TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Konsep Interprofesional
Education dan Analisis Kasus Interprofesional Education.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang ” Konsep Interprofesional
Education dan Analisis Kasus Interprofesional Education”dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Di era kemajuan ilmu kesehatan saat ini, pendidikan merupakan suatu hal yang
penting dalam mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan, berdasarkan hal tersebut
maka untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakan perlunya sistem pendidikan yang
bermutu dan mempunyai orientasi pada ilmu pengetahuan yang berkembang pesat seperti
saat iniyang (Febriyani, 2014).
Peningkatan permasalahan pasien yang kompleks membutuhkan keterampilan dan
pengetahuan dari beberapa tenaga profesional (Keshtkaran et al., 2014). Oleh karena itu
kerja sama dan kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan kepuasan pasien dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Tenaga kesehatan merupakan tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan
pelayanan yang luas dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanankesehatan yang berfokus pada kesehatan pasien (Steinert, 2005 dalam Bennett,
DKK 2011).
Tenaga kesehatan memiliki tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan
yangbermutu di era global, tenaga kesehatan yang dimaksud adalah perawat, dokter,
doktergigi, bidan, apoteker, dietisien, dan kesehatan masyarakat (Sedyowinarso, DKK
2011).
Interprofessional education (IPE) merupakan bagian integral dari
pembelajaranprofessional kesehatan, yang berfokus pada belajar dengan, dari, dan tentang
sesamatenaga kesehatan untuk meningkatkan kerja sama dan meningkatkan kualitas
pelayananpada pasien. Peserta didik dari beberapa profesi kesehatan belajar bersama
dalammeningkatkan pelayanan kepada pasien secara bersama-sama (kolaborasi)
dalamlingkungan interprofesional. Sedangkan IPE merupakan proses satu kelompok
mahasiswa yang berhubungan dengan kesehatan yang memiliki latar belakang jurusan
pendidikan yang berbeda melakukan pembelajaran bersama dalam masa pendidikan
dengan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang penting dengan berkolaborasi dalam
upaya promotif, preventif, kuratif, rehablitatif (WHO, 2010, Department of Human
Resources for Health).
1
Model ini berfungsi untuk mempersiapkan tenaga kesehatan yang
memilikikemampuan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain dalam sistem
kesehatanyang kompleks. (Becker, DKK 2014).
Sehingga, strategi pendidikan komunikasi melalui IPE antara perawat dengan dokter
atau tenaga kesehatan lainnya dapat membangunbudaya komunikasi dan kolaborasi yang
efektif dalam memberikan pelayanan kepadapasien (Liaw,DKK 2014).
Meskipun IPE ini dapat membangun budaya komunikasi dan kolaborasi yang efektif
dalam memberikan pelayanan kepada pasien, namun ada beberapa tantangan dalam
pelaksanaannya.Tantangan tentang pelaksanaan IPE menurut World Health
Organizationtahun (2010) menyatakan bahwa banyak sistem kesehatan di negara-negara di
dunia yang sangat terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah
kesehatan di negara itu sendiri.
Hal ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut
banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu permasalahan
tersebut atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan
hanya dengan sistem uniprofessional.Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata
memberidampak positif dalam penyelesaian berbagai masalah kesehatan (Pfaff, 2014).
Pendekatan kolaborasi yang masih berkembang saat ini yaitu interprofessional
collaboration (IPC) sebagai wadah dalam upaya mewujudkan praktik kolaborasi yang
efektif antar profesi. Terkait hal itu maka perlu diadakannya praktik kolaborasi sejak dini
dengan melalui proses pembelajaran yaitu dengan melatih mahasiswa pendidikan
kesehatan. Sebuah grand design tentang pembentukan karakter kolaborasi dalam praktik
sebuah bentuk pendidikan yaitu interprofessional education (IPE) (WHO, 2010,
Department of Human Resources for Health).
IPC merupakan wadah kolaborasi efektif untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
kepada pasien yang didalamnya terdapat profesi tenaga kesehatan meliputi dokter,
perawat, farmasi, ahli gizi, dan fisioterapi (Health Professional Education Quality
(HPEQ), 2011).
