Anda di halaman 1dari 3

Eranya Green Building

Administrator | Rabu, 12 April 2017 - 11:56:39 WIB | dibaca: 640 pembaca


1

Bangunan hijau (green building) harus diposisikan sebagai kebutuhan bukan lagi hanya sekadar
mengikuti tren ala kadarnya.

Beberapa hal yang harus mencakup dari sebuah bangunan green mulai aspek arisitektur, desain
dan yang juga penting adalah saat gedung tersebut dioperasionalkan. Tuntutan gedung yang lebih
sustainable terkait dengan perubahan lifestyle dan lebih penting lagi menguatnya isu lingkungan.

Menurut Steven Ghoos, Managing Director Lamudi Indonesia, sebuah portal properti yang ikut
memberikan perhatian terkait green building, sekurangnya ada tiga hal yang harus diperhatikan
untuk mewujudkan green building yaitu teknologi hijau, bahan alami dan konstruksi bangunan
berkelanjutan.

“Teknologi hijau mencakup desain konstruksi pintar yang memungkinkan dilakukan


penghematan energi dan mencegah emisi gas rumah kaca. Penerapan desain ventilasi silang
untuk mendapatkan cahaya dan udara maksimal bisa diterapkan. Penggunaan elemen atap untuk
meredam suhu, bahan bangunan alami, dan memastikan konstruksi gedung tidak berdampak
buruk terhadap lingkungan,” jelasnya.

Selanjutnya, terkait dengan anggapan masih mahalnya penerapan konsep green building ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Ibarat fenomena gunung es yang hanya memperlihatkan
secuil ujung gunung dan tidak memperlihatkan badan gunung yang jauh lebih besar di bawah
permukaan laut, mahalnya pengembangan green building juga mirip dengan fenomena gunung es
ini.

Kita kerap hanya melihat dari sisi ekonomi bahwa pembangunan gedung berkonsep green
building ini lebih mahal. Untuk itu perlu dilihat life cycle costing (LCC), puncak gunung es
hanyalah biaya membangun gedung yang tampak dan kita tidak memikirkan biaya yang harus
keluar saat gedung tersebut beroperasi yang menjadi biaya yang tidak tampak.

Biaya-biaya ini mencakup listrik dan turunannya, perawatan dan perbaikan, hingga dampak
produktivitas dan kesehatan bagi penghuni gedung. Konsep LCC tidak hanya menghitung biaya
membangun (initial cost) tetapi juga biaya-biaya yang dikeluarkan di kemudian hari. 

Dengan hanya berkonsentrasi pada biaya membangun di awal, umumnya banyak bangunan
megah tapi beberapa tahun kemudian langsung terlihat kumuh seperti yang terjadi pada banyak
bangunan instansi pemerintah. Karena itu harus mulai diperhatikan soal pembiayaan ini secara
lebih komprehensif. 

Nirwono Joga, pengamat lingkungan dan Koordinator Peta Hijau menyebutkan, bisa dilakukan
perbandingan antara biaya dan manfaat (benefit) dari penerapan green building ini. Jika green
building membutuhkan biaya yang lebih mahal, hitung selisihnya dengan benefit yang kita
dapatkan berupa penghematan biaya operasional bangunan, listrik dan air yang lebih irit,
pengurangan emisi, peningkatan produktivitas dan kualitas kesehatan, dan lainnya.

“Saya bisa pastikan benefit akan jauh lebih tinggi dibandingkan cost diawal ketika untuk
membangun green building. Artinya besarnya biaya ketika membangun, toh pada akhirnya bisa
cover dari tambahan manfaat yang didapatkan sepanjang gedung ini operasional. Hanya selama
ini kita memang kurang komprehensif dalam menghitung biaya ini dan selalu menghitung di
awal pembangunannya saja,” ujarnya.

Untuk gambaran sederhananya, di California pernah dihitung perbandingan cost benefit dari
green building dengan melibatkan lebih dari 40 instansi yang mewakili kepakaran di bidangnya
mulai dari bidang arsitektur, konstruksi, lingkungan, energi, keuangan, properti manajemen dan
lainnya. 

Ternyata penerapan konsep green building yang membuat biaya gedung lebih tinggi sebesar dua
persen, dapat menghasilkan nilai penghematan sebesar 20 persen dari total biaya membangun.
Ini artinya tambahan manfaat dari penerapan green building mencapai 10 kali lipat dari biaya
tambahan yang dikeluarkan. Mestinya dengan data ini membuat kita semua khususnya para land
lord lebih bersemangat menerapkan konsep green building pada pengembangan proyeknya. 

Bagaimana dengan gedung lama yang sudah terbangun dengan tidak menerapkan konsep green
building? Menurut Naning Adiwoso, chairperson Green Building council Indonesia (GBcI),
gedung lama pun bisa dijadikan green building  dengan melakukan retrofitting atau dengan
mengganti beberapa perangkatnya yang boros energi menjadi lebih hemat energi. 

“Kita bisa terapkan penggunaan sensor pencahayaan, pendingin, hingga air, menambah area
penghijauan, sehingga gedung lama pun bisa tetap green. Ke depan konsep green building ini
akan meningkat menjadi healthy building dengan penerapan seluruh material menggunakan
bahan non toxic sehingga bukan lagi gedung hemat energi tapi juga yang sehat,” imbuhnya.

Menyebut contoh kasus lain, Gedung Sequis center (dulu Gedung Widjojo center) di Jalan
Jenderal Sudirman Jakarta, sudah berusia hampir 38 tahun sejak dibangun 1978. Pada 2008
gedung ini diakusisi oleh Farpoint (Gunung Sewu Group) dan dimulailah penerapan dan
pengelolaan yang lebih sustainable. 

Menurut Jusup Halimi, CEO Farpoint, pihaknya mengeluarkan biaya Rp 2 miliar dan masih terus
bertambah untuk menerapkan beberapa hal terkait green building seperti berbagai sensor,
penyediaan taman di rooftop dan lainnya. Sosialisasi dan edukasi juga terus dilakukan kepada
seluruh tenant yang pada intinya ikut mendukung gerakan green building ini.

“Hasilnya cukup luar biasa, penerapan green ini telah berhasil menghemat air dan listrik hingga
28 persen per tahun. Ini semua dengan menerapkan sensor pada keran air, AC jam lima sore
otomatis mati. Kita juga mengolah sampah gedung menjadi kompos dan banyak hal lainnya yang
kita terapkan dan berhasil mengurangi biaya maintenance dengan sangat signifikan,” ujarnya.

Dengan terus masifnya penerapan green building  ini gilirannnya akan terus meningkatkan
upaya-upaya dari kalangan arsitektur, pemasok bahan bangunan, perusahaan konstruksi, dan
lainnya melakukan pendekatan baru dalam bisnisnya terkait penerapan green building ini.

Anda mungkin juga menyukai