Anda di halaman 1dari 20

FAMILY ATTACHMENT-BIOPSYCHOSOCIAL

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Interprofesional Education
Dosen Pengampun : Dr.Mamlukah,AMK,SKM,M.Kes

Disusun oleh Kelompok 6

1. Bela Ariska CKR0170005


2. Dea Awalia Shafira CKR0170010
3. Fida Farida CKR0170014
4. Heny Agustina CKR0170016
5. Hilda Fazrin CMR0170079
6. Jihan Rintan Abidin CKR0170024
7. Kiki Novia CMR0170083
8. Reka Devi CKR0170039
9. Rika Novianti CMR0170090
10. Teguh Subagja CKR0170052
11. Yustika Amalia CMR0170097

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Family Attachment-Biopsychosocial”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang ”Family Attachment-Biopsychosocial”dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Kuningan, Januari 2020

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................................... 2
1.2. Tujuan Penulisan ....................................................................................................................... 3
1.3. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penulisan ..................................................................................................................... 4
1.5. Metode Penulisan ...................................................................................................................... 4
1.6. Sistematika Penulisan ............................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS .......................................................................................................... 5
2.1. Definisi Interprofessional Education (IPE) .................................................................................. 5
2.2. Tujuan Interprofessional Education (IPE) .................................................................................. 6
2.3. Manfaat Interprofessional Education (IPE) ................................................................................ 6
2.4 Definisi Interprofessional Collaboration (IPC) ............................................................................. 7
2.5. Upaya Meningkatkan Interprofessional Collaboration (IPC) ...................................................... 8
2.6. Definisi Biopsikososial................................................................................................................ 8
2.7. Reaksi dan Pendekatan Biologi ................................................................................................. 8
2.8. Reaksi dan Pendekatan Psikologis ............................................................................................ 9
2.9. Reaksi dan Pendekatan Sosial .................................................................................................. 10
BAB IIIPEMBAHASAN................................................................................................................................... 13
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................................... 15
4.1. Kesimpulan ................................................................................................................... 15
4.2. Saran ............................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era kemajuan ilmu kesehatan saat ini, pendidikan merupakan suatu hal yang penting
dalam mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan, berdasarkan hal tersebut maka untuk
menyesuaikan kebutuhan masyarakan perlunya sistem pendidikan yang bermutu dan mempunyai
orientasi pada ilmu pengetahuan yang berkembang pesat seperti saat iniyang (Febriyani, 2014).
Peningkatan permasalahan pasien yang kompleks membutuhkan keterampilan dan
pengetahuan dari beberapa tenaga profesional (Keshtkaran et al., 2014). Oleh karena itu kerja
sama dan kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kepuasan pasien dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Tenaga kesehatan merupakan tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan
pelayanan yang luas dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanankesehatan
yang berfokus pada kesehatan pasien (Steinert, 2005 dalam Bennett, DKK 2011).
Tenaga kesehatan memiliki tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan yangbermutu
di era global, tenaga kesehatan yang dimaksud adalah perawat, dokter, doktergigi, bidan,
apoteker, dietisien, dan kesehatan masyarakat (Sedyowinarso, DKK 2011).
Interprofessional education (IPE) merupakan bagian integral dari pembelajaranprofessional
kesehatan, yang berfokus pada belajar dengan, dari, dan tentang sesamatenaga kesehatan untuk
meningkatkan kerja sama dan meningkatkan kualitas pelayananpada pasien. Peserta didik dari
beberapa profesi kesehatan belajar bersama dalammeningkatkan pelayanan kepada pasien
secara bersama-sama (kolaborasi) dalamlingkungan interprofesional. Sedangkan IPE merupakan
proses satu kelompok mahasiswa yang berhubungan dengan kesehatan yang memiliki latar
belakang jurusan pendidikan yang berbeda melakukan pembelajaran bersama dalam masa
pendidikan dengan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang penting dengan berkolaborasi dalam
upaya promotif, preventif, kuratif, rehablitatif (WHO, 2010, Department of Human Resources for
Health).
Model ini berfungsi untuk mempersiapkan tenaga kesehatan yang memilikikemampuan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain dalam sistem kesehatanyang kompleks.
(Becker, DKK 2014).
Sehingga, strategi pendidikan komunikasi melalui IPE antara perawat dengan dokter atau
tenaga kesehatan lainnya dapat membangunbudaya komunikasi dan kolaborasi yang efektif
dalam memberikan pelayanan kepadapasien (Liaw,DKK 2014).