Perkembangan praktek interprofesional dan fungsional yang terbaik dapat dicapai
melalui pembelajaran antar professional (Williams et al., 2013). Menurut Luecth et al.
(1990) didalam IEPS (Interdisciplinary Education Perception Scale) diterangkan terdapat
empat komponen persepsi tentang Interprofessional Education yaitu kompetensi dan
otonomi, persepsi kebutuhan untuk bekerja sama, bukti kerjasama yang sesungguhnya,
dan pemahaman terhadap profesi lain.
2
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan makalah inimahasiswa mampu memahami dan
menerapkan konsep Interprofesional Education dan Interprofesional Collaboration
dalam lingkungan tenaga kesehatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui konsep Interprofesional
Education
2) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep Interprofesional
Collaboration
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1
membahas isu-isu kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya
melalui diskusi interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat
diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka
mata masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan
kesehatan, seorang pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi saja,
melainkan merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan
asuhan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Broers (2009) praktek
kolaborasi antar profesi didefinisikan sebagai beragam profesi yang bekerja bersama
sebagai suatu tim yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien/klien
dengan saling mengertibatasan yang ada pada masing-masing profesi kesehatan.
Interprofessional Collaboration (IPC) adalah proses dalam mengembangkan dan
mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara pelajar, praktisi, pasien/ klien/
keluarga serta masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
2.2 Tujuan Interprofessional Education (IPE)
Menurut (freeth & reeves, 2004) tujuan dari interprofessional education
adalahuntuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan ilmu, keterampilan,
sikap danperilaku profesional yang penting untuk praktek kolaborasi
interprofesional.Sedangkan menurut (Cooper, 2001) tujuan dari IPE yaitu :
1. Meningkatkan pemahaman interdispliner dan meningkatkan kerjasama.
2. Membina kerjasama yang kompeten
3. Membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien
4. Meningkatkan kualitas perawatan pasien yang comprehensif.
Menurut sumber lain tujuan IPE sendiri adalah praktik kolaborasi antar
profesi,dimana melibatkan berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana
bekerjasama dengan memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperlukan untuk berkolaborasi secara efektif (Sargeant, 2009).
Implementasi IPE di bidang kesehatan dilaksanakan kepada mahasiswa
dengan tujuan untuk menanamkan kompetensi-kompetensi IPE sejak dini dengan
retensi bertahap, sehingga ketika mahasiswa berada di lapangan diharapkan dapat
mengutamakan keselamatan pasien dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
bersama profesi kesehatan yang lain (Buring et al., 2009).
2.3 Manfaat Interprofessional Education (IPE)
2
Interprofessional education dalam dunia pendidikan tinggi di bidang kesehatan
bertujuan mengarahkan dosen untuk membantu mempersiapkan mahasiswa profesi
kesehatan untuk nantinya mampu terlibat dan berkontribusi aktif positif dalam
collaborative practice.
IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara
collaborative practice dapat dilaksanakan.IPE berdampak pada peningkatan apresiasi
siswa dan pemahaman tentang peran, tanggung jawab, dan untuk mengarahkan siswa
supaya berpikir kritis dan menumbuhkan sikap profesional (Galle & Rolelei, 2010).
World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara
tentang dampak dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil
dari penelitian ternyata sangat menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun
juga apabila digunakan di negara-negara lain. Penelitian tersebut menunjukkan hasil
bahwa collaborative practice dapat meningkatkan:
1. Keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan
2. Penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai
3. Outcome kesehatan bagi penyakit kronis
4. Pelayanan serta keselamatan pasien.
Disamping itu, collaborative practice dapat menurunkan :
1. Total komplikasi yang dialami pasien
2. Jangka waktu rawat inap
3. Ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers)
4. Biaya rumah sakit,
5. Rata-rata clinical error
6. Rata-rata jumlah kematian pasien (WHO, 2010).
Interprofessional education harus menjadi bagian dari partisipasi dosen dan
mahasiswa terhadap sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan. Dosen dan mahasiswa
merupakan elemen penting dalam IPE serta modal awal untuk terjadinyacollaborative
practice di suatu negara. Oleh karena itu, sebagai sesuatu hal yang baru, IPE haruslah
pertama-tama dipahami konsep dan manfaatnya oleh para dosen yang mengajar
mahasiswa agar termotivasi untuk mewujudkan IPE dalam proses pendidikannya.
Secara umum IPE mengandung beberapa elemen berikut, yang setidaknya harus
dimiliki agar konsep pembelajaran ini dapat dilaksanakan dalam pendidikan profesi
kesehatan di Indonesia yaitu kolaborasi, komunikasi yang saling menghormati,
3
refleksi, penerapan pengetahuan dan keterampilan, dan pengalaman dalam tim
interprofesional.
2.4 Gambaran Pelaksanaan Interprofessional Education(IPE)
Pelaksanaan IPE yang ideal harus dimulai dengan persamaan paradigma bahwa
IPEhanyalah langkah awal dari tujuan utama dalam upaya meningkatkan pelayanan
kesehatanyang berpusat pada pasien. Pendekatan interprofessional akan memfasilitasi
dengan lebihbaik mahasiswa dari satu disiplin ilmu untuk belajar dari disiplin ilmu
lainnya.
Pembelajaran bersama antardisiplin ilmu dapat meningkatkan keterampilan
barumahasiswa yang akan memperkaya keterampilan khusus yang dimiliki masing-
masingdisiplin dan mampu bekerja sama lebih baik dalam lingkungan tim yang
terintegrasi.Selama ini penerapan IPE masih tidak konsisten, untuk itu harus dibuat
sebuahkomitmen sehingga pembelajaran interprofesional dapat diterapkan di institusi
pendidikandan diterapkan dalam kurikulum pendidikan di semua program pelayanan
kesehatan untukmemastikan keberadaan jangka panjang IPE yang berkelanjutan
(ACCP, 2009).
Kompetensi IPE Tujuan akhir pada pembelajaran IPE adalah
mengharapkanmahasiswa mampu mengembangkan kompetensi yang diperlukan
untuk berkolaborasi.Freeth, dkk., (2005) mengungkapkan kompetensi dosen atau
fasilitator IPE antara lain :
1. Sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktik interprofesional
2. Kepercayaan dalam hubungan pada fokus tertentu dari
pembelajaraninterprofesional di mana staf pendidik berkontribusi
3. Model peran yang positif
4. Pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan percayadiri
dalam menerapkannya
5. Kepercayaan dan fleksibilitas untuk menggunakan perbedaan profesi secarakreatif
6. Menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggotakelompok
7. Menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok
8. Meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan.
4
Barr (1998) menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu:
1. memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas,
2. bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan
perawatan dan pengobatan pasien,
3. bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau
perawatan pasien
4. menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain,
5. memfasilitasi pertemuan interprofessional, dan
6. memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.
5
Identitas profesional, teamwork, peran dan tanggung jawab.Ketiga domain ini saling
berhubungan dalam membangun kesiapan untuk penerapan IPE (Lee, 2009).
Teamwork dalam kolaborasi merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki mahasiswa dalam IPE. Kompetensi teamwork meliputi:
a. Kekompakan tim, yaitu kekuatan tim yang membuat anggotanya untuk tetap setia
menjadi bagian sebuah tim yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
efisiensi sebuah tim
b. Saling percaya, yaitu sebuah sikap positif dari anggota tim terhadap anggota yang
lainnya, meliputi perasaan, mood dan lingkungan internal kelompok
c. Berorientasi kolektif, maksudnya sebuah keyakinan bahwa pendekatan secara tim
merupakan cara yang lebih kondusif dari pendekatan secara personal dalam
menyelesaikan persoalan
d. Mementingkan kerja sama, yaitu sikap positif yang ditunjukkan anggota tim
dengan mengacu pada bekerja sebagai tim (ACCP, 2009).
e. Peran menurut Robbins (2005) dalam Fauziah (2010) merupakan seperangkat
perilaku yang diharapkan pada seseorang dengan posisi yang diberikan dalam unit
sosial. Pemahaman terhadap peran masing-masing terbentuk jika masing-masing
individu menjalankan perannya secara konsisten.
