Anda di halaman 1dari 224

ACADEMIA

Accelerating the world's research.

STUNTING DENGAN
PENDEKATAN FRAMEWORK WHO
BUKU REFERENSI
Stefanus MENDES Kiik

Buku Stunting

Cite this paper Downloaded from Academia.edu[

Get the citation in M LA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack oft he best related papers


8"

L::., Eksplorasi Praktik Pemberian Prelakteal pada Bayi di Masyarakat Adat Kaluppini di Sulawesi S ...
Nurbaya Nurbaya

STUNTING
tri siswati

Prosiding Simposium lnternasional Gizi & Pangan 2018(1).pdf


Rahmawati Syarifuddin
sebagai dosen, penulis juga aktif meneliti,
menulis aktif dalam organisasi profesi
PPNI, Saat ini
Stefa nus MendesKiik, M.Kep., Sp.Kep .Kom. Lahir di Nurobo, 28 menjadi pengajar Mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah,

t
Mei Keperawatan Gawat Darurat
1984, Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan dan Metodologi Penelitian
tahun
2009 dan Ners di STIK GIA tahun 2010, Penulis I di STlKes
Kupang.
Maranatha

menyelesaikan
pendidikan Magister Keperawatan tahun 2015 dan pada tahun 2016
£
menyelesaikan pendidikan Spesialis Keperawatan Komunitas di

Fakultas
IImu Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis aktif meneliti
dan menghasilkan beberapa publikasi seperti: Effectiveness of
balance exercise among older adults in Depok City, Indonesia I
I
[Penelitian yang
dibiayai oleh LPDP dan dipublikasikan pada jurnal Enfermeria Clinica yang
tetindeks scopus), Classroom simulation method increases nursing student family-
focused care competencies in family nursing learning practice (INJEC), Peningkatan
kualitas hidup lanju i
usia (lansia) diofkota
effectiveness otagoDepok dengan
exercise latihanstatus
on health keseimbangan
and risk of(Jurnal Keperawatan
fall among Indonesia),
elderly with chronic
f
illness (Jurnal Keperawatan Indonesia) dan lain-lain. Penulis juga aktif mengikuti berbagai

fkonferensi seperti: The 3rd International Conference:


for

NCDs and Global Health" at Udhon Tani,
Innovation, Prevention, and Care
Thailand; The 2nd International Nursing Scholar

i
Congress at University of Indonesia; The 2016-2019 International Nursing
Conference
AINEC (di Belitung, Makassar, Padang dan Bandung), International Grant Writing
workshop and Conference di Surabaya dan lain-lain. Penulis juga mengikuti berbagai
pelatihan seperti Nursing experiences and various occurence learning" di Faculty of
Nursing, Khon Kaen University, Thailand, Pelatihan Posbindu PTM (Kementerian
Kesthatan), Pelatihan Perkesmas (IPKKI), Pelatihan penulisan soal UKNI {AIPNI) dan
lain-lain. Penulis juga aktif sebagai pengurus dalam kegiatan organisasi yaitu PPNI,
IPKKI dan AIPNI, Sejak tahun 2011, penulis menjadi dosen pengampu mata Kuliah
Keperawatan Komunitas, Keperawatan Keluarga dan Keperawatan Gerontik di STIKES
Maranatha Kupang

Muhammad Saleh Nuwa, S.Kep., Ns., M.Kep. Lahir di Romba, 28


Juli
1985. Saat ini bekerja sebagai dosen pada program studi Profesi
Ners STIKes Maranatha Kupang. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sarjana Keperawatan tahun 2011 dan Pendidikan Profesi Ners
tahun 2012 di STIKes Patria Husada Blitar. Penulis menyelesaikan
Pendidikan Magister Keperawatan tahun 2018 pada Fakultas IImu
Keperawatan, Universitas Airlangga, Surabaya. Sebagai tugas utama
S7TT!'BI Z71HHLZR(EEC7
[,T1EI7I77E7EE1ZEH7H7 [J

DJ3JI?7mW3TJ31Wm7
[3Im3JI@)RI(@)

@
III
ISBN: 978-602-6248-86-2

GERB G RI 'TEK-BRIN
Stefanus Mendes Kiik, M.Kep., Sp.Kep.Kom.

Muhammad Saleh Nuwa, S.Kep., Ns., M.Kep.

STUNTING
DENGAN PENDEKATAN
FRAMEWORK WHO
BUKU
REFERENS I

~
STUNTING- DENGAN PENDEKATAN
FRAMEWORK WHO

Penulis:
Stefanus Mendes Kiik, M.Kep., Sp.Kep.Kom.
Muhammad Saleh Nuwa, S.Kep., Ns., M.Kep.

Editor
Robert Fahik
Desain Sampul:
KotakHitam

Rancang Isi
Erwan Supriyono

Diterbitkan Oleh:
CV. Gerbang Media Aksara
Jl. Sampangan No. 58A, RT 01, Banguntapan Bantul,
Yogyakarta

ISBN:978-602-6248-86-2

Cetakan pertama, J uni 2020


Halaman: x + 141 hlm.,
Ukuran: 14,5 x 21 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang. Sebagian atau


seluruh isi buku ini dilarang diperbanyak dalam bentuk
apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis
dapat menyelesaikan buku ini. Buku ini merupakan
luaran dari penelitian yang berjudul: Pengaruh
Pendidikan Ke• sehatan Tentang Stunting
Menggunakan Kerangka Kon• septual WHO Terhadap
Pengetahuan Ibu Eks Pengungsi Timor Leste di
Kabupaten Kupang. Buku ini membahas tentang
masalah pendek atau kerdil atau yang lebih di• kenal
dengan istilah stunting.
Stunting merupakan sebuah fenomena global. Ideal•
nya anak-anak akan hidup, tumbuh, berkembang, ber•
main, belajar, berpartisipasi dan berkontribusi dalam
lingkungannya sendiri. Namun karena kondisi ini, 144
juta anak di dunia harus hidup dalam kondisi "gagal
tumbuh" sehingga masa depannya dan generasi selan•
jutnya terancam. Mereka akan hidup dalam kondisi
tinggi badan yang tidak maksimal, otak mereka tidak
akan berkembang secara sempurna sehingga mereka
akan mengalami kesulitan saat bersekolah, berisiko lebih
tinggi mengalami berbagai penyakit dan akan meme•
ngaruhi kinerja mereka saat dewasa yang pada akhirnya
akan menyebabkan kerugian besar bagi negaranya dan
bahkan dapat menyebabkan kematian.

iii
Buku ini berisi tentang stunting, permasalahan stun•
ting secara global, nasional dan lokal. Penyebab stunting
berdasarkanframework WHOjugadibahas pada bukuini.
Framework WHO ini merupakan pembeda dengan buku•
buku lain karena berisi hasil penelitian terkini tentang
penyebab stunting. Buku ini juga membahas tentang ciri
dan cara mengukur stunting, dampak stunting, program
penanganan stunting, dan pendidikan kesehatan terkait
stunting. Penulis berharap, setelah membaca buku ini,
pembaca dapat memahami permasalahan stunting dan
dapat membuat perubahan-perubahan untuk mencegah
stunting yang dimulai dari keluarga.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih ke•
pada semua pihak yang telah mendukung terbitnya buku
ini. Pertama, kepada Deputi Bidang Penguatan Riset
dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/
Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang telah mem•
biayai, serta semua pihak yang telah berkontribusi yang
tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Mari kita belajar dari ilmu men•
tari, "Berjuta kali ia memberi tak ingin ambil pulang atau
merusakinya." Semoga buku ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Kupang, 2 April 2020

Penulis

iv
Daftar Isi

Pengantar iii
Daftar Isi v
Daftar Singkatan vii

BAB I STUNTING DANPERMASALAHANNYA 1


Definisi 1
Permasalahan Stunting 3
Kondisi stunting di Indonesia Kondisi 6
stunting di Provinsi Nusa Tenggara
Timur 12

BAB 2 PENYEBAB STUNTING SESUAI


FRAMEWORK WHO 14
Penyebab Stunting 16
Faktor Rumah Tangga dan Keluarga 16
Pemberian Makanan Pendamping Yang
tidak Mencukupi (Inadequate Complementary
Feeding) 28
Pemberian Asi (Breastfeeding) 33
Infeksi (Infection) 36
Faktor Kontekstual: Komunitas Dan Sosial.. 38

BAB 3 CIRI STUNTING DAN CARA


PENILAIAN STATUS GIZI 40

I V
Ciri-Ciri Stunting 40
Cara Penilaian Status Gizi 41
Cara Mengukur Tinggi Badan dan Panjang
Badan 43

BAB 4 DAMPAK STUNTING 51


Pendahuluan 51
Dampak Jangka Pendek 52
Dampak Jangka Panjang 56

BAB 5 PROGRAM PENANGANAN STUNTING


DI INDONESIA 62
Pendahuluan 62
Intervensi Gizi Spesifik..................... 63
Intervensi Gizi Sensitif 92

BAB 6 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN


TERHADAP PENGETAHUAN IBU 98
Pentingnya pengetahuan ibu dalam
upaya penurunan stunting . . . . . . . . . . 98
Perlunya pendidikan kesehatan bagi ibu
sebagai caregiver 100
Konsep Pendidikan Kesehatan . . . 101
Hasil penelitian terkini tentang
pentingnya pendidikan kesehatan bagi ibu 103
DAFTAR PUSTAKA 105
GLOSSARIUM 121
INDEKS 125
Lampiran 133
TENTANG PENULIS 139

vi
DAFTAR SINGKATAN

ACT : Artemisinin Combination Therapy


AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
ANC : Ante Natal Care
ARV : Antiretroviral
ASI : Air susu Ibu
BABS : Buang Air Besar Sembarangan
Baduta : Usia bawah dua tahun
Balita : Bayi di bawah lima tahun
BBLR : Berat bayi lahir rendah
BCG : Bacillus Calmette-Gu~rin
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CI : Confidence Interval
CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun
DALYs : Disability-Adjusted Life Years
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DPT : Difteri, pertusis, dan tetanus
D1-D3 : Diploma 1-3
e-PPGBM : Elektronik pencatatan pelaporan gizi ber•
basis masyarakat
HAZ : Hight for age Z-scores
HB : Hepatitis B
Hib : Haemophilus Influenza tipe B

vii
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HPK : Hari Pertama Kehidupan
HPV : Human papillomavirus
IMD : Inisiasi Menyusu Dini
IMT : Indeks Massa Tubuh
IPV : Inactivated Polio Vaccine
IUGR : Intrauterine growth restriction
IYCF : Infant and Young Child Feeding
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
Kab : Kabupaten
KAP : knowledge, attitude and practice/ Pengeta-
huan, sikap, dan praktik
KB : Keluarga Berencana
KEK : Kurang Energi Kronik
Kemenkes : Kementerian
Kesehatan
KemenPUPR: Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat
Kemensos : Kementerian Sosial
KMS : Kartu menuju sehat
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MP-ASI : Makanan Pendamping air susu ibu
MGRS : Multy centre Growth Reference Study
MMN : Multiple mikronutrien
NTB : Nusa Tenggara Barat
NTT : Nusa Tenggara Timur
OR : Odds Ratio
ORS : Oral Rehydration Solution
PAH : Penampungan Air Hujan
PAMM-RT : Pengelolaan Air Minum dan Makanan
Rumah Tangga
viii
PAMSIMAS : Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi ber•
basis Masyarakat
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PB : Panjang Badan
PBI : Penerima Bantuan Iuran (PBI)
PB/U : Panjang badan menurut umur
PCV : Pneumococcal Conjugate Vaccine
PDB : Produk Domestik Bruto
PIN : Pekan Imunisasi Nasional
PKHS : Pendidikan dan Keterampilan Hidup
Sehat
PLCRT : Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
PMBA : Pemberian makan bayi dan anak
PMT : Pemberian makanan tambahan
PNS : Pegawai negeri sipil
POLRI : Polisi Republik Indonesia
Posyandu : Pos Pelayanan terpadu
PS-RT : Pengamanan Sampah Rumah Tangga
PSG : Pemantauan Status Gizi
PT : Perguruan Tinggi
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RCT : Randomized controlled trial
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SBD : Sumba Barat Daya
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SEAR : South-East Asia Regional (regional Asia
Tenggara)
SLTA
: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SLTP
: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

ix
SPAL : Sistem Pembuangan Air Limbah
STBM : Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
SUN : Scaling Up Nutrition
TB : Tinggi Badan
TB/U : Tinggi badan menurut umur
TNI : Tentara nasional Indonesia
TTD : Tablet tambah darah
TTS : Timor Tengah Selatan
TTU : Timor Tengah Utara
UNAIDS : United Nations Programme on HIV/AIDS
UNDP : United Nations Development Programme
UNESCO : United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization
UNFPA : United Nations Population Fund
UNICEF : United Nations Emergency Children's Fund
USG : Ultrasonografi
WFP : World Food Programme
WHO : World Health Organization
wus : Wanita usia subur

X I
BABI
STUNTING DAN PERMASALAHANNYA

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan mampu:
❖ Memahami definisi stunting
❖ Memahami permasalahan stunting di dunia
❖ Memahami permasalahan stunting di Indonesia
❖ Memahami permasalahan stunting di Provinsi Nusa
Tenggara Timur

DEFINISI
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada
anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek
untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah usia 2
tahun. Balita pendek (stunted) dansangatpendek
(severely stunted) adalah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multy centre Growth Reference Study) 2006, balita stunted
apabila nilai z-scorenya kurang dari -2SD (standar
deviasi) dan severely stunted apabila kurang dari

I 1
- 3SD (Department of Nutrition, World Health
Organization
& Members of the WHO Multicentre Growth Reference
Study Group, 2006). Stunting adalah kondisi di mana
tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi
badan orang seusianya (Kemendes, 2017).

Gambar 1.1. Anak stunting (Sumber: dok pribadi)

Stunting diidentifikasi dengan membandingkan


tinggi seorang anak dengan standar tinggi anak pada
populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis ke•
lamin yang sama. Stunting merupakan salah satu bentuk
gangguan pertumbuhan masa bayi dan anak. Juga me•
rupakan pertanda telah terjadi gangguan kekurangan
gizi kronik (waktu lama) yang berpengaruh buruk
terha• dap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek
ditengarai sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak
berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan
gizi kronis dan infeksi
2 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia
23 bulan (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Ke•
miskinan, 2018).

PERMASALAHAN
STUNTING
Kejadian stunting merupakan salah satu masalah gizi
yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada
tahun
2019 sebesar 21,3% atau sekitar 144 juta balita di dunia
mengalami stunting. Namun angka ini sudah
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
angka stunting
pada tahun 2000 yaitu 32,5% (199,5
juta).
Diagram 1.1 Tren Prevalensi Balita
stunting di Dunia Tahun

=
35 2000-2019
32.5

3 2
0 s
2
5

2
0

"
1
5

1
0

2000 2005 2010 2015 2019

Sumber: UNICEF/WHO/World Bank, Joint Child Malnutrition


Estimates, 2020
Pada tahun 2019, lebih dari setengah balita
stunting di dunia hidup di Asia (54 % ) sedangkan
lebih dari se• pertiganya (40%) tinggal di Afrika. Satu
dari 3 anak di Afrika mengalami stunting. Semua benua
mengalami penurunan stunting kecuali Afrika yang
mengalami

Stunting dan Permasalahannya I 3


peningkatan (UNICEF/WHO/World Bank, Joint Child Mal•
nutrition Estimates, 2020).
Dunia
Gambar 1.2 Persentase stunting pada balita, berdasarkan wilayah,
21.3%
2019

q
North
Central
America

ow "z.
-ow

-oeo
law Southern
Africa

Sumber: UNICEF/WHO/World Bank, Joint Child Malnutrition


Estimates, 2020

Dari 78,2 juta balita stunting di Asia, proporsi


ter• banyak berasal dari Asia Selatan dan proporsi
paling se• dikit di Asia Tengah.
Diagram 1.2 Proporsi Jumlah Balita
Pendek di Asia Tahun 2018
60 55,9

50

40

30

-
20
13,9


umber: UNICEF/WHO/World
10 Bank, Joint Child Malnutrition

L
4,1 3,4
0.8
0

Asia Tengah Asia Timur Asia Selatan Asia Tenggara As ia Barat


S
Estimates, 2020

4 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Dari 144 juta balita di dunia yang mengalami stunting
lebih dari setengahnya berasal dari negara berpenda•
patan menengah bawah (lower-middle income country) dan
hanya seperempatnya berasal dari negara berpendapat•
an rendah.

Diagram 1.3 Prevalensi jumlah Balita stunting (dalam juta)


menu rut kategori tingkat pendapatan bank dunia Tahun 2019

Negara berpenghasilan tinggi

Negara berpenghasilan menegah atas

Negara berpenghasilan menengah


3.2
bawah

Negara berpenghasilan rendah lea,l

Sumber: UNICEF/WHO/World Bank, Joint Child Malnutrition


Estimates, 2020

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan


World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk
ke dalam negara keenam dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/ South-East Asia Regional (SEAR).
Prevalensi tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah
Timor Leste namun dari segi jumlah, Indonesia
merupakan negara dengan jumlah balita stunting
terbanyak di Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indo• nesia tahun 2018 adalah 36%. Global
Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi
stunting di Indonesia ber• ada pada peringkat 108 dari
132 negara. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia
tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang
mengalami beban ganda gizi, baik kelebih• an maupun
kekurangan gizi (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2018).

Stunting dan Permasalahannya I 5


Diagram 1.4 Prevalensi Balita Pendek (dalam %)
di beberapa negara Asia Tenggara Tahun
2018

Thailand -11

Myanmar 29

Indonesia 36

Timer Leste _. 58

Sumber: Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2019

Kondisi stunting di Indonesia


Kejadian balita stunting (pendek) merupakan salah
satu masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Ber•
dasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017,
stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus,
dan gemuk. Prevalensi stunting lebih tinggi baik pada
usia 0-23 bulan maupun 0-59 bulan.
Diagram 1.5 Masalah Gizi Balita Berdasarkan Kelompok Umur
di
35,0 Indonesia Tahun 2017
29,6
30.0

25.0

n -n
20.1 17
20.0
1
15,0

10,0
4,6

4,8 ,8

3.7

5,0
Sumber:
0,0
Ditjen
Usia 0-23 bulan Usia 0-59
Bulan Kesehatan
□ Gizi kurang ■ Pendek ■ Kurus a Masyarakat,
Gemuk 2017
111
1

6 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Data tahun 2017 menunjukkan terjadinya pening•
katan prevalensi pendek dan gemuk namun masalah
kurus justru menurun.

Diagram 1.6 Masalah Gizi Balitadi Indonesia, 2016- 2017


35.0
30.0 29,6
27,5
25,0

20,0 17,8 17,8

- -
15,0
10,0
4,3 4,6
5.0

0.0
Tahun 2016 Tahun 2017
Gizi kurang Pendek Kurus Gemuk

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, 2017

Prevalensi balita pendek di Indonesia


cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun
2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di
Indo•
nesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita
pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
men• jadi 37,2% dan menurun lagi pada tahun 2018
menjadi
30,8%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2018
menunjukkan penurunan prevalensi stunting di
tingkat nasional sebesar 6,4 % selama periode 5 tahun,
yaitu dari
37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Sedangkan untuk
balita berstatus normal terjadi peningkatan dari 48,6%
(2013) menjadi 57,8% (2018). Adapun sisanya
mengalami masalah gizi lain (Tim Nasional Percepatan
Penang• gulangan Kemiskinan, 2018).
Stunting dan Permasalahannya I 7
Diagram 1. 7 Stunting di Indonesia tahun 2007-2018

40
35
30
25
20
15
10
5
0
2007 2010 2013 2018
■ Sangat Pendek Pendek
Sumber: Riskesdas, 2018

-
<20%

20.30%

30.40%

>40%

Gambar 1. 3 Distribusi Geografis Prevalensi stunting menurut


Provinsi
(Riskesdas, 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018


rnenun• jukkan prevalensi stunting rnasih tinggi yaitu
30,8% (Ke• rnenkes RI, 2018). Jurnlah tersebut rnasih di
atas angka batas stunting World Health Organization
(WHO) yaitu
<20%. Hal ini berarti perturnbuhan yang tidak
rnaksirnal
dialarni oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau 1
dari
8 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
3 anak Indonesia mengalami stunting.
Dari 34
Provinsi di Indonesia, 18 Provinsi memiliki
prevalensi stunting di atas rata-rata nasional. Provinsi
dengan dengan pre• valensi stunting terbesar adalah Nusa
Tenggara Timur (42,7%), diikuti Sulawesi Barat (41,6%)
dan Aceh (37,1% ). Provinsi dengan prevalensi stunting
paling kecil adalah DKI Jakarta (17,6%).
Diagram 1.8 Prevalensi Balita Pendek di Indonesia
berdasarkan Provi nsi Tahun 2018 (di atas angka
naional)

Papua 33.1
Maluku Utara 31.4
Maluku 34
Sulawesi Barat 41.6
Gorontalo 32.5
Sulawesi Selatan 35.7
SulawesiTengah 32.3
Kalirnantan Selatan 33.1
Kalmantan Tengah 34
Kalimantan Barat 33.1
NIT 42.7
NTB 33.5
Jawa Timur 32.8
Jawa Tengah
31.3
Jawa Barat
31.1
Suratera Sel atan
31.6
Sumatera Utara
32.4
Aceh
37.1
Indonesia
30.8

Sumber: Riskesdas, 2018

Stunting dan Permasalahannya I 9


D iagram 1.9 Prevalensi stunting di Ind onesia berd asarka n Jenis
K elam in

68,2 70

D
19,6 18,9
12.1
ep
Laki-laki Perempuan
■ Sangat pendek □ Pendek ■ Normal

Sumber: Riskesdas, 2018

Prevalensi stunting pada balita di Indonesia lebih


banyak pada laki-laki.
Prevalensi stunting terbanyak pada kepala keluar•
ga yang bekerja sebagai nelayan, sedangkan prevalensi
paling sedikit pada kepala keluarga yang bekerja
sebagai PNS/TNI/POLRI/ BUMN/BUMD
Diagram 1.10 Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan
Pekerjaan Kepala Ru mah
Tangga

La innya 10.3 18.4

Buruh/ Sopir/ Pembantu Rumah Tangga 11 7 21 3

Nelayan 14.8 22.7

Petan/Buruh Tani 141 22 1

Wiraswasta 11 18.2

Pegawai Swasta 87 15 8

PNS/TN/POlr/BUMN/BUMD 8 15.4

Sekolah 11 9 18.2

Tidak Bekerja 10.9 16.7

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25.0 30,0 35,0 40,0

□ Sangat pendek □ Pendek

Sumber: Riskesdas, 2018

10 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


D iag ram 1.11 Pendidikan Kepala Ru m ah Ta ngg a (%)

Tamat D1-D3/PT
a 77.6

TamatSLTA
s4
d
74,1
: l
Tamat SLTP 20.4 67,7

TamatSD
rs 22.4 64,3

Tidak Tamat S
D
i I z16 64,9

Tidak Tamat
Sekolah 21.5 64.3

0% 10% 20% 30% 40 50% 60% 709% 80% 90% 100 %


%

■ Sangat pendek Pendek Normal

Sumber: Riskesdas, 2018

Prevalensi stunting terbanyak pada balita dengan


kepala keluarga yang berpendidikan tidak tamat
sekolah dasar.
Diagram 1.12 Prevalensi stunting di Indonesia
berdasarkan
Tempat Tinggal

Pedesaan
a" 65

Perkotaan
al 72,8

0% 10%
"" 20% 30%

■ Sangat pendek ■
40%
60%
■ Normal
70% 80% 90% 100%

50%Pendek

Sumber: Riskesdas, 2018

Prevalensi stunting terbanyak pada balita yang


tinggal di pedesaan.
Stunting dan Permasalahannya I 11
Kondisi stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) merupakan yang tertinggi di Indonesia yaitu
42,7% (Riskesdas 2018), walaupun kondisi ini telah
menurun dari tahun 2013 yaitu 51,7%. Penurunan
yang terjadi dalam jangka waktu 5 tahun ini sebesar
9%.
Diagram 1.13 Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek
pada balita menurut KabupatenjKota, Provinsi NTT,
Riskesdas 2013-2018
100
02013 02018
80 62.2 61.2
46 3 517 55,1 58,8
s«,, 49,3 66 557 62s 554
0795 56,8
60 0 43 513 0 ' ' 0 0 0 46,5 46,8 •
~$%8so@8·868@·8·og@$"%
20 4 43 0 43 3 44 3 44 2 47 8 48 4 39 9
2~3 32,8 33,0 34,7 36,0 39,3 42,6 • 43,1 • 44,0 • 45,4 45,5 46,5 • 38,6 ,

.
40~;· , ,

0 t t 0
. 5 c 0
E t
~ E g F c
5 t , 5
,
£ 5 (/) 2


c U ¢ U
co c -" %

.
c
E h

.
E

. <

z t


"C ( 0
d c a¢ t 4 £ £ co

, "

¥
z ¥
. . ·e . 0r u e«
: ,..

,a w iii 0
. , 0
~
0 z co c
= co

. ~ .n
(/) t
,. .n

t (

z £ 0
, ,£ 0
.2 d % .n t 0
% E 5 tr 0
, c
0
¢ (/) 0 E (/)
ii:
(/)
t
(/)
z( c
z

Sumber: Riskesdas, 2018


Peningkatan stunting tertinggi di Kabupaten TTU
dari 39,9 menjadi 56,8 (meningkat 16,9 % )dan
penurun• an stunting tertinggi di Kabupaten Ngada
yaitu dari 62,2 menjadi 34,7 (penurunan sebesar 27,6
% ). Tingginya kejadian stunting di Provinsi NTT
jika dihubungkan dengan framework WHO tentang
stunting maka perlu dikaji dan diperbaiki berbagai
faktor seperti: : 1) faktor rumah tangga dan keluarga; 2)
pemberian makanan pendamping yang tidak
mencukupi; 3) pemberian asi;
4) infeksi; 5) faktor kontekstual: komunitas dan
sosial. Faktor-faktor ini akan dijelaskan secara rinci
pada bab

12 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


2 buku ini. Oleh karena itu diperlukan intervensi gizi
spesifik dan sensitif yang lebih masif dan komprehensif
dari semua program dan sektor, termasuk upaya dari
semua institusi pendidikan melalui penelitian dan pe•
ngabdian masyarakat.
Diagram 1.14 Jumlah Balita Stunting

-a
Kota/Kabupaten Di Provinsi NTT Tahun 2018

KAB TIMOR TENGAH SELATAN - o»

KAB KUPANG
6181
KAB TIMOR
KABTENGAH
FLORES UTARA
TIMUR
5677

KAB 5IKKA
a »
- a.
KAB MANGGARAI

KAB SUMBA TIMUR -a»


KAB 5UMBA BARAT DAYA 4024

KAB ALOR 3924

KAB BELU 3610

KOTA KUPANG 3259


KAB ENDE 3216

KAB MANGGARAI BARAT 3190

=»»
KAB ROTE NDAO

KAB NAGEKEO

KAB MALAKA :::::::::::~ 2873

KAB LEMBATA 5»»


KAB MANGGARAI TIMUR a»
KAB SABU RAIJUA

KAB NGADA
• 2104

KAB 5UMBA TENGAH • v6

KAB SUMBA BARAT - 1256

Sumber data: e-PPGBM Provinsi NTT, 2018

Stunting dan Permasalahannya I 13


BAB2
PENYEBAB STUNTING SESUAI
FRAMEWORK WHO

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan mampu:
❖ Memahami kerangka konseptual WHO tentang
stunting
❖ Memahami penyebab stunting
❖ Memahami faktor rumah tangga dan keluarga yang
menyebabkan stunting
❖ Memahami faktor Pemberian ASI yang menyebab•
kan stunting
❖ Memahami faktor menyebabkan stunting pemberian
makanan pendamping yang tidak mencukupi yang
menyebabkan stunting
❖ Memahami infeksi yang menyebabkan stunting
❖ Memahami faktor kontekstual penyebab stunting

14 I
Framework stunting dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

Concurent problem & Akibat Jangka Pendek Akibat Jangka Panjang


Kematian Kesehatan
Kesehatan Perkembangan
Perkembangan Ekonomi
lpengeluaran Perawakan pendek saat

Kesakitan kognitif, motorik akibat masalah dewasa, tkasus obesitas dan I Performa di lkapasitas
dan bahasa kesehatan, penyakit yang berhubungan sekolah kerja
tkemungkina dengan obesitas, I Kapasitas 1Produktivita
AKIBAT biaya
n perawatan [kesehatan reproduksi belajar skerja

PENYEBA
I Pertumbuhan dan perkembangan stunting

B
0
Faktor Rumah Tangga Dan
Pemberian Makanan Pendamping Pemberian
Keluarga Yang ASI
Tidak Mencukupi

Faktor IbuLingkungan Buruknya Praktik Keamanan Infeksi Klinis


rumah
• Status gizi buruk Kualitas pemberian makanan dan dan Sub-Klinis
selama masa ·Kurangnya Pangan makanan yanagir lnfeksi Enterik
pr kulranisniagsi
kehamilan, stimulasi dan Kandungan tidak menyusur yang diare, enteropati
sesuaterijaga
kehamilan dan aktivitas anak, zat gizi mikro Frekuensi Makanan dan tertunda (Tidak lingkungan,
menyuSur ·Praktik yang rendah pemberian melakukan penyakit yang
Perawakan ibu perawatan yang Makanan rendah terkontaminasi Inisiasi disebabkan oleh
pendek buruk, tidak Pemberian ·Buruknya Menyusui Dini cacng
·Infeksi ·Praktik perawatan bervariasi makanan yang praktik (1MD) ketika Infeksi pernafasan
lbu hamil di Usia atau pengasuhan dan kurang kurang selama kebersihan bayi lahir) Malaria
remaya yang buruk, sumber dan setelah makanan dan ·Tidak ASI Penurunan nafsu
·lbu memiliki ·Kurangnya protein sakit ekslusif (Non• makan karena
masalah persediaan air hewani ·Konsistensi Penyimpanan exclusive infeksi
Kesehatan dan sanitasi yang Kandungan makanan yang dan penyiapan breastfeeding) ·Radang
mental tidak memadai, makanan lembek terus makanan yang (Tidak Demam
·IUGR dan kKerawanan tidak bergizi tidak aman melakukan Vaksin tidak
kelahiran pangan, Makanan ·Member pemberian ASI lengkap atau
prematur Alokasi pangan makan dalam ekslusif selama tidak divaksin
pendamping
·Jarak kelahiran dalam rumah yang jumlah yang 6 bulan
antar anal tangga yang memiliki tidak pertama)
singkat tidak sesuai, dan kandungan mencukupi Penghentian
·Hipertensi energr Pemberian menyusui dini
Pendidikan
pengasuh yang rendah makanan yang
rendah tidak responsif

KONTEKS
0
Faktor-faktor Komunitas Dan Sosial

Ekonomi politik Kesehatan dan Pendidikan Masyarakat daPenrtanian daLingnkungan


·Harga pengan dan perawatankesehatan ·Akses terhadap bud.aya sister pa·Infrasatrunktur
kebijakan dagang, Akses menuju pusat pendidikan yang ·Kepercayaan dan ·Produksi dan dan
·Kebijakan pemasaran pelayanan kesehatan, berkualitas, pengolahan pelayanan
·Stabilitas politik, Penyedia pelayanan ·Tenaga pendidik yang Jaringan pangan, sanitasi dan
·Kemiskinan, Pendapata kesehatan yang berkualitas, dukungan sosial, ·Ketersediaan
n dan tingkat berkualitas, ·Status kesehatan ·Pengasuh (orang makanan Perubahan
kesejahteraan, Ketersediaan suplai pendidik yang tua dan non• sumber zat gizi ikdim,
·Pelayanan jasa fasilitas pelayanan berkualitas, orang tuaa), mikro, ·Kepadatan
keuangan kesehatan, ·Infrastruktur (sekolah ·Status/derajat ·Keamanan dan penduduk,
Pekerjaan dan mata Infrastruktur, dan institusi sosial kualitas ·Urbanisasi
pencaharian Sistem dan kebijakan pelatihan) makanan. Bencana

Gambar 2.1 Framework Stunting (Sumber: WHO, 2013)

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO 15


PENYEBAB STUNTING
Stunting disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:
1) Faktor rumah tangga dan keluarga;
2) Pemberian makanan pendamping yang tidak men-
cukupi;
3) Pemberian asi;
4) Infeksi;
5) Faktor kontekstual: komunitas dan sosial (WHO,
2013).

FAKTOR RUMAH TANGGA DAN KELUARGA


Framework stunting WHO menunjukkan bahwa
ada dua bagian besar dari faktor rumah tangga dan ke•
luarga yang menyebabkan stunting yaitu faktor ibu
dan lingkungan rumah.

Faktor lbu (Maternal factors)


Ibu memegang peran penting dalam menyebab•
kan stunting. Ada delapan faktor ibu yang diidentifi•
kasi WHO sebagai penyebab stunting di Dunia. Hal ini
terjadi melalui dua tahapan yaitu di dalam kandungan
(in utero) dan setelah lahir (postnatal). Faktor penyebab
dalam kandungan yaitu: infeksi pada ibu, ibu hamil di
usia remaja, ibu yang memiliki perawakan pendek
(Sinha, et al., 2017), dan jarak kehamilan terlalu dekat.
Kurang• nya nutrisi ibu sebelum dan selama kehamilan
merupa• kan indikator potensial. Faktor ibu yang
mempengaruhi stunting pada balita setelah lahir adalah
kurang nutrisi selama menyusui, dan kesehatan
mental (Wirth, et al.,

16 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


2017). Berdasarkan literature review yang dilakukan Beal,
et.al., (2017) hanya beberapa faktor ibu yang menjadi
penyebab stunting di Indonesia. Faktor-faktor tersebut
yaitu:1) Status gizi buruk selama masa pra kehamilan,
kehamilan dan menyusui (poor nutrition during pre•
conception, pregnancy, and lactation); 2) Perawakan ibu
pendek (short maternal stature); 3) Ibu hamil di usia
remaja (adolescent pregnancy); 4) IUGR dan kelahiran
prematur (IUGR and preterm birth).
❖ Status gizi buruk selama masa Pra kehamilan,
ke•
hamilan dan menyusui (Poor nutrition during
pre•
conception, pregnancy and lactation)
Kebutuhan nutrisi meningkat selama masa
keha• milan dan menyusui. Hal ini dibutuhkan
untuk men• dukung pertumbuhan janin dan
produksi ASL Ibu hamil membutuhkan 13 % energi
lebih tinggi selama masa kehamilan dan 25% lebih
tinggi selama masa menyusui. Selama masa
kehamilan dan menyusui, ibu membutuhkan 54
% protein lebih tinggi dari perempuan yang tidak
hamil dan menyusui. Semen• tara ibu hamil
membutuhkan >50% beberapa zat gizi mikro
seperti: asam folat, zat besi sedangkan ibu
menyusui membutuhkan >50% vitamin A,
vitamin C, vitamin B6, yodium dan zinc (Dewey,
2016). Sta• tus gizi sebelum ibu hamil, serta asupan
energi dan nutrisinya, sejak dini memengaruhi
pertumbuh• an dan perkembangan janin (Stewart,
et al., 2013). Kurang nutrisi selama prakonsepsi
dan kehamilan bukanlah hal dapat diukur tetapi
mewakili berbagai indikator potensial. Kekurangan
vitamin A, vitamin E, seng, kalsium dan yodium
dalam rahim cende•
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 17
rung memiliki konsekuensi yang merugikan. Nutrisi
yang buruk selama prakonsepsi dan kehamilan me•
rupakan faktor penyebab stunting (Young et, el.,
2018). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
gizi buruk selama menyusui berhubungan dengan
stunting. Urueta et al. (2003) menemukan bahwa
di Wilayah Oromia Ethiopia, anak-anak berusi 5-11
bulan yang ASI ibunya memiliki konsentrasi seng
yang rendah lebih pendek dibandingkan anak-anak
dari ibu dengan kadar seng yang normal pada ASI
ibunya. Penelitian RCT terbaru yang dilakukan
Dhaded, et al. (2020) melalui intervensi suplemen
nutrisi komprehensif selama 3 bulan kehamilan me•
ningkatkan panjang badan lahir, dan menurunkan
stunting hingga 44 % dibandingkan kelompok kontrol
di Asia Selatan yaitu India dan Pakistan. Beberapa
pilihan dapat dilakukan yaitu meningkatkan diet
ibu hamil dan menyusui dan bayinya melalui diet
diversifikasi, meningkatkan makanan kaya nutrisi,
meningkatkan makanan pendamping, suplemen
gizi mikro, dan makanan fortifikasi (Dewey, 2016).
Laporan riskesdas 2018 (p.519) menunjukkan bahwa
prevalensi ibu hamil yang mengalami kurang energi
kronis (lingkar lengan atas/ LiLA <23,5cm) sebesar
17,3% dengan prevalensi tertinggi di Provinsi NTT
yaitu 36,8%, sebanyak 33,5% merupakan kelompok
umur 15-19 tahun.

❖ Perawakan ibu pendek (Short maternal stature)


Ibu yang pendek berhubungan dengan kejadian
stunting pada balitanya. Beberapa studi di
Indone-

18 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


sia menemukan hubungan yang moderat hingga
kuat antara ibu yang pendekdengan kejadian
stunting pada anak. Ibu yang memiliki tinggi badan
<145cm akan berisiko 2,32 kali memiliki anak
stunting dibanding ibu yang lebih tinggi (Beal et al,
2018). Hasil penelitian Beal et al. (2019) di Vietnam
juga menunjukkan bahwa Ibu yang memiliki tinggi
badan <145cm akan berisiko 2,04 kali memiliki anak
stunting dibanding ibu yang memiliki tinggi badan
2150cm. Berhe, Seid, Gebremariam, Berhe dan Etsay
(2019) melalui penelitian case control di Etiophia me•
nemukan bahwa anak usia 6-24 bulan yang lahir
dari ibu dengan tinggi badan <150 cm lebih berisiko
(4,2 kali) dibanding yang lahir dari ibu yang lebih
tinggi. Laporan riskesdas 2018 (p.521)
menunjukkan bahwa prevalensi tinggi badan
berisiko (TB <150cm) pada ibu harnil di Indonesia
sebesar 30,5 % . Prevelensi tertinggi berada di
Provinsi Sulawesi Barat (55,3%). Kondisi ibu
sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat
badan dan tinggi badan) dan gizi me• rupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi ter• jadinya
stunting. Remaja putri sebagai calon ibu masa
depan seharusnya memiliki status gizi yang baik.
Pada tahun 2017, persentase remaja putri
dengan kondisi pendek dan sangat pendek mening•
kat dari tahun sebelurnnya, yaitu 7,9% sangat pendek
dan 27,6% pendek.
❖ Infeksi (infection)
Ibu yang mengalami malaria, cacingan dan HIV
se•
lama kehamilan dapat menghambat
pertumbuhan
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 19
janin dan rnenyebabkan stunting pada anak di ke•
rnudian hari (Wirth, 2017).

❖ lbu hamil di Usia remaja (Adolescent pregnancy)


Hasil penelitian rnenunjukkan hubungan
yang cukup erat antara ibu yang berusia lebih
rnuda dan stunting pada anak. Tiga penelitian
cross-sectional rnenunjukkan hubungan yang
rnoderat antara usia ibu yang lebih rnuda dan
stunting (Best et al., 2008; Sernba et al., 2011;
Sernba, Kalrn, et al., 2007; Beal et al, 2018). Dalarn
penelitian ini, peluang perernpu• an <24 tahun
untuk memiliki anak stunting ada• lah antara
1,09 dan 1,23 lebih besar dari wanita 233 tahun.
Hasil penelitian Workicho, et al., (2019) pada
1423 ibu di Ethiopia rnenunjukkan bahwa ibu
hamil di usia remaja tidak berhubungan dengan
perturn• buhan linear anak. Dari data Riskesdas
tahun 2013, diketahui proporsi keharnilan pada
remaja usia
10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun
se• besar 1,97%. Proporsi keharnilan pada remaja
lebih banyak terdapat di perdesaan daripada
perkotaan. Sedangkan rnenurut data Susenas tahun
2017, hasil survei pada perernpuan berurnur 15-
49 tahun di• ketahui bahwa 54,01 % hamil
pertama kali pada usia di atas 20 tahun (usia ideal
keharnilan). Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama
kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-
18 tahun, dan 6,21 % pada usia 16 tahun ke bawah.
Hal ini rnenunjukkan bahwa setengah dari
perernpuan yang pernah hamil di Indonesia
rnengalarni keharnilan pertarna pada usia rnuda
atau remaja (Pusat Data dan Inforrnasi
20 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
Kemeterian Kesehatan RI, 2018).

❖ lbu memiliki masalah Kesehatan mental


(Mental
health)
Penelitian menunjukkan ada hubungan antara
gang• guan mental (WHO 1994) dan stunting di
negara• negara Asia seperti India, Vietnam dan
Bangladesh tetapi tidak ada hubungan antara
kesehatan mental dengan stunting di Peru atau
Ethiopia (Wirth et al,
2017). Hasil penelitian community based cross sectional
terkini yang dilakukan Girma, Fikadu dan Abdisa
(2019) di daerah pedesaan Etiophia bagian barat
menunjukkan ada hubungan ibu yang mengalami
gangguan mental dengan kejadian stunting pada
anak. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa ibu yang mengalami gangguan mental
berisiko 3 kali (AOR=3.24, 95% CI, 1.14 to 9.21) lebih
besar memiliki anak stunting dibanding ibu yang
tidak mengalami gangguan mental. Belum
ditemukan bukti penelitian di Indonesia mengenai
hubungan kesehatan mental dengan stunting pada
balita.
❖ IUGR dan kelahiran prematur (IUGR and
preterm birth)
Intrauterine growth restriction (IUGR) adalah suatu
kondisi di mana berat badan janin berada pada
rentang lebih rendah dari usia kandungan. Kondisi
ini juga dikenal dengan istilah pertumbuhan janin
terhambat, dan dapat diketahui melalui pemerik•
saan USG. Sedangkan kelahiran prematur adalah
kelahiran sebelum usia kehamilan mencapai
37
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 21
minggu. Hasil penelitian Mulki dan Sharma (2014)
menunjukkan kejadian IUGR di Indonesia mencapai
8%. Penelitian yang dilakukan di Tanzania terhadap
37.409 balita menunjukkan bayi yang lahir dengan
BBLR lebih berisiko 2,14 kali mengalami stunting
dibandingkan bayi yang lahir dengan berat lahir
normal (Sunguya, Zhu, Mpembeni & Huang, 2019).
Berhe, Seid, Gebremariam, Berhe dan Etsay (2019)
melalui penelitian kasus kontrol di Etiophia mene•
mukan bahwa anak usia 6-24 bulan yang
lahir dengan berat lahir rendah <2,5 kg lebih
berisiko (5,3 kali) dibanding anak usia 6-24 bulan
dengan berat lahir normal.
❖ Jarak kelahiran antar anak singkat (Short
birth spacing)
Di Ethiopia dan banyak negara berkembang
lain•
nya, interval jarak kelahiran <24 bulan dikaitkan
dengan prevalensi stunting yang secara signifikan
lebih tinggi (Maleta et al. 2003; Mukuria et al. 2005;
Wirth, 2017). Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pe• layanan Kontrasepsi, serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang
memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu
muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan
terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu
yang terlalu muda (di bawah
20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR
mempengaruhi
22 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
sekitar 20% dari terjadinya stunting (Pusat Data dan
Inforrnasi Kerneterian Kesehatan RI, 2018).
❖ Hipertensi (Hypertension)
Hipertensi ibu terrnasuk dalarn framework WHO
karena pengaruhnya terhadap kelahiran, seperti ke•
lahiran prernatur, lahir rnati dan berat badan lahir
rendah (Thangaratinarn et al. 2012). Belurn diternu•
kan adanya hubungan antara hipertensi dengan
stunting di Indonesia.

Lingkungan Rumah (Home environment)


Sub elem.en lingkungan rum.ah yang dirnaksud
adalah kurangnya stirnulasi dan aktivitas anak, praktik
perawatan yang buruk, praktik perawatan atau peng•
asuhan yang buruk, Kurangnya persediaan air dan sani•
tasi yang tidak rnernadai, kerawanan pangan, alokasi
pangan dalam rum.ah tangga yang tidak sesuai, dan pen•
didikan pengasuh yang rendah. Penelitian di Indonesia
telah rnernbuktikan bahwa anak stunting berhubung•
an dengan praktik perawatan yang buruk, sanitasi dan
persediaan air yang tidak rnernadai, kerawanan pangan,
dan pendidikan pengasuh yang rendah (Beal, et al.,
2018).
❖ Kurangnya stimulasi dan aktivitas pada anak
(Inadequate child stimulation and activity)
Hanya ada sedikit bukti ilrniah yang rnenghubung•
kan antara tidak rnernadainya stirnulasi anak
dengan perturnbuhan anak yang buruk. Sernentara
bebe• rapa penelitian rnenunjukkan stirnulasi
psikososial dapat meningkatkan perkernbangan
mental dan rnotorik (Wirth, et al., 2017).

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 23


❖ Praktik pengasuhan anak yang buruk (Poor
care practices)
Sebuah penelitian cross-sectional melaporkan hu•
bungan antara praktik pengasuhan anak yang buruk
dan stunting pada anak miskin perkotaan 6-
59 bulan, tetapi itu tidak mengungkapkan
kekuatan hubungan (Bardosono et al., 2007; Beal, et
al., 2018). Gibson & Mace (2005) menemukan
bahwa nenek yang membantu anak perempuan
mereka yang me• miliki rumah tangga dengan
banyak tugas atau kerjaan, ternyata anak-anak
<16 tahun dari keluarga tersebut lebih tinggi
dibanding anak lainnya di Oromia-Ethiopia. Wirth
et al (2017) berspekulasi bahwa dengan
mengurangi beban kerja ibu, nenek
memungkinkan para ibu untuk menggunakan lebih
banyak waktu untuk merawat anak-anak mereka,
yang hasil akhirnya meningkatkan status nutrisi
anak-anak tersebut.
❖ Sanitasi dan suplai air kurang baik
(Inadequate sanitation and water supply)
Pada tahun 2017, sebanyak 72,04% rumah tangga
di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air
minum layak. Provinsi dengan persentase tertinggi
adalah Bali (90,85% ), sedangkan persentase
terendah adalah Bengkulu (43,83%). Masih
terdapat 20 pro• vinsi yang di bawah persentase
nasional.Sumber air minum layak yang dimaksud
adalah air minum yang terlindung meliputi air
ledeng (keran), keran umum, hydrant umum,
terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau
mata air dan sumur terlindung,
24 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
sumur bor atau pompa, yang jaraknya minimal 10
meter dari pembuangan kotoran, penampungan
limbah, dan pembuangan sampah. Tidak termasuk
air kemasan, air dari penjual keliling, air yang di•
jual melalui tangki, air sumur dan mata air tidak
terlindung. Rumah tangga yang memiliki sani tasi
layak menurut Susenas adalah apabila fasilitas sa•
nitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehat•
an, antara lain dilengkapi dengan jenis kloset leher
angsa atau plengsengan dengan tutup dan memi•
liki tempat pembuangan akhi r tinja tangki (septic
tank) atau Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL),
dan merupakan fasilitas buang air besar yang di•
gunakan sendiri atau bersama. Persentase rumah
tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indo•
nesia tahun 2017 adalah 67,89%. Provinsi dengan
persentase tertinggi adalah DKI Jakarta (91,13%), se•
dangkan persentase terendah adalah Papua (33,06%
) (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2018). Penelitian yang dilakukan
Bardosono et al. (2007) juga menemukan
hubungan antara sani• tasi lingkungan rumah
tangga miskin (fasilitas jamban yang tidak
memadai) dengan stunting pada anak-anak
pedesaan 6-59 bulan. Air minum yang tidak
terawat berhubungan dengan peningkatan
peluang stunting pada anak-anak 0-59 bulan di per•
kampungan kumuh perkotaan (Semba et al., 2009).
Selain itu hasil penelitian cross-sectional yang di•
lakukan Torlesse, Cronin, Sebayang, dan
Nandy (2016) menunjukkan bahwa anak-anak 0-
23 bulan
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 25
hidup dalam rumah tangga dengan air minum
yang tidak diolah memiliki peluang yang jauh lebih
tinggi untuk mengalami stunting jika rumah tangga
juga menggunakan jamban yang tidak diperbaiki
(OR=3,47, 95% CI [1,73, 7.28]) (Beal, et al., 2018).

❖ Kerawanan pangan (Food insecurity)


Kerawanan pangan berhubungan dengan anak
stunting dalam sebuah penelitian cross-sectional. Pe•
nelitian yang dilakukan oleh Ramli et al (2009) me•
nemukan kemungkinan lebih rendah terjadinya
stunting (OR: 0,70, 95% CI [0,50, 0,99]) pada
anak• anak 0-23 bulan di rumah tangga yang makan
lebih dari dua kali sehari (Beal, et al., 2018).
Kerawanan pangan rumah tangga dapat secara
masuk akal me• mengaruhi stunting melalui dua
cara: (1) dengan berkontribusi pada pertumbuhan
rahim yang buruk dengan memengaruhi asupan
makanan ibu selama kehamilan; dan (2) dengan
membatasi asupan ma• kanan dan kualitas diet
anak (dari ASI dan/ atau makanan pendamping)
dan dengan demikian mem• batasi pertumbuhan
(Wirth, et al., 2017).
❖ Alokasi pangan dalam rumah tangga yang
tidak sesuai (Inappropriate intra-household food
allocation)
Makanan mungkin tersedia di rumah tangga tetapi
dialokasikan secara istimewa untuk anggota ter•
tentu, hal ini membawa dampak yang berbahaya
bagi kelompok usia / gender yang rentan (Steward
et al., 2013). Misalnya, remaja laki-laki
kadang•
26 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
kadang diberikan porsi makan yang lebih besar di•
bandingkan dengan gadis remaja di rumah tangga
rawan pangan. Namun, literatur review tidak me•
nemukan bukti kuat berhubungan dengan dampak
negatif pada perempuan dalam hal alokasi makan•
an dalam rumah tangga (Berti 2012).
❖ Pendidikan pengasuh yang rendah (Low caregiver
education
)
Pendidikan pengasuh yang rendah, khususnya pen•
didikan ibu,sangat berhubungan dengan stunting
pada anak dalam banyak penelitian. Bardosono et
al. (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi
ibu yang tidak tepat dan pendidikan ayah yang
rendah terkait dengan stunting pada anak-anak
miskin perkotaan 6-59 bulan antara tahun 1999 dan
2001, segera setelah krisis ekonomi pada tahun 1999.
Empat penelitian menemukan hubungan antara
pen• didikan ibu dengan stunting pada anak tetapi
tidak melaporkan pendidikan ayah dalam analisis
me• reka (Berger et al., 2007; Fernald, Kariger,
Hidrobo,
& Gertler, 2012; Oddo et al., 2012; Schmidt et
al.,
2002). Tiga penelitian melaporkan hubungan antara
pendidikan ayah dan ibu dengan stunting pada
anak tetapi tidak menentukan asosiasi mana yang
lebih kuat (Sari et al., 2010; Semba et al., 2011;
Semba, Kalm, et al., 2007). Secara umum,
kemungkinan stunting anak lebih tinggi jika semakin
rendah tingkat pendidikan orang tua. Peluang
terjadinya stunting biasanya sekitar dua kali lebih
tinggi untuk anak• anak dari orang tua dengan
pendidikan terendah
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 27
dibandingkan dengan yang tertinggi (Beal, et al.,
2018). Pendidikan pengasuh atau ibu yang rendah
dapat menin gkatkan prevalensi stunting (Wirth,
et al, 2017; Nshimyiryo et al, 2019; Gunardi, et al.,
2017). Penelitian yang dilakukan Sunguya, Zhu,
Mpembeni dan Huang (2019). Di Tanzania juga
menujukkan bahwa pengasuh yang berpendidik•
an lebih tinggi memiliki risiko lebih kecil (AOR =
0.56, P = 0.018) balitanya mengalami stunting jika
dibandingkan dengan pendidikan pengasuh yang
lebih rendah (Beal, et al., 2018).

PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING YANG


TIDAK MENCUKUPI (INADEQUATE COMPLE•
MENTARY FEEDING)
Ada tiga faktor pemberian makanan pendamping
yang tidak mencukupiyang diidentifikasi WHO sebagai
penyebab stunting di dunia yaitu: l)Buruknya Kualitas
Pangan; 2) Praktik pemberian makanan yang tidak se•
suai; 3) Keamanan makanan dan air kurang terjaga.
Salah satu penyebab penting stunting adalah pemberi•
an makanan pendamping yang tidak memadai (WHO,
2013). WHO membagi pemberian makanan
tambahan
menjadi tiga sub-bagian yang terkait dengan makanan
berkualitas rendah, praktik pemberian makan yang
tidak memadai serta keamanan makanan dan air.
Asupan nutrisi yang tidak memadai selama masa
kanak-kanak diakui sebagai faktor penyebab kegagalan
pertumbuhan (Wirth, et al, 2017).

28 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Buruknya Kualitas Pangan (Poor quality
foods)
Buruknya kualitas pangan dinilai dari beberapa
aspek yaitu:
❖ Kandungan zat gizi mikro yang rendah (Poor
micro•
nutrient quality)
❖ Makanan tidak beragam dan kurang sumber protein
hewani (Low dietary diversity and intake of animal•
source foods)
❖ Kandungan makanan tidak bergizi (Anti-nutrient
content)
❖ Makanan pendamping yang memiliki kandungan
energi rendah (Low energy content of
complementary foods)
Ada 7 kelompok makanan beragam yaitu: 1) serea•
lia dan umbi-umbian, 2) kacang-kacangan, 3) susu dan
olahannya (yogurt, susu, keju dll), 4) makanan daging
(termasuk ikan, ayam, daging, hati dll), 5) telur, 6) sayur
dan buah sumber vitamin Adan 7) sayur dan buah
lainnya. Proporsi Makanan Beragam yang dikonsumsi
anak umur
6-23 bulan hanya 46,6%. Anak yang mengkonsumsi ma•
kanan beragam lebih tinggi di Kota (52,2%) daripada
di Desa (40,8%) (Riskesdas, 2018, p.537-539). Pedoman
MP-ASI WHO/Unicef: Setiap bayi 6-23 bulan
mengon• sumsi sekurangnya 4 kelompok jenis
makanan (dari 7 kelompok bahan makanan) dengan
frekuensi minimal
3x sehari (minimum acceptable diet). Pemberian
makanan
tambahan (PMT) untuk balita merupakan suplementasi
gizi dalam bentuk makanan tambahan dengan formu•
lasi khusus dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 29
dengan sasaran kelompok balita untuk pemulihan
atau pemenuhan status gizi (Kementerian Kesehatan
RI, 2017). Dalam Riskesdas 2018, makanan tambahan
untuk balita merujuk pada seluruh makanan tambah•
an yang diberikan ketika posyandu (PMT penyuluhan);
makanan tambahan khusus diberikan untuk balita
kurus yang diberikan selama 90 hari makan (PMT
pemulihan); makanan tambahan yang diperoleh dari
bantuan pihak lain, seperti sumbangan dari LSM/
perusahaan atau pihak tertentu yang sedang
melakukan kegiatan tertentu atau promosi produk
tertentu. Proporsi Anak umur 6-59 bulan memperoleh
PMT dan PMT Program di Indonesia mencapai 41,0%;
dan 58,3% (Riskesdas, 2018). Penelitian tentang
pemberian makanan pendamping di Indonesia hampir
secara eksklusif berfokus pada makanan ber• kualitas
rendah (termasuk intervensi suplementasi dan
fortifikasi). Rumah tangga tanpa menyediakan
makanan sesuai umur, termasuk makanan yang tidak
beragam dan frekuensi yang tidak sesuai-
berhubungan dengan pe• ningkatan kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan. Rumah tangga di kuintil
tertinggi untuk pengeluaran makanan bersumber
hewani, berhubungan dengan pe• nurunan
kemungkinan kejadian stunting pada anak• anak
miskin di perkotaan (Sari, et al., 2010; Beal et al.,
2018). Dalam penelitian terbaru, rumah tangga tanpa
pemberian makan yang sesuai usia (diet minimum, tidak
beragam, frekuensi kurang) berhubungan dengan pe•
ningkatan kemungkinan stunting pada anak-anak 0-23
bulan (OR 1,39,95% CI [1,09, 1,77]; Torlesse et al., 2016).
Semba et al. (2011) menemukan bahwa asupan
multiple
30 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
mikronutrien (MMN) - susu yang difortifikasi berhu•
bungan dengan penurunan kemungkinan stunting pada
anak-anak 6-59 bulan di daerah pedesaan dan perkota•
an.

Praktik pemberian makanan yang tidak


sesuai
(Inadequate practices)
Pemberian makanan yang tidak sesuai meliputi:
❖ Frekuensi pemberian rendah (Infrequent
feeding)
❖ Pemberian makanan yang kurang selama dan
setelah sakit (Inadequate feeding during and after
illness)
❖ Konsistensi makanan yang lembek terus menerus
(Thin food consistency)
❖ Memberi makan dalam jumlah yang tidak
men•
cukupi (Feeding insufficient quantities)
❖ Pemberian makanan yang tidak responsif
(Non•
responsive feeding)

Penelitian terbaru di daerah pedesaan bagian barat


Pulau Madura Indonesia menunjukkan konsumsi suple•
men nutrisi yang menyediakan nutrisi mikro dan makro
selama lebih dari 6 bulan mengurangi kejadian stunting
pada bayi 6-12 bulan dibandingkan dengan kelompok
kontrol (Muslihah, Khomsan, Briawan, & Riyadi,
2016; Beal, et al., 2018). Aitchison, Durnin, Beckett, dan
Pollitt (2000) menemukan bahwa pemberian suplemen
dengan energi ( 280 kkal) dan zat besi (12 mg)
hanya sedikit meningkatkan tinggi badan pada anak-
anak berusia 12 bulan dan 18 bulan setelah 6 bulan
intervensi. Analisis dari program pemberian makanan
tambahan yang ter• jadi setelah krisis keuangan
1997-1998 menemukan

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 31


bahwa anak-anak 12-24 bulan yang terlibat dalam pro•
gram selama setidaknya 12 bulan selama 2 tahun meng•
alami penurunan 7% stunting dan 15 % severy stunting
dibandingkan dengan kelompok kontrol (Giles &
Satriawan, 2015). Terakhir, konsumsi buah dan biskuit
sedikit meningkatkan panjang dan HAZ pada bayi 0-
12 bulan dalam RCT oleh Schmidt et al. (2002).

Keamanan makanan dan air kurang terjaga (Food and


water safety)
❖ Makanan dan minuman terkontaminasi
(Contami•
nated food and water)
❖ Buruknya praktik kebersihan makanan dan air
(Poor hygiene practices)
❖ Penyimpanan dan penyiapan makanan yang tidak
aman (Unsafe storage and preparation offoods)

RCT di empat lokasi di Asia Tenggara - dua di


antaranya berada di Indonesia - menemukan bahwa
su• plementasi seng dan bukan suplementasi zat besi
diberi• kan kepada anak-anak 4-6 bulan selama 6 bulan
meng• hasilkan peningkatan HAZ 0,17 cm hanya
pada bayi anemia (Dijkhuizen et al., 2008).
Sebaliknya, Fahmida et al. (2007) melakukan double-
blind RCT dan mene• mukan bahwa di antara anak-
anak yang awalnya ter• hambat 3-6 bulan, Suplementasi
6 bulan dengan zat besi
+ seng atau besi + seng + vitamin A
mengakibatkan
peningkatan panjang 1 cm dibandingkan dengan
plasebo dan suplementasi dengan seng saja. Dalam
studi cross• sectional, menerima suplemen vitamin A
dalam 6 bulan sebelumnya secara sederhana
berhubungan dengan ber-
32 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
kurangnya peluang terhambatnya pertumbuhan pada
anak-anak pedesaan yang berusia 6-59 bulan (Semba et
al., 2011). Studi yang sama menemukan ada hubungan
yang sedikit lebih kuat antara rumah tangga yang
menggunakan garam beryodium dengan stunting pada
anak di daerah pedesaan (Semba et al., 2011). Semba, de
Pee, Hess, et al. (2008) menemukan bahwa rumah
tangga dengan garam beryodium cukup secara
signifikan ber• hubungan dengan prevalensi stunting
yang lebih rendah pada anak-anak 0-59 bulan -- 2,1% di
daerah kumuh per• kotaan dan 5,2% di daerah pedesaan.
Pembelian air minum yang murah berhubungan
dengan peningkatan kemungkinan stunting pada anak•
anak 0-59 bulan di daerah kumuh perkotaan (Semba et
al., 2009). Beberapa praktik pemberianmakan yang
belum diteliti hubungabnnya dengan stunting di
Indonesia yaitu: pemberian makanan yang tidak
mencukupi selama dan setelah sakit, makanan dengan
konsistensi yang encer, pemberian makanan dalam
jumlah yang tidak men• cukupi, dan pemberian
makanan yang tidak responsif. Keamanan Makanan
dan Air yang belum diteliti hu• bungannya dengan
stunting yaitu: kontaminasi air dan makanan,
buruknya praktik kebersihan makanan dan air,
penyimpanan dan penyiapan makanan yang tidak
aman (Beal, et al, 2018).

PEMBERIAN ASI
(BREASTFEEDING)
Pemberian ASI dapat menyebabkan stunting mela•
lui praktik yang tidak Sesuai (Inadequate practices) dalam
pemberian ASL Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir
Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 33
tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan•
nya termasukrisiko terjadinya stunting. Tidak terlaksana•
nya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian
air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini
dapat menjadi faktor terjadinya stunting.
❖ Inisiasi menyusu yang tertunda (Tidak
melakukan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ketika bayi
lahir)
(Delayed initiation)
IMD adalah kontak antara kulit ibu dengan kulit
bayi sesegera mungkin dalam jangka waktu 1 (satu)
jam setelah bayi dilahirkan. Bayi yang baru lahir
diletakkan di dada/ perut ibu dengan kulit ibu me•
lekat pada kulit bayi (tanpa penghalang apapun).
Indikator ini didasarkan pada riwayat (historic recall).
Proporsi Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada anak
0-23 bulan sebanyak 58,2% dan Lama IMD pada
anak 0-23 bulan kurang dari 1 jam mencapai 84,1
%. Sedangkan Proporsi Waktu mulai menyusu
pada anak 0-23 bulan <1jam sebanyak 28,4%; 1-6
jam se• banyak 43,5% dan 248 jam sebanyak
15,7%. Pro• porsi perilaku ibu terhadap kolostrum
pada anak umur 0-23 yaitu diberikan semua
sebanyak 85,4%; dibuang sebagaian sebesar 6,9%
dan dibuang semua sebesar 3,7% (Rikesdas, 2018).
Pada tahun 2017, se• cara nasional persentase bayi
baru lahir yang men• dapat IMD sebesar 73,06%,
artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia
sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi
dengan persentase ter• tinggi bayi baru lahir
mendapat IMD adalah Aceh (97,31 % ) dan provinsi
dengan persentase terendah adalah Papua (15%)
(Pusat Data dan Informasi Ke-
34 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
meterian Kesehatan RI, 2018). Penelitian Torlesse et
al. (2016) menunjukkan tidak ada hubungan antara
pemberian ASI 1 jam setelah lahir dengan penu•
runan stunting pada anak 0-23 bulan. Penelitian
di Uganda menunjukkan bahwa inisiasi menyusui
yang tertunda tidak berhubungan dengan stunting
(Engebretsen et al. 2007).
❖ Tidak ASI ekslusif (Non-exclusive breastfeeding)
(Tidak melakukan pemberian ASI ekslusif
selama
6 bulan pertama)
Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eks•
klusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase
tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terda•
pat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan
persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%).
Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasio•
nal. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan
pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan
(Pusat Data dan Informasi Kemeterian Kesehatan
RI,
2018). Proporsi pemberian ASI eksklusif pada
bayi
0-5 bulan di Indonesia mencapai 74,5 %
(Riskesdas
2018). Hal ini berarti ada peningkatan pemberian
ASI eksklusif. Torlesse et al. (2016) menemukan
hubungan moderat antara pemberian makan yang
sesuai dengan usia, yang juga mencakup pemberi•
an ASI eksklusif pada anak-anak 0-5 bulan dengan
penurunan stunting pada anak. Bayi harus menda•
patkan ASI Eksklusif (ASI saja) selama 6 bulan
dan ASI dengan makanan pendamping ASI
selama 2 tahun. Penelitian yang dilakukan
Lestari, Hasanah

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 35


dan Nugroho (2018) menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara anak yang tidak mendapat•
kan ASI-eksklusif dan berat badan lahir rendah
dengan stunting. Penelitian yang dilakukan di Tan•
zania terhadap 37.409 balita menujukkan bahwa Ibu
yang tidak memberikan ASI eksklusif secara teratur
lebih berisiko 3,46 kali dan tidak ASI eksklusif lebih
berisiko 4,29 kali balitanya mengalami stunting
(Sunguya, Zhu, Mpembeni & Huang, 2019).

❖ Penghentian menyusui dini (Early cessation


of breastfeeding) (Penghentian proses menyusui
se• belum usia 2 tahun)
Menyusui dini pada anak umur 0-23 bulan di Indo•
nesia mencapai 78,8% sementara ibu yang tidak
memberikan ASI sebagian besar (65,7%) karena ASI
tidak keluar (Riskesdas 2018). Anak yang disapih
sebelum 6 bulan jauh lebih tinggi peluang terham•
batnya pertumbuhan (OR: 3.16, 95% CI [1.91, 523].
Penyapihan sebelum 6 bulan dapat menyebabkan
stunting melalui beberapa cara yaitu asupan energi
yang tidak adekuat, kurangnya nutrisi dan tidak
adanya imunitas pasif dari ASI (Steward, et al.,
2013).

INFEKSI (INFECTION)
Infeksi Klinis dan Sub-Klinis (Clinical and
subclinical infection)
❖ Infeksi Enterik: diare, enteropati lingkungan, pe•
nyakit yang disebabkan oleh cacing (Enteric
infec-

36 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


tion: Diarrhoeal disease, environmental enteropathy,
helminths)
❖ Infeksi pernafasan (Respiratory infections)
❖ Malaria (Malaria)
❖ Penurunan nafsu makan karena infeksi (Reduced
appetite due to infection)
❖ Radang (Inflammation)
❖ Demam (Fever)
❖ Vaksin tidak lengkap atau tidak divaksin (partial or
no receipt of vaccines)
Dari penyakit-penyakit tersebut, hanya infeksi sa•
luran pernapasan dan satu jenis infeksi enterik (pe•
nyakit diare) dibahas di literatur dan ditemukan terkait
dengan stunting pada anak. Namun, literatur meng•
ungkapkan faktor penentu yang tidak secara khusus
tercantum dalam kerangka kerja WHO yaitu demam
dan vaksin yang tidak lengkap atau tidak mendapatkan
vaksin berhubungan dengan stunting (Beal, et al, 2018).
Bardosono et al. (2007) melaporkan bahwa penyakit me•
nular termasuk penyakit diare, infeksi saluran perna•
pasan, dan demam berhubungan dengan stunting pada
anak-anak 6-59 bulan yang tinggal di daerah miskin kota
dan pedesaan. Semba et al. (2011) menemukan hubung•
an yang cukup kuat antara diare dalam 7 hari terakhir
dan stunting pada anak-anak 6-59 bulan, terutama di
daerah pedesaan (OR: 1,30, 95% CI [1,22, 1,37]). Bebe•
rapa penyakit yang berhubungan dengan stunting
yaitu malaria, diare, cacingan dan infeksi pernapasan
(Wirth, et al, 2017). Hasil penelitian Gari, Loha, Garessa,
Solomon dan Lindtjorn (2018) menunjukkan
malaria

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 37


meningkatkan risiko stunting pada anak di Etiophia. Hal
ini sama dengan penelitian cross-sectional yang dilakukan
oleh Sakwe et al (2019) di bagian utara Kamerun bahwa
malaria merupakan salah satu prediktor terjadinya mal•
nutrisi pada anak [OR = 1.89, (95% CI: 1.12-3.19); (p
=
0.017)].

FAKTOR KONTEKSTUAL: KOMUNITAS DAN


SOSIAL
Faktor komunitas dan sosial adalah elemen kon•
tekstual dalam kerangka WHO. Subelemen
meliputi:
1) ekonomi politik (political economy); 2) kesehatan
dan perawatan kesehatan (Health and Healthcare); 3)
pendi• dikan (education); 4) masyarakat dan budaya
(Society and Culture); 5) Sistem pertanian dan pangan
(Agriculture and Food Systems); dan 6) air, sanitasi,
dan lingkung• an (Water, Sanitation and Environment).
Ekonomi politik mencakup: harga pengan dan
kebijakan dagang, ke• bijakan pemasaran, stabilitas
politik, kemiskinan, pen• dapatan dan tingkat
kesejahteraan, pelayanan jasa ke• uangan, pekerjaan
dan mata pencaharian. Kesehatan dan perawatan
kesehatan: akses menuju pusat pela• yanan
kesehatan, penyedia pelayanan kesehatan yang
berkualitas, ketersediaan suplai fasilitas pelayanan
ke• sehatan, infrastruktur, sistem dan kebijakan
pelayanan kesehatan. Pendidikan: akses terhadap
pendidikan yang berkualitas, tenaga pendidik yang
berkualitas, status kesehatan pendidik yang
berkualitas, infrastruktur (se• kolah dan institusi
pelatihan). Masyarakat dan budaya:
38 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
kepercayaan dan norma, jaringan dukungan sosial,
pengasuh (orang tua dan non-orang tuaa), status/ de•
rajat sosial perempuan. Sistem Pertanian dan pangan:
produksi dan pengolahan pangan, ketersediaan ma•
kanan sumber zat gizi mikro, keamanan dan kualitas
makanan. Lingkungan: infrastruktur dan pelayanan sa•
nitasi dan air, perubahan iklim, kepadatan penduduk,
urbanisasi dan bencana (Beal et al., 2018; Wirth et al.,
2017).

Penyebab Stunting Sesuai Framework WHO I 39


BAB3
CIRI STUNTING DAN CARA PENILAIAN
STATUS GIZI

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan
mampu:
❖ Memahami ciri-ciri stunting
❖ Memahami cara penilaian status gizi
❖ Memahami cara mengukur tinggi (anak yang
dapat berdiri) dan panjang badan (anak yang tidak
dapat berdiri)

CIRI-CIRI STUNTING
Menurut Kementerian kesehatan, ciri-ciri
stunting yaitu:
1. Tinggi badan menurut usianya di bawah minus 2
standar deviasi dari median Standar Pertumbuhan
AnakWHO.
2. Pertumbuhan melambat
3. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam,
tidak banyak melakukan kontak mata (eye contact)
4. Wajah tampak lebih muda dari usianya
5. Tanda pubertas terlambat
6. Pertumbuhan gigi terlambat
7. Performa buruk pada tes perhatian dan memori be•
lajar (Tim Indonesia Baik, 2019).

40
Gambar 3.1 Ilustrasi anak stunting (Sumber: Promkes.
kemenkes, 2020).

CARA PENILAIAN STATUS GIZI


Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat
badan (BB) dan tinggi badan/panjang badan (TB/PB).
Variabel BB dan TB/PB balita disajikan dalam bentuk
tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.
Untuk menilai status gizi balita, maka angka berat
badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke
dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku
antropo• metri balita WHO 2005. Selanjutnya
berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator
tersebut ditentu• kan status gizi balita dengan batasan
sebagai berikut:

Ciri Stunting dan Cara Penilaian Status Gizi I 41


Tabel 3.1 Klasifikasi status gizi

Indeks Status Gizi Z-score


BB/U Gizi lebih >2SD
Gizi baik -2SD s/d 2SD
Gizi kurang -3SD s/ d <-2SD
Gizi buruk <-3SD
TB/U Normal >-2SD
Pendek (stunted) -3 SD s/ d <-2SD
Sangat Pendek <-3SD
BB/TB Gemuk >2SD
Normal -2SD s/d 2SD
Kurus (wasted) -3SD s/ d < 2 SD
Sangat kurus <-3SD
Sumber: Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010

Indikatorstatus gizi berdasarkan indeks BB/ U


mem• berikan indikasi masalah gizi secara umurn.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang
masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena
berat badan ber• korelasi positif dengan umur dan
tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat
disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau
sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain
(masalah gizi akut).
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U mern•
berikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis se•
bagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama.
Misal• nya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan
asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama
sejak usia bayi, bahkan semenjak janin, sehingga
mengakibatkan anak rnenjadi pendek.

42 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB
memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut
sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu
yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah pe•
nyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang meng•
akibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB atau
IMT /U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan
gemuk. Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi
yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai
contoh adalah anak yang kurus dan pendek.

CARAMENGUKUR
TINGGIBADANDANPANJANG BADAN
Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi
badan dan lingkar lengan) sebenarnya sangat mudah
dilaku• kan namun sangat rawan terhadap bias dan
kesalahan data. Untuk menghindari bias dan kesalahan
data maka hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas
alat yang digunakan dan ketelitian pengukur dalam
melakukan pengukuran. Pada buku ini hanya akan
dijelaskan me• ngenai pengukuran tinggi badan
karena pengukuran tinggi atau panjang badan sangat
penting untuk menen• tukan stunting.
Pengukuran tinggi atau panjang badan tergantung
pada kemampuan anak. Pengukuran panjang badan
anak dilakukan pada posisi berbaring (recumbent) se•
dangkan tinggi badan diukur dalam posisi berdiri tegak.
Jika anak berusia kurang dari 2 tahun, ukurlah panjang
badan menggunakan posisi recumbent. Jika anak ber•
usia 2 tahun atau lebih dan dapat berdiri maka ukurlah

Ciri Stunting dan Cara Penilaian Status Gizi I 43


Gambar 3.2 Infantometer (WHO, 2008).

pada posisi berdiri tegak. Umumnya tinggi badan


yang diukur pada posisi berdiri lebih pendek 0,7 cm
dari po• sisi recumbent. Jika anak kurang dari 2 tahun,
tidak bisa berbaring untuk diukur panjang badannya
maka bila diukur pada posisi berdiri hams ditambah
0,7 cm. Se• baliknya jika seorang anak berusia 2 tahun
atau lebih tidak dapat diukur tinggi badan dalam
posisi berdiri maka ukurlah panjang badannya
dalam posisi recumbent namun hasil
pengukurannya dikurangi 0,7cm.
Papan yang digunakan untuk meng•
ukur panjang badan yaitu sebuah
papan panjang yang disebut infan•
tometer yang memiliki permukaan
rata dan stabil seperti sebuah meja.
Untuk mengukur tinggi juga
menggunakan bantuan papan
tinggi yang disebut stadiometer
(WHO,
2008).