1
Meskipun IPE ini dapat membangun budaya komunikasi dan kolaborasi yang efektif dalam
memberikan pelayanan kepada pasien, namun ada beberapa tantangan dalam
pelaksanaannya.Tantangan tentang pelaksanaan IPE menurut World Health Organizationtahun
(2010) menyatakan bahwa banyak sistem kesehatan di negara-negara di dunia yang sangat
terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan di negara itu
sendiri.
Hal ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut banyak
aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu permasalahan tersebut atau
untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem
uniprofessional.Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata memberidampak positif dalam
penyelesaian berbagai masalah kesehatan (Pfaff, 2014).
Pendekatan kolaborasi yang masih berkembang saat ini yaitu interprofessional collaboration
(IPC) sebagai wadah dalam upaya mewujudkan praktik kolaborasi yang efektif antar profesi.
Terkait hal itu maka perlu diadakannya praktik kolaborasi sejak dini dengan melalui proses
pembelajaran yaitu dengan melatih mahasiswa pendidikan kesehatan. Sebuah grand design
tentang pembentukan karakter kolaborasi dalam praktik sebuah bentuk pendidikan yaitu
interprofessional education (IPE) (WHO, 2010, Department of Human Resources for Health).
IPC merupakan wadah kolaborasi efektif untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada
pasien yang didalamnya terdapat profesi tenaga kesehatan meliputi dokter, perawat, farmasi, ahli
gizi, dan fisioterapi (Health Professional Education Quality (HPEQ), 2011).
Perkembangan praktek interprofesional dan fungsional yang terbaik dapat dicapai melalui
pembelajaran antar professional (Williams et al., 2013). Menurut Luecth et al. (1990) didalam IEPS
(Interdisciplinary Education Perception Scale) diterangkan terdapat empat komponen persepsi
tentang Interprofessional Education yaitu kompetensi dan otonomi, persepsi kebutuhan untuk
bekerja sama, bukti kerjasama yang sesungguhnya, dan pemahaman terhadap profesi lain.
Interprofessional Education penting diimplementasikan untuk pencapaian Patient safety,
lemahnya kolaborasi yang pada tenaga kesehatan antarprofesi secara tidak langsung membuat
pasien dalam sebuah resiko kesalahan dalam perawatan yang akan mempengaruhi keselamatan
nyawa pasien. Sudah dapat dibuktikan bahawa Interprofessional Education (IPE) dapat
meningkatkan upaya Interprofessional Collaboration karena apabila peningkatan hanya dialami
oleh satu profesi belum tentu akan berpengaruh terhadap profesi lain. Interprofessional Education
yang dilakukan sejak dini akan meningkatkan fokus pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
antar profesi tenaga kesehatan (Health Professional Education Quality [HPEQ], 2011).

2
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Bennet et al. (2011) bahwa IPE akan
meningkatkan kolaborasi diseluruh hambatan antara tenaga kesehatan dan meningkatkan peran
utama dalam melayani konsumen pada pelayan kesehatan yang berkulitas.
Interprofessional Education mempunyai kekurangan, bahwa dalam proses IPE berfluktuasi
pada sekolah kedokteran dan kolaborasi tingkat budaya terancam ketika kelompok berinteraksi
dengan buruk. Hambatan IPE yang bersifat individual yaitu tingkat perasaan terintimidasi oleh
sekolah kedokteran. Pada proses IPE terdapat kurangnya penilaian formal pada tingkat budaya
yang dikecualikan mahasiswa kedokteran berinteraksi dengan perawat. Fasilitator dalam IPE
berada pada tingkat krisis afektif (Visse et al., 2017).
Biospikososial-kultur-spiritual merupakan suatu konteks dinamika kehidupan individu
terutama di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja. Prinsip pengelolaan kesehatan yang
berbasis pada individual atau personal menggunakan konteks tersebut di atas sebagai prosedur
spesifik keilmuan di bidang pelayanan primer (family medicine). Biopsikososial memberikan dasar
pemahaman menentukan penyakit, mengarahkan pada terapi yang tepat, dan pola pelayanan
kesehatan .
Pendekatan biopsikososial secara sistematis mempertimbangkan faktor biologi, psikologi,
dan sosial dan interaksi kompleks dalam memahami sehat, sakit (illness), dan penyampaian
pelayanan kesehatan. Pendekatan ini menggambarkan karakteristik personal yang lebih lengkap
dan lebih realistis sebagaimana kehidupan sehari-hari klien beserta keluarganya
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan makalah inimahasiswa mampu memahami dan menerapkan
konsep Interprofesional Education dan Family Attachment-Biopsychosocial dalam
lingkungan tenaga kesehatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui konsep Interprofesional Education
2) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami Family Attachment-Biopsychosocial

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi Interprofesional Education?
2. Apa tujuan dari Interprofesional Education?
3. Apa manfaat Interprofesional Education?
4. Bagaimana definisi Interprofesional Collaboration?
5. Apa saja upaya meningkatkan Interprofesional Collaboration?

3
6. Bagaimana definisi biopsikososial?
7. Bagaimana reaksi dan pendekatan biologi?
8. Bagaimana reaksi dan pendekatan psikologis?
9. Bagaimana reaksi dan pendekatan sosial?
10. Bagaimana reaksi dan pendekatan keluarga?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari makalah ini, agar mahasiswa kesehatan dapat menerapkan
Interprofesional Education di lingkungannya.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini dengan cara berdiskusi kelompok. Pengkajian materi didapatkan
melalui buku referensi dan media internet yang sesuai dengan materi terkait.Dari sumber yang kami
dapatkan kemudian kami analisa di dalam kelompok.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari IV BAB utama.BAB I yaitu pendahuluan yang
berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, manfaat penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan makalah ini.BAB II yaitu tinjauan teoritis, BAB III yaitu
pembahasan kasus dan analisis kasus, dan BAB IV merupakan bagian yang berisi simpulan dan
saran.

4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 DefinisiInterprofessional Education (IPE)


Interprofessional Education (IPE) menurut WHO (2010), IPE merupakan suatu proses yang
dilakukan dengan melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang memiliki
perbedaan latar belakang profesi dan melakukan pembelajaran bersama dalamperiode tertentu,
adanya interaksi sebagai tujuan utama dalam IPE untuk berkolaborasidengan jenis pelayanan
meliputi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif.
Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE, 2002) menyebutkan,
IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan
lain, dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan
kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan.
IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang
berbeda untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelakasanaanya dapat
dilakukan dalam semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik
untuk menciptakan tenaga kesehatan yang profesional (Lee et al., 2009).
Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis
kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan
praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal,
kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Royal
College of Nursing, 2006).
IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program studi kesehatan yang
berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan kualitas pelayanan
kesehatan (CAIPE, 2002).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam dunia kesehatan,
IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai program studi di bidang kesehatan
serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama mengenai konsep pelayanan kesehatan dan
bagaimana kualitasnya dapat ditingkatkan demi kepentingan masyarakat luas. Secara spesifik,IPE
dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di
masyarakat supaya melalui diskusi interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat
dan dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka
mata masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan kesehatan,

5
seorang pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi saja, melainkan
merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan asuhan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Broers (2009) praktek kolaborasi antar
profesi didefinisikan sebagai beragam profesi yang bekerja bersama sebagai suatu tim yang
memiliki tujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien/klien dengan saling mengertibatasan yang
ada pada masing-masing profesi kesehatan. Interprofessional Collaboration (IPC) adalah proses
dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara pelajar,
praktisi, pasien/ klien/ keluarga serta masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
2.2 Tujuan Interprofessional Education (IPE)
Menurut (freeth & reeves, 2004) tujuan dari interprofessional education adalahuntuk
mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan ilmu, keterampilan, sikap danperilaku
profesional yang penting untuk praktek kolaborasi interprofesional.Sedangkan menurut (Cooper,
2001) tujuan dari IPE yaitu :
1. Meningkatkan pemahaman interdispliner dan meningkatkan kerjasama.
2. Membina kerjasama yang kompeten
3. Membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien
4. Meningkatkan kualitas perawatan pasien yang comprehensif.
Menurut sumber lain tujuan IPE sendiri adalah praktik kolaborasi antar profesi,dimana
melibatkan berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana bekerjasama dengan
memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk berkolaborasi secara
efektif (Sargeant, 2009).
Implementasi IPE di bidang kesehatan dilaksanakan kepada mahasiswa dengan tujuan
untuk menanamkan kompetensi-kompetensi IPE sejak dini dengan retensi bertahap, sehingga
ketika mahasiswa berada di lapangan diharapkan dapat mengutamakan keselamatan pasien dan
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bersama profesi kesehatan yang lain (Buring et al.,
2009).
2.3 ManfaatInterprofessional Education (IPE)
Interprofessional education dalam dunia pendidikan tinggi di bidang kesehatan bertujuan
mengarahkan dosen untuk membantu mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan untuk
nantinya mampu terlibat dan berkontribusi aktif positif dalam collaborative practice.
IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara collaborative
practice dapat dilaksanakan.IPE berdampak pada peningkatan apresiasi siswa dan pemahaman
tentang peran, tanggung jawab, dan untuk mengarahkan siswa supaya berpikir kritis dan
menumbuhkan sikap profesional (Galle & Rolelei, 2010).

6
World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara tentang dampak
dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil dari penelitian ternyata sangat
menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun juga apabila digunakan di negara-negara
lain. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa collaborative practice dapat meningkatkan:
1. Keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan
2. Penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai
3. Outcome kesehatan bagi penyakit kronis
4. Pelayanan serta keselamatan pasien.
Disamping itu, collaborative practice dapat menurunkan :
1. Total komplikasi yang dialami pasien
2. Jangka waktu rawat inap
3. Ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers)
4. Biaya rumah sakit,
5. Rata-rata clinical error
6. Rata-rata jumlah kematian pasien (WHO, 2010).
Interprofessional education harus menjadi bagian dari partisipasi dosen dan mahasiswa
terhadap sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan. Dosen dan mahasiswa merupakan elemen
penting dalam IPE serta modal awal untuk terjadinyacollaborative practice di suatu negara. Oleh
karena itu, sebagai sesuatu hal yang baru, IPE haruslah pertama-tama dipahami konsep dan
manfaatnya oleh para dosen yang mengajar mahasiswa agar termotivasi untuk mewujudkan IPE
dalam proses pendidikannya.
Secara umum IPE mengandung beberapa elemen berikut, yang setidaknya harus dimiliki
agar konsep pembelajaran ini dapat dilaksanakan dalam pendidikan profesi kesehatan di
Indonesia yaitu kolaborasi, komunikasi yang saling menghormati, refleksi, penerapan
pengetahuan dan keterampilan, dan pengalaman dalam tim interprofesional.
2.4 Definisi Interprofessional Collaboration (IPC)
Interprofessional Collaboration merupakan wadah kolaborasi efektif untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada pasien yang didalamnya terdapat profesi tenaga kesehatan meliputi
dokter, perawat, farmasi, ahli gizi, dan fisioterapi (Health Professional Education Quality (HPEQ),
2011).
Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kemitraan antara
orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk memecahkan
masalah kesehatan dan menyediakan pelayanankesehatan (Morgan et al, 2015).

7
Menurut WHO, IPC terjadi saat berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien,
keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas tinggi
(WHO, 2010).
Salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan kolaborasi interprofesi adalah karena
buruknya komunikasi antar profesi (Setiadi, 2017). Komunikasi adalah aspek terpenting dalam
kolaborasi antar profesi. Tanpa komunikasi yang efektif maka perawatan pasien akan menjadi
kehilangan arah dan berdasar pada stereotype semata (Cross-Sudworth, 2007).Komunikasi dalam
pelaksanaan IPC juga merupakan unsur penting dalam peningkatan kualitas perawatan dan
keselamatan pasien (Reni, A 2010).
2.5 UpayaMeningkatkan Interprofessional Collaboration
1. Dapat berkomunikasi dengan baik, dalam keselamatan pasien ketika pasien mengalami
masalah tenaga kesehatan dapat langsung meminta tolong dan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lain.
2. Pengetahuan yang luas mengenai keselamatan pasien, dari langkah-langkah
keselamatan, standar keselamatan , dan juga sasaran keselamatan harus sudah dikuasai
dan diterapkan oleh tenaga kesehatan.
2.6 Definisi Biopsikososial
Biopsikososial adalah metode dengan interaksi biologi, psikologi dan faktor sosialuntuk
mengobati penyakit dan meningkatkan kesehatan yang lebih baik. Ini adalahkombinasi dari tubuh,
pikiran dan lingkungan bukan hanya tubuh dan medis ataubiomedis. Pendekatan model
biopsikososial dalam dunia medis ini melibatkan suatukonsep hubungan interaksi antara faktor
biologis, psikologis dan sosial dalam upayamengerti suatu proses penyakit dan sakitnya
seseorang. Pendekatan ini pula yangmembawa pengertian bukan saja dari segi medis fisik, tetapi
juga dari kondisipsikologis yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Konsep biopsikososial memungkinkan suatu pemahaman yang menyeluruh tentangmunculnya
suatu kondisi sakit yang dihubungkan dengan faktor lingkungan danstres yang terkait di dalamnya.
Sebaliknya, kondisi lingkungan dalam hal inidukungan sosial dalam konsep biopsikososial dapat
memberikan perubahan padakondisi sakit. Biologis dengan menggunakan obat, psikologis dengan
menggunakanpsikoterapi, sosial dengan menggunakan dukungan dan modifikasi sosial.
2.7 Reaksi dan Pendekatan Biologis
Adanya impairment, disability, functional limitation akan berpengaruh terhadappemenuhan
kebutuhan dasar manusia sehingga dapat terjadi gangguan seperti:perubahan nutrisi, perubahan
kenyamanan, kerusakan mobilitas fisik, resikoterhadap cedera, kurang perawatan diri dan
intoleransi aktivitas (Carpenito,1997).

8
Terjadi perubahan-perubahan pada penampilan, status dan peran, mobilitas fisik, aktivitas
danpekerjaan sehari-hari yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari dalam berhubungandengan
orang lain karena terdapat perbedaan antara kondisi sehat dengan kondisisakit khususnya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, di mana dalamkondisi sakit memerlukan bantuan orang
lain.Dampak fisik tersebut memicu munculnya kondisi yang menekan atau stres pada diriklien.
Dengan demikian, penanganan secara fisik (misalnya melalui fisioterapi ) danpsikologis (misalnya
penanganan stres) sangat baik dilakukan sedinimungkin,karena melalui penanganan tersebut
diharapkan klien akan cepat merasatenang, terlepas dari kondisi stres dan perasaan tertekan,
sehingga dengan demikiandiharapkan klien dapat memperoleh prognosis yang lebih positif.
2.8 Reaksi dan Pendekatan Psikologis
Klien akan mengalami beberapa keadaan Psikologik tersebut seperti :
1. Shock atau kaget,pada saat menerima kabar berita tentang diagnosispenyakitnya dari
hasil pemeriksaan dokter atau rumah sakit.
2. Denial atau penolakan,klien merasa tidak percaya akan penyakit yangdideritanya dan
dia masih menyalahkan hasil pemeriksaan
3. Marah,berusaha menolak keadaan sakitnya dan selalu menyesali mengapa halini
terjadi pada dirinya
4. Kecemasan dan ketakutan dg adanya pengrusakan,nyeri, penurunan beratbadan
penipisan finansial, dsb.
5. Depresi dan merasa kesepian
6. Merasa tidak berdaya dan putus asa,klien merasa tidak dapat menjalankanfungsinya
sebagaimana dulu , ini kaitannya dengan keadaan sosial pasien.

Pendekatan yang dilakukan :

1) Menjadi orang yang terdekat untuk dapat mengekspresikan perasaan dan


pemikirannya.Pada saat stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya.
2) Berikan dukungan agar dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya
jikapenyakit yang memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yangbelum
pasti.
3) Sholat atau berdoa, membaca kitab suci dan praktek ibadah lain membantumemenuhi
kebutuhan spiritual dan mendapatkan kekuatan untuk bertahan hidup.
4) Berusaha menyeimbangkan keadaan psikologi ini karena akan berpengaruh padakeadaan
biologis atau fisiknya,keadaan psikologis yang buruk akanmemperberat keadaan/prognosis
dan proses penyembuhan penyakitnya.

9
2.9 Reaksi dan Pendekatan Sosial
Terjadi perubahan dalam kehidupan sosial, berupa : kehilangan pekerjaan,perubahan peran
dan tugas di rumah, gangguan interaksi sosial dan cendrung menarik diri dan menyendiri, merasa
tidak mampu dan tidak sempurna dalam melakukan ibadah, kegiatanorganisasi / kegiatan lain
yang pernah dilakukannya. Keadaan psikologis seperti marah,tersingggung atau depresi akan
membuat interaksi sosial nya semakin tidak baik,klienselalu merasa minder dengan keadaanya
sehingga dia menarik diri dari interaksidengan orang lain.
Pendekatan yang di lakukan :
Sabar dan senantiasa tidak menjauh dari klien, dilakukan oleh orang – orang terdekat yang dapat
mempengaruhi keadaan psikologisnya. Keadaan-keadaan psikologis sedikit demisedikit akan
terkikis dan klien akan merasakan kedamaian dan ketenangan,sehinggapada akhirnya akan
berdampak pula pada proses fisiologik atau biologis yaitupenyembuhan penyakitnya.

2.10 Reaksi dan Pendekatan Keluarga


Family therapy paling baik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena
tenaga kesehatan memiliki posisi untuk dapat melakukan perawatan keluarga dan berkelanjutan.
Dari sudut pandang family therapi, bekerjasama dengan keluarga bukan berarti tenaga kesehatan
dapat mendikte yang harus dilakukan oleh keluarga, bertanggungjawab dengan apa yang
keluarga butuhkan, dan menyebabkan keluarga menjadi bergantung pada tenaga kesehatan. Dari
sudut pandang family education, bekerjasama dengan tenaga kesehatan berarti membantu
keluarga mampu menerima perubahan yang baik maupun perubahan yang buruk.
Tenaga kesehatan perlu mengetahui karakteristik keluarga yang dibinanya agar dapat menilai
dan membantu melakukan dari prevensi, promosi, kurasi, dan rehabilitasi. Beberapa karakteristik
yang dimiliki keluarga adalah:
1. Komunikasi yang sehat, anggota keluarga bebas mengekspresikan perasaan dan emosi.
2. Otonomi, yang menunjukkan bahwa setiap anggota keluarga memiliki kesempatan
menentukan keputusan ataupun lainnya secara mandiri serta toleran terhadap kehidupan
anggota keluarga lainnya
3. Fleksibel, anggota keluarga dapat saling menerima perubahan yang terjadi satu sama lain.
4. Apresiasi, anggota keluarga saling mendukung dan memuji untuk membangun kepercayaan
diri.
5. Saling mendukung, tingkat stres seseorang dapat berkurang dengan adanya dukungan dari
keluarga.

10
6. Waktu keluarga, meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan kebahagiaan
seseorang.
7. Ikatan keluarga, yang dicirikan dengan pola hubungan yang bervariasi misalnya genetic.
Satu atap, satu dapur, satu tempat tidur, serta satu ikatan formal perkawinan ataupun lainnya.
8. Tumbuh, individu sebagai bagian dari keluarga maupun keluarga tersebut dapat dikatakan
berkembang dan menjalani pertumbuhan phisik maupun biopsiko social spiritualnya samapai
dengan fase tertentu akan mengalami kemunduran.
9. Nilai spiritual dan religius, keluarga yang memupuk nilai spiritual dan religius memiliki tingkat
kesehatan keluarga yang lebih baik.

Sebuah keluarga terkadang ditimpa oleh masalah seperti sakit, perceraian, dipecat, dan lain-
lain. