemberian asuhan

kebidanan pada masa nifas adalah sebagai berikut :

a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya,baikfisikmaupun psikologis

b. Mendeteksi masalah, mengobati dan merujuk bila terjadi

komplikasi pada ibu maupun bayinya

c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan

diri, nutrisi, cara dan manfaat menyusui, perawatan sehari-hari,

imunisasi, KB

d. Memberikan pelayanan KB
2.2.3 Tahapan MasaNifas

Menurut Anggraini, 2010 masa nifas dibagi menjadi 3

tahap, yaitu puerperium dini, puerperium intermedial dan remote

puerperium.

a. Puerperium dini

Puerperium dini yaitu berlangsung segera setelah bersalin

sampai 24 jam. Dimana ibu telah diperbolehkan berdiri atau

berjalan-jalan.

b. Puerperium intermedial

Puerperium intermedial yaitu berlangsung dari waktu 1-7

hari post partum.

c. Remote puerperium

Yaitu berlangsung dari waktu 1-6 minggu post partum.

Dimana pulihnya kembali keadaan ibu berangsur-angsur seperti

sebelum hamil.

2.2.4 Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum

a. Perubahan Fisiologi

1) Involusi Uterus

Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil

(involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.

Otot uterus berkontraksi segera pada post partum, pembuluh-

pembuluh darah yang berada diantara otot-otot uterus akan

terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah


plasenta lahir (Vivian, 2011). Tinggi fundus uteri dan berat

uterus dapat dilihat menurut masa involusi uterus sebagai

berikut :

a) Masa bayi lahir maka posisi fundus uteri akan setinggi

pusat dengan berat uterus 1000 gram.

b) Masa plasenta lahir maka posisi fundus uteri akan berada

2 jari di bawa pusat dengan berat uterus 700 gram.

c) Masa uterus 1 minggu maka posisi fundus uteri akan

berada di pertengahan pusat simpisis dengan berat uterus

500 gram.

d) Masa uterus 2 minggu maka posisi fundus uteri tidak

teraba di atas simpisis dengan berat uterus 350 gram.

e) Masa uterus 6 minggu maka posisi fundus uteri

bertambah kecil dengan berat uterus 50 gram.

f) Masa uterus 8 minggu maka posisi fundus uteri kembali

normal dengan berat uterus 30 gram (Bobak, dkk. 2004).

2) Servik

Segera setelah berakhirnya kala IV, serviks menjadi

sangat lembek, kenur, dan terkulai. Serviks tersebut bisa

melepuh dan lecet, terutama dibagian anterior. Serviks akan

terlihat padat yang mencerminkan vaskularitasnya yang

tinggi, lubang serviks lamban laun mengecil, beberapa

minggu setelah persalinan rongga leher serviks bagian luar


akan membentuk seperti keadaan sebelum hamil pada saat 4

minggu pospartum (Saleha, 2009).

3) Payudara (Mamae)

Pada semua wanita yang telah melahirkan proses

laktasi terjadi secara alami. Laktasi adalah proses

pembentukan dan pengeluaran ASI. Fisiologi laktasi itu

sedangkan prolactin meningkat. Hisapan bayi pada puting

susu memacu atau merangsang sendiri adalah pada saat

persalinan hormone estrogen dan progesteron menurun

kelenjar hipofise anterior untuk mempruduksi atau

melepaskan proklatin sehingga terjadi sekreksi ASI. Pada

wanita menyusui involusi menjadi lebih efesien, yang

kemungkinan berkaitan dengan peningkatan aliran oksitosin

(meningkat kontraksi, retraksi, serat otot uterus). Hal ini

berarti bahwa involusi akan berlangsung lebih lambat bila

uterus tidak dapat melakukan kontraksi, retaksi secara efektif.

Ini dapat terjadi setelah sectio caesarea, uterus robek atau sisa

produk konsepsi (Johnson & Taylor, 2005).

b. Perubahan Psikologis

1) Fase taking in atau tahap tergantungan

Terjadi pada hari 1-2 post partum, perhatian ibu terhadap

kebutuhan dirinya, pasif dan tergantung. Ibu tidak menginginkan

kontak dengan bayinya bukan berarti tidak memperhatikan.


Dalam fase ini yang diperlukan ibu adalah informasi tentang

bayinya, bukan cara merawat bayi.

2) Fase Taking Hold

Fase ini berlangsung sampai kira-kira 10 hari. Ibu

berusaha mandiri dan berinisiatif, perhatian terhadap dirinya

mengatasi tubuhnya, misalnya kelancaran miksi dan defekasi,

melakukan aktefitas duduk, jalan, belajar tentang perawatan diri

dan bayinya, timbul kurang percaya diri sehingga mudah

mengatakan tidak mampu melakukan perawatan. Pada saat ini

sangat dibutuhkan sistem pendukung terutama bagi ibu muda

atau primipara karena pada fase ini seiring dengan terjadinya

post partum blues.

3) Fase letting Go atau saling ketergantungan

Dimulai minggu ke 5-6 pasca kelahiran.Tubuh ibu telah

sembuh, secara fisik ibu mampun menerima tanggung jawab

normal dan tidak lagi menerima peran sakit. Kegiatan

seksualnya telah dilakukan kembali (Saleha, 2009).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Mobilisasi Dini

2.3.1 Pengertian

Mobilisasi atau mobilitas adalah kemampuan individu untuk

bergerak sevara bebas, mudah dan teratur dengan yujuan untuk

memenuhi kebutuhan aktifitas guna mempertahankan keadaannya


(Alimul H.A, 2006). Mobiliasi post sectio caesarea adalah suatu

pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah

beberapa jam melahirkan dengan sectio caesarea (Rini, 2014).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini

adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedinin mungkin

dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi

fisiologis.

2.3.2 Tujuan Mobilisasi

a. Mempertahankan fungsi tubuh

b. Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat

penyembuhan luka

c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik

d. Mempertahankan tonus otos

e. Memperlancar proses eliminasi

f. Mengembalikan aktifitas tertentu sehingga pasien dapat kembali

normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian

g. Memberi kesempatan perawat dan pasien berinteraksi atau

berkomunikasi

(Susan, 2004)

2.3.3 Manfaat mobilisasi bagi ibu post sectio caesarea yaitu :

a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan mobilisasi dini.

Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal

sehingga dapat mengurangi rasa sakit. Dengan demikian ibu


merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan, mempercepat

kesembuhan. Faal usus dan kandung kemih berfungsi dengan baik,

aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh

bekerja seperti semula.

b. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu

merawat anaknya. Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi

akan cepat pulih misalnyakontraksi uterus, dengan demikian ibu

akan cepat merasa sehat dan bisa merawat anaknya dengan cepat.

c. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli. Dengan

mobilisasi sirkulasi darah normal dan lancar sehingga resiko

terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat dihindarkan.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi

a. Gaya hidup

Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat

pendidikannya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan

diikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya.

Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tentang mobilitas

seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengancara yang

sehat.

b. Proses penyakit atau injury

Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan

mempengaruhi mobilitasnya, misalnya seseorang yang patah tulang

akan kesulitan untuk mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang


yang baru menjalani operasi, karena adanya rasa sakitatau nyeri

yang menjadi alas an cenderung untuk bergerak lebih mudah.

c. Kebudayaan

Kebudayaan dapat mempengruhi pola dan sikap dalam

melakukan aktifitas misanya pasien setelah operasi dilarang

bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak, proses

penyembuhan luka menjadi lebih lama.

d. Tingkat energi

Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan

energy atau tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda

mobilitasnya dibandingkan dengan orang dalam keadaan sehat.

e. Usia dan status perkembangan

Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan

mobilitasnya dibandingkan seorang remaja.