Gambar 3.3 Stadiometer (WHO, 2008).

44 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


1. Anak yang dapat berdiri
a. Persiapan alat
1) Tempelkan alat pengukur pada bagian din•
ding dengan bagian yang lebih panjang me•
nempel di lantai dan bagian yang lebih
pendek menempel di tembok. Tarik meteran
pengukur ke atas hingga anda bisa melihat
angka O pada garis merah di kaca pengukur
yang menempel di lantai (anda harus ber•
lutut untuk melihat angka O ini sehingga
anda harus dibantu seseorang untuk
menahan ujung atas meteran pengukur).
Prosedur ini sangat penting untuk
memastikan pengukur• an yang akurat.
2) Tempelkan ujung atas alat pengukur dengan
menggunakan paku, pastikan kestabilan alat
teresbut
3) Setelah anda memastikan bahwa bagian atas
sudah menempel dengan stabil maka meter•
an alat pengukur dapat anda tarik ke atas dan
pengukuran tinggi siap dilakukan.
b. Prosedur pengukuran:
1) Mintalah ibu untuk melepaskan sepatu anak
dan melepaskan hiasan atau dandanan
rambut yang mungkin dapat mempengaruhi
hasil pengukuran tinggi badan anak. Minta•
lah ibu untuk membawa anak tersebut ke
papan ukur dan berlutut di hadapan anak.
Mintalah ibu agar berlutut dengan kedua
lutut di sebelah kanan anak.

Ciri Stunting dan Cara Penilaian Status Gizi I 45


2) Berlututlah anda dengan lutut sebelah kanan
di sebelah kiri anak tersebut. Ini akan mem•
berikan kesempatan maksimum kepada anda
untuk bergerak.
3) Tempatkan kedua kaki anak secara merata
dan bersamaan di tengah-tengah dan me•
nempel pada alat ukur/ dinding. Tempatkan
tangan kanan anda sedikit di atas mata kaki
anak pada ujung tulang kering, tangan kiri
anda pada lutut anak dan dorong ke arah
papan ukur/ dinding. Pastikan kaki anak lurus
dengan tumit dan betis menempel di papan
ukur/ dinding.
4) Mintalah anak untuk memandang lurus ke
arah depan atau kepada ibunya yang berdiri
di depan anak. Pastikan garis padang anak
sejajar dengan tanah. Dengan tangan kiri
anda peganglah dagu anak. Dengan perlahan•
lahan ketatkan tangan anda. J angan menu
tupi mulut atau telinga anak. Pastikan bahu
anak rata, dengan tangan di samping, dan
kepala, tulang bahu dan pantat menempel di
papan ukur/ dinding.
5) Mintalah anak untuk mengambil nafas
panjang. Dengan tangan kanan anda, turun•
kan meteran alat pengukur hingga pas di atas
kepala anak. Pastikan anda menekan rambut
anak. Jika posisi anak sudah betul, baca dan
catatlah hasil pengukuran dengan desimal
satu di belakang koma

46 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Tarik pengukur secara
perlahan
Pewawancara berlutut

Tangan di dagu

Sahu rata

lengan anak di
samping
Tangan kiri
di lutt

~ Tangan kanan di atas ounggung


kaki. T'ult merryentuh

2
lantai/tanah rata

Asisten/ibu berlutut

-- h
Kuesioner dan alat tulis ditaruh di
lantai atau tanal

Gambar 3.4 Cara mengukur anak dalam posisi berdiri


(http://microdata.worldbank.org/ index.php / catalog/
1049/ download/ 21036)

Ciri Stunting dan Cara Penilaian Status Gizi I 47


2. Anak yang tidak dapat berdiri sendiri
a. Persiapan alat
1) Tempelkan alat pengukur pada permuka•
an keras yang rata, dianjurkan meja panjang
atau tempat tidur dengan satu bagian me•
nempel di tembok. Tempelkan bagian alat pe•
ngukur yang lebih panjang pada ujung yang
menempel di tembok. Tarik meteran pengukur
hingga anda bisa melihat angka O pada garis
merah di kaca pengukur yang menempel di
tembok. Prosedur ini sangat penting untuk
memastikan pengukuran yang akurat.
2) Tempelkan ujung alat pengukur yang bukan
menempel di tembok dengan menggunakan
paku, pastikan stabil dan tidak berubah-ubah.
3) Setelah anda memastikan bahwa bagian atas
sudah menempel dengan stabil maka meter•
an alat pengukur dapat anda tarik ke samping
dan pengukuran tinggi siap dilakukan.
b. Prosedur pengukuran
1) Dengan bantuan ibu, baringkan anak di per•
mukaan keras yang rata dengan memegang
punggung anak dengan satu tangan dan ba•
gian bawah badan dengan tangan lainnya.
Dengan perlahan-lahan turunkan anak ke
atas permukaan keras tersebut dengan bagian
kaki menempel di tembok.
2) Mintalah ibu untuk berlutut di sebelah alat
ukur menghadap alat ukur agar anak lebih
tenang.

48 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


3) Pegang kepala anak dari kedua arah telinga•
nya. Dengan menggunakan tangan secara
nyaman dan lurus, tempelkan kepala anak ke
bagian atas papan ukur sehin gga anak dapat
memandang lurus kearah depan. Garis pan•
dang anak harus tegak lurus dengan tanah.
Kepala anda hams lurus dengan kepala anak.
Pandanglah langsung ke mata anak.
4) Pastikan anak berbaring di atas permukaan
keras. Tempatkan tangan kiri anda di ujung
tulang kering anak (sedikit di atas sendi mata
kaki) atau pada lututnya. Tekanlah dengan
kuat ke arah permukaan keras.
5) Dengan menggunakan tangan kanan anda,
geserkan alat pengukur ke arah kepala anak.
Pastikan anda menekan rambut si anak.
Jika posisi anak sudah betul, baca dan catat•
lah hasil pengukuran (http:/ /microdata.
worldbank.org/ index.php / catalog/1049
/ download/21036.

Ciri Stunting dan Cara Penilaian Status Gizi I 49


I

.
I '
• =
<

Gambar 3.5 Cara mengukur anak dalam posisi berbaring


(http:/ /microdata.worldbank.org/index.php/catalog/1049/
download/ 21036)

50 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


BAB4
DAMPAK STUNTING

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan mampu:
❖ Memahami dampak jangka pendek stunting
❖ Memahami dampak jangka panjang stunting

PENDAHULUAN
Stunting dapat mengakibatkan berbagai masalah
baik masalah jangka pendek maupun jangka panjang.
Akibat jangka pendek yaitu terjadinya masalah
kesehatan, per• kembangan dan ekonomi. Masalah
kesehatan jangka pendek akibat stunting yaitu
peningkatan kematian dan kesakitan. Stunting juga
dapat menyebabkan penurunan perkembangan
kognitif, motorik, dan bahasa. Masalah ekonomi yaitu
peningkatan pengeluaran akibat masalah kesehatan,
peningkatan kemungkinan biaya perawatan anak sakit.
Stunting pada masa kanak-kanak memiliki konse•
kuensi yang memengaruhi kesehatan dan pengem•
bangan sumber daya manusia. Selain pertumbuhan fisik
yang buruk, stunting mempengaruhi risiko infeksi dan
kematian anak-anak, perkembangan kognitif dan mo-

] 51
torik, kapasitas belajar dan kinerja di sekolah. Dampak
lanjutnya mempengaruhi produktivitas, upah, dan ke•
sehatanreproduksi. Stunting yang diikuti dengan
penam• bahan berat badan yang berlebihan di masa
kanak-kanak selanjutnya menyebabkan peningkatan
risiko penyakit kronis yang berkaitan dengan gizi
seperti diabetes dan penyakit jantung (Wirth, et al,
2017; Stewart, Iannotti, Dewey, Michaelsen & Onyango,
2013; Beal, et al, 2018).

DAMPAKJANGKAPENDE
K
Kesehatan: Kematian dan kesakitan
anak
Permasalahan stunting pada usia dini terutama
pada periode 1000 HPK, akan berdampak pada
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Stunting
menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan
berkembang secara optimal. Balita stunting
berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak
balita di dunia dan menyebabkan
55 juta Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yaitu
hilangnya masa hidup sehat setiap tahun (Kementerian
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Badan Peren•
canaan dan Pembangunan Nasional, 2018). Walaupun
mereka selamat, mereka kurang berprestasi di
sekolah sehingga menjadi kurang produktif saat
dewasa (Tim Indonesiabaik.id). Menurut Steward
(2013) Nutrisi yang buruk dapat menyebabkan
infeksi. Demikianpun se• baliknya infeksi dapat
menyebabkan penurunan status gizi. Hal ini mengarah
ke "siklus setan" yang mungkin lebih tepat
digambarkan dengan penurunan status gizi dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. In-

52 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


feksi menyebabkan penurunan status gizi melalui pe•
nurunan nafsu makan, gangguan penyerapan usus,
peningkatan katabolisme, menghambat pertumbuhan
dan perubahan respon imun. Pada gilirannya, malnutrisi
meningkatkan risiko infeksi oleh dampak negatifnya
pada fungsi epitel dan perubahan res pons imun. Penyakit
infeksi yang disebabkan oleh higiene dan sanitasi yang
buruk (misalnya diare dan kecacingan) dapat meng•
ganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat me•
nyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi ini ter•
jadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai
dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses pe•
nyembuhan maka dapat mengakibatkan stunting (Pusat
Data dan Informasi Kemeterian Kesehatan RI, 2018).
Hasil analisis yang dilakukan terhadap 109 survey de•
mografis dan kesehatan antara tahun 1991-2008 di 54
negara menunjukkan bahwa balita yang dilahirkan dari
ibu berpostur pendek (<145 cm) memiliki peningkatan
sebesar 40% risiko kematian (Ozaltin, et.al., 2010 dalam
Dewey & Begum, 2011).

Perkembangan: Penurunan perkembangan kognitif,


motorik, dan bahasa
Stunting sangat erat dengan perkembangan anak.
Sudah banyak teori yang menyatakan bahwa status gizi
termasuk stunting, mempunyai pengaruh besar terha•
dap perkembangan anak, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting
me• nyebabkan gaga! tumbuh, hambatan
perkembangan

Dampak Sunting I 53
kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik
tubuh serta gangguan metabolisme. Masalah perkem•
bangan yaitu perkembangan psikomotorik dan mental
yang lebih buruk (Abubakar et al. 2010; McDonald et
al. 2013; Steward, 2013). Hasil penelitian terbaru yang
dilakukan Alam, et al., (2020) menunjukkan kejadian
stunting berhubungan dengan perkembangan kognitif
yang lebih rendah pada anak-anak pada usia 5 tahun.
Bahkan hasil penelitian Walker, et al., (2015) di Jamaika
terhadap perkembangan anak dikaji menggunakan
"Griffiths Scales of Mental Development" yang terdiri
dari
4 sub skala yaitu kognitif, pendengaran dan
bicara,
tangan dan mata, dan alat gerak, serta perkembang•
an secara keseluruhan menunjukkan bahwa anak yang
lahir dari orang tua yang mengalami stunting memiliki
tingkat perkembangan yang lebih rendah dari anak
yang orang tuanya tidak mengalami stunting. Selain
perkem• bangan, fungsi kognitif dan motorik anak yang
memiliki orang tua stunting juga lebih rendah
dibanding anak dari orang tua yang tidak mengalami
stunting. Hal ini menunjukkan bahwa stunting dapat
berakibat tidak hanya pada satu generasi tetapi
generasi sesudahnya dapat terkena dampak jika tidak
ditangani dengan baik. Proses terjadinya stunting
adalah karena terbatasnya nutrisi dan seringnya
infeksi. Selain menyebabkan pendek, hal ini mungkin
menyebabkan kerusakan pada struktur dan fungsional
otak yang mengakibatkan keterlambatan dalam
pengembangan fungsi kognitif serta gangguan kognitif
permanen Dewey & Begum, 2011).
54 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
Stunted child

Perkembangan Otak Anak Stunting Perkembangan Otak Anak Sehat

Gambar 4.1 Perbandingan Perkembangan Otak


Anak Stunting dan Sehat
(Sumber: Bank dunia, 2017)

Hasil penelitian terkini yang dilakukan Svefors et


al., (2020) pada daerah pedesaan di Bangladesh menun•
jukkan bahwa anak-anak yang stunting akan
mengalami keterlambatan masa pubertas dibandingkan
anak-anak seusia yang tidak menderita stunting.

Ekonomi: Peningkatan pengeluaran akibat masalah


kesehatan, peningkatan kemungkinan biaya
perawatan anak sakit
Konsekuensi ekonomi berkaitan dengan pengeluar•
an kesehatan dan biaya yang dikeluarkan untuk
merawat anak-anak yang sakit. Pada tingkat langsung,
stunting di• kaitkan dengan penyakit menular yang
meningkatkan pengeluaran rumah tangga untuk
perawatan anak yang sakit. Meskipun data ini jarang,
satu studi dari Nepal memperkirakan sebesar 4%
dari pengeluaran rumah

Dampak Sunting I 55
tangga tahunan per kapita digunakan untuk perawat•
an anak yang sakit (Pokhrel & Sauerborn 2004; Steward
2013).
Dampak jangka pendek stunting dapat diringkas
sebagai berikut:

DAMPAK JANGKA PENDEK

Kesehatan
• Peningkatan Kematian (mortalitas)
• Peningkatan Kesakitan (morbiditas)

Perkembangan
• Penurunan Perkembangan kognitif
• Penurunan Perkembangan motorik dan
• Penurunan Perkembangan bahasa

Ekonomi
• Peningkatan pengeluaran akibat masalah kesehatan
• Peningkatan kemungkinan biaya perawatan anak sakit

DAMPAKJANGKA PANJANG
Stunting dapat menyebabkan masalah jangka pan•
jang melalui dua cara yaitu:
❖ Sebagai penyebab langsung postur tubuh orang
dewasa yang lebih pendek dan kurang optimalnya
fungsi tubuh di kemudian hari
❖ Sebagai kunci dari proses yang mendasari kehidup•
an awal yang mengarah pada pertumbuhan yang
buruk dan dampak buruk lainnya.

56 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Darnpak kesehatan jangka panjang yang akan ter•
jadi pada balita stunting yaitu perawakan pendek saat
dewasa, peningkatan kasus obesitas (kegernukan) dan
penyakit yang berhubungan dengan obesitas, dan pe•
nurunan kesehatan reproduksi. Masalah perkernbangan
yaitu penurunan perform.a di sekolah dan penurunan
kapasitas belajar. Masalah ekonorni yaitu Penurunan ka•
pasitas dan produktivitas kerja.

AKIBAT JANGKA PANJANG

Kesehatan
• Perawakan pendek saat dewasa
• Peningkatan kasus obesitas dan penyakit
yang berhubungan dengan obesitas
• Penurunan kesehatan reproduksi

Perkembangan
• Penurunan performa di sekolah
• Penurunan kapasitas belajar

Ekonomi
• Penurunan kapasitas kerja
• penurunan Produktivitas kerja

Kesehatan: Perawakan pendek saat dewasa, pening•


katan kasus obesitas dan penyakit yang
berhubungan dengan obesitas, dan penurunan
kesehatan reproduksi
Perturnbuhan bayi pendek dengan bayi normal di•
dapat dari penelitian pada 10 Puskesrnas di Kabupa•
ten Bogor. Perturnbuhan bayi stunting selalu tertinggal

Dampak Sunting I 57
dibanding bayi normal dan menjauhi standar pertam•
bahan panjang bayi menurut WHO (Trihono, et. Al.,
2015).Individu yang mengalami stunting pada usia 2
tahun cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang
berperawakan pendek (Adair et al. 2013). Kemungkinan
ada peluang untuk mengejar ketinggalan tinggi badan
selama masa kanak-kanak, karena peningkatan nutrisi
namun hal ini akan lebih lama untuk meningkatkan
tinggi badan.
Pendek atau stunting di masa anak-anak berhu•
bungan erat dengan penyakit tidak menular di masa
dewasanya nanti. Banyak studi di luar negeri yang
membuktikan adanya hubungan ini. Suatu penelitian
tentang hubungan stunting dengan diabetes melitus
telah dilakukan dengan menggunakan data Riskesdas
2007. Meskipun data Riskesdas adalah cross
sectional,
namun ternyata menghasilkan temuan sebagai
berikut:
1) stunting merupakan faktor risiko penyakit diabetes
mellitus pada kelompok kurus dan normal (IMT<23),
dan memiliki risiko 1,5 kali untuk menderita penyakit
dibetes mellitus; 2) Mereka yang mengalami
stunting tidak gemuk (IMT <23) mempunyai risiko 1,5
kali, sedangkan mereka yang stunting dan gemuk
mempunyai risiko 3,4 kali untuk terkena penyakit
diabetes mellitus dibanding• kan dengan mereka yang
tidak stunting dan tidak gemuk (Trihono, et. Al., 2015).
Selain itu, kekurangan gizi juga menyebabkan
gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti
diabetes melitus, hipertensi, jantung koroner, dan stroke
(Kementerian Perencanaan dan Pembangunan
58 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, 2018).
Stunting juga memengaruhi kesehatan reproduksi.
Stunting pada ibu bisa membatasi aliran darah uterus
dan pertumbuhan uterus, plasenta, dan janin . IUGR ber•
hubungan dengan dampak merugikan pada janin).
Selama kehamilan, IUGR dapat menyebabkan gawat
janin kronis atau kematian janin. Jika lahir hidup, per•
tumbuhann ya terbatas dan bayi berisiko lebih tinggi
mengalami komplikasi medis serius (Black et al. 2008
dalam Dewey dan Begum, 2011. Bayi dengan IUGR sering
menderita keterlambatan perkembangan neurologis
dan intelektual, dan defisit tinggi badan mereka secara
umum berlanjut masa dewasa.
Pada wanita, berperawakan yang lebih pendek (<145
cm) merupakan faktor risiko yang konsisten terhadap
kematian perinatal, kemungkinan karena peningkatan
risiko partus (persalinan) macet dan asfiksia. Stunting
memiliki dampak terhadap kesehatan orang dewasa dan
merupakan risiko penyakit kronis. Penelitian tentang bayi
yang lahir dengan berat badan lahir rendah telah me•
nunjukkan hubungan yang konsisten dengan tekanan
darah tinggi (hipertensi), disfungsi ginjal dan perubah•
an metabolisme glukosa (Stewart et al., 2013). Ibu yang
mengalami stunting (tinggi badan <145 cm) secara kon•
sisten meningkatkan risiko kematian perinatal. Hal ini
disebabkan karena ibu yang berperawakan pendek me•
miliki pelvis yang tidak proporsional sehingga menye•
babkan kesulitan saat melahirkan (Dewey & Begum,
2011).

Dampak Sunting I 59
Perkembangan: Penurunan performa di sekolah, pe•
nurunan kapasitas belajar.
Dalam jangka panjang, stunting dapat menyebab•
kan menurunnya kapasitas intelektual. Gangguan struk•
tur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat per•
manen dan menyebabkan penurunan kemampuan
menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpe•
ngaruh pada produktivitasnya saat dewasa (Kementeri•
an Perencanaan dan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018).
The Maternal and Child Undernutrition Study Group
menemu• kan bahwa anak yang mengalami stunting
pada pada
24 bulan berhubungan dengan usia lebih tua saat men•
daftar sekolah dan peningkatan risiko kegagalan
sebesar
16% setidaknya satu tingkat di sekolah setelah mengen•
dalikan variabel pengganggu seperti jenis kelamin, status
sosial ekonomi dan sekolah ibu. Bukti dari negara•
negara berkembang lainnya juga menunjukkan bahwa
mengalami stunting pada usia antara 12 dan 36 bulan
dikaitkan dengan kinerja kognitif yang lebih buruk dan
prestasi sekolah yang lebih rendah pada pertengah•
an masa kanak-kanak (Grantham-McGregor et al.
2007 dalam Dewey & Begum, 2011).

Ekonomi: Penurunan kapasitas dan produktivitas


kerja.
Stunting memiliki dampak yang besar terhadap
tumbuh kembang anak dan juga perekonomian Indo•
nesia di masa yang akan datang. Dampak stunting ter•
hadap kesehatan dan tumbuh kembang anak sangat
merugikan. Stunting dapat mengakibatkan
gangguan
60 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
tumbuh kembang anak terutama pada anak berusia di
bawah dua tahun. Anak-anak yang mengalami stunting
pada umumn ya akan mengalami hambatan dalam per•
kembangan kognitif dan motorikn ya yang akan mem•
pengaruhi produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, anak
stunting juga memiliki risiko yang lebih besar untuk
menderita penyakit tidak menular seperti diabetes, obe•
sitas, dan penyakit jantung pada saat dewasa. Secara
ekonomi, hal tersebut tentunya akan menjadi beban bagi
negara terutama akibat meningkatnya pembiayaan ke•
sehatan. Potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
stunting sangat besar. Laporan World Bank pada tahun
2016 menjelaskan bahwa potensi kerugian
ekonomi
akibat stunting mencapai 2-3% Prociuk Domestik Bruto
(PDB). Dengan demikian, apabila PDB Indonesia sebesar
Rp 13.000 trilyun, maka potensi kerugian ekonomi yang
mungkin dialami adalah sebesar Rp260-390 trilyun per
tahun. Di beberapa negara di Afrika dan Asia potensi
kerugian akibat stunting bahkan lebih tinggi lagi bisa
mencapai 11 % (Pusat Data dan Informasi Kemeterian
Kesehatan RI, 2018). Stunting berhubungan dengan pro•
duktivitas ekonomi yang lebih rendah. Sebagai contoh,
dalam penelitian cross-sectional di Brasil, kenaikan tinggi
badan 1 % berhubungan dengan kenaikan 2,4 %
upah (Thomas & Strauss 1997 dalam Dewey & Begum,
2011). Pria dan wanita yang lebih tinggi mendapatkan
lebih banyak bahkan setelah mengendalikan untuk
pendi• dikan dan indikator kesehatan lainnya seperti
BMI, asupan energi per kapita dan asupan protein per
kapita (Dewey & Begum, 2011).

Dampak Sunting I 61
BABS
PROGRAM PENANGANAN STUNTING
DI INDONESIA

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan mampu:
□ Memahami program penanganan stunting di Indo•
nesia
□ Memahami definisi intervensi gizi spesifik
□ Memahami jenis-jenis intervensi gizi spesifik
□ Memahami sasaran intervensi gizi spesifik
□ Memahami definisi intervensi gizi sensitif
□ Memahami jenis-jenis intervensi gizi sensitif

Pendahuluan
Stunting menggambarkan adanya masalah gizi
kronis, dipengaruhi oleh kondisi ibu atau calon ibu,
masa janin, dan masa bayi atau balita, termasuk
penyakit yang diderita selama masa balita. Stunting
tidak hanya dipengaruhi oleh adanya masalah
kesehatan pada ibu dan bayi, tetapi juga dipengaruhi
berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung
memengaruhi kesehatan. Oleh karena itu, upaya
perbaikan harus meliputi upaya untuk mencegah dan
mengurangi gangguan secara lang• sung (intervensi
gizi spesifik) serta gangguan secara tidak langsung
(intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi

62 I
spesifik umumn ya dilakukan di sektor kesehatan, tetapi
hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70%-nya merupa•
kan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan
berbagai sektor, seperti ketahanan pangan, ketersedia•
an air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan,
dan pendidikan orang tua (Direktorat Pembinaan Pendi•
dikan Keluarga, 2019).
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek
difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehi•
dupan (HPK), yaitu ibuhamil, ibu dengananak usia 0-12
bulan, dan ibu dengan anak usia 13- 24 bulan karena
penanggulangan balita pendek yang paling efektif dila•
kukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi 280
hari selama kehamilan dan 720 hari pertama setelah
bayi dilahirkan. Masa tersebut telah dibuktikan secara
ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas
kehidupan (Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga,
2019).

Intervensi Gizi
Spesifik
Intervensi gizi spesifik adalah upaya untuk
men• cegah dan mengurangi masalah gizi secara
langsung. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh
sektor ke• sehatan. Intervensi Program Gizi Spesifik
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan
1.000 Hari Per• tama Kegiatan (HPK).
Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulang•
an Kemiskinan (2018) bahwa Intervensi gizi
spesifik
I 63
meliputi beberapa sasaran prioritas dan sasaran penting,
yaitu:

Intervensi Gizi Spesifik: Sasaran prioritas lbu Hamil


1. Pemberian makanan tambahan (PMT)
PMT bagi ibu hamil dari kelompok miskin/Kurang
Energi Kronik (KEK), yaitu Penyediaan makanan
tambahan dengan formulasi gizi tertentu dan di•
fortifikasi dengan vitamin dan mineral,
sesuai dengan ketentuan dalam Petunjuk Teknis
PMT dari Kemenkes 2017. Program ini utamanya
ditujukan bagi ibu hamil dari kelompok miskin
yang rentan terhadap kejadian kurang energi
kronik (KEK). Ibu hamil (bumil) merupakan
kelompok rawan gizi yang menjadi salah satu
sasaran program Pembe• rian Makanan Tambahan
(PMT). Program ini ber• tujuan untuk mengatasi
gizi kurang pada bumil dengan fokus zat gizi
makro maupun mikro yang diperlukan untuk
mencegah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Makanan tambahan yang diberi• kan dapat
berbentuk makanan keluarga berbasis pangan
lokal dengan resep-resep yang dianjurkan
maupun makanan tambahan pabrikan yang lebih
praktis dengan komposisi zat gizi yang sudah baku
sesuai Permenkes nomor 51 Tahun 2016. Makanan
tambahan dapat diberikan setiap kali posyandu
(PMT penyuluhan), dapat diberikan untuk ibu hamil
KEK, biasanya diberikan selama 90 hari makan (PMT
pemulihan). Biasa diberikan di Posyandu atau me•
lalui kader/bidan/petugas puskesmas,
diperoleh
64 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
dari bantuan pihak lain, contoh: sumbangan dari
LSM/ perusahaan atau pihak tertentu yang sedang
melakukan kampanye atau promosi produk ter•
tentu (Riskesdas, 2018). PMT dapat berupa biskuit
program; biskuit selain program, susu bubuk, susu
cair, bahan makanan mentah, dan bahan makanan
matang. Hasil riskesdas (2018) menunjukkan pro•
porsi Ibu Hamil yang mendapatkan PMT di Indo•
nesia sebanyak 25,2% dan rata-rata umur kehamilan
saat pertama mendapatkan PMT adalah 3,6 bulan.
Sementara Proporsi Perolehan PMT Program di
Indonesia sebanyak 89,7%. Walaupun proporsinya
cukup besar namun sebagian ibu tidak mengha•
biskan makanan tambahan tersebut dengan berba•
gai alasan. Riskesdas (2018) menyebutkan alasan•
nya yaitu: rasa tidak enak (23,7% ), rasa kurang
bervariasi (7,5% ), terlalu manis (14,1 % ), tidak suka
aroma (10,2% ), ada efek samping (6,8%), lupa (2,7% ),
dimakan anggota rumah tangga lain (18,4 % ) dan
alasan lainnya (16,6).

s··
•-
C

wwon v

a =•
Gambar 5.1 PMT bagi lbu hamil
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 65
2. Suplementasi tablet tambah darah (TTD)
Pemberian tablet tambah darah sebagai salah satu
upaya penting dan merupakan cara yang efektif ka•
rena dapat mencegah dan menanggulangi
anemia akibat kekurangan zat besi dan atau
asam folat. Tablet tambah darah diberikan kepada
wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu hamil
diberikan tablet tam• bah darah setiap hari selama
masa kehamilannya atau minimal 90 (sembilan
puluh) tablet (Riskesdas,
2014). Pemberian 90 butir TTD dengan
kandungan
60 mg Fe (setara dengan 300 mg ferrous sulfate
heptahydrate, 180 mg ferrous fumarate atau 500
mg ferrous gluconate) dan 0,4 mg asam folat.
Proporsi Riwayat Tablet Tambah Darah (TTD) yang
Diterima dan Dikonsumsi Selama Kehamilan Anak
Terakhir pada Perempuan umur 10-54 tahun
sebanyak 87,6%; Jumlah TTD yang didapat <90
tablet sebesar 49% dan
>90 tablet sebanyak 51%; Jumlah TTD yang
diminum
<90 tablet sebanyak 62,3% dan 2>90 tablet sebanyak
37,7%. Alasan utama tidak minum/
menghabiskan TTD yaitu tidak suka (21,2% ),
mual/ muntah karena proses kehamilan (18,6 % ),
bosan (20,1 % ), lupa (20,0), efek samping (16,2)%,
belum waktunya habis (3,9% ). Hal ini tentunya
perlu mendapat perhatian serius dari tenaga
kesehatan dan suami di rumah sehingga membantu
mengatasi berbagai persoalan terkait alasan tidak
menghabiskan TTD. Sementara hasil Riskesdas
(2018), Pada saat wawancara, ibu sedang dalam
kondisi hamil yang mendapatkan Tablet Tambah
Darah pada kehamilan saat ini sebesar

66 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


73,2% dan rnenurut Jurnlah TTD yang didapat <90
tablet sebesar 76,0% dan 2>90 tablet sebanyak 23,8%.

3. Pemeriksaan kehamilan (Ante natal care/ ANC)


Definisi: ANC adalah pelayanan kesehatan
keha• rnilan yang diterirna ibu pada rnasa
keharnilan anak dan diberikan oleh tenaga
kesehatan, rneliputi dokter (dokter um.urn dan/
atau dokter kandung• an), bidan dan perawat.
Pelayanan perneriksaan ke• sehatan keharnilan
oleh tenaga kesehatan dengan frekuensi ANC
selarna rnasa keharnilan anak ter• akhir minimal
4 kali sesuai kriteria yaitu mini• mal 1 kali pada
rnasa keharnilan trimester l; 1 kali pada trimester
2 dan 2 kali pada trimester 3. Hasil Riskesdas
2018 rnenunjukkan Proporsi Perneriksaan
Keharnilan ANC K4 yaitu perneriksaan
keharnilan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan minimal empat kali sesuai kriteria
minimal 1-1-2, yaitu minimal satu kali pada
trimester 1, 1 kali pada trimester 2 dan 2 kali
pada trimester 3 pada pe• rernpuan urnur 10-54
tahun yang pernah rnelaku• kan ANC sebesar
74,1%. Artinya rnasih ada 25,9% ibu hamil belum
rnelakukan ANC sesuai standar. Berbagai risiko
kehamilan bagi seorang ibu dan bayinya dapat
dikurangi dengan rnelakukan ANC sesuai standar
(UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WFP, the World Bank & Kernen• terian
Kesehatan, 2010).
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 67
Tabel 5.1 Kegiatanpada ANC (4 kali selama hamil)
Perawatan rutin Perawatan tam- Perawatan
(semua ibu dan bahan (untuk ibu khusus - kebidan•
janin) dan janin dengan an dan neonatal
komplikasi yang (untuk ibu dan
cukup parah) janin dengan
penyakit yang
parah dan kom•
plikasi)
□ Memastikan □ Perawatan kom• □ Perawatan
kehamilan plikasi keha• komplikasi
□ Pemantauan ke• milan ringan kehamilan
majuan kehamil• sampai sedang: yang parah:
an dan penilaian ✓ Anemia ane• ✓ anemia
kesejahteraan mia ringan ✓ pre-eklamp•
ibu dan janin sampai sedang sia berat
□ Deteksi ✓ infeksi salur• ✓ eklampsia
masalah yang ankemih ✓ perdarahan
mempersulit ✓ infeksi vagina ✓ infeksi
kehamilan (mis. □ Perawatan ✓ komplikasi
Anemia, gang- pasca aborsi medis lain
guan hipertensi, dan keluarga □ Penanganan
perdarahan, mal• berencana komplikasi
presentasi, ke• □ Perawatan pra• aborsi
hamilan ganda) rujukan untuk
□ Respon terha• komplikasi
dap keluhan parah
yang lain yang V Pre-eklamp•
dilaporkan ibu. sia
□ Imunisasi TT, ✓ Eklampsia
pencegahan dan ✓ Perdarahan
pengendalian ✓ Infeksi

68 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


anemia (suple- ✓ Komplikasi
mentasi zat besi aborsi
dan asam folat) □ Dukungan
□ Informasi dan untuk ibu
konseling ten- dengan
tang perawatan kebutuhan
diri di rumah, khusus mis.
nutrisi, seks remaja, wanita
yang aman, me- hidup dengan
nyusui, keluarga kekerasan
berencana, gaya □ Pengobatan
hidup sehat sifilis (ibu dan
□ Perencanaan pasangannya)
melahirkan,
nasihat tentang
tanda-tanda
bahaya dan
kesiapan ke-
daruratan
□ Pencatatan dan
pelaporan
□ Tes sifilis
Sumber: WHO, 2009

Selain itu, keluarga di rumah dan masyarakat


perlu mendukung ibu hamil melalui:

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 69


Tabel 5.2 dukungan keluarga dam masyarakat
pada ibu hamil
Komunitas dan
Rumah atau keluarga
tempat kerja
□ Diet aman dan bernutrisi □ Perlindungan ibu
□ Praktik seksual yang aman □ Izin untuk
□ Dukung agar berhenti merokok kunjungan ANC
□ Lindungi dari perokok pasif □ Tempat kerja yang
□ Dukung untuk menghindari aman dan bersih
kerja keras □ Lingkungan tempat
□ Perencanaan kelahiran, dan kerja bebas asap
kegawatan ibu-bayi rokok/ tembakau
□ Ketahui dan dukung Perenca- □ Menjaga ibu hamil
naan kelahiran, dan kegawatan yang masih remaja
ibu-bayi untuk tetap berse-
□ Kenali tanda-tanda bahaya kolah
persalinan
□ Dukung ibu agar patuh ter-
hadap tindakan pencegahan
□ Dukung atau temani ibu saat
ANC
□ lbu hamil remaja dianjurkan
untuk melanjutkan sekolah
□ Berpartisipasi dalam pening-
katan kualitas pelayanan
□ Berpartisipasi dalam
pembiayaan dan transportasi
Sumber: WHO, 2009

4. Suplementasi kalsium
World Health Organization
merekomendasikan suplementasi kalsium 1500-
2000 g/hari pada popu-

70 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


lasi dengan asupan kalsium rendah sebagai bagi•
an dari ANC untuk pencegahan preeklampsia pada
ibu hamil, terutama pada ibu hamil yang memiliki
risiko tinggi hipertensi. Diketahui kalsium karbonat
meru pakan pilihan yangpalingcost-effectivemenjadi
suplemen kalsium bagi ibu hamil, namun secara
farmakologi hanya dapat mengandung maksimal
500 mg kasium elemental per tabletnya. Sehingga
membutuhkan 3 hingga 4 tablet per hari. Selain itu
perlunya tablet kalsium dikonsumsi terpisah dari
suplemen besi karena akan muncul efek negatif
pada absorpsi kalsium dan besi jika dikonsumsi
bersamaan. Di Indonesia, rekomendasi pemberian
suplemen kalsium sebesar 1500-2000 mg/hari pada
populasi dengan asupan kalsium rendah sebagai
pencegahan preeklampsia. Meskipun demikian, re•
komendasi ini belum diadopsi secara luas karena
cukup sulit jika diimplementasikan, termasuk jenis
dan jumlah tablet kalsium yang dibutuhkan untuk
mencapai dosis yang direkomendasikan. Suplemen
kalsium diberikan saat ANC bersamaan dengan
pemberian suplemen besi dan vitamin C dengan
anjuran minum 1 kali per hari untuk masing-masing
tablet minimal sebanyak 90 tablet selama kehamil•
an (Purnasari, Briawan & Dwiriani, 2016).

5. Pengobatan malaria dan penggunaan


kelambu berpestisida
Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk ano•
pheles. Tidur memakai kelambu berinsektisida ada•
lah cara terbaik menghindari gigitan nyamuk.
Di

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 71


daerah endemis malaria, kelambu berinsektisida
diberikan kepada ibu hamil dan ibu yang mem•
punyai balita secara cuma-cuma. Anak-anak di
daerah endemis malaria berada dalam keadaan
bahaya. Anak yang demam harus segera diperiksa
oleh petugas kesehatan terlatih dan secepatnya
mendapat pengobatan anti malaria yang tepat bila
hasil pemeriksaan darahnya positif. Malaria sangat
berbahaya bagi ibu hamil. Di daerah endemis ma•
laria ibu hamil harus tidur di dalam kelambu ber•
insektisida. Anak yang terserang malaria atau yang
sedang dalam masa penyembuhan memerlukan
banyak makan dan minum. Keluarga dan masya•
rakat dapat mencegah malaria dengan menjaga
kebersihan lingkungan untuk menghentikan per•
kembangan nyamuk. Penyakit malaria dapat ber•
akibat buruk pada lima keadaan; anemia (kurang
darah), berat badan lahir rendah, keguguran, lahir
sebelum waktunya dan bayi lahir mati. Bayi yang
lahir dari ibu yang terjangkit malaria pada saat
kehamilan kemungkinan berat badan bayi lahir
rendah dan lebih mudah terkena infeksi atau me•
ninggal sebelum berumur setahun. Ibu hamil tidak
dianjurkan minum obat anti malaria untuk pen•
cegahan, yang dianjurkan adalah menghindari gigit•
an nyamuk yaitu dengan menggunakan kelambu
berinsektisida. Ibu hamil harus segera mulai meng•
gunakan kelambu saat tidur begitu tahu mereka
hamil. Ibu hamil yang menderita malaria harus se•
gera diobati untuk mencegah komplikasi malaria

72 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


bahkan sampai kematian. Malaria menyebabkan
penderita kekurangan darah (anemia) karena parasit
merusak sel darah merah dan pada malaria jenis
tertentu, parasit menyerang sel darah merah yang
masih muda (retikulosit). Selain itu juga karena
adanya parasit menyebabkan sel darah merah
yang tidak terinfeksi juga mudah rusak. Karena itu
penderita malaria hams mendapatkan zat besi dan
asam folat untuk mencegah anemia. Petugas terlatih
dapat memberikan obat anti malaria kepada ibu
hamil bila sudah terkonfirmasi dengan pemeriksa•
an laboratorium. Pada trimester pertama diberi•
kan kina, sedangkan ACT (Artemisinin Combination
Therapy) diberikan pada trimester kedua dan ke•
tiga. Dengan diperkenalkannya pemakaian ACT di
Indonesia baru-baru ini, Program Nasional Malaria
telah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan
sebagai
berikut: sebelum memberikan ACT untuk
orang
yang terinfeksi malaria, diagnosis harus dilakukan
dengan menggunakan RDT atau mikroskop. Jika
fasilitas ini tidak ada, maka ACT tidak boleh diberi•
kan (UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WFP, the World Bank & Kementerian
Ke• sehatan, 2010).

6. Pencegahan HIV (Satriawan, 2018; (Tim


Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, 2018). Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
HIV menimpa kehidupan anak-anak dan keluarga
di seluruh dunia. Lebih dari
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 73
dua juta anak di bawah usia 15 tahun hid up dengan
HIV (terinfeksi HIV). Berjuta-juta yang terpapar
HIV, yaitu yang tidak terinfeksi tetapi tinggal
dalam keluarga yang anggota-anggota keluarganya
terinfeksi. Diperkirakan 17,5 juta anak kehilangan
orang tua karena AIDS; lebih dari 14 juta anak-anak
tersebut tinggal di Sub Sahara Afrika (data tahun
2007) (UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WF P, the World Bank & Kementerian
Ke• sehatan, 2010). Orang akan terinfeksi HIV
melalui:
a. Hubungan seksual baik melalui vagina atau
dubur atau mulut tidak aman dengan orang yang
telah terinfeksi HIV
b. Penularan dari ibu yang terinfeksi HIV positif ke
bayinya selama kehamilan, saat persalinan atau
setelah melahirkan, dan melalui ASI
c. Darah dari jarum suntik yang tercemar HIV, jenis
jarum atau peralatan yang tajam yang tercemar
HIV, dan transfusi darah yang tercemar HIV.
HIV tidak menular melalui kontak sosial dan
sentuhan biasa.
Semua ibu hamil harus mendapat informasi
yang
benar tentang HIV. Semua ibu hamil, pasangannya,
atau anggota keluarga yang terinfeksi HIV,
terpapar HIV, serta tinggal di lingkungan dengan
penyebaran HIV yang meluas, harus menjalani tes
HIV dan kon• seling tentang bagaimana melindungi
dan merawat dirinya sendiri, anak-anak, pasangan,
serta anggota keluarga mereka. Semua anak yang
lahir dari ibu yang terinfeksi HIV positif atau
orang tua dengan
74 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
gejala dan tanda serta kondisi yang terkait dengan
penularan infeksi HIV harus menjalani tes HIV. Jika
ternyata HIV positif, mereka harus dirujuk untuk
mendapat perawatan, pengobatan, serta dukungan.
Orang tua atau pengasuh hams membicarakan ke•
pada anak-anak mereka tentang pergaulan yang be•
risiko terhadap penularan HIV.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV perlu tahu bahwa:
a. Memakai obat ARV selama hamil dapat mem•
perbaiki kesehatan diri dan mengurangi risiko
penularan pada bayi.
b. Perawatan pre natal dan post natal dan peme•
riksaan sebelum dan setelah bayi lahir serta pe•
rawatan selama hamil dan setelah melahirkan
membantu mengurangi risiko penularan kepada
bayi.
c. Mulai memberi kotrimoksasol kepada bayi baru
lahir yang terpapar HIV antara usia 4 dan 6
minggu dan melanjutkan hingga infeksi HIV
dapat dikendalikan, dapat mencegah penular•
an (yang terjadi bila sistem kekebalan lemah).
d. Ada bermacam cara memberi makan bayi,
masing-masing dengan keuntungan dan risiko.
Ibu perlu menentukan cara makan bayi yang
paling aman dan dapat ditangani oleh ibu sendiri:
a. ASI eksklusif untuk enam bulan pertama guna
perlindungan anak terhadap kematian karena
diare, pneumonia, dan malnutrisi dengan risiko
tertular HIV melalui pemberian ASL Risiko pe•
nularan HIV kepada bayi lebih rendah dengan

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 75


ASI eksklusif daripada pemberian makanan
campuran (ASI dan makanan serta minuman
lain). Risiko juga berkurang dengan memper•
pendek jangka waktu pemberian ASI dan melan•
jutkan dengan pengganti yang aman.
b. Susu formula saja dapat mengurangi risiko pe•
nularan HIV melalui pemberian ASI tetapi me•
ningkatkan risiko kematian karena infeksi seperti
diare dan pneumonia, terutama pada enam bulan
pertama. Ini hanya menjadi pilihan yang baik
jika ibu mempunyai akses terhadap air bersih
dan memberi susu formula sekurang-kurangnya
12 bulan.
c. Pemberian ASI enam bulan perlu dilanjutkan
hingga tersedia makanan pengganti yang aman
dan cukup, termasuk susu formula dan makanan
lain. Jika makanan bergizi dan aman sudah dapat
diberikan, pemberian ASI harus dihentikan.
d. Semua bayi, baik yang diberi ASI atau peng•
ganti ASI, harus diberi makanan bergizi sejak usia
enam bulan dan seterusnya untuk pertumbuhan
dan perkembangan mereka.

Penting untuk mengetahui dan mengurangi risiko


dan tertular HIV dari seks tidak aman: Risiko ter•
tular HIV dapat diturunk an jika tidak melakukan
hubungan seks. Jika mereka melakukan hubung•
an seks, pemakaian kondom laki-laki atau kondom
perempuan secara benar dan konsisten begitu
penting. Untuk mengurangi risiko dapat dilakukan:

76 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


a. Tidak melakukan hubungan seks sama sekali
b. Setia pada pasangan
c. Melakukan seks aman dengan memakai kondom
secara benar (sesuai aturan) dan konsisten (WHO,
UNICEF, UNESCO, UNFPA, UNDP, UNAIDS,
WFP, the World Bank & Kementerian
Kesehatan,
2010).

Intervensi Gizi Spesifik: Sasaran prioritas lbu


Me•
nyusui dan Anak Usia 0-23 bulan
1. Promosi dan konseling menyusui yaitu: Inter•
vensi ini meliputi upaya promosi inisiasi
menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, dan
ASI eksklusif dengan mengacu pada Pedoman
Gizi Seimbang, Kemenkes 2014.
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal,
di
dalam Global StrategyforInfant and Young Child
Feeding (IYCF), WHO/UNICEF yang kemudian
diadopsi oleh Kementerian Kesehatan
merekomendasikan empat hal penting yang harus
dilakukan yaitu: Inisiasi Me• nyusu Dini (IMD),
memberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai bayi
berusia 6 bulan, memberikan Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) mulai usia 6
bulan, dan meneruskan pemberian ASI sampai anak
berusia 24 bulan atau lebih.
Inisiasi menyusui Dini atau IMD adalah proses
menyusu dimulai secepatnya segera setelah lahir.
Dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara
bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan ber•
langsung minimal satu jam atau proses
menyusu

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 77


pertarna selesai (apabila rnenyusu pertarna terjadi
lebih dari satu jam).
Manfaat IMD adalah:
□ Mernbuat kontak kulit dengan kulit antara ibu
dan bayi sehingga rnenjadi lebih tenang serta
rne•
ningkatkan kasih sayang
□ Mernpercepat proses produksi ASI sehingga bayi
rnendapatkan kolostrurn
□ Saat IMD bayi akan rnenelan bakteri baik
dari
ibu sebagai perlindungan diri bayi
□ Mengurangi perdarahan pada ibu
□ Dada Ibu berfungsi sebagai Termoregulator yaitu
apabila waktu lahir suhu bayi rendah, suhu
dada ibu akan naik satu derajat, dan bila
suhu
bayi tinggi rnaka suhu dada Ibu akan turun dua
derajat.
Dengan rnelakukan IMD, akan rnernbantu keber•
langsungan pernberian ASI Eksklusif. Disarnping
itu berdasarkan hasil studi rnenyatakan bahwa
22
% kernatian bayi baru lahir dapat dicegah bila bayi
rnelakukan Inisiasi Menyusu Dini dan ASI
Eksklusif
6 bulan (Kernenkes, 2019). Kolostrurn, air susu
kental berwarna kekuning-kuningan yang
diproduksi oleh ibu pada hari pertarna
rnelahirkan dan beberapa hari berikutnya,
rnerupakan rnakanan paling sern• purna untuk
bayi baru lahir. Kolostrurn tersebut ber• nilai gizi
tinggi, dan penuh dengan antibodi yang
rnelindungi bayi terhadap infeksi. Kadang-kadang
ibu dianjurkan untuk tidak rnernberikan kolostrurn
kepada bayi rnereka. Nasihat ini sarna sekali
tidak

78 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


benar, karena bayi baru lahir memperoleh banyak
manfaat dari kolostrum tersebut (UNICEF, WHO,
UNESCO, UNFPA, UNDP, UNAIDS, WF P, the
World Bank & Kementerian Kesehatan, 2010).
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain
(kecuali obat-obatan dan vitamin). Pemberian ASI
Ekslusif merupakan intervensi yang paling
efektif dalam menurun• kan angka kematian anak.
Pemberian ASI Eksklusif memberikan zat
kekebalan sebanyak 10- 17 kali lebih besar
yang didapat dari kolostrum yang mampu
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi serta
nilai gizi yang lengkap sesuai dengan kebutuhan
bayi (Kemenkes, 2019). Bayi baru lahir tidak
memerlukan makanan atau minuman lain ke• cuali
ASL Memberikan makanan atau minuman lain
kepada bayi baru lahir, berakibat mengurangi
produksi ASL Selain itu dapat mengakibatkan diare
atau penyakit infeksi lainnya. Susu yang diproduksi
ibu, kaya akan gizi dan sangat cocok untuk bayi
baru lahir. Bayi harus disusui sesering mungkin se•
banyak yang ia minta (UNICEF, WHO, UNESCO,
UNFPA, UNDP, UNAIDS, WFP, the World Bank &
Kementerian Kesehatan, 2010).

2. Promosi dan konseling pemberian makan bayi


dan anak (PMBA) yaitu: Kegiatan ini ditujukan
pada anak usia 7-23 bulan meliputi promosi
pemberian ASI lanjut dan makanan pendamping
ASI (MP-ASI)
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 79
serta konseling konsumsi makanan beragam, bergizi
seimbang dan aman dengan mengacu pada Pedom•
an Gizi Seimbang, Kemenkes 2014. Pemberian MP•
ASI merupakan proses awal ketika ASI saja tidak
lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
Cairan dan makanan lain diperlukan seiring dengan
bertambahn ya kebutuhan gizi bayi. Pemberian
MPASI diberikan mulai bayi berusia 6 bulan secara
bertahap baik tekstur, frekuensi dan jumlah MP•
ASI diberikan berupa makanan lokal yang terse•
dia dikeluarga untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
anak. Masalah yang sering terjadi pada pemberian
MPASI adalah pemberian MPASI terlalu dini serta
variasi MPASI yang belum bergizi seimbang. Prinsip
pemberian makan balita:
□ Terjadwal: Jadwal makan adalah 3 kali
makanan
utama dan 2 kali makanan selingan diberikan
secara teratur dan terencana. Lama setiap pem•
berian makan maksimum 30 menit, diantara
waktu makan hanya boleh mengonsumsi air
putih.
□ Pemberian makan aktif/responsif:
Pemberian
makan tidak dipaksa meskipun hanya makan
1-2 suap (perhatikan tanda lapar dan kenyang).
Jangan memberikan makanan sebagai hadiah,
tidak sambil bermain atau nonton televisi, laku•
kan interaksi dan mengurangi gangguan ketika
anak diberi makan. Porsi sesuai dengan umur
bayi.
80 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
Tabel 5.3 Pemberian Makan Pada Bayi dan
Anak (usia 6-23 bulan) yang Mendapat ASI

Konsistensi/ Jumlah setiap


Usia tekstur Frekuensi kali makan
6-8 Mulai dengan 2-3 kali setiap Mulai dengan 2-
3
bulan bubur hari. sendok makan
kental, 1-2 selingan setiap kali makan,
makanan dapat tingkatkan ber-
lumat. diberikan tahap hingga /
mangkok ukuran
250ml
9-11 Makanandi- 3-4 kali setiap ½mangkok
bulan cincang halus hari ukuran 250 ml
danmakanan 1-2 selingan
yang dapat dapat diberikan
dipegang bayi
12-23 Makanan 3-4 kali setiap ¾ sampai sepenuh
bulan keluarga hari mangkok 250 ml
1-2 selingan
dapat diberikan
Sumber: Kemenkes, 2019

3. Tata laksana gizi buruk


Yaitu: Prosedur atau mekanisme pelayanan gizi
yang dilakukan guna mendukung tata laksana
tindakan perawatan pada anak gizi buruk akut
mengacu pada Pedoman Tata laksana Anak Gizi
Buruk, Kemenkes
2003. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
□ BB/TB<-3SD dari median (marasmus)
□ Edema pada kedua punggung kaki sampai se•
luruh badan (kwashiorkor: BB/TB>-3SD atau
marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD (WHO
Indonesia, 2009).
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 81
4. PMT pemulihan bagi anak kurus
Yaitu Penyediaan suplementasi gizi dalam bentuk
makanan tambahan dengan formulasi khusus dan
difortifikasi dengan vitamin dan mineral, sesuai
dengan ketentuan dalam Petunjuk Teknis PMT dari
Kemenkes 2017. Program ini diperuntukkan bagi
anak gizi kurang akut sebagai tambahan makanan
untuk pemulihan status gizi.
5. Pemantauan dan promosi pertumbuhan,
Yaitu: (1) Pemantauan berat-badan anak usia 0-6
tahun, dilakukan setiap bulan sejak bayi berusia
0-23 bulan, dan dilakukan setiap 6 bulan sekali sejak
anak 24-59 bulan; (2) Pemantauan panjang/tinggi
badan anak usia 0-23 bulan setiap 3 bulan dan di•
lakukan setiap 6 bulan pada anak 24-59 bulan,
dan pengukuran lingkar kepala, dilakukan setiap 3
bulan pada anak 0-12 bulan, dan setiap 6 bulan
hingga berusia 23 bulan, diikuti dengan
pengukuran sekali setahun ketika berusia lebih dari
2 tahun.
Tanda anak kurang
sehat:
✓ Berat badan tidak naik/ turun
✓ Garis di KMS turun, datar, atau pindah ke
pita warna di bawahnya.
✓ Garis di KMS di bawah garis merah (Depkes RI,
2009).
6. Penanggulangan diare termasuk dengan zink
Suplementasi zinc untuk pengobatan
diare
Diare disebabkan oleh bakteri yang tertelan, utama•
nya dari kotoran manusia (tinja). Ini terjadi karena
pembuangan tinja yang tidak aman,
kebersihan
82 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
yang kurang dan kurangnya persediaan air minum
yang bersih untuk anak-anak yang sudah tidak di•
beri ASL Anak-anak yang terserang diare harus
diberi banyak cairan dan makanan selain larutan
khusus yang disebut Oral Rehydration Solution (ORS)
dan zinc untuk mengurangi kegawatan penyakit.
Perawatan diare yang terbaik adalah :
□ Minum cairan dan Oralit dicampur dengan air
layak minum (air putih) (Cara membuat
oralit terlampir)
□ Minum tablet atau sirup zinc selama minimal 10
hari.
Pemberian zinc untuk pengobatan diare selama 10-
14 hari mempercepat sembuhnya diare di samping
menjaga anak dari serangan diare berikutnya
dalam waktu dua bulan. Anak-anak diatas umur
enam bulan dapat diberi 20 miligram zinc per hari
dalam bentuk tablet atau sirup. Untuk anak di
bawah enam bulan, cukup diberikan 10 miligram
per hari dalam bentuk tablet atau sirup. Petugas
kesehatan terlatih harus menunjukkan kepada ibu,
ayah atau pengasuh yang lain bagaimana
memberikan tablet zinc kepada anak dengan cara
melarutkannya dalam ASI yang diperas, ORS,
atau air dalam cangkir kecil atau sendok. Untuk
anak yang susah menelan berikanlah sirup zinc
(UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WFP, the World Bank & Kementerian
Kesehatan, 2010).
7. Suplementasi kapsul vitamin A
Pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi diseleng•
garakan setiap 4-6 bulan sekali kepada setiap anak

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 83


usia enam bulan sampai lima tahun. Vitamin A di•
bagikan bersama kegiatan imunisasi rutin (seperti
vaksin campak pada usia sembilan bulan) atau se•
lama masa kampanye khusus. Vitamin A juga meru•
pakan bagian penting dari perawatan campak.
Suplemen vitamin A khususnya bagi daerah•
daerah yang kekurangan vitamin A penting se•
bagai tolak ukur penurunan risiko diare. Makanan
yang mengandung vitamin A termasuk ASI, hati,
ikan, produk susu, jeruk, buah-buahan berwarna
kuning, sayuran terutama daun-daunan berwarna
hijau (UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WFP, the World Bank & Kementerian
Kesehatan, 2010). Kapsul Vitamin A dibagikan
pada bulan Februari dan Agustus di Posyandu.
Ada dua jenis kapsul vitamin A. Kapsul berwarna
biru untuk anak umur 6-11 bulan, diberikan 1
kali setahun. Kapsul berwarna merah diberikan 2
kali dalam se• tahun (Kemenkes, 2009).
8. Suplementasi taburia
Taburia mengandung 12 macam vitamin dan 4
mineral terdiri dari (vitamin A, vitamin Bl,
vitamin B2, vitamin B3, vitaminB6, vitamin Bl2,
vitamin D3, vitamin E, vitamin K, vitamin C,
asam folat, asam pantotenat, besi, iodium, zink, dan
selenium) yang bertujuan membantu tumbuh
kembang balita menjadi lebih optimal,
meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan
nafsu makan, mencegah ane• mia dan mencegah
kekurangan zat gizi (Budiana, Kartasurya, &
Judiono, 2016).

84 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


9. Imunisasi
Imunisasi adalah upaya aktif untuk menimbulkan
kekebalan khusus dalam tubuh seseorang yang
efektif mencegah penularan penyakit tertentu,
dengan cara memberikan vaksin. Secara umum
tujuan imunisasi adalah menurunkan angka kesa•
kitan, kematian serta kecacatan akibat Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Ber•
dasarkanPeraturanMenteriKesehatanNo.12Tahu
n
2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi,
imunisasi diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Imunisasi Program
Yaitu imunisasi yang diwajibkan kepada sese•
orang sebagai bagian dari masyarakat dalam
rangka melindungi yang bersangkutan dan ma•
syarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Imunisasi program
dikelompokan kembali menjadi tiga yaitu imu•
nisasi rutin, imunisasi tambahan dan imunisasi
khusus.
1) Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin dilaksanakan secara terus•
menerus dan berkesinambungan. Imunisasi
rutin terdiri atas: imunisasi dasar dan
lanjutan. a) Imunisasi Dasar
Imunisasi dasar diberikan pada bayi se•
belum berusia satu tahun (0-11 bulan).
Imunisasi dasar terdiri atas Imunisasi
terhadap penyakit hepatitis B, poliom•
yelitis, tuberculosis, difteri, pertusis, te-

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 85


tanus, pneumonia dan meningitis yang
disebabkan oleh Hemophilus Influenza
tipe b (Hib), campak dan rubella.
b) Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi
ulangan imunisasi dasar untuk mem•
pertahankan tingkat kekebalan dan untuk
memperpanjang masa perlindungan anak
yang sudah mendapatkan imunisasi dasar.
Imunisasi lanjutan diberikan pada anak
usia bawah dua tahun (baduta), anak
usia sekolah dasar dan wanita usia subur
(WUS).
2) Imunisasi Tambahan
Merupakan jenis Imunisasi tertentu yang di•
berikan pada kelompok umur tertentu yang
paling berisiko terkena penyakit sesuai
dengan kajian epidemiologis pada periode
waktu tertentu. Contoh imunisasi tambahan
adalah catch up campaign, PIN dan imunisasi
dalam rangka penanggulangan KLB.
3) Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus dilaksanakan untuk me•
lindungi seseorang dan masyarakat terhadap
penyakit tertentu pada situasi tertentu
seperti persiapan keberangkatan calon
jemaah haji/ umroh atau persiapan
perjalanan menuju atau dari Negara
endemis.
b. Imunisasi Pilihan
Yaitu imunisasi yang dapat diberikan kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam

86 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


rangka melindungi yang bersangkutan dari pe•
nyakit tertentu.

Tabel 5.4 Jadwal Imunisasi rutin (dasar dan lanjutan)

Umur J enis imunisasi


<24 jam Hepatitis B (HBO)
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HBl/Hibl, Polio 2, PCVI
3 bulan DPT/HB2/Hib2, Polio 3, PCV2*
4 bulan DPT/HB3/Hib3, Polio 4, IPV
9 bulan Campak-Rubella 1
10 bulan JE'
Umur J enis imunisasi
12 bulan PCV3*
18 bulan DPT/HB/Hib4, Campak-Rubella 2
Usia kelas 1 SD DT, Campak-Rubella
Usia Kelas 2 SD Td
Usia kelas 5 SD Td, HPV1
Usia kelas 6 SD HPV2*
) Imunisasi PCV, JE dan HPV baru dilaksanakan di
provinsi/ kabupaten/kota tertentu yangmenjadi
lokasi percontohan (program demonstrasi)

Tabel 5.5 Manfaat vaksin


Vaksin Mencegah Penularan penyakit
Hepatitis B Hepatitis B dan kerusakan hati
BCG TBC (Tuberkulosis) berat
Poliu, IPV Polio yang dapat menyebabkan lumpuh
layu pada tungkai dan atau lengan

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 87


DPT-HB- ✓ Difteri yang menyebabkan penyumbatan
Hib jalan nafas
✓ Pertusis (batuk rejan 100 hari)
✓ Tetanus
✓ Hepatitis B
✓ Infeksi Hib yang menyebabkan
meningitis (radang selaput otak)
Campak- ✓ Campak yang dapat mengakibatkan
Rubella komplikasi radang paru, radang otak
dan kebutaan
✓ Rubella dan Congenital Rubella
Syndrom (CRS) atau cacat bawaan saat
lahir akibat Rubella.
PCV Pneumonia akibat infeksi bakteri pneumo-
kokus
JE Encephalitis (radang otak) akibat infeksi
virus Japanese Encephalitis
HPV Kanker serviks (leher Rahim) yang diaki-
batkan infeksi Human Papilloma Virus

Imunisasi lengkap adalah keadaan jika seorang anak


memperoleh imunisasi rutin secara lengkap mulai
dari (1) IDL pada usia 0-11 bulan, (2) Imunisasi
Lan• jutan berupa DPT-HB-Hib dan Campak Rubela
pada usia 18 bulan, (3) Imunisasi Lanjutan Campak
Rubela dan DT pada Kelas 1 Sekolah Dasar/
Madrasah lbti• daiyah, dan (4) Imunisasi Td pada
kelas 2 dan 5 Se• kolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah
(Kemenkes, 2019).
10. Manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
11. Penggunaan garam beryodium
Yodium penting untuk mencegah terjadinya penu•
runan tingkat kecerdasan, dan penundaan per-

88 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


kembangan. Menggunakan garam beryodium dan
bukan garam biasa, berarti membantu menyediakan
yodium untuk wanita hamil dan anak sebanyak
yang mereka perlukan. Anak yang tidak mendapat
zat yodium dalam jumlah cukup pada masa kanak•
kanaknya, dapat mengalami perlambatan perkem•
bangan mental, fisik atau kecerdasan. Bahkan ke•
kurangan yodium dalam jumlah sedang saja sudah
dapat mengurangi kemampuan belajar dan me•
nurunkan kemampuan intelektualnya. Gondok,
pembesaran yang tidak normal dari kelenjar thyroid,
dapat menyebabkan pembengkakan leher dan me•
rupakan gejala dari kekurangan yodium. Kekurang•
an yodium pada awal kehamilan dapat meningkat•
kan risiko keguguran atau bayi lahir mati (UNICEF,
WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP, UN AIDS, WFP,
the World Bank & Kementerian Kesehatan, 2010).
12. Penanggulangan penyakit kecacingan
Anak yang tinggal di daerah endemis cacingan
harus diobati dua sampai tiga kali dalam setahun
dengan obat cacing (anthelmintic). Memberikan
obat cacing secara teratur kepada anak mem bantu
pengobatan anemia yang disebabkan oleh cacing,
dan membantu anak memulihkan kem bali selera
makannya. Kebiasaan hidup bersih dapat mencegah
masuknya cacing. Anak sebaiknya tidak bermain
dekat jamban, mencuci tangan dengan sabun dan
air atau penggantinya seperti abu dan air, serta me•
makai sepatu atau sandal untuk mencegah penular•
an telur cacing. Perempuan hamil yang tinggal
di

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 89


daerah banyak terdapat kasus cacingan harus di•
obati dengan obat cacing yang dianjurkan (UNICEF,
WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP, UN AIDS, WFP,
the World Bank & Kementerian Kesehatan, 2010).
13. Penggunaan makanan yang difortifikasikan
zat
gizi
14. Penggunaan kelambu
berpestisida

Intervensi gizi spesifik: Kelompok Sasaran Penting:


Remaja Putri dan Wanita Usia Subur
Suplementasi tablet tambah darah (TTD), yaitu:
Pem•
berian TTD dengan kandungan 60 mg Fe (setara
dengan
300 mg ferrous sulfate heptahydrate, 180 mg ferrous
fumarate atau 500 mg ferrous gluconate) dan 0,4 mg
asam folat untuk semua remaja putri dan wanita usia
subur.

Intervensi gizi spesifik: Kelompok Sasaran Penting:


Anak Usia 24-59 Bulan
1. Pemberian makanan tambahan, yaitu: Penyediaan
makanan tambahan berupa krekers/biskuit dengan
formulasi gizi tertentu dan difortifikasi dengan
vitamin dan mineral, sesuai dengan ketentuan
dalam Petunjuk Teknis PMT dari Kemenkes 2017.
Program ini utamanya ditujukan bagi anak usia
Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI)
dengan kate• gori kurus untuk mencukupi
kebutuhan gizi.
2. PMT pemulihan bagi anak kurus, yaitu:
Penyediaan
suplementasi gizi dalam bentuk makanan
tambah•
an denganformulasi khusus dan difortifikasi
dengan

90 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


vitamin dan min eral, sesuai dengan ketentuan dalam
Petunjuk Teknis PMT dari Kemenkes 2017. Pro•
gram ini diperuntukkan bagi anak gizi kurang akut
sebagai tambahan makanan untuk pemulihan status
gizi.
3. Pemantauan dan promosi pertumbuhan, yaitu: (1)
Pemantauan berat-badan anak usia 0-6 tahun, dila•
kukan setiap bulan sejak bayi berusia 0-23 bulan,
dan dilakukan setiap 6 bulan sekali sejak anak 24-
59 bulan; (2) Pemantauan panjang/tinggi badan
anak usia 0-23 bulan setiap 3 bulan dan dilakukan
setiap
6 bulan pada anak 24-59 bulan, dan pengukuran
lingkar kepala, dilakukan setiap 3 bulan pada anak
0-12 bulan, dan setiap 6 bulan hingga berusia
23
bulan, diikuti dengan pengukuran sekali setahun
ketika berusia lebih dari 2 tahun.
4. Penanggulangan diare termasuk dengan zink
Su- plementasi zinc untuk pengobatan diare
5. Suplementasi kapsul vitamin A
6. Suplementasi taburia
7. Manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
8. Penanggulangan penyakit kecacingan

INTERVENSI GIZI SENSITIF


Intervensi Gizi sensitif adalah upaya-upaya untuk
mencegah dan mengurangi masalah gizi secara tidak
langsung. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh
sektor non-kesehatan. Intervensi ini meliputi 12
kegiat• an pokok yaitu:
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 91
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air
bersih.
Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air
Bersih
melalui program PAMSIMAS (Penyediaan Air
Bersih dan Sanitasi berbasis Masyarakat). Selain pe•
merintah pusat, PAMSIMAS juga dilakukan
dengan kontribusi dari pemerintah daerah serta
masyakart melalui pelaksanaan beberapa jenis
kegiatan seperti dibawah:
a. Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di
masyarakat
b. Meningkatkanjumlah masyarakat yang
memiliki akses air minum dan sanitasi yang
berkelanjutan
c. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelem•
bagaan lokal (pemerintah daerah maupun ma•
syarakat) dalam penyelenggaraan layanan air
minum dan sanitasi berbasis masyarakat
d. Meningkatkan efektifitas dan
kesinambungan
jangka panjang pembangunan sarana dan pra•
sarana air minum dan sanitasi berbasis masya•
rakat.
Idealnya air baku yang akan digunakan sebagai
sumber air minum secara fisik harus memenuhi per•
syaratan yaitu jernih, tidak keruh, tidak berbau,
tidak berwarna, dan tidak berasa. Pengelolaan air
minum di rumah tangga dimaksudkan untuk
memperbaiki dan menjaga kualitas air dari sumber
air yang akan digunakan untuk air minum. Setiap
rumah tangga dapat mempraktikan pengelolaan air
minum yang aman dengan cara:
92 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
a. Pengolahan air baku, dilakukan apabila air baku
keruh dengan cara pengolahan awal:
□ Pengendapan dengan gravitasi alami
□ Penyaringan dengan kain
□ Penjernihan dengan bahan kimia/ tawas
b. Pengolahan air minum di rumah tangga, dila•
kukan dengan tujuan untuk mendapatkan kua•
litas air yang layak untuk dikonsumsi dengan
menghilangkan bakteri dan kuman penyebab
penyakit melalui:
□ Penyaringan (Filtrasi), contoh: biosand filter,
keramik filter.
□ Pemberian Klor (Klorinasi), contoh:
klorin cair, klorin tablet.
□ Pemberian bubuk penggumpalan (koagulan)
pada air baku, yang biasa disebut Koagulasi
dan flokulasi (penggumpalan).
□ Desinfeksi, contoh: merebus air hingga men•
didih, atau dengan meletakan air di bawah
terik matahari.
Wadah Penyimpanan Air Minum. Setelah
pengolah• an air, tahapan selanjutnya menyimpan
air minum dengan aman untuk keperluan sehari-
hari, dengan cara:
□ Wadah penyimpanan; tertutup, berleher
sempit. Wadah penyimpanan dicuci setelah
tiga hari atau saat air habis, gunakan air yang
sudah diolah sebagai air bilasan terakhir
□ Penyimpanan air yang sudah diolah; di•
simpan dalam tempat yang bersih dan selalu
tertutup (Kemenkes, 2019).

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 93


2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap
sanitasi
Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi
melalui Kebijakan Sanitasi Total Berbasis Masya•
rakat (STBM) yang pelaksanaanya dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama
dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (KemenPUPR). Kegiatan ini
meliputi gerak• an peningkatan gizi/Scaling Up
Nutrition (SUN) Movement yang hingga 2015
telah menjangkau
26.417 desa/kelurahan. Sanitasi merupakan
salah
satu intervensi sensitif dalam pencegahan stunting.
Permasalahan sanitasi di masyarakat diselesaikan
dengan cara mobilisasi dan kegiatan berbasis ma•
syarakat melalui pendekatan STBM. STBM ada•
lah sebuah pendekatan untuk memperbaiki kese•
hatan lingkungan masyarakat yang meliputi lima
indikator kesehatan lingkungan (pilar): 1) Stop
Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS); 2) Cuci
Tangan Pakai Sabun (CTPS); 3) Pengelolaan Air
Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMM-RT);
4) Peng• amanan Sampah RumahTangga (PS-RT);
dan 5) Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
(PLCRT). Lima pilar STBM merupakan gambaran
upaya memutus mata rantai penularan penyakit
yaitu dari sumber penyakit (tinja, sampah dan
limbah) dengan media penularan yakni tangan,
lalat/ serangga, ma• kanan dan air minum, serta
tanah (Kemenkes, 2019.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan
Keluarga Berencana
(KB).

94 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN):
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melaku•
kan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)•
Penerima Bantuan Iuran (PBI) berupa pemberian
layanan kesehatan kepada keluarga miskin dan
saat ini telah menjangkau sekitar 96 juta individu
dari keluarga miskin dan rentan (Tim Nasional Per•
cepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jam•
persal).
Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jam•
persal) yang dilaksanakan oleh Kementerian Kese•
hatan (Kemenkes) dengan memberikan layanan
kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/
rumah tangga miskin yang belum mendapatkan
JKN-Pene• rima Bantuan Iuran/PBI (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang
tua
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat yang dilak•
sanakan oleh Kementerian Kesehatan (melalui Pus•
kesmas dan Posyandu) Kegiatan yang dilakukan
berupa:
a. Peningkatan pendidikan
gizi.
b. Penanggulangan Kurang Energi
Protein.
c. Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi
ke•
kurangan zinc dan zat besi, mengatasi Ganguan
Program Penanganan Stunting di Indonesia I 95
d. Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta ke-
kurangan Vitamin A
e. Perbaikan keadaan zat gizi
lebih.
£. Peningkatan Survailans Gizi.
g. Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/
Masyarakat(Tim Nasional Percepatan Penang•
gulangan Kemiskinan, 2017).
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan re•
produksi, serta gizi pada
remaja
Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Re•
produksi serta Gizi pada Remaja, berupa Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Remaja yang dilaksanakan
oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) ter•
masuk pemberian layanan konseling dan pening•
katan kemampuan remaja dalam menerapkan Pen•
didikan dan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS)
(Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan,
2017).
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial
bagi keluarga miskin
Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi
Ke•
luarga Miskin, misalnya melalui Program Subsidi
Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Raskin/
Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang
dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Kegiatannya berupa pemberian subsidi untuk meng•
akses pangan (beras dan telur) dan pemberian ban•
tuan tunai bersyarat kepada ibu Hamil, Menyusui
dan Balita (Tim Nasional Percepatan Penanggu•
langan Kemiskinan, 2017).
96 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
2017).

Program Penanganan Stunting di Indonesia I 97


BAB6
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN
TERHADAPPENGETAHUANIBU

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan mampu:
□ Memahami dan menyadari pentingnya
pengetahuan ibu dalam upaya penurunan stunting
□ Memahami dan menyadari pentingnya pendidikan
kesehatan bagi ibu sebagai caregiver
□ Memahami konsep pendidikan kesehatan
□ Memahami hasil penelitian terkini tentang penting•
nya pendidikan kesehatan bagi ibu

Pentingnya pengetahuan ibu dalam upaya


penurunan stunting
Pendek (stunting) dan kurus (wasting) diakui se•
bagai indikator kunci untuk mengetahui status gizi dan
kesehatan anak dalam suatu populasi. Banyak negara
mulai memprioritaskan kebijakan dan program untuk
meningkatkan kemampuan ibu sehingga dapat mem•
berikan perawatan optimal bagi anak, terutama
selama periode dari kehamilan hingga ulang tahun
kedua anak (1000 hari pertama kehidupan/HPK).
Periode ini meru• pakan jendela peluang yang kritis
bagi orang tua untuk menggunakan sumber daya
manusia dan materi untuk

98 I
pertumbuhan anak dan perkembangan kognitif. Bukti
empiris, menunjukkan bahwa ketersediaan sumber
daya seperti makanan dan fasilitas kesehatan, dan akse•
sibilitas, termasuk keunggulan lokasi, tidak cukup untuk
menghasilkan kesehatan anak yang optimal (Fadare,
Amare, Mavrotas, Akerele & Ogunni yi, 2019).
Salah satu penyebab stunting adalah rendahnya pe•
ngetahuan ibu sementara ibu adalah pengasuh utama
bagi anak-anak. Fadare, Amare, Mavrotas, Akerele dan
Ogunni yi (2019) mengatakan pengetahuan ibu yang ter•
batas tentang pilihan makanan, pemberian makan, dan
praktik pencarian perawatan kesehatan berkontribusi
secara signifikan terhadap konsekuensi gizi kurang
pada balita di sebagian besar negara berkembang. Me•
ningkatkan pengetahuan ibu merupakan salah satu
kunci untuk menurunkan kejadian stunting. Ibu-ibu
di Indonesia umumn ya adalah pengasuh utama untuk
anak-anak dan bahwa pendidikan ibu terkait dengan
perilaku perlindungan termasuk peningkatan kunjung•
an ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi anak,
penyuluhan kesehatan dan vitamin A. Perilaku peng•
asuhan ibu ini mencerminkan pengetahuan ibu tentang
kemampuan untuk menerapkan praktik yang mendu•
kung pertumbuhan dan perkembangan anak (Hall, et
al., 2018).
Hasil penelitian community based cross sectional ter•
baru Girma, Fikadu dan Abdisa (2019) yang
dilakukan di daerah pedesaan Etiophia bagian barat
menunjuk• kan bahwa ibu yang berpengetahuan
kurang tentang makanan anak berisiko 5 kali
(AOR=5.97, 95% CI: 1.83-

Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu I 99


19.44) lebih besar memiliki anak stunting dibanding ibu
yang berpengetahuan baik. Berarti bahwa semakin
rendah pengetahuan ibu maka risiko stunting semakin
besar begitupun sebaliknya semakin tinggi pengetahu•
an ibu semakin rendah risiko stunting pada anak.
Pengetahuan, sikap, dan praktik (KAP/ knowledge,
attitude and practice) terkait gizi ibu merupakan aspek
penting dalam peningkatan kesehatan anak. Fadare,
Amare, Mavrotas, Akerele dan Ogunniyi (2019)
mengata• kan pengetahuan yang berhubungan dengan
gizi ibu dinilai berdasarkan lima informasi gizi dan
kesehatan utama yaitu: (1) pengetahuan ibu tentang
pentingnya kolostrum; (2) pengetahuan tentang
pemberian ASI; (3) pengetahuan tentang pencegahan
dan pengobatan diare; (4) pengetahuan tentang
imunisasi anak; dan (5) pengetahuan tentang keluarga
berencana (Fadare, Amare, Mavrotas, Akerele &
Ogunniyi, 2019).

Perlunya pendidikan kesehatan bagi ibu


sebagai
caregiver
Hasil penelitian Bundala, et al (2019) menunjukkan
perlunya pendidikan kesehatan tentang nutrisi karena
temuan rendahnya cakupan pendidikan gizi kepada
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya pe•
ngetahuan yang memadai tentang masalah-masalah
dasar nutrisi, penggunaan pusat kesehatan, sebagai
tempat pendidikan gizi. Penelitian cross-sectional tentang
pengetahuan dan praktik nutrisi pada 663 ibu atau
care• giver di daerah pedesaan Tanzania menunjukkan
hanya
14% populasi yang mendapatkan pendidikan
kese-

100 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


hatan. Proporsi rata-rata dari mereka yang memiliki
tanggapan yang benar di atas rata-rata adalah 27%
untuk pengetahuan dan 22 % untuk praktik. Rendahnya
cakupan pendidikan gizi dan rendahnya partisipasi
laki• laki dalam kegiatan pendidikan gizi sering
dilaporkan sebagai hambatan untuk penerapan praktik
diet yang diinginkan di rumah tangga.
Salah satu upaya untuk mencegah dan menurun•
kan angka stunting adalah pendidikan kesehatan bagi
ibu maupun caregiver. Pengetahuan ibu tentang stunting
adalah dasar untuk membangun persepsi yang akurat
untuk memprediksi perubahan perilaku (Hall et al, 2018).

Konsep Pendidikan
Kesehatan
Pendidikan kesehatan menurut para ahli sebagai
berikut: (1) Pendidikan kesehatan dan promosi
kesehatan sering digunakan saling bergantian.
Walaupun kedua• nya saling berhubungan tetapi
sebenarnya merupakan konsep yang berbeda.
Pendidikan kesehatan berfokus pada aktivitas dan
pengalaman belajar bagi individu dan kelompok.
Sebagai bagian dari promosi kesehatan, pendidikan
kesehatan merupakan bagian penting dari komunikasi
antara penyedia perawatan kesehatan dan klien.
Pendidikan kesehatan dikembangkan dari para
profesional perawatan kesehatan yang memberikan in•
formasi kesehatan yang menurut mereka harus diketa•
hui oleh klien melalui proses pengambilan keputusan
bersama. Promosi kesehatan bukan hanya konsep seba•
gai kegiatan pendidikan tetapi berkembang ke konsep
yang lebih luas yang juga berfokus pada lingkungan
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu I 101
sosial dan politik (Pender, Murdaugh & Parsons, 2015);
(2) Stuart (1986 dalam Nurmala, dkk, 2018) bahwa pen•
didikan kesehatan merupakan upaya terencana yang
bertujuan memodifikasi sudut pandang, sikap mau•
pun perilaku individu, kelompok maupun
masyarakat ke arah pola hidup yang lebih sehat,
melaui proses promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif; (3) Green (1980, dalam Nurmala, dkk, 2018)
bahwa pendidikan kesehatan merupakan suatu proses
yang terencana untuk mencapai tujuan kesehatan
dengan mengom• binasikan berbagai macam cara
pembelajaran; dan (4) Craven dan Hirnle (1996, dalam
Nurmala, dkk, 2018) bahwa pendidikan kesehatan
merupakan proses pem• belajaran yang bersifat
praktik maupun instruksi dengan tujuan untuk
memberikan informasi maupun motivasi kepada
seseorang sehingga diharapkan ter• jadi peningkatan
wawasan serta keterampilan untuk
mengimplementasikan pola hidup sehat. Jadi, dapat di•
simpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah se•
buah proses belajar yang direncanakan oleh tenaga ke•
sehatan dengan tujuan untuk meningkatkan perilaku
sehat melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan ke•
terampilan.
Pendidikan kesehatan tentang stunting dalam buku
ini lebih menekankan pada kerangka konseptual WHO
tentang stunting. Pendidikan kesehatan menggunakan
kerangka yang komprehensif tentang stunting tersebut
diharapkan meningkatkan pengetahuan ibu secara leng•
kap tentang stunting.

102 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Hasil penelitian terkini tentang pentingnya pendidikan
kesehatan bagi ibu
Hasil-hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa
pendidikan kesehatan dengan berbagai modifikasi media
dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan bahkan
ke• terampilan ibu. Penelitian yang dilakukan oleh
Diddana, Kelkay, Dola dan Sadore (2018)
membuktikan bahwa pendidikan kesehatan pada 138
ibu di Ethiopia dapat meningkatkan pengetahuan
secara signifikan. Peneli• tian yang dilakukan
Mahmudiono, Nindya, Andrias, Megatsari, Rosenkranz
(2016) bahwa pendidikan kese• hatan tentang nutrisi
yang disebut NEO-MOM pada 72 ibu yang mengikuti
Posyandu di Kota Surabaya dapat membantu ibu-ibu
dalam memperbaiki pola makan dan perilaku makan
anak dengan meningkatkan efikasi diri. Bahkan
sistematic review yang dilakukan Majamanda,
Maureen, Munkhondia dan Carrier (2014) menunjuk•
kan pendidikan gizi berbasis masyarakat meningkatkan
status gizi balita di negara berkembang.
Penelitian tentang pendidikan nutrisi yang dilaku•
kan oleh Angeles-Agdeppa, Monville-Oro, Gonsalves
dan Capanzana (2019) pada 145 ibu yang memiliki anak
berusia 6-8 tahun, menderita kurang gizi dan anemia di
Filipina. Peneliti mengembangkan 10 modul yang di•
gunakan untuk melakukan pendidikan kesehatan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan kese•
hatan tentang nutrisi meningkatkan pengetahuan, sikap
dan praktik pada ibu-ibu tersebut.
Kamau, Mirie, Kimani dan Mugoya (2019) mela•
kukan penelitian quasi eksperimental yaitu intervensi

Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu I 103


pendidikan kesehatan berbasis komunitas tentang suple•
men besi dan asam folat meningkatkan pengetahuan dan
sikap 340 ibu hamil yang berusia 18-49 tahun di Kenya.
Terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 35% (dari 57%
ke 92 % ) pada kelompok intervensi dibandingkan
ke• lompok kontrol yang mendapatkan pendidikan
kese• hatan dari rumah sakit yaitu meningkat sebesar
22% (dari 63% ke 85%). Sementara sikap ibu hamil
meningkat sebesar 26% (dari 67% ke 93%) sedangkan
kelompok kontrol meningkat sebesar 20% (dari 75% ke
95%).
Penelitian quasi eksperimental terbaru berupa pem•
berian pendidikan kesehatan berbasis komunitas yang
dilakukan Sharma, Gupta, Aggarwal, dan Gorle (2020)
melalui pelayanan kesehatan rutin dan pemantauan
malnutrisi anak usia 6 bulan sampai satu tahun secara
digital dapat meningkatkan PMT dan pertumbuhan anak
pada kelompok rentan (vulnerable population) di India
bagian utara.

104 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


DAFTAR PUSTAKA

1. Adair L.S., Fall C.H.D., Osmond C., Stein


A.D., Martorell R., Ramirez-Zea M. et al., for the
COHORTS Group (2013) Associations of linear
growth and relative weight gain during early life
with adult health and human capital in countries of
low and middle income: findings from five birth
cohort studies. Lancet published online March
28.Available at: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(13)60103-8
2. Aitchison, T. C., Durnin, J. V., Beckett, C., &
Pollitt,
E. (2000). Effects of an energy and micronutrient
supplement on growth and activity, correcting for
non-supplemental sources of energy input in under•
nourished children in Indonesia. European Journal
of Clinical Nutrition, 54(Suppl 2), S69-S73.
3. Alam MA, Richard SA, Fahim SM, Mahfuz M,
Nahar
B, Das S, et al. (2020) Impact of earlyonset
persistent stunting on cognitive development at 5
years of age: Results from a multi-country cohort
study. PLoS ONE
15(1): e0227839. https:/ /
doi.org/10.1371/journal. pone. 0227839
4. Angeles-Agdeppa I, Monville-Oro E, Gonsalves JF,
Capanzana MV. Integrated school based nutrition
programme improved the knowledge of
mother

] 105
and schoolchildren. Matern Child Nutr. 2019;15(S3)
:e12794. https:/ /
doi.org/10.1111/mcn.12794
5. Bardosono, S., Sastroamidjojo, S., & Lukito, W. (2007).
Determinants of child malnutrition during the 1999
economic crisis in selected poor areas of Indonesia.
Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 16(3),
512-
526.
6. Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D.,
Neufeld, L.M. A review of child stunting
determinants in Indonesia. Matern Child Nutr.
2018;14(4):1-10. https://doi.org/10.1111/mcn.12617
7. Beal, T.,et al. Child stunting is associated with child,
maternal, and environmental factors in
Vietnam. Matern Child Nutr. 2019;e12826. https:/
/ doi.org/
10.1111 /
mcn.12826
8. Berger, S. G., de Pee, S., Bloem, M. W., Halati, S., &
Semba, R. D. (2007). Malnutrition and morbidity
are higher in children who are missed by periodic
vitamin A capsule distribution for child survival in
rural Indonesia. The Journal of Nutrition, 137(5),
1328-
1333.
9. Berhe K, Seid 0, Gebremariam Y, Berhe A, Etsay N
(2019) Risk factors of stunting (chronic
undernutrition) of children aged 6 to 24 months
in Mekelle City, Tigray Region, North Ethiopia: An
unmatched case• control study. PLoS ONE
14(6):e0217736. https:/ /
doi.org/10.1371/journal.pone.0217736
10. Budiana, TA, Kartasurya, MI., & Judiono. Pengaruh
suplementasi taburia (sprinkle) terhadap kadar
hemo•
globin balita gizi kurang usia 3-5 tahun di
kecamatan

106 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


lewimunding kabupaten majalengka. Jurnal Gizi
Indonesia, Vol. 5, No. 1, Desember 2016: 34-
41.
11. Nyamizi Bundala, Joyce Kinabo, Theresia Jumbe,
Michelle Bonatti, Constance Rybak & Stefan Sieber
(2019): Gaps in knowledge and practice on dietary
consumption among rural farming households; a
call for nutrition education training in Tanzania,
International Journal of Food Sciences and
Nutrition, DOI: 10.1080/09637486.2019.1655533
12. Depkes RI. (2009). Buku kesehatan ibu dan anak.
Jakarta: Depkes RI dan
JICA.
13. Department of Nutrition, World Health
Organization
& Members of the WHO Multicentre Growth
Reference Study Group. 2006. WHO Child Growth
Standards based on length/height, weight and age.
Acta Paediatrica, 2006; Suppl 450: 76-85. https:/
/ www.who.int/ childgrowth/
standards/Growth_ standard.pd£. Diakses 16
Maret 2020
14. Dewey, KG. Reducing stunting by improving
maternal, infant and young child nutrition in
regions such as South Asia: evidence, challenges and
opportunities. Maternal & Child Nutrition (2016), 12
(Suppl. 1), pp. 27-38. doi: 10.1111/mcn.12282
15. Dewey, K.G., & Begum., K. Long-term consequences
of stunting in early life. Maternal and Child
Nutrition
(2011), 7 (Suppl. 3), pp. 5-18. doi:
10.1111/j.1740-
8709.2011.00349.x
16. Dhaded SM, Hambidge KM, Ali SA,
Somannavar M, Saleem S, Pasha O, et al. (2020).
Preconception nutrition intervention improved
birth length and

Daftar Pustaka I 107


reduced stunting and wasting in newborns in South
Asia: The Women First Randomized Controlled Trial.
PLoS ONE 15(1): e0218960. https:/ / doi.org/10.1371/
journal.pone.0218960
17. Diddana, T. Z., Kelkay, G.N., Dola, A.N., & Sadore,
A.A. Effect of nutrition education based on health
belief model on nutritional knowledge and
dietary practice of pregnant women in Dessie Town,
Northeast Ethiopia: A cluster randomized control
trial. Journal ofNutrition and Metabolism. 2018; https:/
/ doi.org/10.1155/2018/6731815
18. Dijkhuizen, M. A., Winichagoon, P., Wieringa, F. T.,
Wasantwisut, E., Utomo, B., Ninh, N. X., ...
Berger, J. (2008). Zinc supplementation improved
length growth only in anemic infants in a multi-
country trial of iron and zinc supplementation in
South-East Asia. The Journal of Nutrition, 138(10),
1969-1975.
19. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. (2018). e-PPGBM
Provinsi NTT. (Tidak
dipublikasikan).
20. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. 2019.
Modul pendidikan keluarga pada 1000 hari
pertama kehidupan (hpk) pelatihan calon pelatih
(pep) penye• lenggaraan pendidikan keluarga.
Jakarta: Kemen• dikbud
21. Ditjen Kesehatan Masyarakat. 2017. Buku saku pe•
mantauan status gizi. Jakarta: Kemenkes
RI
22. Engebretsen I.M., Wamani H., Karamagi C.,
Semiyaga N., Tumwine J. & Tylleskar T. (2007) Low
adherence to exclusive breastfeeding in Eastern
Uganda: a community-based cross-sectional study
comparing
108 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
dietary recall since birth with 24-hour recall. BMC
Pediatrics 7, 10.
23. Fadare, 0., Amare, M., Mavrotas, G., Akerele D.,
&
Ogunniyi, A. Mother's nutrition-related knowledge
and child nutrition outcomes: Empirical evidence
from Nigeria. PLoS One. 2019;14(2):e0212775.
doi:
10.1371/
journal.pone.0212775
24. Fahmida, U., Rumawas, J. S. P., Utomo, B.,
Patmono• dewo, S., & Schultink, W. (2007). Zinc-
iron, but not zinc-alone supplementation, increased
linear growth of stunted infants with low
haemoglobin. Asia Pacific Journal of Clinical
Nutrition, 16(2), 301-309.
25. Fernald, L. C. H., Kariger, P., Hidrobo, M., &
Gertler, P. J. (2012). Socioeconomic gradients in child
development in very young children: Evidence from
India, Indonesia, Peru, and Senegal. Proceedings of
the National Academy of Sciences of the United
States of America, 109(Suppl 2), 17273-17280.
https:/ / doi. org/10.1073/pnas.1121241109
26. Gari, T.Loha,E., Garessa, W.,Solomon, T. &
Lindtjorn,
B. Malaria increased the risk of stunting and
wasting among young children in Ethiopia: Results
of a cohort study. PLoS ONE. 2018; 13(1): e0190983.
https:/ / doi. org/ 10.1371 /journal.pone. 0190983
27. GibsonM.A.&Mace R. (2005)Helpful
grandmothers
in rural Ethiopia: a study of the effect of kin on child
survival and growth. Evolution and Human
Behavior
26, 469-482.
28. Giles, J., & Satriawan, E. (2015). Protecting child
nutritional status in the After math of a financial
crisis:

Daftar Pustaka I 109


Evidence from Indonesia. Journal of Development
Economics, 114, 97-106. https:/ / doi.org/10.1016/j.
jdeveco.2014.12.001
29. Girma, S., Fikadu, T., & Abdisa, E. Maternal Common
Mental Disorder as Predictors of Stunting among
Children Aged 6-59 Months in Western Ethiopia: A
Case-Control Study. International Journal of
Pediatrics,
2019, https:/ /
doi.org/10.1155/2019/ 4716482
30. Gunardi, H., Soedjatmiko, Sekartini, R., Medise,
B.E., Darmawan, A.C., Armeilia, R., & Nadya, R.
Association between parental socio-demographic
factors and declined linear growth of young
children in Jakarta. Med J Indones. 2017;26:286-92.
https:/ / doi. org/10.13181/mji.v26i4.1819
31. Hall, C., Bennett, C., Crookston, B., Dearden, K.,
Hasan, M., Linehan, M., & West, J. Maternal
know- ledge of stunting in rural Indonesia.
International Journal of Child Health and Nutrition.
2018; 7, 139-145.
32. Kamau M, Mirie W, Kimani S, Mugoya I (2019) Effect
of community based health education on
knowledge and attitude towards iron and folic acid
supplemen• tation among pregnant women in
Kiambu County, Kenya: A quasi experimental
study. PLoS ONE
14(11): e0224361. https:/ /
doi.org/10.1371/journal. pone.0224361
33. Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang standar antropometri penilaian status gizi
anak
34. Kementerian Desa, Pembangunan daerah tertinggal
dan Transmigrasi. (2017). Buku saku desa dalam
penanganan stunting. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan daerah tertinggal dan Transmigrasi.

110 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


35. Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Nasional
Riskedas 2018. Jakarta: Sekretariat Badan Litbang
Kemenkes RI.
36. Kemenkes RI. (2019). Panduan Orientasi Kader Pos•
yandu. Jakarta: Kemenkes
RI.
37. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasio•
nal/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
(2018). Pedoman pelaksanaan intervensi penurunan
stunting terintegrasi di kabupaten/ kota. Jakarta:
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasio•
nal/ Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
38. Lestari, E.D., Hasanah, F., & Nugroho, N. A.
Correlation between non-exclusive breastfeeding
and low birth weight to stunting in children. Paediatr
Indones.
2018;58:123-7; doi:
http://dx.doi.org/10.14238/pi58.
3.2018.123-7.
39. Mahmudiono, T., Nindya, T.S., Andrias, D.R.,
Megat• sari, H., & Rosenkranz, R.R. The
effectiveness of nutrition education for
overweight/ obese mothers with stunted children
(NEO-MOM) in reducing the double burden of
malnutrition in Indonesia: study protocol for a
randomized controlled trial. BMC Public Health. 2016;
16:486. https:/ / doi.org/10.1186/ s12889-
016-3155-1
40. Majamanda, J. Maureen, D., Munkhondia, T. M.
& Carrier, J. The Effectiveness of community-
based
nutrition education on the nutrition status of under•
five children in developing countries. A systematic
review. Malawi Medical Journal. 2014; 26 (4): 115-118.
41. Muslihah, N., Khomsan, A., Briawan, D., & Riyadi, H.

Daftar Pustaka I 111


(2016). Complementary food supplementation with a
small-quantity of lipid-based nutrient supplements
prevents stunting in 6-12-month-old infants in rural
West Madura Island, Indonesia. Asia Pacific Journal
of Clinical Nutrition, 25(Suppl 1), S36-S42.
42. Nshimyiryo, A., Hedt-Gauthier, B., Mutaganzwa, C.,
Kirk, C.M., Beck, K., Ndayisaba, A., & El-Khatib,
Z. Risk factors for stunting among children under
five years: a cross-sectional population-based study
in Rwanda using the 2015 Demographic and
Health Survey. BMC Public Health. 2019; 19:175.
https:/ / doi. org/ 10.1186/ s12889-019-6504-z
43. Nurmala, I., Rahman, F., Nugroho, A., Erlyani, N.,
Laily, M., & Anhar., V.Y. (2018). Promosi
Kesehatan: Surabaya: Airlangga University Press.
44. Oddo, V. M., Rah, J. H., Semba, R. D., Sun, K., Akhter,
N., Sari, M., ... Kraemer, K. (2012). Predictors of
maternal and child double burden of
malnutrition in rural Indonesia and Bangladesh.
The American Journal of Clinical Nutrition, 95(4),
951-958. https:/ / doi.org/10.3945/ ajcn.111.026070
45. Panduan Pengukuran Antropometri. http:/ /micro•
data. worldbank.org/ index.php/ catalog/ 1049
/
download/
21036
46. Pearson, R., Killedar, M., Petravic, J., Kakietek, J.J.,
Scott, N., Grantham, K.L., & Wilson, D.
P.Optima Nutrition: an allocative efficiency tool to
reduce childhood stunting by better targeting of
nutrition• related interventions. BMC Public Health.
2018; 18:384. https: / / doi.org/ 10.1186/ s12889-018-
5294-z
112 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
47. Pender, N.J., Murdaugh, C.L. & Parsons, M.A. (2015).
Health promotion in nursing practice, seventh ed.
Boston: Pearson Education, Inc.
48. Pokhrel S. & Sauerborn R. (2004) Household
decision
making on child health care in developing
countries:
the case of Nepal. Health Policy Plan 19, 218-
233.
49. Purnasari,G. Briawan, D.
&Dwiriani,C.M.Kepatuhan konsumsi suplemen
kalsium serta hubungannya dengan tingkat
kecukupan kalsium pada ibu hamil di kabupaten
Jember. Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol 7, No. 2,
(2016), pp. 83-93
50. Pusat Data dan Informasi Kemeterian Kesehatan
RI. (2018). Situasi balita pendek (stunting) di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
51. Ramli, C. N., Agho, K. E., Inder, K. J., Bowe, S. J.,
Jacobs, J., & Dibley, M. J. (2009). Prevalence and risk
factors for stunting and severe stunting among under•
fives in North Maluku province of Indonesia.
BMC
Pediatrics, 9, 64. https:/ / doi.org/10.1186/1471-
2431-
9-64
52. Sakwe N, Bigoga J, Ngondi J, Njeambosay B,
Esemu L, Kouambeng C, et al. (2019) Relationship
between malaria, anaemia, nutritional and socio-
economic status amongst under-ten children, in
the North Region of Cameroon: A cross-sectional
assessment. PLoS ONE 14(6): e0218442. https:/ /
doi.org/10.1371/ journal.pone.0218442
53. Sari,M.,dePee,S., Bloem,M. W.,Sun,K., Thome-
Lyman, A. L., Moench-Pfanner, R., ... Semba, R. D.
(2010). Higher household expenditure on animal-
source and

Daftar Pustaka I 113


nongrain foods lowers the risk of stunting among
children 0-59 months old in Indonesia: Implications
of rising food prices. The Journal of Nutrition, 140(1),
195S-200S. https:/ /
doi.org/10.3945/jn.109.110858
54. Satriawan, E. 2018. Strategi Nasional Percepatan
Pencegahan Stunting 2018-2024.
55. Schmidt, M. K., Muslimatun, S., West, C. E.,
Schultink, W., Gross, R., & Hautvast, J. G. A. J. (2002).
Nutritional status and linear growth of Indonesian
infants in West Java are determined more by
prenatal environment than by postnatal factors.
The Journal of Nutrition,
132(8), 2202-
2207.
56. Semba, R. D., de Pee, S., Kraemer, K., Sun, K.,
Thorne-Lyman, A., Moench-Pfanner, R., ... Bloem,
M. W. (2009). Purchase of drinking water is
associated with increased child morbidity and
mortality among urban slum-dwelling families in
Indonesia. Inter• national Journal of Hygiene and
Environmental Health, 212(4), 387-397. https:/ /
doi.org/ 10.1016/j. ijheh. 2008.09.001
57. Semba, R. D., de Pee, S., Sun, K., Sari, M.,
Akhter, N., & Bloem, M. W. (2008). Effect of
parental formal education on risk of child stunting
in Indonesia and Bangladesh: A cross-sectional
study. The Lancet,
371(9609), 322-328. https:/ /
doi.org/10.1016/S0140-
6736(08)60169-5
58. Semba, R. D., Kalm, L. M., de Pee, S., Ricks, M.
0., Sari, M., & Bloem, M. W. (2007). Paternal
smoking is associated with increased risk of child
malnutrition among poor urban families
in Indonesia. Public Health

