Anda di halaman 1dari 13

SATUAN ACARA PENYULUHAN

DIABETES MELITUS TIPE 2


DI PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA

DISUSUN OLEH :

MEGA SONIA VERA


NIM PO.62.20.1.17.336

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
KELAS REGULER ANGKATAN IV SEMESTER VIII
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
SATUAN ACARA PENDIDIKAN KESEHATAN

Tema/Topik : Diabetes Melitus Tipe 2 (Kencing Manis)

Waktu : 20 menit
Sasaran : Keluarga Tn.S

Tempat : Rumah Tn.S

Tujuan Intruksional Umum : Untuk dapat memberikan pemahaman kepada klien tentang

penyakit diabetes mellitus tipe 2 (kencing manis)

Tujuan intruksional khusus :

1. Mampu melakukan penjelasan diabetes mellitus tipe 2 (kencing


manis)
2. Mampu menyebutkan penyebab diabetes mellitus tipe 2 (kencing
manis)
3. Mampu menyebutkan tanda dan gejala penyakit diabetes mellitus
tipe 2 (kencing manis)
4. Mampu melakukan penjelasan tentang penatalaksanaan
penyakit diabetes melitus tipe 2 (kencing manis)

Kegiatan Belajar Mengajar :

No Tahap Waktu Kegiatan


Pemateri Audiens
1. Pembukaan 5 menit Pembukaan :
a. Membuka/ a. Menjawab salam
memulai kegiatan b. Mendengarkan
dengan c. Menyimak
mengucapkan penjelasan
salam. d. Mendengarkan
b. Memperkenalkan e. Menjawab
diri pertanyaan
c. Menjelaskan
tujuan dari
penyuluhan
d. Menjelaskan
materi
penyuluhan
e. Bertanya kepada
klien apakah ada
yang mengetahui
tentang penyakit
diabetes mellitus
tipe 2 (kencing
manis)
2. Pelaksanaan 10 menit Penyampaian
Materi :
a. Menjelaskan a. Memperhatikan
pengertian b. Memperhatikan
diabetes mellitus c. Memperhatikan
tipe 2 (kencing d. Memperhatikan
manis) e. Memberikan
b. Menjelaskan pertanyaan
penyebab
diabetes mellitus
tipe 2 (kencing
manis)
c. Menyebutkan
tanda dan gejala
diabetes mellitus
tipe 2 (kencing
manis)
d. Menjelaskan
penatalaksanaan
diabetes mellitus
tipe 2 (kencing
manis)
e. Memberikan
kesempatan
kepada peserta
untuk bertanya
3. Penutup 5 menit Evaluasi :
Menanyakan kepada Menjawab pertanyaan
peserta tentang materi
yang telah
diberikan,dan
reinforcement kepada
peserta yang dapat
menjawab

Terminasi :
a. Mengucapkan
terimakasih atas
perhatian yang a. Menjawab
diberikan salam
b. Membagikan b. Menerima
Leaflet leaflet
Mengucapkan salam
Metode : Ceramah, Tanya jawab.

Media : leaflet

Materi : terlampir

Evaluasi :

a. Standar Persiapan :
1. Keluarga Tn.S menghadiri pertemuan
2. Tempat dan alat tersedia sesuai dengan perencanaan

b. Standar Proses :
1. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan
2. Keluarga Tn.S mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
3. Peserta berperan aktif dalam mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat
selama jalannya diskusi
4. Tidak ada peserta yang keluar masuk selama jalannya kegiatan

c. Standar Hasil :
1. Keluarga Tn.S dapat mengulang kembali tentang definisi penyakit diabetes mellitus tipe 2
2. Keluarga Tn.S dapat menjawab penyebab penyakit diabetes mellitus tipe 2
3. Keluarga Tn.S dapat menjawab tanda dan gejala penyakit diabetes mellitus tipe 2
4. Keluarga Tn.S dapat menjawab tanda dan gejala penyakit diabetes mellitus tipe 2
5. Keluarga Tn.S dapat menjawab penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus tipe 2

Sumber :

Adinda, F. (2020) “Tanda dan Gejala Diabetes Melitus Yang Harus Anda Ketahui.” Jakarta. EGC.

Amalia, R. (2017) “Asuhan Keperawatan pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2.” Samarinda :
Poltekkes Kemenkes Kalimantan Timur.

Musthakimah, R. H. I. (2019) “Gambaran faktor-faktor yang menyebabkan komplikasi diabetes melitus


pada lansia di puskesmas kartasura,” hal. 1–19. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan
Universtitas Muhammadiyah.

Nofita, Susanti, A. F. & Pasa, C. (2018) “Penyuluhan Diabetes Mellitus Terhadap Lansia Di Posyandu
Lansia Kurnia Abadi I Pekon Wonodadi Wilayah Kerja”. Jurnal Pengabdian Farmasi
Malahayati, 1(1), hal. 23–27. Lampung : Puskesmas Gadingrejo Pringsewu.

Siregar, A. (2018) “Ketahui Penyebab Utama Diabetes Pada Lansia dan Cara Mengatasinya.”
Semarang : Universitas Diponegoro.

MATERI
1. Pengertian
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas atau
gangguan fungsi insulin (resistensi insulin ), diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal, keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta
penuaan, pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara
autoimun seperti diabetes melitus tipe 2 (Dewi, 2019).

2. Penyebab
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2
adalah(Cahyani, 2019):
a. Usia
Risiko terjadinya diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Resistensi insulin mulai terjadi pada usia 45 tahun dan cenderung meningkat pada usia
di atas 65 tahun. Hal ini terjadi karena orang –orang diusia ini cenderung kurang
bergerak, kehilangan massa otot, dan bertambah berat badan. Selain itu, proses
penuaan juga mengakibatkan penurunan fungsi sel beta pankreas sebagai penghasil
insulin.
b. Obesitas
Memiliki kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama untuk diabetes tipe 2.
Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas.Obesitas menyebabkan respon sel
beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor
insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlahnya dan kurang
sensitive.

c. Riwayat keluarga
Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang
kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko
berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk
anak cucunya. Transmisi genetik adalah yang paling kuat.
d. Kelompok etnik
Meskipun masih belum jelas mengapa, kebanyakan orang dari suatu ras termasuk ras
hitam, hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika lebih cenderung memiliki risiko
terhadap DM tipe 2 dibandingkan ras kulit putih.

3. Tanda dan Gejala


Berikut ini ada beberapa tanda dan gejala dari diabetes tipe 2(Aprinda, 2020) :

a. Buang air kecil terus-menerus


b. Sering merasa haus dan minum lebih banyak
c. Cepat lapar meskipun sudah makan banyak
d. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
e. Luka sulit sembuh dan mudah terkena infeksi
f. Masalah kulit seperti gatal-gatal dan kulit kehitaman, terutama bagian lipatan ketiak,
leher, dan selangkangan
g. Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur
h. Tangan dan kaki sering sakit, kesemutan, dan kebas (mati rasa)
i. Disfungsi seksual seperti gangguan ereksi

4. Penatalaksanaan Medis dan Terapi Obat


Penatalaksanaan DM tipe-2 memerlukan terapi agresif penatalaksanaan dan pengelolaan
DM dititik beratkan pada 5 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, diet, pemantauan,
latihan jasmani dan terapi farmakologis (Amalia, 2017).
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat.Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul
secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan
penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,
perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan
aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
b. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
c. Pemantauan
Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah harus selalu diperiksa secara rutin.
Selain itu, perubahan berat badan lansia juga harus dipantau untuk mengetahui
terjadinya obesitas yang dapat meningkatkan resiko DM pada lansia.
d. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih
30 menit Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes. Pemeriksaan
sebelum latihan sebaiknya dilakukan untuk memastikan bahwa klien lansia secara fisik
mampu mengikuti program latihan kebugaran. Pengkajian pada tingkat aktivitas klien
yang terbaru dan pilihan gaya hidup dapat membantu menentukan jenis latihan yang
mungkin paling berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan dampak rendah,
merupakan permulaan yang sangat baik untuk para pemula. Untuk lansia dengan
NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi fisiologis dengan
mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan kesejahteraan
emosional, dan meningkatkan sirkulasi, serta membantu menurunkan berat badan.
e. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
1. Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2
Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan
pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa
terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak
ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.
a. Target glikemik
Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan
menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik
berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik
belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien
diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol
pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua
studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan
intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik . Studi
tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-
rata non diabetik. Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American
Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi
penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C < 7%. Konsensus ini menyatakan
bahwa kadar A1C alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol
A1C < 7%. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya
CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan
regimen terapi yang lebih intensif.
b. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan
menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat
menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir
oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah
keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan
hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa
menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting
dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau
menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan
kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko
asidosis laktik ; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal.
c. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan
metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah
hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode
hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia
lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan
sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan
penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki
kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan
dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari.
d. Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi
golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada
sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan
glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan
pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih
kecil.
f. Penghambat  -glukosidase
Penghambat  -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida
di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang;
dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat.
Monoterapi dengan penghambat -glukosidase tidak mengakibatkan
hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam
menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %.
Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas
dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan
menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping tersebut.
g. Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin
baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C
sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah
penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer
dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.
h. Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat,
insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target
terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis
maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan
hipoglikemia.
i. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai
jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang
meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucose- mediated
insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik
menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.
Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai
monoterapi.
j. Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA/EASD
Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual,
sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan
mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila
target glikekemik tidak tercapai.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai