Anda di halaman 1dari 33

PENERAPAN KOLABORASI ANTAR PROFESI

PADA KELUARGA TN. M DI CILANDAK


Dosen Pembimbing:
Erni Mardiati, SKM, M.Kes (Epid)
Ngatemi, S.SiT, MA.Kes
Rasumawati, SKM, MA.Kes
Suci Anatasia, B.Sc.PO, MSc.
Tarwoto, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh:
Julian reza Zakaria Ortotik Prostetik Erdita Rahma Dini Kebidanan
Selvina Yuliana Ners Anastya Noor Fadhilla Kebidanan
Mardhiyatul Jamilah Ners Jihan Amir Balaswad Kebidanan
Fahaurellia Agifah Saffanah Kebidanan Habibi Faturrahman Kesehatan Gigi
Indah Wulandari Kebidanan Feyza Elisa Chairunnisa Hasibuan Kesehatan Gigi
Raydhita Azzahra nurdianzah Kebidanan Fatiyyah Azzahra Kesehatan Gigi
Sheva Mirza Azahra Kebidanan

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA 1


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “Penerapan Kolaborasi
Antar Profesi Pada Keluarga Tn. S di RT 005 RW 012 Kelurahan Cilandak Barat’’

Adapun tujuan penyusunan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi. Penyusunan laporan ini tentu tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, terutama orang tua sebagai motivator dan pemberi semangat dalam
penyusunan makalah ini, baik berupa dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu drg. Ita Astit Karmawati, MARS., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Jakarta I.
2. Ibu Heni Nurhaeni, S.Kp., M.KM., selaku dosen penanggung jawab mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
3. Ibu Erni Mardiati, SKM, M.Kes (Epid) selaku dosen pembimbing mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
4. Ibu Ngatemi, S.SiT, MA.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi Antar
Profesi (KAP).
5. Ibu Rasumawati, SKM, MA.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi (KAP).
6. Ibu Suci Anatasia, B.Sc.PO, MSc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Kolaborasi
Antar Profesi (KAP).
7. Bapak Tarwoto, S.Kep., Ners., M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah
Kolaborasi Antar Profesi (KAP).
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun guna menyempurnakan penulisan laporan ini sangat dibutuhkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Jakarta, Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
LAMPIRAN.........................................................................................................................................5
BAB I....................................................................................................................................................6
PENDAHULUAN................................................................................................................................6
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................6
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................................7
BAB II..................................................................................................................................................8
LANDASAN TEORI...........................................................................................................................8
2.1 Konsep Interprofesional Education (IPE)..............................................................................8
2.2 Konsep Diabetes Melitus.....................................................................................................12
2.3 Konsep Pap Smear ..................................................................................................................
2.4 Konsep Diabetes Melitus.........................................................................................................
2.5 Konsep Interprofesional Education (IPE)................................................................................
BAB III...................................................................................................................................................
TINJAUAN KASUS..............................................................................................................................
3.1 Pengkajian...............................................................................................................................
3.2 Masalah Kesehatan..................................................................................................................
3.3 Rencana Asuhan Profesi .........................................................................................................
3.4 Implementasi...........................................................................................................................
3.5 Evaluasi...................................................................................................................................
BAB IV...................................................................................................................................................
PEMBAHASAN.....................................................................................................................................
BAB V.....................................................................................................................................................
PENUTUP..............................................................................................................................................
5.1 Kesimpulan..............................................................................................................................
5.2 Saran........................................................................................................................................
TINJAUAN KASUS..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini sangatlah kompleks
karena berbagai faktor perubahan, seperti perubahan status demografi, perubahan pola
hidup, dan karakteristik masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
maka diperlukan sebuah sistem kerja kolaborasi antar profesi kesehatan atau
Interprofessional Collaboration (IPC).
Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kemitraan
antara seorang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan (Morgan et al,
2015). IP dapat terjadi ketika berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien,
keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas
tinggi (WHO, 2010).
Salah satu upaya untuk mewujudkan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah dengan
memperkenalkan praktik kolaborasi melalui proses pendidikan yang lebih dikenal dengan
pendidikan antarprofesi. Menurut (WHO, 2010), pendidikan antarprofesi (IPE) adalah
proses pendidikan yang melibatkan dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan ini bisa
terjadi apabila beberapa mahasiswa dari berbagai profesi belajar tentang profesi lain,
belajar bersama satu sama lain untuk menciptakan kolaborasi efektif dan pada akhirnya
meningkatkan outcome kesehatan yang diinginkan. IPE akan terjadi ketika dua atau lebih
profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari
peran masing-masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan
kualitas pelayanan kesehatan. Kolaborasi interprofesional merupakan strategi untuk
mencapai kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam pelayanan
kesehatan (Noor Ariyani Rokhmah, 2017).
Kegiatan Kolaborasi Antar Profesi (KAP) ini bertujuan untuk melatih kerjasama tim
dengan profesi yang berbeda sehingga dapat membantu pasien mencapai kesembuhannya
dengan maximal. Pada studi KAP kali ini terdiri dari profesi bidan, perawat, kesehatan
gigi, dan ortotik prostetik.
Kelompok 4 terdapat salah satu keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Pada
keluarga tn. m seorang laki-laki 59 tahun dengan keluhan memiliki riwayat diabetes,
terdapat luka ganggren di telapak kaki dan luka kecil di kaki kiri, gula darah mencapai
200 mg/dl, berat badan menurun, memiliki gaya hidup yang tidak sehat, dan juga sudah
tidak memiliki gigi.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami pentingnya kolaborasi antar profesi
dalam pemberian asuhan kesehatan kepada masyarakat.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui nilai dan etik kolaborasi antarprofesi kesehatan
b. Mengetahui peran dan tanggung jawab antarprofesi
c. Mengetahui keterampilan komunikasi dalam Interprofesional Education
d. Mengetahui kerjasama tim dalam Interprofesional Education
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Interprofesional Education (IPE)


1. Pengertian IPE
Pendidikan inter-profesional (IPE) dan praktik kolaborasi interprofesional (IPCP)
adalah konsep yang terpisah namun terkait. Salah satu maksud dari IPE adalah bahwa
para siswa/mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan berlatih sampai tingkat penuh
dalam pendidikan dan pelatihan mereka dan, dalam prosesnya, mengeksplorasi
batasan dari praktik mereka. Pada saat yang sama, mereka belajar bagaimana
memiliki hubungan interprofessional yang efektif melalui berbagi keterampilan dan
pengetahuan kolaboratif. IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar
bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing
profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan
kesehatan, Kolaborasi terjadi ketika individu saling menghormati satu sama lain dan
profesi satu sama lain dan bersedia berpartisipasi dalam suasana kooperatif (Norisca
Aliza Putriana, 2020).
Menurut (WHO, 2010), IPE merupakan suatu proses yang dilakukan dengan
melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang memiliki perbedaan
latar belakang profesi dan melakukan pembelajaran bersama dalam periode tertentu,
adanya interaksi sebagai tujuan utama dalam IPE untuk berkolaborasi dengan jenis
pelayanan meliputi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif.
Interprofessional Education (IPE) merupakan praktik kolaborasi antara dua atau lebih
profesi kesehatan yang saling mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan
dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan
kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana luaran pendekatan
antara mahasiswa profesi kedokteran dan kebidanan, berdasarkan persepsi
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang menggunakan metode pembelajaran
IPE berbasis komunitas (Kevin Pieter Toman, 2016).

2. Manfaat IPE
Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative Practice,
WHO (2010) menjelaskan IPE berpotensi menghasilkan berbagai manfaat dalam
beberapa
aspek yaitu kerjasama tim meliputi mampu untuk menjadi pemimpin tim dan anggota
tim, mengetahui hambatan untuk kerja sama tim; peran dan tanggung jawab meliputi
pemahaman peran sendiri, tanggung jawab dan keahlian, dan orang-orang dari jenis
petugas kesehatan lain; komunikasi meliputi pengekspresikan pendapat seseorang
kompeten untuk rekan, mendengarkan anggota tim; belajar dan refleksi kritis
meliputi cermin kritis pada hubungan sendiri dalam tim, mentransfer IPE untuk
pengaturan kerja; hubungan dengan pasien, dan mengakui kebutuhan pasien meliputi
bekerja sama dalam kepentingan terbaik dari pasien, terlibat dengan pasien, keluarga
mereka, penjaga dan masyarakat sebagai mitra dalam manajemen perawatan; praktek
etis meliputi pemahaman pandangan stereotip dari petugas kesehatan lain yang
dimiliki oleh diri dan orang lain, mengakui bahwa setiap tenaga kesehatan memiliki
pandangan yang sama-sama sah dan penting (WHO, 2010).

3. Kompetensi IPE
Bridges menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu (Norisca Aliza Putriana,
2020):
a. Memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas,
b. Bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan
perawatan dan pengobatan pasien,
c. Bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau
perawatan pasien,
d. Menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain,
e. Memfasilitasi pertemuan interprofessional, dan
f. Memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.
ACCP 2009 dalam jurnal norisca membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas
empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, orientasi tim, dan kemampuan tim.
Penilaian hasil dari pengalaman pembelajaran IPE ini dapat dilihat melalui
pemahaman tentang sikap tenaga kesehatan terhadap kolaborasi tim kesehatan dan
masing-masing tenaga kesehatan mengerti peran masing-masing tenaga kesehatan
merupakan tolak ukur dalam efektifitas educational interventions (Norisca Aliza
Putriana, 2020).
4. Domain IPE
Menurut Core Competencies for Interprofessional Collaborative Practice (2011)
domain kompetensi interprofessional education yaitu:
a. Nilai / etika untuk praktik interprofessional
Nilai interprofessional dan etika yang terkait merupakan bagian baru yang
penting dalam menyusun identitas profesional, yang bersifat profesional dan
interprofessional. Nilai dan etika ini dipusatkan pada orientasi komunitas /
populasi, didasarkan pada tujuan bersama untuk mendukung kebaikan bersama
dalam perawatan kesehatan, dan mencerminkan komitmen bersama untuk
menciptakan sistem perawatan yang lebih aman, efisien, dan lebih efektif.
Mereka membangun kompetensi inti yang terpisah, spesifik profesi, dalam
berpusat pada pasien (Core Competencies for Interprofessional Collaborative
Practice, 2011).
b. Peran / tanggung jawab
Belajar dalam interprofessional education memerlukan pemahaman tentang
bagaimana peran dan tanggung jawab profesional saling melengkapi dalam
perawatan yang berpusat pada pasien dan masyarakat / populasi. Peran dan
tanggung jawab profesional kepada anggota tim profesi lain dan memahami
peran dan tanggung jawab orang lain sehubungan dengan peran mereka sendiri
sebagai domain kompetensi inti untuk praktik kolaboratif. Domain ini adalah
fitur eksplisit dalam kerangka kerja interprofessional yang paling banyak (Core
Competencies for Interprofessional Collaborative Practice, 2011)
c. Interprofessional komunikasi
Komunikasi sebagai domain kompetensi inti kedua, dan dalam kebanyakan
kerangka kerja komunikasi kompetensi dianggap sebagai aspek inti dari praktik
kolaborasi antarprofessional. Mengembangkan keterampilan komunikasi dasar
adalah area umum untuk pendidikan profesi kesehatan, namun mahasiswa tahap
profesi sering hanya memiliki sedikit pengetahuan atau pengalaman dengan
komunikasi interprofessional. Lebih dari satu dekade yang lalu, laporan AAMC
tentang komunikasi dalam kedokteran mengakui pentingnya berkomunikasi
secara efektif dengan anggota tim kesehatan lainnya, mengingat gerakan menuju
perawatan terpadu yang lebih baik (Core Competencies for Interprofessional
Collaborative Practice, 2011).
d. Tim dan Kerja tim
Belajar dalam interprofessional education berarti belajar menjadi pemain tim
yang baik. Perilaku kerja timbal balik berlaku dalam situasi dimana profesi
kesehatan berinteraksi atas nama tujuan bersama untuk perawatan pasien atau
masyarakat. Perilaku kerja tim melibatkan kerja sama dalam perawatan yang
berpusat pada pasien; mengkoordinasikan perawatan seseorang dengan profesi
kesehatan lainnya sehingga kesenjangan, redudansi, dan kesalahan dihindari; dan
berkolaborasi dengan orang lain melalui pemecahan masalah bersama dan
pengambilan keputusan bersama, terutama dalam keadaan yang tidak pasti.
Proses ini mencerminkan meningkatnya tingkat saling ketergantungan antara
yang tertanam dalam tim, dalam sistem mikrosistem seperti unit rumah sakit,
atau di antara organisasi dan masyarakat (Core Competencies for
Interprofessional Collaborative Practice, 2011).

5. Faktor pendukung dan penghambat IPE


a. Faktor Pendukung
1) Komitemen yang jelas dari seluruh anggota profesi atau seluruh program
2) studi yang akat terlibat di dalam pendidikan antar profesi
3) Kesiapan mahasiswa untuk siap dan aktif dalam mengikuti pendidikan antar
profesi;
4) Adanya role modeluntuk kolaborasi antar profesi baik di tatanan akademik
maupun lahan praktek baik rumah sakit maupun di masyarakat
5) Tuntutan yang besar dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehaan yang komprehensif dan terintegrasi;
6) Dukungan dari manajemen ( prodi atau fakultas ) termasuk dukungan
logistik, keuangan dan administrasi.
b. Faktor penghambat
1) Adanya ego masing masing profesi
2) Kultur kerja sama yang kurang
3) Resisten terhadap perubahan;
4) Perbedaan profesi dan tujuan masing profesi;
5) Kurikulum yang kaku dan terpusan;
6) Beban kerja dosen dan mahasiswa yag terlalu tinggi.(Zaenal,dkk,2018)
7) Hambatan kelembagaan waktu adalah suatu masalah, seperti program studi
yang memiliki kurikulum berbeda beda.
8) Hambatan profesional tantangan lain dari IPE adalah bagaimana bisa
menghargai profesi lain. Bila hal ini tidak bisa dilakukan akan terjadi
kegagalan untuk saling menghargai peran profesi masing masing. (Triana,
Neny, 2018).

2.2 Konsep Diabetes Melitus


1. Pengertian diabetes melitus
Menurut Hestiana (2017) Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit
menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi normal
yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah
puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit
gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi
insulin) (R. N. Fatimah, 2015a).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan diabetes mellitus tipe 2 adalah
penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi
normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar
gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin).

2. Etiologi
Menurut Hestiana (2017) pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak mengalami
kerusakan pada sel - sel penghasil insulin yang terdapat pada pankreasnya, namun
insulin tersebut tidak dapat berfungsi. Menurut Hestiana (2017) etiologi dari diabetes
mellitus tipe II, yaitu :
a. Riwayat Diabetus Mellitus pada Keluarga
Risiko diabetus mellitus dapat meningkat 2 kali lipat jiwa memiliki satu orang
dengan diabetus mellitus. diabetus mellitus merupakan penyakit yang
diturunkan.
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat membuat metabolisme glukosa menjadi abnormal
dan meningkatkan resistensi insulin.
c. Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah arteri
mengalami penebalan sehingga diameter pembuluh darah menyempit
menyebabkan pengangkutan glukosa terganggu.
d. Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik ringan atau kurang pergerakan menyebabkan ketidakseimbangan
kebutuhan energi yang dibutuhkan dengan yang dikeluarkan.
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia menyebutkan beberapa faktor resiko
Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut (Hestiana, 2017) :
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu riwayat keluarga dengan
Diabetes Mellitus (genetik), faktor usia (diatas 45 tahun), riwayat melahirkan
dengan berat badan lahir tinggi (diatas 4000 gram), dan riwayat melahirkan
dengan berat lahir rendah (dibawah 2500gram).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, yaitu berat badan berlebih (IMT
≥23kg/m2), kurang aktivitas fisik, hipertensi (>140/90mmHg), dislipidemia
(Trigliserida 250mg/dl dan/atau HDL <35mg/dl), dan diet tidak sehat seperti
diet tinggi glukosa dan rendah serat.

3. Tanda Gejala
Menurut Black & Hawks (2014) adalah peningkatan kadar gula darah, disebut
hiperglikemia, mengarah kepada manifestasi klinis umum yang berhubungan dengan
DM. pada DM tipe 1, onset manifestasi klinis mungkin tidak ketara dengan
kemungkinan situasi yang mengancam hidup yang biasanya terjadi (misal,
ketoasisdosis diabetikum). Pada DM tipe 2, onset manifestasi klinis mungkin
berkembang secara bertahap yang klien mungkin mencatat sedikit atau tanpa
manifestasi klinis selama beberapa tahun. Menurut (Setiati S, Alwi I, 2014)
manifestasi klinis DM adalah peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria),
peningkatan rasa haus dan minum (polidipsi), dan karena penyakit berkembang,
penurunan berat badan meskipun lapar dan peningkatan makan (poliphagi).
Pada pasien DM tipe-2 mungkin tidak memperlihatkan gejala apapun dan
diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menunjukkan gejala polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak
menderita ketoasidosis karena pasien ini tidak mengalami defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif (Price, S. A and Wilson, 2006).

4. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe
1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka
dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I
sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita diabetes
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Defisiensi insulin pada DM tipe-1 akan
mengurangi ambilan glukosa oleh otot, jaringan lunak, jaringan splanikus dan akan
terjadi peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kadar gula darah akan
meningkat dan mengakibatkan peningkatan osmolalitas cairan ekstra selular.
Peningkatan osmolalitas yang melebihi ambang batas ginjal akan menyebabkan
glukosa dikeluarkan melalui urin. Glukosa yang ada akan menarik air dan elektrolit
lain sehingga pasien mengeluh sering kencing atau poliuria. Dengan demikian tubuh
akan selalu dalam keadaan haus dan mengakibatkan banyak minum (polidipsia).
Selain itu defisiensi insulin pada pasien DM tipe-1 juga mengakibatkan berkurangnya
ambilan asam amino dan sintesis protein, sehingga pemenuhan nitrogen otot kurang.
Katabolisme protein juga meningkat, sehingga secara klinis massa otot dijaringan
perifer berkurang mengakibatkan penurunan berat badan. Glukosa yang tidak
terpakai di sel atau jaringan perifer mengakibatkan tubuh akan lemah dan kurang
aktivitas. (Pulungan et al., 2016)
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
: 1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan
kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif
dan tidak absolut. sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama,artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-
sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
resistensi insulin dan defisiensi insulin. (R. N. Fatimah, 2015b).

5. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi
DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai
normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM
tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga
tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
2) Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-
tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,
antara lain ketoasidosis diabetic (KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolakto asidosis (Sudoyo,2009 dalam (R. Fatimah, 2015).
b. Komplikasi Kronis
1) Komplikasi Makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler adalah terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah besar seperti di jantung dan diotak yang sering
mengakibatkan kematian serta penyumbatan pembuluh darah besar
diekstremitas bawah yang mengakibatkan ganggren dikaki sehingga banyak
penerita DM yang harus kehilangan kaki karena harus diamputasi.
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita
DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan
stroke.
2) Komplikasi Mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler adalah terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah kecil seperti di ginjal yang dapat menyebabkan penderita
mengalami gangguan ginjal dan di mata dapat mengakibatkan penderita
mengalami gangguan penglihatan bahkan kebutaan. Komplikasi
mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati,
diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.
a) Retinopati Diabetika
Gejalanya yaitu berkurangnya ketajaman penglihatan atau
gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma.
Retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak
dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, penurunan kadar gula
darah yang terlalu singkat dapat memperburuk kondisi yang terjadi.
b) Nefropati Diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling
banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan
ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos
ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten (> 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan
demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah (Yuhelma et al., 2015).
c) Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik merupakan komplikasi dari penyakit
diabetes melitus yang ditandai dengan adanya gangguan saraf,
terutama di daerah tungkai bawah. Penyakit ini dialami oleh sekitar 50
persen penderita
diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Neuropati perifer merupakan bentuk
neuropati diabetik yang paling sering ditemukan pada orang dengan
diabetes melitus.
Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi
degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau
bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau
lengan. Faktor resiko kardiovaskular seperti hipertensi; dislipidemia;
overweight; obesitas; dan mikroalbuminemia, adanya komplikasi
mikrovaskuler lain seperti nefropati dan retinopati (Putri & Waluyo,
2020).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Kardika, 2015) diagnosis klinik untuk diabetes biasanya ditandai
dengan gejala klasik (meningkatnya rasa haus, nafsu makan bertambah dan sering
buang air kecil) dapat disertai pula kehilangan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
dan pada kasus yang parah dapat terjadi koma dan adanya glikosuria. Menurut
(Hardjono, 2007) untuk diagnosis lebih lanjut maka dilakukan pemeriksaan glukosa
darah, yaitu:
a. Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan pada
pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia.
Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan.
Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena) maka
penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu
dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b. Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam
sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat
yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula
darah puasa sebagai berikut: kadar glukosa plasma puasa <110 mg/dl dinyatakan
normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl
disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah puasa
lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.
c. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta
berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa
darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl.
d. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada
pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk
memastikan diabetes atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006, tatacara
tes TTGO dengan cara melarutkan 75 gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg
pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan
dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama
minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai berikut:
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl;
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi
< 200 mg/dl; dan
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut R. N. Fatimah (2015b) tujuan penatalaksanaan DM tipe 2 jangka
pendek yaitu hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: tercegah dan
terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
a. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%
dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body
Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
merupupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan.
b. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive,
Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh
adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
Menurut (Eliana, 2015) Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
secara teratur (3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150
menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.
c. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat
resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien
DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan
kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.
d. Farmakologi
1) Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar
gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan
menghilangkan gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol
berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama.
Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM
tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan
asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini
ditambahkan bila
setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah
tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan
menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat
antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen
antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum
termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini
obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid,
inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.
2) Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan
asam amino kedua rantai tersebut.
Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian
hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif.
Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan.
Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total
menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi
insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel
sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif,
menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah
penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari
glukosa.

2.3 Konsep
2.4 Konsep
2.5 Konsep
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

3.2 Masalah Kesehatan

Dalam keperawatan masalah kesehatan yang ditemukan pada Tn. S adalah Diabetes

Melietus karena….. Dalam keperawatan gigi ditemukan masalah kesehatan pada Tn. S

adalah adanya....pada... sehingga menyebabkan…. Dalam kebidanan ditemukan masalah

kesehatan pada Tn. S adalah…. Dalam orthotic prostetic ditemukan masalah kesehatan

pada Tn. S adalah....

3.3 Rencana Asuhan Profesi

Rencana asuhan yang akan diberikan kepada Tn. S yaitu untuk profesi keperawatan

adalah berupa penyuluhan kesehatan tentang cara….. Rencana asuhan yang akan diberikan

kepada Tn. S dari keperawatan gigi adalah memberikan penyuluhan mengenai…. Rencana

asuhan yang akan diberikan kepada Tn. S untuk profesi kebidanan yaitu memberikan

informasi mengenai cara…. Rencana asuhan yang akan diberikan kepada Tn. S untuk

profesi orthotic prostetic yaitu dengan memberikan edukasi kesehatan mengenai

penanganan….

3.4 Implementasi

Pada hari..., tanggal Juni 2022, pukul WIB, kelompok 4 memberikan pendidikan

kesehatan terhadap Tn. S dimulai dengan profesi keperawatan gigi yaitu dengan

melakukan penyuluhan tentang............Setelah profesi keperawatan gigi telah selesai

memberikan pendidikan kesehatan selanjutnya dilanjutkan oleh profesi kebidanan yaitu

dengan memberikan penjelasan kepada pasien mengenai...... Kemudian setelah profesi

kebidanan memberikan pendidikan kesehatan dan demonstrasi, dilanjutkan oleh profesi

ortotik protestik yaitu memberikan edukasi kepada pasien mengenai..... Dan setelah
profesi ortotik prostetik telah selesai memberikan edukasi, selanjutnya dilanjutkan oleh

profesi keperawatan yaitu dengan memberikan edukasi kesehatan berdasarkan observasi,

terapeutik dan dilanjutkan dengan mengedukasi tentang..........

3.5 Evaluasi

Evaluasi asuhan yang diberikan dilakukan pada hari yang sama yaitu terakhir

kunjungan pada hari , Juni 2022, setelah kami melakukan pengkajian dan melakukan

intervensi dengan memberikan pendidikan kesehatan keluarga kepada Tn. S Dan hasilnya

pasien merasa senang karena mendapat pengetahuan yang lebih lagi tentang penyakitnya,

serta dapat menerima dan memahami tentang informasi yang diberikan untuk penyakit

Diabetes Mellitus pada Tn. S Pasien juga dapat menjelaskan kembali tentang pencegahan

dan diet Diabetes Mellitus. Kemudian ketika didemonstrasikan mengenai teknik.

Kemudian Tn. S juga telah mengetahui dan mengerti tentang.......dan pada sesi tanya

jawab pasien sempat memastikan beberapa argument mengenai.......dan telah di jawab oleh

profesi keperawatan gigi dengan baik. Setelah intervensi dilakukan, kami juga berdiskusi

dan bercengkrama diakhir sesi antar mahasiswa, pembimbing dan juga pasien. Secara

keseluruhan proses pengkajian dan intervensi berjalan dengan baik.


BAB IV
PEMBAHASAN

Proses asuhan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada keluarga Tn. S selama 2

hari yaitu pada tanggal Juni dan Juni 2022, Mahasiswa telah melakukan pengkajian sesuai

dengan teori asuhan pemberian pelayanan yang mencakup kondisi dan lingkungan disekitar

rumah secara holistic secara anamnesa dan juga pemeriksaan fisik Head to Toe.

Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada keluarga Tn. S mencakup 4 bidang

profesi yang meliputi jurusan keperawatan, keperawatan gigi, kebidanan dan ortotik

prostetik. Perwakilan mahasiswa dari tiap jurusan tersebut melakukan pengkajian sesuai

dengan bidang profesi nya masing-masing.

Pada hari Senin tanggal 13 Juni mahasiswa melakukan pengkajian dirumah keluarga

Tn. S yang berkediaman di Jl.Tri Dharma Raya no. 15 RT 005 RW 012, Cilandak Barat,

Jakarta Selatan. Keluarga Tn. S tinggal bersama dengan istri dan orang anak. Pengkajian

terhadap karakteristik rumah di dapatkan hasil; rumah milik pribadi yang terdiri dari lantai,

ruangan di lantai bawah dan ruangan dilantai atas, lantai disekitar rumah dan lantai kamar

mandi tidak licin, terdapat pengaman disamping tangga, terdapat ventilasi dan pencahayaan

yang cukup, lingkungan sekitar rumah rata dan tidak berbatu. Di lingkungan rumah Tn. S

tidak terdapat hewan-hewan vector penyakit seperti tikus, nyamuk, lalat, dan kecoa. Sistem

pendukung keluarga terjalin baik, pola komunikasi baik yaitu secara dua arah dan juga

hubungan komunikasi antar tetangga terjalin harmonis dan saling berinteraksi. Alat

komunikasi yang digunakan ialah menggunakan handphone dan menggunakan sepeda motor

dan mobil sebagai alat transportasi sehari-hari. Fasilitas kesehatan yang digunakan keluarga

ialah Puskesmas dan Rumah Sakit.

Selanjutnya mahasiswa melakukan pengkajian kesehatan keluarga yang dilakukan

oleh perwakilan sesuai dengan bidang profesi. Hasil dari pengkajian tersebut didapatkan data

bahwa ........... Setelah dilakukan pengkajian didapatkan data kesehatan Tn. S sebagai berikut:
pada Tn. S (Suami) berusia tahun,

Untuk pengkajian terhadap kesehatan gigi dan mulut Tn. S, mahasiswa keperawatan

berkolaborasi dengan mahasiswa jurusan keperawatan gigi mengkaji kesehatan gigi dan

mulut, hasil pengkajian yang didapat yaitu kebersihan gigi dan mulut Ny. E kurang bersih,

tidak ada sariawan, namun ditemukan adanya....pada gigi .... dengan.., dan.......

Setelah melakukan pengkajian terhadap Tn. S, kemudian mahasiwa melakukan

penyusunan diagnosa kerja sesuai dengan standar profesi masing-masing dan menyusun

rencana kerja sesuai dengan bidang profesi.

Pada hari... tanggal Juni 2022, mahasiswa jurusan keperawatan, kebidanan,

keperawatan gigi, dan ortotik prostetik melakukan Implementasi terhadap masalah yang

didapat pada saat pengkajian. Sesuai dengan kode etik masing masing profesi, untuk

mahasiswa keperawatan akan melakukan pendidikan kesehatan tentang Diabetes Mellitus

dengan media yang digunakan yaitu Power point yang mencangkup........

Mahasiswa kebidanan memberikan pendidikan kesehatan tentang......terhadap Tn. S

dengan media yang digunakan yaitu Leaflet dan mendemonstrasikan.....

Mahasiswa keperawatan gigi memberikan pendidikan kesehatan tentang....kepada Tn.

S dengan media yang digunakan Flip chart yang mencakup.......

Mahasiswa ortotik prostetik memberikan pendidikan kesehatan kepada Tn. S

tentang ...... dengan media yang digunakan yaitu Power point dan materi yang dijelaskan

berupa.......
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Saran Untuk Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa bisa lebih aktif dalam kegiatan kolaborasi antarprofesi.
2. Saran Untuk Instansi
Untuk meningkatkan hubungan antara jurusan yang satu dengan jurusan yang lainnya
supaya lebih kompak.
3. Saran Untuk Profesi
Diharapkan agar masing-masing profesi dapat membina kerjasama yang baik dengan
profesi lainnya dan menghilangkan ego dari masing-masing profesi.
4. Saran Untuk Pelayanan Kesehatan
Diharapkan sebagai tenaga kesehatan dapat lebih baik dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Clinical Pharmacy (ACCP). 2009. Interprofessional Education:
Principle and Application a Framework for Clinical Pharmacy Pharmacotherapy, 29 (3):
145 -164.

Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan. Jakarta : Salemba Emban Patria.

Core Competencies for Interprofessional Collaborative Practice. (2011). Washington D.C:


Interprofessional Education Collaborative Expert Panel.

Eliana, F. (2015). Penatalaksanaan DM Sesuai Konsensus Perkeni 2015. SATELIT


SIMPOSIUM 6.1 DM UPDATE DAN Hb1C, 1–7.
Fatimah, R. (2015). Diabetes Melitus Tipe: 2. Kesehatan, 4 No.5, 93–101.
Fatimah, R. N. (2015a). Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
4. https://doi.org/10.2337/dc12-0698
Fatimah, R. N. (2015b). DIABETES MELITUS TIPE 2. Indonesian Journal of Pharmacy,
4(2), 93–97. https://doi.org/10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74
Hardjono. (2007). Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik (Cetakan 3).
Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin.
Hestiana, D. W. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN DIET PADA PASIEN RAWAT JALAN
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI KOTA SEMARANG. Journal of Health Education,
2(2). https://doi.org/10.15294/jhe.v2i2.14448
Kardika, I. B. W. (2015). Preanalitik Dan Interpretasi Glukosa Darah Untuk Diagnosis
Diabetes Melitus. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, 1.
Kevin Pieter Toman, A. N. (2016). Interprofessional Education (IPE): Luaran Masyarakat
terhadap Pelayanan Kesehatan dalam Praktik Kolaborasi di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret. NEXUS PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN
KESEHATAN VOL.5/NO.2.

Noor Ariyani Rokhmah, A. (2017). KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM PRAKTEK


KOLABORASI INTERPROFESI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS PELAYANAN. Journal of Health Studies, Vol. 1, No.1, 65-71.
Norisca Aliza Putriana, Y. B. (2020). Pendidikan Interprofessional dan Kolaborasi
Interprofesional. Majalah Farmasetika, 5 (1) , 18-22.

PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.
Price, S. A and Wilson, L. M. C. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Alih bahasa Brahm U. (ed.)). EGC.
Pulungan, A. B., Mansyoer, R., Batubara, J. R., & AAP, B. T. (2016). Gambaran Klinis dan
Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak Saat Pertama Kali Datang ke Bagian
IKA-RSCM Jakarta. Sari Ped

Setiati S, Alwi I, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (VI). Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam.
Triana, Neny. 2018. Interprofesional Education (IPE). Yogyakarta : Deepublish.

Yuhelma, Hasneli, Y., & Nauli, F. (2015). Identifikasi dan analisis komplikasi
Makrovaskuler dan Mikrovaskuler pada pasien Diabetes Mellitus. Keperawatan, 3, 569–
579.
WHO. (2010). Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Practice. Switzerland: WHO Press.

Zaenal, dkk, 2018. MODUL MAHASISWA KOLABORASI ANTARPROFESI


POLTEKKES KEMENKES JAKARTA I. Jakarta : Poltekkes Kemenkes Jakarta I.

Anda mungkin juga menyukai