2.3.5 Tahap-tahap mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap (Kasdu, 2003).Tahap-

tahap mobilisasi dini pada ibu post sectio caesarea adalah sebagai

berikut :

a. 6 jam pertama ibu post section caesarea

Istirahat tirah baring mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah

menggerakan lengan, tangan, menggerakan ujung jari kaki dan

memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot

betis serta menekuk dan menggeser kaki.


b. 6 sampai 10 jam post section caesarea

Ibu diharuskan untuk dapat miring ke kanan dan ke kiri untuk

mencegaf trombosis dan tromboemboli

c. Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar duduk

d. Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Sectio Caesarea (SC)

2.4.1 Pengertian

Sectio Caesarea (SC) adalah suatu tindakan untuk melahirkan

bayi dengan berat di atas 500 gram, melalui sayatan pada dinding

uterus yang masih utuh (Prawirohardjo, 2009). Sectio Caesarea (SC)

adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada

dinding abdomen dan uterus (Oxon & Forte, 2010).

2.4.2 Tipe-tipe Sectio Caesarea

Menurut (Oxon & Forte, 2012), tipe-tipe Sectio Caesarea yaitu :

a. Segmen bawah : insisi melintang

Tipe Sectio Caesarea ini memungkinkan abdomen dibuka

dan uterus di singkapkan. Lipatan vesicounterina (bladder flap)

yang terletak dengan sambungan segmen atas dan bawah uterus

ditentukan dan di sayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari

segmen bawah dan bersama-sama kandung kemih di dorong ke

bawah agar tidakmenutupi lapang pandang.


Keuntungan :

1) Insisinya ada pada segmen bawah uterus.

2) Otot tidak dipotong tetepi dipisah ke samping, cara ini

mengurangi perdarahan.

3) Insisi jarang terjadi sampai plasenta.

4) Kepala janin biasanya dibawah insisi dan mudah di ektraksi.

5) Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah

dirapatkan kembali disbanding segmen atasyang tebal.

Kerugian :

1) Jika insisi terlampau jauh lateral, seperti pada kasus bayi

besar.

2) Prosedur ini tidak dianjurkan kalau terdapat abnormalitas pada

segmen bawah.

3) Apabila segmen bawah belum terbentuk dengan baik,

pembedahan melintang sukar dikerjakan.

4) Kadang-kadang vesica urinaria melekat pada jaringan cicatrix

yang terjadi sebelumnya sehingga vesica urinaria dapat terluka.

b. Segmen bawah : insisi membujur

Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan

dengan gunting tumpul untuk menghindari cdera pada bayi.

Keuntunghan tipe ini yaitu dapat memperlebar insisi ke atas

apabila bayinya besar, pembentukan segmen bawah jelek, ada


malposisi janin seperti letak lintang atau adanya anomali janin

seperti kehamilan kembar yang menyatu. Kerugainnyaadalah

perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena

terpotongnya otot.

c. Sectio Caesarea Klasik

Insisi longiotudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel

kedalam dinding anterior uterus dan di lebarkan ke atas serta ke

bawah dengan gunting berujung tumpul.

Indikasi :

1) Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah yaitu adanya

pembuluh-pembuluih darah besar pada dinding anterior, vesica

urinaria yang letaknya tinggi dan myoma segmen bawah.

2) Bayi yang tercekam padaletak lintang.

3) Beberapa kasus placenta previa anterior.

4) Malposisi uterus tertentu.

Kerugian :

1) Myometrium harus dipotong, sinus-sinus yang lebar dibuka dan

perdarannya banyak.

2) Bayi sering distraksi bokong dahulu sehingga kemungkinan

aspirasi cairan ketuban lebih besar.


3) Apabila placenta melekat pada dinding depan uterus, insisi akan

memotongnya dan dapat menimbulkan kehilangan darah dari

sirkulasi janin yang berbahaya.

4) Insiden pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus lebih

tinggi.

5) Insisden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi.

d. Sectio Caesarea Extraperitoneal

Pembedahan ini dikerjakan untuk menghindari perlunya

histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan

mencegah peritonitis yang sering bersifa fatal. Teknik pada prosedur

ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk ke dalam cavum

peritoneal dan insidensi cedera vesica urinaria meningkat.

e. Histerektomi Caesarea

Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang

dilanjutkan dengan pengeluaran uterus.

Indikasi :

1) Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal

2) Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus

plasenta previa dan abruptioplacenta tertentu.

3) Pada kasus-kasus tertentu kanker servik atau ovarium

4) Ruptur uteri yang tidak dapat diperbaiki

5) Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus


2.4.3 Indikasi Sectio Caesarea

Tindakan sectio caesarea dilakukan apabila tidak

memungkinkan dilakukan persalinan pervaginam disebabkan adanya

resiko terhadap ibu atau janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu

tindakan sectio caesarea seperti prosos persalinan normal lama atau

kegagalan proses persalinan normal (Saifudin,2002).

Menurut Mochtar & Sarwono Prawirohardjo (2009), beberapa indikasi

dilakukannya sectio caesarea yaitu :

a. Plasenta previa,terutama plasenta previa totalis dan subtotalis.

b. Panggul sempit

c. Ruptur uteri mengancam

d. Partus lama

e. Tumor yang menghalangi jalan lahir

f. Kelainan letak atau bayi besar

g. Keadaan dimana usaha-usaha untuk melahirkan pervaginam gagal

h. Kematian janin

i. Gemeli

j. Komplikasi pre eklampsi

k. Disproporsi kepala panggul (CPD/FPD)

l. Disfungsi uterus

2.4.4 Keuntungan dan kerugian Sectio Caesarea

a. Keuntungan sectio Caesarea


Sectio Caesarea lebih aman dipilih dalam menjalani proses

persalinan karena telah banyak menyelamatlan jiwa ibu yang

mengalami kesulitan melahirkan. Jalan lahir tidak teruji dengan

dilakukannya sectio caesarea, yaitu bilamana di diagnosis

panggul sempit atau fetal distress. Bagi ibu yang paranboid

terhadap rasa sakit, maka sectio caesarea adalah pilihan yang

tepat dalam menjalani proses persalinan, karena diberi anastesi

atau penghilang rasa sakit (Fauzi, 2007).

b. Kerugian Sectio Caesarea

Sectio caesarea mengakibatkan komplikasi diantaranya

yaitu kerusakan pada vesica urinaria dan uterus, komplikasi

anastesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli. Kematian pada ibu

lebih besar pada persalinan sectio caesarea dibandingkan

persalinan pervaginam. Takipnea saat bayi baru lahir lebih sering

terjadi pada persalinan sectio caesarea dan kejadian trauma

persalinan pun tidak dapat disingkirkan. Resiko jangka panjang

yang dapat terjadi adalah terjadinya plasenta previa, solusio

plasenta, plasenta akreta dan ruptur uteri (Rasjidi,2010).

2.4.5 Komplikasi

Menurut Oxorn dan Forte (2010),komplikasi yang seius pada

operasi sectio caesarea adalah :

a. Perdarahan
Perdarahan pada section caesarea terjadi karena adanya atoni

auteri, pelebaran insisi uterus, kesulitan mengeluarkan plasenta

danhematoma ligamentum latum.

b. Infeksi

Infeksi section caesarea bukan hanya terjadi daerah insisi saja,

tetapi dapat terjadi di daerah lain seprti traktus urinarius dan usus.

c. Tromboplebitis

d. Cedera dengan atau tanpa fistula bisa terjadi di traktus urinarius

dan usus.

e. Dapat mengakibatkan obstruksi usus baik mekanis maupun

paralitik.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Anestesi

2.5.1 Pengertian

Anestesi adalah keadaan nekrosis, analgesia, relaksasi dan

hilangnya reflek (Smeltzer, 2002). Anestesi adalah menghilangnya

rasa nyeri, menurut jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum

yang disertai hilangnya kesdaran, sedangkan anestesi regional dan

anetesi local menghilangnya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa

menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat dan De’ Jong, 2012).