2.7 Hambatan Interprofessional Education (IPE)
Berbagai penelitian mengenai hambatan IPE sudah banyak dilakukan.Hambatan
ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan terdapat pada pengorganisasian,
pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap. Sangat penting untuk mengatasi
hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan
yang lebih baik demi praktik kolaborasi hingga perubahan sistem pelayanan kesehatan
(Sedyowinarso, dkk., 2012).
Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik,
peraturan akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah
komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan
pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner,
kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik,
kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan,
beasiswa, sistem penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009).
6
BAB III
PEMBAHASAN
Jurnal :
PENGARUH PELATIHAN TERHADAP PENGETAHUAN TENTANG GIZI BURUK
DAN INTER-PROFESSIONAL COLLABORATION PETUGAS PUSKESMAS
1
tepat (Alfridsyah dkk, 2013). Secara ilmiah ada hubungan antara mikronutrien dan
pertumbuhan anak tetapi hal ini masih diperdebatkan (Syam dkk, 2016).
Pertumbuhan maksimal diderita sekitar 8 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak
Indonesia (Dasar RK, 2013). Pada tahun 2007 sampai 2011, proporsi penduduk miskin di
Indonesia mengalami penurunan sebesar 16,6 - 12,5 %, tetapi masalah gizi tidak
menunjukkan penurunan secara signifikan (Unicef, 2012). Banyak factor yang
mempengaruhi status gizi anak salah satunya adalah pola pemberian ASI dan MP-ASI.
(Susanty dkk, 2012) walaupun belum ditemukan korelasi antara kadar kalsium dalam ASI,
PASI dan MPASI dalam intake bayi dengan panjang badan bayi usia 6 – 12 bulan (Febria
dkk, 2018). Pola asuh juga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 23
bulan di Makassar (Renyoet dkk, 2012). Masih tingginya kejadian anemia defisiensi zat besi
pada ibu hamil akan berfefek pada kondisi janin (Amiruddin, 2007).
Gambaran tentang status gizi balita berdasarkan indeks BB/U di atas target MDGs
(15,5 %) menurut kota / kabupaten diperoleh informasi bahwa ada lima kabupaten dengan
presentase tinggi gabungan gizi buruk dan gizi kurang yaitu Pangkep 31,7 %, Maros 31 %,
Takalar 29,6 %, Makassar 29,6 % dan Jeneponto 28,4 % (Sul-Sel DKp, 2015). Kabupaten
Jeneponto memiliki status gizi buruk dan gizi kurang kategori masalah sedang sebesar 26,4%
sedangkan kasus gizi buruk sebanyak 7 orang (0,04%) (Departemen Kesehatan Jeneponto,
2015).
2
Tabel 1.1 ; Memperlihatkan bahwa mayoritas informan berjenis kelamin perempuan, yaitu
sebanyak 9 orang (75 %) dan laki-laki hanya 3 orang (25%). Tingkat pendidikan informan
yang menyelesaikan pada tingkat strata 1 sebanyak 5 orang (42 %) dan yang menyelesaikan
pada tingkat Diploma baik itu Diploma III maupun Diploma IV sebanyak 7 orang (58%).
Kelompok usia informan yakni usia 20 – 30 tahun dan 31 – 40 tahun masing-masing
sebanyak 5 orang (41,2 %) dan untuk kelompok usia 41 – 50 tahun sebanyak 2 orang (16,6
%). Selain itu profesi yang dimiliki informan bervariasi yakni; dokter 2 orang (16,6 %),
perawat 2 orang (16,6 %), Bidan 3 orang (25 %), nutrionis 2 orang (16,6 %), sanitarian 2
orang (16,6 %) dan tenaga promosi kesehatan 1 orang (8,3 %).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang yakni
1) Tingkat pendidikan, Sebagaimana kita pahami bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka yang bersangkutan akan lebih mudah dalam proses menerima hal-hal baru
sehingga pada akhirnya akan lebih mudah pula menyelesaikan persoalan terkait dengan hal-
hal baru tersebut.
2) Informasi, Bila seseorang mempunyai sumber informasi yang lebih baik, akurat dan banyak
maka akan memberikan pengetahuan yang jelas berdasarkan pada sumber informasi tersebut.