114 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Nutrition, 10(1), 7-15. https:/ / doi.org/10.1017
/ S136898000722292X
59. Semba, R. D., Moench-Pfanner, R., Sun, K., de Pee,
S., Akhter, N., Rah, J. H., ... Kraemer, K.
(2011).
Consumption of micronutrient-fortified milk and
noodles is associated with lower risk of
stunting in preschool-aged children in Indonesia.
Food and Nutrition Bulletin, 32(4), 347-353.
https:/ / doi. org/10.1177/156482651103200406
60. Sharma N, Gupta M, Aggarwal AK, Gorle M (2020)
Effectiveness of a culturally appropriate nutrition
educational intervention delivered through health
services to improve growth and complementary
feeding of infants: A quasiexperimental study from
Chandigarh, India. PloSONE 15(3): e0229755. https:/
/ doi.org/10.1371/journal.pone.0229755
61. Sinha, B., Taneja, S., Chowdhury, R., Mazumder,
S.,
Rongsen-Chandola, T., Upadhyay, R.P., ..... &
Bhan, M.B. Low-birthweight infants born to short-
stature mothers are at additional risk of stunting
and poor growth velocity: Evidence from secondary
data analyses. Matern Child Nutr. 2018;14:e12504.
https:/ / doi.org/10.1111/mcn.12504
62. Stewart, C.P., Iannotti, L., Dewey, K. G., Michaelsen,
K. F., & Onyango, A. W. Contextualising comple•
mentary feeding in a broader framework for
stunting prevention. Maternal and Child Nutrition
2013;9(Suppl
2):27-45.
63. Sunguya et al.Trends in prevalence and
determinants of stunting in Tanzania: an analysis of
Tanzania demo-
Daftar Pustaka I 115
graphic health surveys (1991-2016). Nutrition
Journal.
(2019) 18:85 https:/ / doi.org/10.1186/ s12937-
019-
0505-8
64. Svefors P, Pervin J, Islam Khan A, et al. Stunting,
recovery from stunting and puberty
development in the MINIMat cohort, Bangladesh.
Acta Paediatr.
2020;109:122-133. https
:/ / doi.org/10.1111/ apa.14929
65. Thangaratinam S., Rogozinska E., Jolly K.,
Glinkowski S., Roseboom T., Tomlinson J.W. et al.
(2012) Effects of interventions in pregnancy on
maternal weight and obstetric outcomes: meta-
analysis of randomised evidence. BM] 344, e2088.
66. Tim Indonesia Baik. 2019. Bersama perangi stunting.
Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan
Komuni•
kasi PublikKementerian Komunikasi dan
Informatika
67. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemis•
kinan. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk
Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta:
Sekretariat wakil Presiden RI.
68. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemis•
kinan. (2018). Strategi Nasional Percepatan Pence•
gahan Stunting 2018-2024. Jakarta: Sekretariat wakil
Presiden RI.
69. Trihono,Atmarita, Tjandrarini, D.H., Irawati, A.,
Utami, N.H., Tejayanti, T. Nurlinawati, I. 2015.
Pendek (Stunting) Di Indonesia, Masalah Dan
Solusinya. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes
70. Torlesse, H., Cronin, A.A., Sebayang SK, Nandy R.
Determinants of stunting in Indonesian children:
Evidence from a cross-sectional survey indicate
a

116 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


prominent role for the water, sanitation and hygiene
sector in stunting reduction. BMC Public Health
[Internet]. 2016;16(1):1-11. Available from: http://
dx.doi.org/ 10.1186 / s12889-016-3339-8
71. UmetaM.,WestC.E., VerhoefH.,HaidarJ. &Hautvast
J.G. (2003) Factors associated with stunting in infants
aged 5-11 months in the Dodota-Sire District, rural
Ethiopia. The Journal of Nutrition 133, 1064-1069.
72. UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP, UN AIDS,
WF P, the World Bank & Kementerian Kesehatan.
(2010). Penuntun Hidup Sehat, edisi keempat. Jakarta:
UNICEF, WH O, UNESCO, UNFPA, UNDP, UNAIDS,
WF P, the World Bank dan Kementerian Kesehatan
73. UNICEF/WHO/WorldBankJointChildMalnutrition
Estimates Expanded Database: Stunting, March 2020,
New York
74. United Nations Children's Fund (UNICEF), World
Health Organization, International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
Levels and trends in child malnutrition: key findings
of the 2019 Edition of the Joint Child Malnutrition
Estimates. Geneva: World Health Organization; 2019
Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO. https:/
/www.who. int/nutgrowthdb/jme-2019-key-
findings.pdf
75. Walker S.P., Chang S.M., Powell C.A., Simonoff E.
& Grantham-McGregor S.M. (2007) Early childhood
stunting is associated with poor psychological
functioning in late adolescence and effects are
reduced by psychosocial stimulation. The Journal of
Nutrition
137, 2464-2469.
Daftar Pustaka I 117
76. WHO. (2013). Childhood stunting: Context, causes and
consequences, WHO conceptual framework. Diakses
tanggal 20 Juli 2019. Diakses dari https:/
/www.who. int/ nutrition/ events/
2013_ChildhoodStunting_
colloquium_14Oct_ConceptualFramework_colou
r. pdf
77. WHO. Child Malnutrition. http:/ /www.who.int/
gho/ child-
malnutrition/ en/
78. WHO. https://www.who.int/childgrowth/standards/
height_for_age/
en/
79. WHO. 2019. Child stunting data visualizations dash•
board: Child stunting. http://apps.who.int/ gho/
data/ node.sdg.2-2-viz-1?lang=en
80. WHO Indonesia. (2009).Buku Saku Pelayanan Kese•
hatan Anak Sakit di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia
81. WHO. (2008). Training Course on Child
Growth Assessment WHO Child Growth Standards.
Geneva: WHO
82. Wirth, J.P., Rohner, F., Petry, N., Onyango, A.W.,
Matji, J., Bailes, A., ....... Bradley Woodruff, B.
A. Assessment of the WHO Stunting Framework
using
Ethiopia as a case study. Matern Child Nutr.
2017;13(2). https://doi.org/10.1111/mcn.12310.
83. Workicho et al. Adolescent pregnancy and linear
growth of infants: a birth cohort study in rural
Ethiopia. Nutrition Journal. (2019) 18:22 https:/ /
doi. org/10.1186/s12937-019-0448-0
84. World Bank. (2017). AIMING HIGH Indonesia's
Ambition to Reduce Stunting. http://
documents.

118 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


worldbank.org/ curated/ en/ 913341532704260864/
pdf/128954-REVISED-WB-Nutrition-Book-Aiming•
High-11-Sep-2018.pdf
85. Young, M.F., Nguyen, P.H., Casanova, I. G., Addo,
O.Y., Tran, L.M., Nguyen, S., ..... & Ramakrishnan,
U. Role of maternal preconception nutrition on
offspring growth and risk of stunting across the
first 1000 days in Vietnam: A prospective cohort
study. PLoS ONE. 2018; 13(8): e0203201. https:/ /
doi.org/10.1371/ journal. pone.0203201

Daftar Pustaka I 119


120 I
GLOSSARIUM

Ante Natal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan


kehamilan yang diterima ibu pada masa kehamilan
anak terakhir dan diberikan oleh tenaga kesehatan,
meliputi dokter (dokter umum dan/ atau dokter
kandungan), bidan dan perawat.
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa
minum•
an lainnya selama 6 bulan
pertama
Balita Pendek (Stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U)
menurut umur• nya memiliki nilai z-scorenya kurang
dari -2SD (standar deviasi) dibandingkan dengan
standar baku WHO• MGRS (Multy centre Growth
Reference Study) 2006.
Balita Sangat Pendek (Severely Stunted) adalah balita
dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan
(TB/U) menurut umurnya memiliki nilai z-scorenya
kurang dari
-3SD (standar deviasi) dibandingkan dengan standar
baku
WHO-MGRS (Multy centre Growth Reference Study)
2006.
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) adalah berat bayi
lahir rendah atau <2,5 kg
Disability-Adjusted Life Years (DALYs) adalah
hilang•
nya masa hidup sehat setiap tahun

I 121
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus
yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome).
Ibu Hamil di Usia Remaja (Adolescent Pregnancy)
ada• lah usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di
bawah 20 tahun).
Intervensi Gizi Spesifik adalah upaya untuk
mencegah dan mengurangi masalah gizi secara
langsung yang umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan
oleh Kementerian Ke• sehatan (Kemenkes) melalui Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari
Pertama Kegiatan (HPK).
Imunisasi adalah upaya aktif untuk menimbulkan ke•
kebalan khusus dalam tubuh seseorang yang efektif
mencegah penularan penyakit tertentu, dengan cara
memberikan vaksin.
Imunisasi Khusus adalah imunisasi yang dilaksanakan
untuk melindungi seseorang dan masyarakat terhadap
penyakit tertentu pada situasi tertentu seperti persiapan
keberangkatan calon jemaah haji/umroh atau
persiapan perjalanan menuju atau dari Negara
endemis.
Imunisasi Pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan
kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam
rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit
tertentu.
Imunisasi Program adalah imunisasi yang diwajibkan
kepada seseorang sebagai bagian dari masyarakat
dalam
122 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat
sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Imunisasi dasar diberikan pada bayi sebelum
berusia satu tahun (0-11 bulan).

Imunisasi Tambahan adalah jenis Imunisasi tertentu


yang diberikan pada kelompok umur tertentu yang
paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan kajian
epidemiologis pada periode waktu tertentu.
Infantometer adalah papan yang digunakan untuk
mengukur panjang badan yaitu sebuah papan panjang
yang memiliki permukaan rata dan stabil seperti
sebuah meja.
Inisiasi menyusui dini (IMD) adalah kontak antara kulit
ibu dengan kulit bayi sesegera mungkin dalam jangka
waktu 1 (satu) jam setelah bayi dilahirkan.
Intrauterine growth restriction (IUGR) adalah suatu kon•
disi di mana berat badan janin berada pada rentang
lebih rendah dari usia kandungan.
Jarak Kelahiran Antar-Anak Singkat (Short
Birth
Spacing) adalah interval jarak kelahiran <24
bulan
Lahir Prematur adalah: bayi yang lahir sebelum 37
minggu.
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk Balita
adalah suplementasi gizi dalam bentuk makanan tam•
bahan dengan formulasi khusus dan difortifikasi dengan
vitamin dan mineral dengan sasaran kelompok balita
untuk pemulihan atau pemenuhan status gizi.
Glossarium I 123
Pendidikan Kesehatan adalah sebuah proses belajar
yang direncanakan oleh tenaga kesehatan dengan
tujuan untuk meningkatkan perilaku sehat melalui
peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Perawakan lbu Pendek (Short Maternal Stature)
adalah kondisi di mana tinggi badan ibu kurang dari
150 cm.
Periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
adalah periode dari janin hingga anak berusia 23 bulan.
Promosi dan Konseling Pemberian Makan Bayi
dan Anak (PMBA) yaitu: Kegiatan ini ditujukan pada
anak usia 7-23 bulan meliputi promosi pemberian ASI
lanjut dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) serta
konseling konsumsi makanan beragam, bergizi
seimbang dan aman dengan mengacu pada Pedoman
Gizi Seimbang, Kemenkes 2014.
Stadiometer adalah: papan yang digunakan untuk
meng•
ukur tinggi badan
124 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
INDEKS

A
ACT: Artemisinin Combination Therapy v, 73
Afrika 3, 61, 74
AIDS; Acquired Immune Deficiency Syndrome v, 73, 122
ANC : Ante Natal Care v, 121
ARV : Antiretroviral v
Asia vii, 3, 4, 5, 18, 21, 32, 61, 106, 107, 108, 109, 112
ASI : Air susu Ibu v
ASI eksklusif 35, 36, 75, 76, 77

B
Bacillus Calmette-Gu~rin v
Baduta : usia bawah dua tahun v, 125
Bank dunia 55
Balita : bayi di bawah lima tahun 1
BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah v, 22, 64, 121, 125
BCG : Bacillus Calmette-Gu~rin v, 87, 88
BABS : Buang Air Besar Sembarangan v, 94
BUMD: Badan Usaha Milik Daerah v, 10
BUMN: Badan Usaha Milik Negara v, 10

C
cacingan 19, 37, 89, 90

] 125
CI: Confidence Interval v, 38, 100
CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun v, 94, 131

D
D1-D3: Diploma 1-3 v
DALYs: Disability-Adjusted Life Years v, 52, 121
Demam 37
DKI : Daerah Khusus Ibukota v,9, 25
DPT: Difteri, pertusis, dan tetanus v, 87, 88

E
Ekonomi 38, 55, 60
e-PPGBM: Elektronik pencatatan pelaporan gizi
berbasis masyarakat v, 13, 108

F
foods 29, 32, 114

G
gemuk 6, 7, 43, 58
gizi v, 1-7, 12, 13, 17-19, 27-30, 39-43, 52, 53, 58, 62-64, 78•
82, 85, 90-103, 106, 108, 110, 122,
123

H
Haemophilus Influenza tipe B v
HPK : Hari Pertama Kehidupan vi, 3, 63, 124
HAZ : Hight for age Z-scores v, 32
HB : Hepatitis B v, 87, 88
Hib : Haemophilus Influenza tipe B v

126 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


HIV : Human Immunodeficiency Virus vi, 73, 122
HPV : Human papillomavirus vi

I
ibu vi, 16-28, 34, 36, 45, 48, 53, 59, 60, 62-79, 83, 95-107,
113, 121-124
IMD : Inisiasi Menyusu Dini vi, 34, 77, 78
IMT: Indeks Massa Tubuh vi
infeksi 2, 12, 14, 16, 37, 42, 51-54, 68, 72, 75-79, 88
IPV : Inactivated Polio Vaccine vi
IUGR : Intrauterine growth restriction vi, 21, 123
IYCF : Infant and Young Child Feeding vi

J
janin 3, 17, 20, 21, 42, 59, 62, 68, 123, 124
JKN: Jaminan Kesehatan Nasional vi, 95

K
Kab : Kabupaten vi
KAP : knowledge, attitude and practice/
Pengetahuan, sikap, dan praktik vi
KB : Keluarga Berencana vi, 95
KEK : Kurang Energi Kronik vi, 64
Kemenkes: Kementerian Kesehatan vi, 25, 30, 63, 67,
73,
74, 77, 79, 84, 89, 90, 94-96, 111, 113, 117, 122, 133,
139
KemenPUPR :Kementerian Pekerjaan Umum
dan
Perumahan Rakyat vi, 94
Kemensos : Kementerian Sosial vi,
97 kerdil iii, 2
Indeks I 127
Kesehatan iii, vi, vii, 6-8, 21-25, 30, 35, 38, 52, 53, 57, 61,
63, 67, 73, 74, 77, 79, 84, 85, 89, 90, 94-96, 101, 108,
111-113, 117, 118, 122, 124, 133, 139
KMS : Kartu menuju sehat vi, 127
kurus 6, 7, 30, 42, 43, 58, 82, 91, 98

L
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat vi

M
Makanan
vi,26,29,32,33,64,77,81,84,94,123 malaria
19, 37, 38, 71-73, 113
menyusui 16, 17, 18,35,36,69,77, 123
MGRS : Multy centre Growth Reference Study vi, 1, 121
MMN : Multiple mikronutrien vi
MP-ASI vi, 29, 77, 79, 80, 124

N
NTB: Nusa Tenggara Barat vi, 35
NTT: Nusa Tenggara Timur vi, 1,9, 12

0
OR : Odds Ratio vi
ORS : Oral Rehydration Solution vi, 83

p
PAMM-RT: Pengelolaan Air Minum dan Makanan
Rumah Tangga vi, 94
PAMSIMAS : Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi ber•
basis Masyarakat vii, 94

128 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


PAUD :Pendidikan Anak Usia Dini vii, 95
PBI: Penerima Bantuan Iuran (PBI) vii, 95
PB : Panjang Badan vii, 1, 18, 40, 41, 43, 44, 121, 123
PB/U: Panjang badan menurut umur vii
PCV: Pneumococcal Conjugate Vaccine vii
PDB : Prociuk Domestik Bruto vii, 61
pendek iii, 1, 2, 6, 7, 12, 16-19, 42-45, 51- 59, 63, 113
perkembangan 2, 17, 23, 51, 53, 54, 57, 59, 61, 72, 76, 89,
99,134
PIN: Pekan Imunisasi Nasional vii
PKH S : Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat vii, 96
PLCRT : Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga vii, 94
PMBA : Pemberian makan bayi dan anak vii
PMT: Pemberian makanan tambahan vii, 29, 64, 90
PNS : Pegawai negeri sipil vii
POLRI : Polisi Republik Indonesia vii
Posyandu : Pos Pelayanan terpadu vii
prevalensi 5, 6, 7, 8, 9, 10, 18, 19, 22, 28, 33
PSG : Pemantauan Status Gizi vii, 6
PS-RT : Pengamanan Sampah Rumah Tangga vii
PT : Perguruan Tinggi vii
Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat vii, 63, 122

R
RCT : Randomized controlled trial vii
Riskesdas: Riset Kesehatan Dasar vii, 7, 8

s
SBD : Sumba Barat Daya vii
SDM : Sumber Daya Manusia vii, 94

Indeks I 129
SD: Sekolah Dasar vii, 89, 91
SEAR: South-East Asia Regional (regional Asia Tenggara)
Vll
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas vii
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama viii
SPAL : Sistem Pembuangan Air Limbah viii,
25
Status Gizi vii, 6, 42
STBM: Sanitasi Total Berbasis Masyarakat viii, 94
stunting iii, iv, 1-28, 30-38, 40-43, 51-62, 94, 98-103, 105, -
119
SUN : Scaling Up Nutrition viii, 94

T
TB : Tinggi Badan viii
TB/U: Tinggi badan menurut umur
viii TNI: Tentara nasional Indonesia
viii TTD : Tablet tambah darah viii, 66
TTS: Timor Tengah Selatan viii
TTU: Timor Tengah Utara viii

u
Ultrasonografi viii
UNAIDS: United Nations Programme on HIV/AIDS vm
UNDP: United Nations Development Programme viii
UNESCO : United Nations Educational, Scientific
and
Cultural Organization viii
UNFPA : United Nations Population Fund viii
UNICEF: United Nations Emergency Children's Fund viii
USG : Ultrasonografi viii, 21
usia viii, 1, 2, 6, 16-22, 26, 30, 35, 36, 42, 52, 54, 58, 60, 63,
66, 74-77,79,81-84,86,88-91, 104,106, 122-124, 138
130 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa
V
Vaksin 37, 88

w
WFP: World Food Programme viii
WHO
WHO : World Health Organization i-iv, viii, 1-6, 8,
12,
14-16, 21, 23, 28, 29, 37, 38, 40, 41, 44, 58, 67-70, 73,
74,77, 79,82,84,89,90, 102,107,117,118,121,133
WUS: wanita usia subur viii, 66, 86, 90

z
zat gizi 17, 29, 39, 64, 80, 85, 90, 96
Z-score 1, 42, 121

Indeks I 131
Lampiran 1
LARUTAN ORALIT MINUMAN KHUSUS
UNTUKDIARE
Apakah oralit?
Oralit adalah kombinasi khusus dari garam yang
dicampur dengan air. Fungsinya membantu
menggantikan cairan yang hilang karena diare
Kapan oralit
digunakan?
Jika anak buang air besar hingga tiga kali atau lebih
dalam sehari, berikan oralit. Sebagai tambahan
untuk
10-14 hari berikan kepada anak-anak diatas enam bulan
20 miligram zinc setiap harinya (tablet atau sirup),
berikan kepada anak-anak di bawah enam bulan 10
miligram per hari (tablet atau sirup).
Dimana oralit
didapat?
Di Puskesmas, pos kesehatan desa (poskesdes),
polindes, posyandu, apotik, toko obat.
Bagaimana menyiapkan oralit untuk
diminum?
1. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dan air mengalir.
Siapkan satu (satu) gelas air minum (200 cc).
Atau ikuti aturan pakai dalam kemasan.
2. Tuang isi kemasan Oralit ke dalam air yang
telah
disiapkan.
3. Aduk hingga merata lalu berikan kepada anak
dengan cangkir yang bersih.
I 133
Se erapa anya
Minumkan kepada anak sebanyak mungkin. Anak di
bawah umur dua tahun membutuhkan seperempat
hingga setengah mangkok oralit (125 ml) setiap habis
buang air besar (BAB) cair. Anak di atas umur dua
tahun membutuhkan setengah hingga satu mangkok
oralit (250 ml) setiap habis BAB cair.
Pada kasus diare ringan-sedang-berat, dapat
dipakai acuan berikut:
a. Bagi penderita dengan dehidrasi ringan yang
masih dapat minum:
□ Dilakukan rehidrasi dengan oralit 75 ml/kg BB,
diberikan dalam empat jam
□ Selama periode ini ASI dilanjutkan. Untuk
bayi kurang dari enam bulan dan tidak
mendapat
ASI, berikan juga air masak 100-200 ml
□ Setelah 3-4 jam, harus diselingi dengan
pemberian makanan
b. Bagi penderita dengan dehidrasi berat yang
sudah tidak dapat minum.
Untuk anak berusia kurang dari 12 bulan:
□ Satu jam pertama 15 ml/kg Berat Badan (BB)
□ Lima jam berikutnya 60 ml/kg BB
Untuk anak berusia lebih dari 12 bulan:
□ Setengah jam pertama 15 ml/kg BB
□ Tiga setengah jam berikutnya 60 ml/kg BB
c. Bagi penderita dengan dehidrasi berat
Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan
infos larutan Darrow glukosa.

134 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


□ Satu jam pertama 20 ml/kg BB
□ Lima jam berikutnya 80 ml/kg BB
Untuk anak berusia lebih dari 12
bulan:
□ Jam pertama 20 ml/kg BB
□ Tiga setengah jam berikutnya 80 ml/kg BB
Setelah empat jam untuk anak besar atau enam
jam
untuk bayi dilakukan penilaian kembali. Bila
telah pulih rehidrasi, pemberian cairan infos
dilanjutkan
100 ml/kg BB/18 jam, atau untuk anak besar dalam
20jam
Apa yang dilakukan jika tidak ada
oralit?
□ Berikan kepada anak minuman yang terbuat
dari enam sendok teh gula dan setengah
sendok teh
garam dilarutkan dalam satu gelas air.
□ Hati-hatilah mencampurkan dengan
takaran yang benar. Terlalu banyak
garam dapat
membahayakan anak.
□ Campuran yang dibuat dengan air lebih
banyak dari satu liter tidak membahayakan.
Sumber: (UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP,
UNAIDS, WFP, the World Bank & Kementerian
Kesehatan, 2010).
Lampiran I 135
Lampiran2

CARA M EMANTAU PERTUMBUHAN DAN


PERKEMBANGAN ANAK

□ Timbang berat badannya tiap bulan di Posyandu,


tempat pelayanan kesehatan lain, atau Pos
Pelayanan Anak Usia Dini (PAUD).
□ Rangsang perkembangan anak sesuai umurnya.
□ Ajak anak bermain dan bercakap-cakap (bercerita).
□ Bawa anak ke petugas kesehatan untuk
mendapatkan pelayanan
□ Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang (SDIDTK).
✓ Umur 0-1 tahun 4 kali dalam setahun
✓ Umur 1- 6 tahun 2 kali tiap tahun (setiap 6
bulan)
□ Minta kader mencatatnya di KMS
Sumber: Kemenkes, 2019

136 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa


Lampiran 3

CARA MERANGSANG PERKEMBANGAN ANAK


UMUR 0-3 BULAN
□ Sering memeluk dan menimang bayi dengan
penuh kasih sayang.
□ Gantung benda berwarna cerah yang bergerak dan
bisa dilihat bayi
□ Ajak bayi tersenyum dan bicara.
□ Perdengarkan musik pada bayi.
UMUR 3-6 BULAN
□ Sering tengkurapkan bayi.
□ Gerakkan benda ke kiri dan kanan, di depan
matanya.
□ Perdengarkan berbagai bunyi-bunyian.
□ Beri mainan benda yang besar dan berwarna
UMUR 6-12 BULAN
□ Ajari bayi duduk
□ Ajak main ci-luk-ba
□ Ajari memegang dan makan biskuit
□ Ajari memegang benda kecil dengan 2jari
□ Ajari berdiri dan berjalan dengan berpegangan
□ Ajak bicara sesering mungkin
□ Latih mengucapkan ma.. ma.. pa.. pa
□ Beri mainan yang aman dipukul-pukul
UMUR 1-2 TAHUN

Lampiran I 137
□ Ajari berjalan di undakan/ tangga
□ Ajak membersihkan meja dan menyapu
□ Ajak membereskan mainan
□ Ajari mencoret-coret di kertas
□ Ajari menyebut bagian tubuhnya
□ Bacakan cerita anak
□ Ajak bernyanyi
□ Ajak bermain
□ Berikan pujian kalau ia berhasil melakukan
sesuatu
UMUR 2-3 TAHUN
□ Ajari berpakaian sendiri
□ Ajak melihat buku bergambar
□ Bacakan cerita anak
□ Ajari makan di piringnya sendiri
□ Ajari cuci tangan
□ Ajari buang air besar dan kecil di tempatnya
UMUR 3-5 TAHUN
□ Minta anak menceritakan apa yang ia lakukan
□ Dengarkan ia ketika bicara
□ Jika ia gagap, ajari bicara pelan-pelan
□ Awasi dia mencoba hal baru
Sumber: Kemenkes, 2019

138 I Stefanus Mendes Kiik & Muhammad Saleh Nuwa

Anda mungkin juga menyukai