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit

ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang

menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Morgan, 2011).


2.5.2 Tujuan Anestesi

Menurut Brunton dkk, tahun 2011 perkembangan senyawa-

senyawa anestesi disebabkan oleh tiga yujuan umum:

a. Meminimalkan potensi efek membahayakan dari senyawa-

senyawa dan teknik anastesi

b. Mempertahankan homeostatis fisiologis selama dilakukan

prosedur pembedahan yang mungkin melibatkan kehilangan

darah, iskemia jaringan, reperfusi jaringan yang mengalami

iskemia, pergantian cairan, pemaparan terhadap lingkungan

dingin dan gangguan koagulasi.

c. Memperbaiki hasil pascaperasi dengan memilih teknik yang

menghambat atau mengatasi komponen-komponen respons stress

pembedahan yang dapat menyebabkan konsekuensi lanjutan

jangka pendek ataupun panjang.

2.5.3 Macam-Macam Anestesi

Menurut Potter dan Ferry tahun 2006, pasien yang

mengalami pembedahan akan menerima anastesi dengan salah satu 3

cara sebagai berikut :

a. Anestesi Umum

Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan

seluruh sensai dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah

manipulasi anggota tubuh. Pembedahahn yang menggunakan


anastesi umum melibatkan prosedur mayor yang membutuhkan

manipulasi jaringan yang luas.

b. Anestesi Regional

Induksi anestesi regional menyebakan hilangnya sensasi

pada daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari spinal

anestesi, epidural anestesi, kaudal anestesi. Metode induksi

mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi. Ahli

anestesi memberi regional secara filtrasi dan local. Pada bedah

mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina, atau

perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional atau spinal

anestesi hanya dilakukan dengan induksi filtrasi. Blok anestesi

pada saraf vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric

menimbulkan vasodilatasi yang luas sehingga klien dapat

mengalami penurunan tekanan darah yang tiba-tiba.

c. Anestesi Lokal

Anestesi local menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat

yang diinginkan.Obat anestesi menghambat konduksi saraf

sampai obat terdifusi ke dalalm sirkulasi.

2.6 Spinal Anestesi

2.6.1 Pengertian

Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi kedalam ruang

intratekal secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar


region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir

(Keat, dkk, 2013).

Spinal anestesi merupakan anastesia yang dilakukan pada

pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses

konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori dibagian tubuh

tertentu (Rochimah, dkk, 2011).

2.6.2 Tujuan Spinal Anestesi

Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong tahun 2010 spinal

anestesi dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan,

penaganan nyeri akut maupun kronik.

2.6.3 Indikasi Spinal Anestesi

Menurut Keat, dkk tahun 2013, indikasi pemberian spinal

anestesi ialah untuk prosedur bedah dibawah umbilicus.

2.6.4 Kontraindikasi Spinal Anestesi

Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong tahun 2010 anestesi

regional yang luas seperti spinal anestesi tidak boileh diberikan pada

kodisi hipovolemia yang belum terkorelasi karena dapat

mengakibatklan hipotensi berat.

Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut

Sjamsuhidayat dan De Jong tahun 2010, ialah :

a. Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup

b. Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernafasan dan

memerlukan bantuan nafas dan jalan nafas segera.


c. Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepalaini tergantung pada

besarnya diameter dan bentuk jarumspinal yangdigunakan.

2.6.5 Jenis-jenis Obat Anestesi Spinal

Lidokain, bupivacaine dan tetrakain adalah agen anestesi

local yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif

untuk 1 jam, bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4

jam (Reeder, S, 2011).

Berikut ini uraian obat spinal anestesi :

a. Lidokain

1) Onset kerja : cepat

2) Dosis maksimum : 3-5 mg/kg

3) Durasi kerja : Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan

4) Efek samping : Toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan

bupivacaine

5) Metabolisme : di hati n-dealkylation yang diikuti dengan

hidrolisis untuk menghasilkan metabolit yang di ekskresikan di

urin

Lidokain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infiltrasi

dan anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan

intratekal.

b. Bupivacaine

1) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit,

intrakeal 30 menit
2) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam, epidural 3-4 jam,

intrakardial 2-3 jam.

3) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas

kardiak berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat

anestesi lainnya

4) Eliminasi : N-dealkylaton menjadi pipecolyoxylidine dan

metabolit lainnya di ekskresikan di urin

c. Tetrakain

Tetrakain (pantocaine) merupakan suatu ester amino kerja

panjang. Secara signifikan lebih paten dan mempunyai durasi kerja

lebih panjang daripada anestesi local jenis ester lain yang umum

digunakan. Obat ini banyak digunakan pada spial anestesi ketika

durasi kerja obat yang panjang diperlukan. Tetrakain juga

ditambahkan pada beberapa sediaan anestesi topical. Tetrakain

jarang digunakan pada blockade saraf perifer karena sering

diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang lambat dan berpotensi

menimbulkan toksisis (Brunton, 2011).

2.6.6 Teknik Pemberian Spinal Anestesi

Teknik pemberian spinal anestesi menurut Gruendeman dan

Fensebner, tahun 2006 ialah :

a. Klien diletakan pada suatu dari beberapa posisi yang

memaksimalkan kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra

lumbal kedua dan sacral pertama. Posisi paling sering diambil


adalah decubitus lateral. Selain itu, posisi duduk diindikasikan

untuk klien gemuk apabila tanda-tanda anatomis sulit diidentifikasi.

b. Sewaktu klien diletakan dalam posisi decubitus lateral, klien akakn

berbaring pada salah satu sisinya, sangant dekat dengan tepi tempat

tidur. Panggul, punggung dan bahu harus sejajar dengan tepi

tempat tidur. Apabila klien ditempatkan dengan benar, sebuah garis

imajiner antar bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan melalui

vertebra L4 atau ruang L4-5. Tanda petunjuk ini digunakan untuk

menentukan lokasi antar ruang lumbal tempat pungsi dilakukan.

c. Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua

lututnya ke arah dada dan menekuk kepala dan leher ke arah dada.

Dengan demikian, punggung akan melengkung sehingga prosesus

spinalis terbuka secara maksimum.

d. Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi

klien, baik posisi duduk maupun posisi yang lainnya. Klien

dalamposisi duduk memerlukan penopang yang kuat dibawah kaki

dan harus dibantu untuk condong ke depan dengan lengan ditekuk

agar punggung melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang

oleh perawat atau oleh sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.

e. Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir

melalui asirasi lembut alat suntik yang dihubungkan dengan

kecepatan sekitar 1 ml sampai 10 detik. Penyebaran anestesi local

melalui cairan serebrospinalis dipengaruhi oleh dosis total yang di


suntikan, konsentrasi larutan, keadaan kanalis sopinalis dan posisi

klien selama dan segerasetelah suntikan anestesi local

f. Setelah obat disuntikan klien perlu diposisikan dengan ketinggian

anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut yang

mempersarafi kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh

prosedur operasi.

2.6.7 Penatalaksanaan Pasien Post Operasi dengan Anestesi Spinal

Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus

dilakukan menurut Effendy tahun 2005, yaitu :

a. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage

tube/selang dan komplikasi. Begitu pasien tiba di vangsal langsung

monitor kondisinya. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan

pertama yang dilakukan di bangsal setelah post operasi.

b. Manajemen Luka

Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak

mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk

mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen luka meliputi

perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.

c. Mobilisasi Dini

Mobilisasi didni yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam

dan juga batuk efektif yang penting untuk memaksimalkan fungsi

kardiovaskuler, mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan

mengeluarkan secret dan lender.


d. Rehabilitasi

Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi

pasien kembali. Refhabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan

spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien

seperti sedia kala.

e. Discharge Planning

Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi

kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari

dan dilakukan sehubungan dengankondisi atau penyakit yang di

operasi.

Anda mungkin juga menyukai