Anda di halaman 1dari 60

PENERAPAN KOLABORASI ANTAR PROFESI

PADA KELUARGA TN. S DI CILANDAK


Dosen Pembimbing:
Erni Mardiati, SKM, M.Kes (Epid)
Ngatemi, S.SiT, MA.Kes
Rasumawati, SKM, MA.Kes
Suci Anatasia, B.Sc.PO, MSc.
Tarwoto, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh:

Julian reza Zakaria Ortotik Prostetik Erdita Rahma Dini Kebidanan


Selvina Yuliana Ners Anastya Noor Fadhilla Kebidanan
Mardhiyatul Jamilah Ners Jihan Amir Balaswad Kebidanan
Fahaurellia Agifah Saffanah Kebidanan Habibi Faturrahman Kesehatan Gigi
Indah Wulandari Kebidanan Feyza Elisa Chairunnisa Hasibuan Kesehatan Gigi
Raydhita Azzahra N. Kebidanan Fatiyyah Azzahra Kesehatan Gigi
Sheva Mirza Azahra Kebidanan

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA 1


2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Penerapan Kolaborasi
Antar Profesi Pada Keluarga Tn. S di RT 005 RW 012 Kelurahan Cilandak Barat’’

Adapun tujuan penyusunan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi. Penyusunan laporan ini tentu tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, terutama orang tua sebagai motivator dan pemberi semangat dalam
penyusunan makalah ini, baik berupa dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu drg. Ita Astit Karmawati, MARS., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Jakarta I.
2. Dr. Reni Chairani, SKp., MKep., SpKom, selaku Kepala Pusat Pengembangan
Pendidikan
3. Ibu Heni Nurhaeni, S.Kp., M.KM., selaku dosen penanggung jawab mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
4. Ibu Erni Mardiati, SKM, M.Kes (Epid) selaku dosen pembimbing mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
5. Ibu Ngatemi, S.SiT, MA.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi Antar
Profesi (KAP).
6. Ibu Rasumawati, SKM, MA.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi (KAP).
7. Ibu Suci Anatasia, B.Sc.PO, MSc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi (KAP).
8. Bapak Tarwoto, S.Kep., Ners., M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun guna menyempurnakan penulisan laporan ini sangat dibutuhkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Jakarta, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................1
BAB I.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.....................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................2
1.2 Tujuan Penulisan.........................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
LANDASAN TEORI................................................................................................................4
2.1 Konsep Interprofesional Education (IPE)...................................................................4
2.2 Konsep Diabetes Melitus.............................................................................................8
2.3 Konsep Disfungsi Ereksi...........................................................................................20
2.4 Konsep Karies Gigi...................................................................................................21
BAB III....................................................................................................................................26
TINJAUAN KASUS...............................................................................................................26
3.1 Pengkajian......................................................................................................................26
3.2 Masalah Kesehatan.........................................................................................................28
3.3 Rencana Asuhan Profesi.................................................................................................28
3.4 Implementasi..................................................................................................................32
3.5 Evaluasi..........................................................................................................................32
BAB IV....................................................................................................................................40
PEMBAHASAN.....................................................................................................................40
BAB V......................................................................................................................................44
PENUTUP...............................................................................................................................44
5.1 Kesimpulan................................................................................................................44
5.2 Saran...............................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................46
LAMPIRAN............................................................................................................................49

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini sangatlah kompleks
karena berbagai faktor perubahan, seperti perubahan status demografi, perubahan pola
hidup, dan karakteristik masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
maka diperlukan sebuah sistem kerja kolaborasi antar profesi kesehatan atau
Interprofessional Collaboration (IPC).
Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kemitraan
antara seorang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan (Morgan et al,
2015). IP dapat terjadi ketika berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien,
keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas
tinggi (WHO, 2010).
Salah satu upaya untuk mewujudkan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah dengan
memperkenalkan praktik kolaborasi melalui proses pendidikan yang lebih dikenal dengan
pendidikan antarprofesi. Menurut (WHO, 2010), pendidikan antarprofesi (IPE) adalah
proses pendidikan yang melibatkan dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan ini bisa
terjadi apabila beberapa mahasiswa dari berbagai profesi belajar tentang profesi lain,
belajar bersama satu sama lain untuk menciptakan kolaborasi efektif dan pada akhirnya
meningkatkan outcome kesehatan yang diinginkan. IPE akan terjadi ketika dua atau lebih
profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari
peran masing-masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan
kualitas pelayanan kesehatan. Kolaborasi interprofesional merupakan strategi untuk
mencapai kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam pelayanan
kesehatan (Noor Ariyani Rokhmah, 2017).
Kegiatan Kolaborasi Antar Profesi (KAP) ini bertujuan untuk melatih kerjasama tim
dengan profesi yang berbeda sehingga dapat membantu pasien mencapai kesembuhannya
dengan maximal. Pada studi KAP kali ini terdiri dari profesi bidan, perawat, kesehatan
gigi, dan ortotik prostetik.

2
Kelompok 4 terdapat salah satu keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Pada
keluarga tn. m seorang laki-laki 59 tahun dengan keluhan memiliki riwayat diabetes,
terdapat luka ganggren di telapak kaki dan luka kecil di kaki kiri, hasil gula darah puasa
139 mg/dl, berat badan menurun, memiliki gaya hidup yang tidak sehat, dan juga sudah
tidak memiliki gigi.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami pentingnya kolaborasi antar profesi
dalam pemberian asuhan kesehatan kepada masyarakat.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui nilai dan etik kolaborasi antarprofesi kesehatan
b. Mengetahui peran dan tanggung jawab antarprofesi
c. Mengetahui keterampilan komunikasi dalam Interprofesional Education
d. Mengetahui kerjasama tim dalam Interprofesional Education

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Interprofesional Education (IPE)


1. Pengertian IPE
Pendidikan inter-profesional (IPE) dan praktik kolaborasi interprofesional (IPCP)
adalah konsep yang terpisah namun terkait. Salah satu maksud dari IPE adalah bahwa
para siswa/mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan berlatih sampai tingkat penuh
dalam pendidikan dan pelatihan mereka dan, dalam prosesnya, mengeksplorasi
batasan dari praktik mereka. Pada saat yang sama, mereka belajar bagaimana
memiliki hubungan interprofessional yang efektif melalui berbagi keterampilan dan
pengetahuan kolaboratif. IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar
bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing
profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan
kesehatan, Kolaborasi terjadi ketika individu saling menghormati satu sama lain dan
profesi satu sama lain dan bersedia berpartisipasi dalam suasana kooperatif (Norisca
Aliza Putriana, 2020).
Menurut (WHO, 2010), IPE merupakan suatu proses yang dilakukan dengan
melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang memiliki perbedaan
latar belakang profesi dan melakukan pembelajaran bersama dalam periode tertentu,
adanya interaksi sebagai tujuan utama dalam IPE untuk berkolaborasi dengan jenis
pelayanan meliputi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif.
Interprofessional Education (IPE) merupakan praktik kolaborasi antara dua atau lebih
profesi kesehatan yang saling mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan
dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan
kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana luaran pendekatan
antara mahasiswa profesi kedokteran dan kebidanan, berdasarkan persepsi
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang menggunakan metode pembelajaran
IPE berbasis komunitas (Kevin Pieter Toman, 2016).

2. Manfaat IPE
Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Practice, WHO (2010) menjelaskan IPE berpotensi menghasilkan berbagai manfaat
dalam beberapa

4
aspek yaitu kerjasama tim meliputi mampu untuk menjadi pemimpin tim dan anggota
tim, mengetahui hambatan untuk kerja sama tim; peran dan tanggung jawab meliputi
pemahaman peran sendiri, tanggung jawab dan keahlian, dan orang-orang dari jenis
petugas kesehatan lain; komunikasi meliputi pengekspresikan pendapat seseorang
kompeten untuk rekan, mendengarkan anggota tim; belajar dan refleksi kritis
meliputi cermin kritis pada hubungan sendiri dalam tim, mentransfer IPE untuk
pengaturan kerja; hubungan dengan pasien, dan mengakui kebutuhan pasien meliputi
bekerja sama dalam kepentingan terbaik dari pasien, terlibat dengan pasien, keluarga
mereka, penjaga dan masyarakat sebagai mitra dalam manajemen perawatan; praktek
etis meliputi pemahaman pandangan stereotip dari petugas kesehatan lain yang
dimiliki oleh diri dan orang lain, mengakui bahwa setiap tenaga kesehatan memiliki
pandangan yang sama-sama sah dan penting (WHO, 2010).

3. Kompetensi IPE
Bridges menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu (Norisca Aliza Putriana,
2020):
a. Memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas,
b. Bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan
perawatan dan pengobatan pasien,
c. Bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau
perawatan pasien,
d. Menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain,
e. Memfasilitasi pertemuan interprofessional, dan
f. Memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.
ACCP 2009 dalam jurnal norisca membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas
empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, orientasi tim, dan kemampuan tim.
Penilaian hasil dari pengalaman pembelajaran IPE ini dapat dilihat melalui
pemahaman tentang sikap tenaga kesehatan terhadap kolaborasi tim kesehatan dan
masing-masing tenaga kesehatan mengerti peran masing-masing tenaga kesehatan
merupakan tolak ukur dalam efektifitas educational interventions (Norisca Aliza
Putriana, 2020).

5
4. Domain IPE
Menurut Core Competencies for Interprofessional Collaborative Practice (2011)
domain kompetensi interprofessional education yaitu:
a. Nilai / etika untuk praktik interprofessional
Nilai interprofessional dan etika yang terkait merupakan bagian baru yang
penting dalam menyusun identitas profesional, yang bersifat profesional dan
interprofessional. Nilai dan etika ini dipusatkan pada orientasi komunitas /
populasi, didasarkan pada tujuan bersama untuk mendukung kebaikan bersama
dalam perawatan kesehatan, dan mencerminkan komitmen bersama untuk
menciptakan sistem perawatan yang lebih aman, efisien, dan lebih efektif.
Mereka membangun kompetensi inti yang terpisah, spesifik profesi, dalam
berpusat pada pasien (Core Competencies for Interprofessional Collaborative
Practice, 2011).
b. Peran / tanggung jawab
Belajar dalam interprofessional education memerlukan pemahaman tentang
bagaimana peran dan tanggung jawab profesional saling melengkapi dalam
perawatan yang berpusat pada pasien dan masyarakat / populasi. Peran dan
tanggung jawab profesional kepada anggota tim profesi lain dan memahami
peran dan tanggung jawab orang lain sehubungan dengan peran mereka sendiri
sebagai domain kompetensi inti untuk praktik kolaboratif. Domain ini adalah
fitur eksplisit dalam kerangka kerja interprofessional yang paling banyak (Core
Competencies for Interprofessional Collaborative Practice, 2011)
c. Interprofessional komunikasi
Komunikasi sebagai domain kompetensi inti kedua, dan dalam kebanyakan
kerangka kerja komunikasi kompetensi dianggap sebagai aspek inti dari praktik
kolaborasi antarprofessional. Mengembangkan keterampilan komunikasi dasar
adalah area umum untuk pendidikan profesi kesehatan, namun mahasiswa tahap
profesi sering hanya memiliki sedikit pengetahuan atau pengalaman dengan
komunikasi interprofessional. Lebih dari satu dekade yang lalu, laporan AAMC
tentang komunikasi dalam kedokteran mengakui pentingnya berkomunikasi
secara efektif dengan anggota tim kesehatan lainnya, mengingat gerakan menuju
perawatan terpadu yang lebih baik (Core Competencies for Interprofessional
Collaborative Practice, 2011).

6
d. Tim dan Kerja tim
Belajar dalam interprofessional education berarti belajar menjadi pemain tim
yang baik. Perilaku kerja timbal balik berlaku dalam situasi dimana profesi
kesehatan berinteraksi atas nama tujuan bersama untuk perawatan pasien atau
masyarakat. Perilaku kerja tim melibatkan kerja sama dalam perawatan yang
berpusat pada pasien; mengkoordinasikan perawatan seseorang dengan profesi
kesehatan lainnya sehingga kesenjangan, redudansi, dan kesalahan dihindari; dan
berkolaborasi dengan orang lain melalui pemecahan masalah bersama dan
pengambilan keputusan bersama, terutama dalam keadaan yang tidak pasti.
Proses ini mencerminkan meningkatnya tingkat saling ketergantungan antara
yang tertanam dalam tim, dalam sistem mikrosistem seperti unit rumah sakit,
atau di antara organisasi dan masyarakat (Core Competencies for
Interprofessional Collaborative Practice, 2011).

5. Faktor pendukung dan penghambat IPE


a. Faktor Pendukung
1) Komitemen yang jelas dari seluruh anggota profesi atau seluruh program
2) studi yang akat terlibat di dalam pendidikan antar profesi
3) Kesiapan mahasiswa untuk siap dan aktif dalam mengikuti pendidikan antar
profesi;
4) Adanya role modeluntuk kolaborasi antar profesi baik di tatanan akademik
maupun lahan praktek baik rumah sakit maupun di masyarakat
5) Tuntutan yang besar dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehaan yang komprehensif dan terintegrasi;
6) Dukungan dari manajemen ( prodi atau fakultas ) termasuk dukungan
logistik, keuangan dan administrasi.
b. Faktor penghambat
1) Adanya ego masing masing profesi
2) Kultur kerja sama yang kurang
3) Resisten terhadap perubahan;
4) Perbedaan profesi dan tujuan masing profesi;
5) Kurikulum yang kaku dan terpusan;
6) Beban kerja dosen dan mahasiswa yag terlalu tinggi.(Zaenal,dkk,2018)

7
7) Hambatan kelembagaan waktu adalah suatu masalah, seperti program studi
yang memiliki kurikulum berbeda beda.
8) Hambatan profesional tantangan lain dari IPE adalah bagaimana bisa
menghargai profesi lain. Bila hal ini tidak bisa dilakukan akan terjadi
kegagalan untuk saling menghargai peran profesi masing masing. (Triana,
Neny, 2018).

2.2 Konsep Diabetes Melitus


1. Pengertian diabetes melitus
Menurut Hestiana (2017) Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit
menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi normal
yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah
puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit
gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi
insulin) (R. N. Fatimah, 2015a).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan diabetes mellitus tipe 2 adalah
penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi
normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar
gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin).

2. Etiologi
Menurut Hestiana (2017) pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak
mengalami kerusakan pada sel - sel penghasil insulin yang terdapat pada
pankreasnya, namun insulin tersebut tidak dapat berfungsi. Menurut Hestiana (2017)
etiologi dari diabetes mellitus tipe II, yaitu :
a. Riwayat Diabetus Mellitus pada Keluarga
Risiko diabetus mellitus dapat meningkat 2 kali lipat jiwa memiliki satu orang
dengan diabetus mellitus. diabetus mellitus merupakan penyakit yang
diturunkan.
b. Obesitas

8
Kelebihan berat badan dapat membuat metabolisme glukosa menjadi abnormal
dan meningkatkan resistensi insulin.

9
c. Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah arteri
mengalami penebalan sehingga diameter pembuluh darah menyempit
menyebabkan pengangkutan glukosa terganggu.
d. Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik ringan atau kurang pergerakan menyebabkan ketidakseimbangan
kebutuhan energi yang dibutuhkan dengan yang dikeluarkan.
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia menyebutkan beberapa faktor resiko
Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut (Hestiana, 2017) :
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu riwayat keluarga dengan
Diabetes Mellitus (genetik), faktor usia (diatas 45 tahun), riwayat melahirkan
dengan berat badan lahir tinggi (diatas 4000 gram), dan riwayat melahirkan
dengan berat lahir rendah (dibawah 2500gram).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, yaitu berat badan berlebih (IMT
≥23kg/m2), kurang aktivitas fisik, hipertensi (>140/90mmHg), dislipidemia
(Trigliserida 250mg/dl dan/atau HDL <35mg/dl), dan diet tidak sehat seperti
diet tinggi glukosa dan rendah serat.

3. Tanda Gejala
Menurut Black & Hawks (2014) adalah peningkatan kadar gula darah, disebut
hiperglikemia, mengarah kepada manifestasi klinis umum yang berhubungan dengan
DM. pada DM tipe 1, onset manifestasi klinis mungkin tidak ketara dengan
kemungkinan situasi yang mengancam hidup yang biasanya terjadi (misal,
ketoasisdosis diabetikum). Pada DM tipe 2, onset manifestasi klinis mungkin
berkembang secara bertahap yang klien mungkin mencatat sedikit atau tanpa
manifestasi klinis selama beberapa tahun. Menurut (Setiati S, Alwi I, 2014)
manifestasi klinis DM adalah peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria),
peningkatan rasa haus dan minum (polidipsi), dan karena penyakit berkembang,
penurunan berat badan meskipun lapar dan peningkatan makan (poliphagi).
Pada pasien DM tipe-2 mungkin tidak memperlihatkan gejala apapun dan
diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menunjukkan gejala polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak

10
menderita ketoasidosis karena pasien ini tidak mengalami defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif (Price, S. A and Wilson, 2006).

4. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe
1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka
dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I
sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita diabetes
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Defisiensi insulin pada DM tipe-1 akan
mengurangi ambilan glukosa oleh otot, jaringan lunak, jaringan splanikus dan akan
terjadi peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kadar gula darah akan
meningkat dan mengakibatkan peningkatan osmolalitas cairan ekstra selular.
Peningkatan osmolalitas yang melebihi ambang batas ginjal akan menyebabkan
glukosa dikeluarkan melalui urin. Glukosa yang ada akan menarik air dan elektrolit
lain sehingga pasien mengeluh sering kencing atau poliuria. Dengan demikian tubuh
akan selalu dalam keadaan haus dan mengakibatkan banyak minum (polidipsia).
Selain itu defisiensi insulin pada pasien DM tipe-1 juga mengakibatkan berkurangnya
ambilan asam amino dan sintesis protein, sehingga pemenuhan nitrogen otot kurang.
Katabolisme protein juga meningkat, sehingga secara klinis massa otot dijaringan
perifer berkurang mengakibatkan penurunan berat badan. Glukosa yang tidak
terpakai di sel atau jaringan perifer mengakibatkan tubuh akan lemah dan kurang
aktivitas. (Pulungan et al., 2016)
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
: 1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan
kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif

11
dan tidak absolut. sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama,artinya sekresi insulin

12
gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-
sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
resistensi insulin dan defisiensi insulin. (R. N. Fatimah, 2015b).

5. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi
DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai
normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM
tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga
tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
2) Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-
tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,
antara lain ketoasidosis diabetic (KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolakto asidosis (Sudoyo,2009 dalam (R. Fatimah, 2015).
b. Komplikasi Kronis
1) Komplikasi Makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler adalah terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah besar seperti di jantung dan diotak yang sering
mengakibatkan kematian serta penyumbatan pembuluh darah besar
diekstremitas bawah yang mengakibatkan ganggren dikaki sehingga banyak
penerita DM yang harus kehilangan kaki karena harus diamputasi.
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita
DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan
stroke.

13
2) Komplikasi Mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler adalah terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah kecil seperti di ginjal yang dapat menyebabkan penderita
mengalami gangguan ginjal dan di mata dapat mengakibatkan penderita
mengalami gangguan penglihatan bahkan kebutaan. Komplikasi
mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati,
diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.
a) Retinopati Diabetika
Gejalanya yaitu berkurangnya ketajaman penglihatan atau
gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma.
Retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak
dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, penurunan kadar gula
darah yang terlalu singkat dapat memperburuk kondisi yang terjadi.
b) Nefropati Diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling
banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan
ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos
ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten (> 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan
demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah (Yuhelma et al., 2015).
c) Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik merupakan komplikasi dari penyakit
diabetes melitus yang ditandai dengan adanya gangguan saraf,
terutama di daerah tungkai bawah. Penyakit ini dialami oleh sekitar 50

14
persen penderita

15
diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Neuropati perifer merupakan bentuk
neuropati diabetik yang paling sering ditemukan pada orang dengan
diabetes melitus.
Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi
degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau
bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau
lengan. Faktor resiko kardiovaskular seperti hipertensi; dislipidemia;
overweight; obesitas; dan mikroalbuminemia, adanya komplikasi
mikrovaskuler lain seperti nefropati dan retinopati (Putri & Waluyo,
2020).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Kardika, 2015) diagnosis klinik untuk diabetes biasanya ditandai
dengan gejala klasik (meningkatnya rasa haus, nafsu makan bertambah dan sering
buang air kecil) dapat disertai pula kehilangan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
dan pada kasus yang parah dapat terjadi koma dan adanya glikosuria. Menurut
(Hardjono, 2007) untuk diagnosis lebih lanjut maka dilakukan pemeriksaan glukosa
darah, yaitu:
a. Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan pada
pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia.
Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan.
Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena) maka
penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu
dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b. Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam
sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat
yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula
darah puasa sebagai berikut: kadar glukosa plasma puasa <110 mg/dl dinyatakan
normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl
disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah puasa
lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.