3) Budaya dapat dipahami memberikan efek yang sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang, karena berbagai informasi baru yang masuk akandisaring oleh individu untuk
memilah kira-kira informasi tersebut sesuai atau tidak dengan kebudayaan yang telah ada
dan agama yang dianut masyarakat.
4) Pengalaman, sangat berkaitan dengan jumlah umur dan pendidikan indivdu, artinya,
pendidikan yang tinggi disertai dengan pengalaman hidup yang luas seiring dengan umur
yang bertambah tua.
5) Sosial Ekonomi, dimaknai bahwa tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup
akan disesuaikan dengan jumlah penghasilan yang ada, sehingga mengharapkan pengetahuan
yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, hal ini sesuai pula dalam mencari
bantuan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, maka akan disesuaikan dengan
pendapatan keluarga. Faktor lain yang juga mendukung adalah informasi (Notoatmodjo,
2007).
3
Kasus :
Dari Tabel 1.2 di atas menunjukkan bahwa untuk pengetahuan tentang gizi sebelum pelatihan
memiliki rerata 4.50 dan setelah pelatihan memiliki rerata 4.467.Hal ini tidak menunjukkan
peningkatan rerata.Sedangkan untuk pengetahuan tentang kolaborasi sebelum pelatihan memiliki
rerata 8.75 dan setelah pelatihan memiliki rerata 10.67.Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
rerata.
- Permasalahan :
Tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang gizi buruk yang masih rendah sebelum
dan sesudah mengikuti pelatihan.
- Solusi :
1. Untuk petugas promosi kesehatan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan tentang
gizi buruk agar dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai gizi
buruk sehingga tingkat gizi buruk di Indonesia dapat menurun.
2. Untuk nutrisionis lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan tentang gizi buruk
sehingga dapat mengiformasikan menu makanan sehat bagi orang tua yang memiliki
balita.
3. Untuk perawat pun lebih sering mengikuti seminar maupun pelatihan dan mencari
literature mengenai gizi buruk, juga lebih sering mencari ataupun melakukan riset
penelitian dalam menangani kasus gizi buruk.
4. Untuk petugas sanitarian lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan tentang gizi
buruk sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat.
4
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
1
b. Jangka waktu rawat inap
c. Ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers)
d. Biaya rumah sakit,
e. Rata-rata clinical error
f. Rata-rata jumlah kematian pasien (WHO, 2010).
2
6) Pelaksanaan pelatihan kolaborasi lintas profesi telah terlaksana dengan proses
yangbaik. Walaupun pada akhir kegiatan uji coba modul diperoleh hasil bahwa padakegiatan
uji coba modul dalam kegiatan pelatihan tersebut menunjukkan bahwa tidakterjadi
perubahanpengetahuan tentang gizi buruk namun terjadi perubahan pengetahuan tentang
kolaborasi lintas profesi sebagai bagian utama dari modul.
4.2 Saran
Setelah kami melakukan studi kasus, kami mengalami beberapa hambatan dalam
penulisan ini. Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak penulis mampu menyelesaikan
masalah ini dengan tepat pada waktunya. Demi kemajuan selanjutnya maka menyarankan
kepada :
1. Mahasiswa Kesehatan
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa kesehatan khususnya di STIKes
KUNINGAN dapat memahami serta menambah wawasan tentang Konsep IPE Dan Analisis
Kasus yang terjadi di lingkungan kesehatan.
2. Institusi Pendidikan
Kami mengharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bacaan untuk
menambah pengetahuan bagi pembaca khususnya bagi mahasiswa STIKes KUNINGAN dan
makalah ini dapat digunakan sebagai tambahan literatur yang membahas masalah tentang
Konsep IPE Dan Analisis Kasus yang terjadi di lingkungan kesehatan.
3
DAFTAR PUSTAKA
Risnah, R. S., 2018. PENGARUH PELATIHAN TERHADAP PENGETAHUAN TENTANG GIZI BURUK DAN
INTER-PROFESSIONAL COLLABORATION PETUGAS KESEHATAN. Jurnal Kesehatan, Volume 11, pp. 61-
71.
eprints.ums.ac.id > …PDF Hasil web BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era kemajuan
ilmu…..
https:/abstrak.uns.ac.id > G0…PDF BAB II LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka 1… -
UNS