16
c. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta
berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa
darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl.
d. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada
pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk
memastikan diabetes atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006, tatacara
tes TTGO dengan cara melarutkan 75 gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg
pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan
dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama
minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai berikut:
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl;
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi
< 200 mg/dl; dan
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (R. N. Fatimah, 2015) tujuan penatalaksanaan DM tipe 2 jangka
pendek yaitu hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: tercegah dan
terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
a. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

17
menggunakan obat

18
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%
dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body
Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
merupupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan.
b. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive,
Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh
adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
Menurut (Eliana, 2015) Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
secara teratur (3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150
menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.
c. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat
resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien
DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan
kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.
d. Farmakologi
1) Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar
gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan
menghilangkan gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol
berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama.
Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM
tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan

19
asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini
ditambahkan bila

20
setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah
tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan
menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat
antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen
antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum
termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini
obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid,
inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.
2) Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan
asam amino kedua rantai tersebut.
Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian
hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif.
Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan.
Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total
menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi
insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel
sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif,
menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah
penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari
glukosa.
e. Perawatan Kebersihan Kaki Diabetes
Untuk pasien yang mempunyai penyakit diabetes ini harus selalu menjaga
kebersihan terutama pada bagian kaki, karena bagian kaki selalu menjadi
tumpuan ketika berjalan karena ketika berjalan belum tentu permukaan tanah
atau lantai itu bersih. Maka dari itu pasien harus menjaga kebersihan pada kaki
dengan cara :
1) Pakai Alas Kaki Ketika Berjalan

21
Karena untuk melindungi kaki pasien ketika berjalan dari permukaan yang
kotor atau banyak kerikil agar kaki pasien tidak lecet atau luka.
2) Periksa Sepatu atau Sandal Sebelum digunakan
Ini sangat penting karena untuk menghindar adanya benda tajam seperti
jarum ataupun adanya kerikil yang bisa membahayakan kaki pasien ketika
berjalan.
3) Obati Luka Dengan Baik
Bila ada luka harus cepat ditangani dengan cara bisa ke dokter untuk
konsultasi luka nya ataupun bisa ditangani sendiri dengan cara menutup luka
dengan kain kassa.
4) Bersihkan Kaki Menggunakan Sabun dan Gunting Kuku Kaki
Untuk perawatan ini sangat penting juga agar kaki terhindar dari kuman
atau bakteri yang bisa membahayakan kaki pasien dan melakukan gunting
kuku agar kuku bersihn dan juga bisa menghindari luka.

8. Manifestasi Diabetes Melitus di Rongga Mulut


a. Xerostomia (Mulut Kering)
Xerostomia merupakan suatu kondisi dimana terdapat penurunan sekresi
saliva di dalam rongga mulut oleh kelenjar saliva. Kondisi normal produksi
saliva adalah 500-1500 ml/hari dan rata-rata saliva yang ada di rongga mulut
adalah 1 ml. Seseorang dikatakan menderita xerostomia apabila produksi saliva
kurang dari setengah jumlah normal. Produksi saliva pada penderita xerostomia
yaitu kurang dari 20 ml/hari dan berlangsung dalam waktu yang lama. Diabetes
yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva, sehingga mulut
terasa kering. Saliva sendiri memiliki efek self-cleansing, dimana alirannya
dapat berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam
mulut. Jadi bila aliran saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa
tak nyaman, lebih rentan untuk terjadinya ulserasi, lubang gigi, dan bisa
menjadi ladang subur bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang.
Berkurangnya air ludah (saliva) pada penderita diabetes dipengaruhi faktor
angiopati dan neuropati diabetik, perubahan padakelenjar parotis dan karena
poliuria yang berat.
b. Gingivitis
Widyawati (2018) mendefinisikan periodontitis sebagai suatu penyakit

22
jaringan periodontal dengan peradangan pada jaringan yang ditandai oleh epitel
jungsional migrasi ke apikal, sehingga menyebabkan hilangnya perlekatan dan
menurunnya puncak tulang alveolar serta terjadi perdarahan saat probing.
Periodontitis merupakan penyakit kronis rongga mulut yang berkontribusi pada
penderita diabetes melitus. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2013 periodontitis pada penderita diabetes melitus
memiliki tingkat prevalensi yang tinggi hingga mencapai angka 75%.
Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sering kali di abaikan oleh penderita
diabetes melitus, sedangkan pada penderita diabetes melitus memiliki resiko
pada jaringan periodontal tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan
penderita non diabetes melitus, penderita diabetes melitus mempunyai
kecenderungan untuk menderita periodontitis lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak menderita diabetes melitus. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan pada pembuluh darah, gangguan fungsi netrofil, sintesisi kolagen,
faktor mikrobiotik dan predisposisi genetik.
c. Stomatitis Apthosa (Sariawan)
Meski sariawan biasa dialami oleh banyak orang, namun penyakit ini bisa
menyebabkan komplikasi parah jika dialami oleh penderita diabetes. Penderita
diabetes sangat rentan terkena infeksi jamur dalam mulut dan lidah yang
kemudian menimbulkan penyakit sejenis sariawan. Sariawan ini disebabkan
oleh jamur yang berkembang seiring naiknya tingkat gula dalam darah dan air
liur penderita diabetes.
d. Burning Mouth Syndrome (Rasa Mulut Terbakar)
Penderita diabetes biasanya mengeluh tentang terasa terbakar atau mati rasa
pada mulutnya. Biasanya, penderita diabetes juga dapat mengalami mati rasa
pada bagian wajah.
e. Oral Thrush
Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi
infeksi sangat rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi
penderita diabetes yang merokok, risiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih
besar. Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang
disebabkan oleh jamur. Pada penderita diabetes melitus kronis dimana tubuh
rentan terhadap infeksi sehingga sering menggunakan antibiotik dapat
mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut yang mengakibatkan jamur

23
candida berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkan thrush.

f. Dental Caries (Karies Gigi)


Diabetes Melitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan terjadinya
dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada diabetes
aliran cairan darah mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai substrat
kariogenik. Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi,
substrat, kuman dan waktu. Pada penderita diabetes melitus telah diketahui
bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan
gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat
bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak langsung
dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya lubang atau karies gigi.
g. Delayed Wound Healing (Penyembuhan Luka yang Tertunda)
World Journal of Diabetes (2019) mengatakan bahwa penyembuhan jaringan
lunak dan keras yang tertunda pada pasien diabetes melitus adalah komplikasi
yang terkenal selama operasi mulut. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor
efektif dalam penyembuhan luka berkepanjangan pada pasien termasuk
vaskularisasi yang tertunda, penurunan aliran darah dan hipoksia, penurunan
imunitas bawaan, penurunan produksi faktor pertumbuhan, dan stres
psikologis.
h. Gigi Goyang (Periodontitis)
Diabetes Mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi untuk
terjadinya periodontitis. Kondisi Diabetes Mellitus dapat menyebabkan
menebalnya pembuluh darah yang memperlambat aliran nutrisi dan produk
sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan
tubuh untuk memerangi infeksi, Hal ini memperberat infeksi pada penderita
Diabetes Mellitus dan dapat menyebabkan periodontitis. Ada banyak
faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di
antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi), dan faktor sistemik atau
kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan periodontal membuat gusi
tidak lagi melekat ke gigi, tulang menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi
menjadi goyang (Kurniawan & Satrio, 2020).

24
Dari seluruh komplikasi diabetes melitus, periodontitis merupakan
komplikasi nomor enam terbesar di antara berbagai macam penyakit dan
komplikasi nomor satu terbesar khusus di rongga mulut. Hampir sekitar 80%
pasien diabetes melitus gusinya bermasalah. Tanda-tanda periodontitis antara
lain pasien mengeluh gusinya mudah berdarah, warna gusi menjadi mengkilat,
tekstur kulit jeruknya (stippling) hilang, kantong gusi menjadi dalam, dan ada
kerusakan tulang di sekitar gigi, pasien mengeluh giginya goyah sehingga
mudah lepas. Berkurangnya jumlah air liur menyebabkan terjadi penumpukan
sisa makanan yang melekat pada permukaan gigi dan mengakibatkan gusi
menjadi infeksi dan mudah berdarah.

2.3 Konsep Disfungsi Ereksi

1. Pengertian Disfungsi Ereksi


Disfungsi seksual pada laki-laki merupakan ketidakmampuan untuk mencapai
kepuasan pada hubungan seksual, dapat berupa masalah ereksi atau emisi, ejakulasi
maupun orgasmus. Difungsi ereksi (Impotensi) yaitu kegagalan penis dalam
mencapai ereksi yang cukup untuk melakukan seksual intercourse ( coitus) (Lue T.F,
2005). Disfungsi ereksi pada diabetes adalah kondisi yang umum terjadi pada pria
yang tubuhnya mengalami kekurangan hormon insulin. Meski semua pria bisa
mengalami gangguan ini, pria dengan diabetes mungkin mengalaminya lebih awal.
Seorang pria yang menderita diabetes 50% lebih tinggi berisiko mengalami
impotensi dibandingkan pria tanpa diabetes, terlepas dari jenis diabetes yang dialami.
Secara statistik, 35% – 75% pria dengan diabetes mengalami disfungsi ereksi atau
biasa disebut dengan impotensi. Gangguan yang membuat tubuh seorang pria tidak
mampu mengontrol gula darah ini membuatnya mengembangkan disfungsi ereksi
(DE) 5–10 tahun lebih awal dari kebanyakan pria.

2. Etiologi dan Patofisiologi

Disfungsi Ereksi dapat diakibatkan abnormalitas tunggal ataupun kombinasi


dari keempat system yang penting dalam fungsi ereksi. Etiologi system vaskuler,
neurologic, dan hormonal pada disfungsi ereksi disebut disfungsi ereksi organic
(80%) dan disfungsi ereksi psikogenik (20%) (Lee M, 2005). Kebiasaan social pasien
juga berhubungan dengan disfungsi ereksi. Efek vasokonstriktor dari rokok dapat

25
mengurangi sirkulasi ke corpus cavernosus, konsumsi ethanol, neuropati perifer,
hipertensi, diabetes mellitus (Lee M, 2005).

Penting untuk diketahui bahwa DE dapat terkait dengan aliran darah yang
tidak mencukupi ke penis, masalah emosional, atau masalah pada saraf penis.
Diabetes bisa menjadi penyebab atau memperburuk masalah yang sudah ada
sebelumnya.

3. Terapi Disfungsi Ereksi


Pada pasien disfungsi ereksi psikogenik, psikoterapi dapat digunakan sebagai
terapi tunggal atau terapi pendamping terhadap terapi spesifik. Untuk meningkatkan
relevansi psikoterapi, pasien dan pasangannya harus diikut sertakan dalam sesi
konseling. Efektivitas psikoterapi rendah dan diperlukan waktu yang lama (Lee M,
2005).
Terapi spesifik disfungsi ereksi termasuk medical device, terapi farmakologi
dan bedah. Obat Oral Obat disfungsi ereksi termasuk sildenafil, tadalafil, vardenafil,
atau avanafil. Obat-obat tersebut dapat membantu memperlancar aliran darah ke
penis, membuatnya lebih mudah untuk mendapatkan dan mempertahankan ereksi.
Pengobatan Lain Jika obat oral bukan pilihan yang baik, dokter mungkin
merekomendasikan tiny suppository yang dimasukkan ke ujung penis sebelum
berhubungan seks. Kemungkinan lain adalah obat yang  disuntikkan ke pangkal atau
samping penis. Seperti obat oral, obat ini meningkatkan aliran darah yang membantu
mendapatkan dan mempertahankan ereksi.

4. Cara Mencegah Disfungsi Ereksi (Impotensi)


Cara mencegah impotensi adalah dengan menjalani gaya hidup sehat dan
mengatasi penyakit yang dapat menyebabkan impotensi. Contohnya adalah dengan
berolahraga secara rutin, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, tidak merokok,
dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol.

2.4 Konsep Karies Gigi


1. Pengertian Karies Gigi
Gigi berlubang (karies gigi) merupakan penyakit jaringan keras gigi yang

26
ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi meluas kearah
pulpa disebabkan oleh karbohidrat yang tertinggal didalam mulut dan
mikroorganisme yang tidak segera dibersihkan (Tarigan, 2013).
Karies adalah hasil interaksi dari bakteri di permukaan gigi, plak atau biofilm,
dan diet (khususnya komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri
plak menjadi asam, terutama asam laktat dan asetat) sehingga terjadi demineralisasi
jaringan keras gigi dan memerlukan cukup waktu untuk kejadiannya. Karies bisa
terjadi bila ada empat faktor yang secara bersama-sama. Faktor-faktor tersebut adalah
bakteri kariogenik, permukaan gigi yang rentan, tersedianya bahan nutrisi untuk
mendukung pertumbuhan bakteri, tersedianya waktu yang cukup untuk mengubah
nutrisi menjadi asam (Putri, Harijulianti, dan Nurjannah, 2010).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Karies Gigi


Diabetes melitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya karies.
Pada pasien DM lama yang tidak terkontrol berpengaruh pada karies gigi karena
bertambahnya karbohidrat yang dapat difermentasikan di dalam saliva yang
merupakan medium yang sesuai untuk pembentukan asam sehingga memudahkan
terjadinya karies. Karies gigi terjadi oleh karena bakteribakteri tertentu yang
mempunyai sifat membentuk asam. Keadaan pH rendah bisa menyebabkan pelarutan
progresif mineral enamel secara perlahan dan membentuk fokus perlubangan (Falen
V, 2018).
Menurut Newburn dalam Suwelo (1992), ada tiga faktor utama yaitu:
mikroorganisme, gigi dan saliva, serta substrat dan waktu sebagai faktor tambahan.
a. Mikroorganisme.
Pada bakteri dalam menyebabkan terjadinya karies sangatlah besar. Bakteri
yang sangat dominan dalam karies gigi adalah Streptococcus mutans. Bakteri ini
sangat kariogenik karena mampu membuat asam dari karbohidrat yang dapat
dirugikan, akibatnya bakteri-bakteri terbantu untuk melekat pada gigi serta saling
melekat satu sama lain. Streptococcus mutans berperan dalam proses awal karies
yang lebih dulu masuk ke lapisan luar email, selanjutnya Lactobacillus
acidophilus mengambil alih peranan pada karies yang lebih merusak gigi.
Mikroorganisme menempel di gigi bersama plak. Plak terdiri dari
mikroorganisme (70%) dan bahan antar sel (30%). Plak akan tumbuh bila ada
karbohidrat, sedangkan karies akan terjadi bila ada plak dan karbohidrat

27
(Suwelo, 1992).
b. Gigi dan saliva Menurut Kidd dan Bechal (1991).
Plak yang mengandung bakteri merupakan awal bagi terbentuknya gigi
berlubang. Kawasan gigi yang memudahkan pelekatan plak yang memungkinkan
terkena gigi berlubang adalah:
1) Pits dan fissure pada permukaan oklusal molar dan premolar, pit buccal molar
dan pit palatal incisivus.
2) Permukaan halus di daerah apoximal sedikit di bawah titik kontak.
3) Email pada tepian di daerah leher gigi.
4) Permukaan akar yang terbuka.
5) Tepi tumpatan terutama yang kurang rata.
6) Permukaan gigi yang berdekatan dengan gigi tiruan dan jembatan
Saliva berfungsi sebagai pelicin, (kemampuan saliva mempertahankan pH
konstan), pembersih, anti pelarut, dan anti bakteri. Saliva juga merupakan
pertahanan pertama terhadap karies dan juga memegang peranan penting lain
yaitu dalam proses terbentuknya plak gigi, selain itu saliva juga merupakan media
yang baik untuk kehidupan mikroorganisme tertentu yang berhubungan dengan
karies (Suwelo, 1992).
c. Substrat
Menurut Newburn dalam Suwelo (1992), substrat adalah campuran makanan
halus dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari yang menempel di permukaan
gigi. Substrat ini berpengaruh terhadap gigi berlubang secara lokal di dalam
mulut. Makanan pokok manusia adalah karbohidrat, lemak dan protein.
Karbohidrat yang dikandung oleh beberapa jenis makanan yang mengandung
gula akan menurunkan pH plak dengan cepat sampai pada level yang dapat
menyebabkan demineralisasi email. Plak akan tetap bersifat asam selama
beberapa waktu, dan untuk kembali ke pH normal sekitar tujuh dibutuhkan
waktu 30-60 menit. Sukrosa merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi,
maka sukrosa merupakan penyebab gigi berlubang yang utama.
d. Waktu.
Menurut Newburn dalam Suwelo (1992), waktu merupakan kecepatan
terbentuknya gigi berlubang serta lama dan frekuensi substrat menempel di
permukaan gigi. Gigi berlubang merupakan penyakit kronis, kerusakan berjalan
dalam periode bulan atau tahun.

28
3. Proses Terjadinya Karies
Karies adalah hasil interaksi dari bakteri di permukaan gigi, plak, atau biofilm,
dan diet (khususnya komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri
plak dan asam, terutama asam laktat dan asetat) sehingga terjadi demineralisasi
jaringan keras gigi dan memerlukan cukup waktu untuk kejadiannya.
Menurut Newburn dalam Suwelo (1992), karies gigi dapat di pengaruhi oleh
empat faktor, yaitu: gigi/saliva, mikroorganisme, substrat dan waktu. Karies gigi
adalah proses kerusakan yang dimulai dari email terus ke dentin. Karies gigi
merupakan penyakit yang berhubungan dengan banyak faktor yang saling
mempengaruhi, ada empat faktor utama yaitu gigi dan saliva, mikroorganisme,
substrat serta waktu, sebagai faktor tambahan. Keempat faktor tersebut digambarkan
sebagai empat lingkaran. Bila keempat lingkaran tersebut tumpang tindih maka
terjadi karies.

4. Pencegahan Karies Gigi


Menurut Tarigan (2013), ada beberapa metode yang dapat diberitahukan
kepada pasien untuk memecah siklus terjadinya karies. Adapun metode yang dapat
Mikroorganisme Waktu Karies Gigi Substrat dilakukan adalah:
a. Kontrol plak
Kontrol plak merupakan cara menghilangkan plak dengan menyikat gigi untuk
menjaga kebersihan rongga mulut di mulai pada pagi hari, baik sebelum maupun
sesudah sarapan.
b. Penggunaan fluor
Penggunaan fluor pada air dapat menambah konsentrasi ion fluor dalam
struktur apatit gigi yang belum erupsi. Struktur apatit gigi ini akan lebih tahan
pada lingkaran asam dan meningkatkan potensi terjadinya remineralisasi.
c. Kontrol bakteri
Obat kumur terapeutik yang di rancang untuk mengurangi populasi bakteri
oral yaitu bahan yang mengandung chlorhexidine glukonat. Chlorhexidine
terbukti paling efektif melekat secara ionik pada gigi dan permukaan mukosa
oral dalam konsentrasi tinggi selama berjam-jam sebagai aksi anti bakterial.
d. Penutupan fissure
Penutupan fissure adalah sebuah tindakan protektif yang terbukti baik untuk

29
mencegah perkembangan karies pada anak-anak. Penutup fissure kini
direkomendasikan untuk semua kelompok usia yang memiliki resiko karies yang
tinggi.
e. Pengaturan diet
Pengaturan diet merupakan faktor paling umum untuk mencegah karies. Ion
asam yang terus menerus di produksi oleh plak merupakan bentuk dari
karbohidrat dalam jumlah yang banyak, jika tidak dilakukan pengaruh diet akan
menyebabkan sistem buffering saliva menjadi adekuat, sehingga proses
remineralisasi yang merupakan faktor penyeimbang dari faktor demineralisai
tidak terjadi.
f. Menyikat gigi
Menyikat gigi adalah cara yang dikenal umum oleh masyarakat untuk menjaga
kebersihan gigi dan mulut dengan maksud agar terhindar dari penyakit gigi dan
mulut (Manson dan Elley, 1993).

5. Perawatan Karies Gigi


Tindakan awal untuk perawatan karies gigi adalah penambalan, lubang kecil
pada gigi sebaiknya segera di tambal, tanpa penambahan proses bertambah besarnya
lubang pada gigi akan terus berlangsung. Lubang tersebut tidak dapat menutup
sendiri secara ilmiah, tetapi perlu dilakukan penambalan oleh dokter gigi. Selama
masih dapat dirawat dan di tambal, sebaiknya dipertahankan, karena gigi berperan
penting dalam proses pengunyahan (Afrilina dan Gracia, 2006).
Gigi yang sakit atau yang berlubang tidak dapat disembuhkan dengan
pemberian obat-obatan. Gigi tersebut hanya dapat diobati dan dikembalikan ke fungsi
pengunyahan semula dengan melakukan pengeboran atau bagian gigi yang pecah
hanya dapat dikembalikan bentuknya dengan cara penambalan. Proses dalam
menambal gigi, selain jaringan gigi yang sakit, jaringan gigi yang sehat juga harus
diambil, karena bakteri-bakteri telah masuk ke bagian gigi yang telah dalam, setelah
itu harus dilakukan penambalan untuk mengembalikan bentuk gigi seperti semula,
sehingga dapat berfungsi dengan baik (Massler, 2007).

30
31
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

Pada hari Senin tanggal 13 Juni mahasiswa melakukan pengkajian dirumah keluarga
Tn. S yang berkediaman di Jl.Tri Dharma Raya no. 15 RT 005 RW 012, Cilandak Barat,
Jakarta Selatan. Keluarga Tn. S tinggal bersama dengan istri dan 3 orang anak yang
mana mereka mendukung Tn. S secara moril untuk sembuh dari penyakitnya. Pengkajian
terhadap karakteristik rumah di dapatkan hasil; rumah kontrakan yang terdiri dari 1
lantai, luas kontrakan tersebut 30 m2 (terdapat 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, 1 dapur, dan
1 kamar mandi ), lantai disekitar rumah dan lantai kamar mandi tidak licin, terdapat
ventilasi yang baik namun pencahayaan di dalam rumah tersebut minum dan cenderung
redup, Sumber air yang digunakan Tn. S berasal dari sumur dan air tersebut bersih dan
jernih, WC yang digunakan adalah WC jongkok. Untuk pengelolaan sampah terdapat
petugas sampah yang akan datang 2 minggu sekali, terdapat septitank untuk pembuangan
tinja dan untuk pembuangan air terdapat saluran air yang mengalirkan air ke
got,lingkungan sekitar rumah rata dan tidak berbatu. Di lingkungan rumah Tn. S tidak
terdapat hewan-hewan vector penyakit seperti tikus, nyamuk, lalat, dan kecoa
dikarenakan ada fogging. Sistem pendukung keluarga terjalin baik, pola komunikasi baik
yaitu secara dua arah dan juga hubungan komunikasi antar tetangga terjalin harmonis dan
saling berinteraksi. Alat komunikasi yang digunakan ialah menggunakan handphone dan
menggunakan sepeda motor dan mobil sebagai alat transportasi sehari-hari. Fasilitas
kesehatan yang digunakan keluarga ialah Puskesmas dan Rumah Sakit.
Selanjutnya mahasiswa melakukan pengkajian kesehatan keluarga yang dilakukan
oleh perwakilan sesuai dengan bidang profesi. Hasil dari pengkajian tersebut didapatkan
data bahwa Tn. S mengeluh lemas, terkadang terasa pening, dan kadang kaki terasa
panas dan pasien menguranginya dengan minum jamu moderat sehingga panasnya
berkurang. Hasil kadar gula darah puasa pada tanggal 14 Juni 2022 139 mg/dL. Tn. S
terdapat riwayat amputasi pada jari tengah kaki sebelah kanan, terdapat penyakit
diabetes, jantung, dan paru – paru, BB : 45 Kg, TB : 175 Kg, IMT : 14,7 , TD : 90/60
mmHg, RR : 24 x/menit, HR : 90 x/menit, kepala bersih tidak ada luka, kondisi mata
posisi mata normal, kelopak mata normal, pergerakkan bola mata normal, fungsi
penglihatan sedikit buram,otot otot mata tidak ada kelainan, reaksi terhadap cahaya baik,

32
gigi hanya tersisa akar dan gigi yang lain sudah tidak ada, mulut lembab dan bibir
berwarna pink, telinga terdapat serumen pada telinga sebelah kanan, tulang leher tampak
menonjol dan tidak terdapat jvp, terdapat bunyi paru – paru kanan dan kiri vesikuler,
bunyi jantung normal, terdapat bising usus 8 x/menit dengan abdomen lunak dan hepar
tidak teraba, untuk frekuensi BAK yaitu 6 x/hari dengan dengan warna kuning keruh
sedangkan frekuensi BAB yaitu 2 x/hari dengan konsistensi padat dan berwarna kuning
kecoklatan, organ genetalia bersih dan tidak ada lesi ataupun bengkak, tidak terdapat lesi
pada tulang punggung tetapi posisi tulang tersebut kifosis dan warna kulit pucat,
ekstermitas atas : 5555/5555 dan ekstermitas bawah : 4444/4444. Pasien mengatakan
bahwa sering buang air kecil, sering haus dan sering makan. Sedangkan untuk
pengkajian pada keluarga Tn. S yakni isteri dan anak - anaknya ditemukan masalah
konjungtiva yang anemis.
Untuk pengkajian terhadap kesehatan gigi dan mulut Tn. S, mahasiswa keperawatan
berkolaborasi dengan mahasiswa jurusan keperawatan gigi mengkaji kesehatan gigi dan
mulut, hasil pengkajian yang didapat yaitu kebersihan gigi dan mulut Tn. S kurang
bersih, tidak ada sariawan, dan terdapat gigi berlubang. Pasien mengatakan pernah
mendapatkan perawatan terkait dengan masalah kesehatan gigi. Pada gigi 17, 36, 31, 47,
48 sudah tidak ada dan pada gigi 16, 15, 14, 13, 12, 11, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 37, 35,
34, 33, 32, 41, 42, 43, 44, 45, 46 tersisa akar. Sedangkan pada anggota keluarga terdapat
Nn. H terdapat gigi yang bolong.
Pengkajian pada faktor risiko untuk isteri Tn. S dan Nn. H kurang adanya aktifitas
seperti olahraga dan untuk Tn. S adalah masalah merokok dimana Tn. S merokok dalam
1 hari sebanyak 2 bungkus.
Untuk pengkajian mahasiswa orthotic prostetik pada kaki terdapat sensasi Cutaneus
dan Protective, serta luka pada telapak kaki yang sudah mengering. 3. Pada kaki kanan
pasien dibagian jari kelingking pasien merasakan baal, dan dibagian heel juga merasakan
baal, pasien hanya merasakan dibagian 5 metatarsal dan untuk bagian kaki kiri pasien
merasakan sensasi dibagian jari kelingking.
Setelah dilakukan pengkajian didapatkan data kesehatan Tn. S sebagai berikut: pada
Tn. S (Suami) berusia 59 tahun dengan penyakit Diabetes mellitus Tipe 2, jantung, dan
paru – paru basah, tidak terpenuhinya biologis gigi yang baik karena merokok, terdapat
luka pada telapak kaki kiri dan kurangnya gairah untuk berhubungan seksual.

33
3.2 Masalah Kesehatan

Dalam keperawatan masalah kesehatan yang ditemukan pada Tn. S adalah Diabetes
Melietus tipe 2 karena ada riwayat keturunan. Dalam keperawatan gigi ditemukan masalah
kesehatan pada Tn. S adalah tidak terpenuhinya kondisi biologis gigi yang baik (Karies
Gigi). Dalam kebidanan ditemukan masalah kesehatan pada Tn. S adalah Disfungsi Ereksi
karena Tn. S menderita Diabetes Mellitus. Dalam orthotic prostetic ditemukan masalah
kesehatan pada Tn. S adalah kesulitan berjalan karena luka pada telapak kaki.

3.3 Rencana Asuhan Profesi

PERENCANAAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSIS TUJUAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN

1. Defisit Meningkatnya 1. Kemampuan Edukasi Kesehatan


Pengetahuan pengetahuan menjelaskan Observasi :
tentang klien mengenai peyakit diabetes - Identifikasi kesiapan dan
Diabestes diabetes melitus melitus tipe 2 kemampuan menerima
Melitus Tipe 2 tipe 2 dan pola meningkat informasi
berhubungan makan yang baik 2. Pertanyaan - Identifikasi tingkat
dengan kurang tentang masalah pengetahuan klien tentang
terpapar yang dihadapi diabetes melitus tipe 2
informasi menurun Terapeutik :
dibuktikan 3. Perilaku sesuai - Sediakan materi dan media
dengan klien anjuran meningkat Pendidikan kesehatan
mengatakan 4. Perilaku sesuai - Jadwalkan Pendidikan
belum pengetahuan kesehatan sesuai kesepakatan
memahami meningkat - Berikan kesempatan klien
tentang diabetes, 5. Persepsi yang untuk bertanya
klien keliru terhadap Edukasi :
mengatakan masalah menurun - Menjelaskan Pendidikan
jarang 6. Pola makan yang kesehatan mengenai diabetes
memeriksakan baik meningkat melitus, penyebab, gejala, diet
gula darah, klien DM dan komplikasi
meminum obat
renabetic dan

34
glibenclamide.

PERENCANAAN KESEHATAN GIGI


NO DIAGNOSIS TUJUAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN

1. Tidak Pasien dapat 1. Kemampuan Edukasi Kesehatan


terpenuhinya mengunyah dalam - Memberikan penyuluhan kepada
kebutuhan pasien kembali tanpa menjelaskan pasien mengenai kesehatan gigi dan
akan kondisi gangguan bagaimana cara mulut seperti : Lubang gigi dan
biologis dan ditandai dengan : menyikat gigi Cara menyikat gigi yang baik dan
fungsi gigi yang - Sisa akar sudah secara baik dan benar
baik, ditandai dicabut benar - Memberikan edukasi kepada
dengan sulit - Memakai gigi 2. Pertanyaan pasien dan keluarga pasien dalam
dalam tiruan tentang masalah membuat obat kumur dengan
mengunyah, yang dihadapi memakai bahan alami yaitu Daun
disebabkan oleh menurun sirih
adanya beberapa 3. Perilaku sesuai
gigi yang sudah anjuran meningkat
tersisa sisa akar 4. Perilaku sesuai
dan beberapa pengetahuan
gigi sudah tidak meningkat
ada 5. Persepsi yang
keliru terhadap
masalah menurun

PERENCANAAN KEBIDANAN
NO DIAGNOSIS TUJUAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN

35
1. Pasien Meningkatkan 1) Kemampuan Edukasi Kesehatan
mengalami pencegahan menjelaskan
kurangnya terjadinya peyakit disfungsi -Memberikan Pendidikan kesehatan
keinginan untuk Impotensi pada ereksi yang akan kepada klien tentang penyakit
berhubungan pasien yang timbul akibat disfungsi ereksi yang akan timbul
seksual dengan memiliki pengaruh dari akibat pengaruh dari penyakit
istrinya semenjak penyakit diabetes penyakit impotensi diabetes yang diderita klien.
memiliki 2) Pertanyaan tentang -Jelaskan kepada klien tentang cara
penyakit diabetes masalah yang pencegahan penyakit disfungsi
dihadapi menurun ereksi.
3) Perilaku sesuai
anjuran meningkat
4) Perilaku sesuai
pengetahuan
meningkat
5) Persepsi yang keliru
terhadap masalah
menurun

PERENCANAAN ORTOTIK PROSTETIK


NO DIAGNOSIS TUJUAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN

1. Pada saat Meningkatkan 1. Kemampuan Edukasi Kesehatan

36
melakukan pengetahuan menjelaskan
monofilament mengenai tentang cara -Mengedukasi terhadap pasien mengenai
test, pasien tidak bagaimana cara membersihkan cara perawatan kaki yang baik dan benar
merasakan apa- membersihkan kaki yang baik 1. Memakai diabetic insole untuk
apa atau kaki dengan baik dan benar. menghindari gesekkan dari
hilangnya dan benar. 2. Pertanyaan permukaan lanta atau jalanan
sensasi, dan juga tentang terhadap kaki pasien
kaki pasien masalah yang 2. Periksa sepatu sebelum digunakan
jarang dihadapi agar tidak ada benda tajam yang
dibershikan menurun. bisa membahayakan kaki pasien
3. Perilaku sesuai
3. Bila ada luka, obati luka tersebut
anjuran
dan tutup luka dengan kain kassa
meningkat.
4. Bersihkan kaki menggunakan sabun
4. Perilaku sesuai
dan air bersih
pengetahuan
meningkat.
5. Persepsi yang
keliru terhadap
masalah
menurun

Rencana asuhan yang akan diberikan kepada Tn. S yaitu untuk profesi keperawatan
adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada klien tentang penyakit diabetes melitus
tipe 2 yaitu mengenai penyebab, gejala, diet DM dan komplikasi. Rencana asuhan yang
akan diberikan kepada Tn. S dari keperawatan gigi yaitu memberikan penyuluhan kepada
pasien mengenai kesehatan gigi dan mulut seperti : Lubang gigi, Radang gusi, dan Cara
pemeliharaan gigi secara baik dan benar dan memberikan edukasi mengenai gigi tiruan.
Rencana asuhan yang akan diberikan kepada Tn. S untuk profesi kebidanan yaitu
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien tentang penyakit disfungsi ereksi yang
akan timbul akibat pengaruh dari penyakit diabetes yang diderita klien dan menjelaskan
kepada klien tentang cara pencegahan penyakit disfungsi ereksi. Rencana asuhan yang
akan diberikan kepada Tn. S untuk profesi orthotic prostetic yaitu dengan memberikan
edukasi kesehatan mengenai cara perawatan yang baik dan benar pada kaki penderita

37
diabetes yaitu dengan memakai diabetic insole, periksa sepatu sebelum digunakan, bila
ada luka segera obati luka tersebut dan tutup luka dengan kain kassa dan membrsihkan
kaki menggunakan sabun dan air bersih

3.4 Implementasi

Pada hari Rabu, tanggal 15 Juni 2022, pukul WIB, kelompok 4 memberikan
pendidikan kesehatan terhadap Tn. S dimulai dengan profesi keperawatan yaitu dengan
memberikan edukasi kesehatan berdasarkan observasi, terapeutik dan dilanjutkan dengan
mengedukasi tentang penyakit diabetes melitus tipe 2 yaitu penyebab, gejala, diet DM dan
komplikasi dengan menggunakan media leaflet selanjutnya dilanjutkan oleh profesi
keperawatan gigi yaitu dengan melakukan penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut
seperti : Lubang gigi, Radang gusi, dan cara pemeliharaan gigi secara baik dan benar serta
mengedukasi mengenai gigi tiruan dengan menggunakan media demonstrasi, leaflet, dan
phantom gigi. Setelah profesi keperawatan gigi telah selesai memberikan pendidikan
kesehatan, selanjutnya dilanjutkan oleh profesi kebidanan yaitu dengan memberikan
pendidikan kesehatan kepada klien tentang penyakit disfungsi ereksi yang akan timbul
akibat pengaruh dari penyakit diabetes yang diderita klien serta menjelaskan tentang cara
pencegahan penyakit disfungsi ereksi dengan menggunakan media leaflet. Kemudian
setelah profesi kebidanan memberikan pendidikan kesehatan, dilanjutkan oleh profesi
ortotik protestik yaitu memberikan edukasi kepada pasien mengenai cara merawat kaki
yang baik dan benar yaitu dengan memakai diabetic insole, periksa sepatu sebelum
digunakan, bila ada luka segera obati luka tersebut dan tutup luka dengan kain kassa dan
membersihkan kaki menggunakan sabun dan air bersih dengan menggunakan media
leaflet dan demonstrasi.

3.5 Evaluasi
Evaluasi asuhan yang diberikan dilakukan pada hari yang sama yaitu terakhir
kunjungan pada hari Rabu, 15 Juni 2022, setelah kami melakukan pengkajian dan
melakukan intervensi dengan memberikan pendidikan kesehatan keluarga kepada Tn. S
Dan hasilnya pasien merasa senang karena mendapat pengetahuan yang lebih lagi
tentang penyakitnya, serta dapat menerima dan memahami tentang informasi yang
diberikan untuk penyakit Diabetes Mellitus, Kesehatan Gigi, Disfungsi Ereksi dan
Perawatan Kaki pada Tn. S. Pasien juga dapat menjelaskan kembali tentang pencegahan
dan diet Diabetes Mellitus, cara mengatasi gigi berlubang, cara pencegahan disfungsi

38
ereksi dan cara merawat kaki yang baik dan benar. Kemudian Tn. S juga telah
mengetahui dan mengerti tentang penyuluhan yang telah dilakukan dengan adanya sesi
tanya jawab. Pasien sempat memastikan beberapa argument mengenai penyakit Diabetes
Mellitus, Kesehatan Gigi, Disfungsi Ereksi dan Perawatan Kaki dan telah di jawab oleh
para penyuluh dengan baik. Setelah intervensi dilakukan, kami juga berdiskusi dan
bercengkrama diakhir sesi antar mahasiswa, pembimbing dan juga pasien. Secara
keseluruhan proses pengkajian dan intervensi berjalan dengan baik.

39
PENGKAJIAN KESEHATAN KELUARGA
DALAM KOLABORASI ANTAR PROFESI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA I
Jl. Wijayakusuma Raya No 47-48 Cilandak Jakarta Selatan

Nama Keluarga : Bapak Samingun

2. Alamat Rumah : JL. Tri Dharma no 15 rt 005/012 Cilandak Barat, Jakarta Selatan

3. Suku Bangsa : Jawa

4. Agama : Islam
5. Tipe Keluarga : Keluarga Inti

6. Status Sosial Ekonomi ( penghasilan keluarga, pengeluaran, simpanan keluarga, pengelola keuangan ) :
DATA IDENTITITAS

Riwayat Kesehatan
Keluarga sebelumnya :
Kakak dari pasien
mempunyari riwayat gula
darah

40
DATA KONDISI RUMAH & LINGKUNGAN STRUKTUR
KELUARGA

41
STATUS KESEHATAN MASING-MASING ANGGOTA KEL

42
Nama :

Nama anak :

43
PEMERIKSAAN EKSTRIMITAS BAWAH TUBUH (ORTOTIK PROSTETIK)
Nama : fauziah
ROM MUSCLE STRENGTH Sensasi:
Cutaneus: Ada/ tidak
Hip Joint L R L R Protective: Ada/ tidak
Flexion: (120) 110 110 4 4
Extension: (30) 25 30 4 4 Proprioception:
Abduction: (45) 40 30 4 4 Tidak baik
Adduction: (30) 35 30 4 4
Internal Rot: (35) 30 35 4 4 Tonus otot:
External Rot: (45) 45 45 4 4 Hipo/ Normal/ Hiper

Knee Joint L R L R Muscle Length:


Flexion: (130) 135 130 4 4 Kontraktur: Ada/ tidak
Extension: (0-10) 10 10 4 4 Sendi: …
Pemendekan Kaki:
Ankle Joint L R L R Tidak/ ada
Dorsiflexion: (30) 40 45 4 4 Sisi :
Plantarflexion: (45) 50 43 4 4 Deformitas Sendi:
Inversion: (30) 25 28 4 4 Tidak ada
Eversion: (15) 20 15 4 4
Deformitas tulang belakang:
Knee Stability L R normal
M-L ligaments Normal Normal
A-P ligaments normal normal

Pemeriksaan Kaki Diabetes


Tipe Diabetes: Tipe I Tipe II

Tuliskan dan gambarkan pola pada bagian kaki jika


ditemukan:

R= redness (kemerahan); W=warmth (hangat);


D=dryness (kering); M: maserasi.

(+) jika dapat merasakan monofilament


(-) jika tidak dapat merasakan monofilament

44
DATA TAMBAHAN
1. Pasien mengeluh lemas, terkadang terasa pening, dan kadang kaki terasa panas dan pasien
menguranginya dengan minum jamu moderat sehingga panasnya berkurang. Pasien di cek gula
darah puasa pada tanggal 14 Juni 2022 hasilnya 139 mg/dL. Pasien mengatakan bahwa sering
buang air kecil, sering haus dan sering makan.
2. Pasien mengeluh sudah tidak berhubungan seksual semenjak terkena penyakit diabetes
3. Pada kaki kanan pasien dibagian jari kelingking pasien merasakan baal, dan dibagian heel juga
merasakan baal, pasien hanya merasakan dibagian 5 metatarsal dan untuk bagian kaki kiri pasien
merasakan sensasi dibagian jari kelingking

Jakarta, 13 Juni 2022


Tim Pengkajian Data :
1. Julian Reza Zakaria (OP)
2. Selvina Yuliana (Ners)
3. Raydhita Azzahra N. (Kebidanan)
4. Fattiyah Azzahra (Kesehatan Gigi)

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Proses asuhan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada keluarga Tn. S selama 2
hari yaitu pada tanggal 13 Juni dan 15 Juni 2022, Mahasiswa telah melakukan
pengkajian sesuai dengan teori asuhan pemberian pelayanan yang mencakup kondisi dan
lingkungan disekitar rumah secara holistic secara anamnesa dan juga pemeriksaan fisik
Head to Toe.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada keluarga Tn. S mencakup 4 bidang
profesi yang meliputi jurusan keperawatan, keperawatan gigi, kebidanan dan ortotik
prostetik. Perwakilan mahasiswa dari tiap jurusan tersebut melakukan pengkajian sesuai
dengan bidang profesi nya masing-masing.
Pada hari Senin tanggal 13 Juni mahasiswa melakukan pengkajian dirumah keluarga
Tn. S yang berkediaman di Jl.Tri Dharma Raya no. 15 RT 005 RW 012, Cilandak Barat,
Jakarta Selatan. Keluarga Tn. S tinggal bersama dengan istri dan 3 orang anak yang
mana mereka mendukung Tn. S secara moril untuk sembuh dari penyakitnya. Pengkajian
terhadap karakteristik rumah di dapatkan hasil; rumah kontrakan yang terdiri dari 1
lantai, luas kontrakan tersebut 30 m2 (terdapat 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, 1 dapur, dan
1 kamar mandi ), lantai disekitar rumah dan lantai kamar mandi tidak licin, terdapat
ventilasi yang baik namun pencahayaan di dalam rumah tersebut minum dan cenderung
redup, Sumber air yang digunakan Tn. S berasal dari sumur dan air tersebut bersih dan
jernih, WC yang digunakan adalah WC jongkok. Untuk pengelolaan sampah terdapat
petugas sampah yang akan datang 2 minggu sekali, terdapat septitank untuk pembuangan
tinja dan untuk pembuangan air terdapat saluran air yang mengalirkan air ke
got,lingkungan sekitar rumah rata dan tidak berbatu. Di lingkungan rumah Tn. S tidak
terdapat hewan-hewan vector penyakit seperti tikus, nyamuk, lalat, dan kecoa
dikarenakan ada fogging. Sistem pendukung keluarga terjalin baik, pola komunikasi baik
yaitu secara dua arah dan juga hubungan komunikasi antar tetangga terjalin harmonis dan
saling berinteraksi. Alat komunikasi yang digunakan ialah menggunakan handphone dan
menggunakan sepeda motor dan mobil sebagai alat transportasi sehari-hari. Fasilitas
kesehatan yang digunakan keluarga ialah Puskesmas dan Rumah Sakit.
Selanjutnya mahasiswa melakukan pengkajian kesehatan pada Tn. S dan keluarga.
Hasil dari pengkajian tersebut didapatkan data bahwa Tn. S mengeluh lemas, terkadang
terasa pening, dan kadang kaki terasa panas dan pasien menguranginya dengan minum

46
jamu moderat sehingga panasnya berkurang. Hasil kadar gula darah puasa pada tanggal
14 Juni 2022 139 mg/dL. Tn. S terdapat riwayat amputasi pada jari tengah kaki sebelah
kanan, terdapat penyakit diabetes, jantung, dan paru – paru, BB : 45 Kg, TB : 175 Kg,
IMT : 14,7 , TD : 90/60 mmHg, RR : 24 x/menit, HR : 90 x/menit, kepala bersih tidak
ada luka, kondisi mata posisi mata normal, kelopak mata normal, pergerakkan bola mata
normal, fungsi penglihatan sedikit buram,otot otot mata tidak ada kelainan, reaksi
terhadap cahaya baik, gigi hanya tersisa akar dan gigi yang lain sudah tidak ada, mulut
lembab dan bibir berwarna pink, telinga terdapat serumen pada telinga sebelah kanan,
tulang leher tampak menonjol dan tidak terdapat jvp, terdapat bunyi paru – paru kanan
dan kiri vesikuler, bunyi jantung normal, terdapat bising usus 8 x/menit dengan abdomen
lunak dan hepar tidak teraba, untuk frekuensi BAK yaitu 6 x/hari dengan dengan warna
kuning keruh sedangkan frekuensi BAB yaitu 2 x/hari dengan konsistensi padat dan
berwarna kuning kecoklatan, organ genetalia bersih dan tidak ada lesi ataupun bengkak,
tidak terdapat lesi pada tulang punggung tetapi posisi tulang tersebut kifosis dan warna
kulit pucat, ekstermitas atas : 5555/5555 dan ekstermitas bawah : 4444/4444. Pasien
mengatakan bahwa sering buang air kecil, sering haus dan sering makan. Sedangkan
untuk pengkajian pada keluarga Tn. S yakni isteri dan anak - anaknya ditemukan
masalah konjungtiva yang anemis.
Untuk pengkajian terhadap kesehatan gigi dan mulut Tn. S, mahasiswa keperawatan
berkolaborasi dengan mahasiswa jurusan keperawatan gigi mengkaji kesehatan gigi dan
mulut, hasil pengkajian yang didapat yaitu kebersihan gigi dan mulut Tn. S kurang
bersih, tidak ada sariawan, dan terdapat gigi berlubang. Pasien mengatakan pernah
mendapatkan perawatan terkait dengan masalah kesehatan gigi. Pada gigi 17, 36, 31, 47,
48 sudah tidak ada dan pada gigi 16, 15, 14, 13, 12, 11, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 37, 35,
34, 33, 32, 41, 42, 43, 44, 45, 46 tersisa akar. Sedangkan pada anggota keluarga terdapat
Nn. H terdapat gigi yang bolong.
Pengkajian pada faktor risiko untuk isteri Tn. S dan Nn. H kurang adanya aktifitas
seperti olahraga dan untuk Tn. S adalah masalah merokok dimana Tn. S merokok dalam
1 hari sebanyak 2 bungkus.
Untuk pengkajian mahasiswa orthotic prostetik pada kaki terdapat sensasi Cutaneus
dan Protective, serta luka pada telapak kaki yang sudah mengering. 3. Pada kaki kanan
pasien dibagian jari kelingking pasien merasakan baal, dan dibagian heel juga merasakan
baal, pasien hanya merasakan dibagian 5 metatarsal dan untuk bagian kaki kiri pasien
merasakan sensasi dibagian jari kelingking.

47
Setelah melakukan pengkajian terhadap Tn. S, kemudian mahasiwa melakukan
penyusunan diagnosa kerja sesuai dengan standar profesi masing-masing dan menyusun
rencana kerja sesuai dengan bidang profesi.
Ditemukan 4 masalah kesehatan pada Tn. S, dalam keperawatan masalah kesehatan
yang ditemukan pada Tn. S adalah Diabetes Melietus tipe 2 karena ada riwayat
keturunan dimana setelah dilakukan pemeriksaan gula darah pada pasien hasil gula darah
puasa yaitu 139 mg/dL, menurut Hardjono (2007) menyebutkan apabila seseorang dalam
kondisi puasa dilakukan pemeriksaan gula darah dan hasilnya ≥126 mg/dl adalah
diabetes melitus, manifestasi klinis DM adalah peningkatan frekuensi buang air kecil
(poliuria), peningkatan rasa haus dan minum (polidipsi), dan karena penyakit
berkembang, dan peningkatan makan (poliphagi) (setiati S, Alwi l, 2014). Dalam
keperawatan gigi ditemukan masalah kesehatan pada Tn. S adalah tidak terpenuhinya
kondisi biologis gigi yang baik yaitu Karies Gigi, menurut Falen (2018) diabetes melitus
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya karies. Pada pasien DM lama yang
tidak terkontrol berpengaruh pada karies gigi karena bertambahnya karbohidrat yang
dapat difermentasikan di dalam saliva yang merupakan medium yang sesuai untuk
pembentukan asam sehingga memudahkan terjadinya karies. Karies gigi terjadi oleh
karena bakteribakteri tertentu yang mempunyai sifat membentuk asam. Keadaan pH
rendah bisa menyebabkan pelarutan progresif mineral enamel secara perlahan dan
membentuk fokus perlubangan, selain itu menurut Indirawati (2019) Perokok berat bila
dalam 1 hari merokok kira-kira 12 (dua belas) batang perhari. Proporsi perokok
saat ini memakai indeks Brinkman. Indeks Brinkman adalah hasil mengalikan rata-rata
jumlah rokok yang dihisap per hari dengan lama merokok setiap hari dalam
setahun). Asap rokok merusak fungsi protektif saliva dalam melawan karies gigi.
Saliva perokok punya kemampuan menetralkan keasaman lebih rendah
dibandingkan dengan saliva bukan perokok sehingga meningkatkan risiko karies gigi.
Selain itu merokok dalam jangka panjang mengurangi laju aliran saliva dan
meningkatkan gangguan mulut dan gigi seperti mulut kering, gingivitis, dan gigi
goyang serta mudah terjadi karies gigi. Dalam kebidanan ditemukan masalah
kesehatan pada Tn. S adalah Disfungsi Ereksi karena Tn. S menderita Diabetes Mellitus,
menurut Dodie (2013) Diabetes Melitus disebutkan juga dapat menyebabkan terjadinya
disfungsi ereksi .Jika penyakit ini terus berlanjut hingga bersifat kronis maka dapat
menimbulkan komplikasi seperti gangguan psikologis dan disfungsi seksual
khususnya pada pria sehingga dapat mempengaruhi kualitas hubungan biologis

48
suami istri, pada urvei pendahuluan yang dilakukan oleh Henny Arwina (2018) dengan
mewawancarai 5 orang istri yang suaminya menderita diabetes melitus menyatakan
bahwa 1 orang tidak mau menjawab karena merasa tabu membicarakan masalah
seks, sebanyak 4 orang istri mengatakan bahwa suaminya kehilangan gairah
seksual karena suami sulit untuk ereksi (tegang), suaminya menjadi dingin di
atas ranjang, suaminya sering mengeluh tentang penyakit yang dideritanya, istri
tidak merasakan kenikmatan selama melakukan hubungan seksual dengan suami
karena suami cepat keluar spermanya (ekajulasi dini). Dalam orthotic prostetic
ditemukan masalah kesehatan pada Tn. S adalah kesulitan berjalan karena luka pada
telapak kaki, menurut Gordois (2003) dalam Srimiyati (2018) Penderita diabetik sangat
berisiko terhadap kejadian luka kaki, pada umumnya kronis dan sulit penyembuhanya,
pasien diabetes akan mengalami setidaknya satu ulkus tungkai selama hidup mereka dan
sering berujung pada amputasi jari kaki, kaki atau tungkai.
Pada hari Rabu tanggal 15 Juni 2022, mahasiswa jurusan keperawatan, kebidanan,
keperawatan gigi, dan ortotik prostetik melakukan Implementasi terhadap masalah yang
didapat pada saat pengkajian. Sesuai dengan kode etik masing masing profesi, untuk
mahasiswa keperawatan akan melakukan pendidikan kesehatan tentang Diabetes
Mellitus dengan media yang digunakan yaitu leaflet yang mencangkup pengertian dasar,
penyebab, gejala, diet DM dan komplikasi.
Mahasiswa keperawatan gigi memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan
gigi dan mulut seperti : Lubang gigi, Radang gusi, dan cara pemeliharaan gigi secara
baik dan benar serta edukasi mengenai gigi tiruan.kepada Tn. S dengan media yang
digunakan yaitu demonstrasi, leaflet dan phantom gigi.
Mahasiswa kebidanan memberikan pendidikan kesehatan kepada klien mengenai
penyakit disfungsi ereksi yang akan timbul akibat pengaruh dari penyakit diabetes yang
diderita klien serta cara pencegahan penyakit disfungsi ereksi terhadap Tn. S dengan
media yang digunakan yaitu leaflet
Mahasiswa ortotik prostetik memberikan pendidikan kesehatan kepada Tn. S tentang
cara membersihkan kaki yang baik dan benar yang mencakup memakai diabetic insole,
periksa sepatu sebelum digunakan, bila ada luka segera obati luka tersebut dan tutup luka
dengan kain kassa dan membersihkan kaki menggunakan sabun dan air bersih dengan
menggunakan media leaflet dan demonstrasi.
Setelah kami melakukan pengkajian dan melakukan intervensi dengan memberikan
pendidikan kesehatan keluarga kepada Tn. S Dan hasilnya pasien merasa senang karena

49
mendapat pengetahuan yang lebih lagi tentang penyakit yang sedang diderita Tn. S.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kolaborasi antar profesi kesehatan adalah satu usaha untuk peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. WHO telah membuat sebuah grand design tentang pembetukan
karakter kolaborasi dalam sebuah bentuk pendidikan formal yaitu berupa
interprofessional education. Interprofessional education (IPE) adalah suatu pelaksanaan
pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk meningkatkan
kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelaksanaanya dapat dilakukan dalam semua
pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik untuk menciptakan
tenaga kesehatan yang professional.
IPE merupakan hal yang potensial sebagai media kolaborasi antar profesional
kesehatan dengan menanamkan pengetahuan dan skill dasar antar profesional dalam
masa pendidikan. IPE merupakan hal yang penting dalam membantu pengembangan
konsep kerja sama antar profesional yang ada dengan mempromosikan sikap dan
perilaku yang positif antar profesi yang terlibat di dalamnya. IPE merupakan proses
pendidikan yang melibatkan dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan antarprofesi bisa
terjadi apabila beberapa mahasiswa dari berbagai profesi belajar tentang profesi lain,
belajar bersama satu sama lain untuk menciptakan kolaborasi efektif dan pada akhirnya
meningkatkan outcome kesehatan yang diinginkan. Ada 4 nilai pilar dalam kompetensi
inti pendidikan antarprofesi, nilai dan etik kolaborasi antarprofesi, Peran dan
tanggungjawab, komunikasi antarprofesi, bekerja di dalam tim.
Selain itu dalam menjalankan kolaborasi antarprofesi diperlukan suatu pedoman
dari masing-masing profesi yaitu kode etik profesi. Hal ini akan menjadi landasan
masing-masing profesi agar menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan kode etik
masing-masing profesi agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang atau tanggung jawab
antarprofesi. Praktek kolaborasi terjadi apabila beberapa kategori professional atau
tenaga kesehatan bekerja bersama dengan pasien, keluarga dan masyarakat sehingga
diharapkan menghasilkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang tinggi di
masyarakat.

50
5.2 Saran
1. Saran Untuk Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa bisa lebih aktif dalam kegiatan kolaborasi antarprofesi.
2. Saran Untuk Instansi
Untuk meningkatkan hubungan antara jurusan yang satu dengan jurusan yang lainnya
supaya lebih kompak.
3. Saran Untuk Profesi
Diharapkan agar masing-masing profesi dapat membina kerjasama yang baik dengan
profesi lainnya dan menghilangkan ego dari masing-masing profesi.
4. Saran Untuk Pelayanan Kesehatan
Diharapkan sebagai tenaga kesehatan dapat lebih baik dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.

51
DAFTAR PUSTAKA
American College of Clinical Pharmacy (ACCP). 2009. Interprofessional Education:
Principle and Application a Framework for Clinical Pharmacy Pharmacotherapy, 29
(3): 145 -164.

Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan. Jakarta : Salemba Emban Patria.

Core Competencies for Interprofessional Collaborative Practice. (2011). Washington D.C:


Interprofessional Education Collaborative Expert Panel.

Eliana, F. (2015). Penatalaksanaan DM Sesuai Konsensus Perkeni 2015. SATELIT


SIMPOSIUM 6.1 DM UPDATE DAN Hb1C, 1–7.
Falen V. (2018). Gambaran Karies Gigi pada Penyandang Diabetes Melitus di Rumah Sakit
Kalooran Amurang. Manado. Jurnal e-GiGi, hal 108
Fatimah, R. (2015). Diabetes Melitus Tipe: 2. Kesehatan, 4 No.5, 93–101.
Fatimah, R. N. (2015a). Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
4. https://doi.org/10.2337/dc12-0698
Fatimah, R. N. (2015b). DIABETES MELITUS TIPE 2. Indonesian Journal of Pharmacy,
4(2), 93–97. https://doi.org/10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74
Hardjono. (2007). Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik (Cetakan 3).
Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin.
Hestiana, D. W. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN DIET PADA PASIEN RAWAT JALAN
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI KOTA SEMARANG. Journal of Health Education,
2(2). https://doi.org/10.15294/jhe.v2i2.14448
Kardika, I. B. W. (2015). Preanalitik Dan Interpretasi Glukosa Darah Untuk Diagnosis
Diabetes Melitus. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, 1.
Kevin Pieter Toman, A. N. (2016). Interprofessional Education (IPE): Luaran Masyarakat
terhadap Pelayanan Kesehatan dalam Praktik Kolaborasi di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret. NEXUS PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN
KESEHATAN VOL.5/NO.2.

Lee M. (2005). Erectile Dysfunction, in DiPiro editor, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic


Approach, USA, Mc Graw-Hill, 6thed. pp. 1515-1531

52
Lue T.F. (2000). Male Sexual Dysfunction, in Tanagho editor, Smith’s general Urology, New
York, Mc Graw-Hill. , pp.788-805.

Noor Ariyani Rokhmah, A. (2017). KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM PRAKTEK


KOLABORASI INTERPROFESI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS PELAYANAN. Journal of Health Studies, Vol. 1, No.1, 65-71.

Norisca Aliza Putriana, Y. B. (2020). Pendidikan Interprofessional dan Kolaborasi


Interprofesional. Majalah Farmasetika, 5 (1) , 18-22.

PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.
Price, S. A and Wilson, L. M. C. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Alih bahasa Brahm U. (ed.)). EGC.
Pulungan, A. B., Mansyoer, R., Batubara, J. R., & AAP, B. T. (2016). Gambaran Klinis dan
Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak Saat Pertama Kali Datang ke Bagian
IKA-RSCM Jakarta. Sari Ped

Setiati S, Alwi I, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (VI). Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam.
Srimiyati, S. (2018). Pengetahuan pencegahan kaki diabetik penderita diabetes melitus
berpengaruh terhadap perawatan kaki. Medisains, 16(2), 76.
https://doi.org/10.30595/medisains.v16i2.2721

Triana, Neny. 2018. Interprofesional Education (IPE). Yogyakarta : Deepublish.

Yuhelma, Hasneli, Y., & Nauli, F. (2015). Identifikasi dan analisis komplikasi
Makrovaskuler dan Mikrovaskuler pada pasien Diabetes Mellitus. Keperawatan, 3, 569–
579.

WHO. (2010). Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative


Practice. Switzerland: WHO Press.

Zaenal, dkk, 2018. MODUL MAHASISWA KOLABORASI ANTARPROFESI


POLTEKKES KEMENKES JAKARTA I. Jakarta : Poltekkes Kemenkes Jakarta I.

Tjahja, I. (2019). Merokok dan Karies Gigi di Indonesia: Analisis Lanjut Riskesdas 2013.
Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 2(3), 184–190.
https://doi.org/10.22435/jpppk.v2i3.1133

53
LAMPIRAN

A. Leaflet

54
B. PPT SEMINAR

55
C. Kegiatan KAP

56
57
58

Anda mungkin juga menyukai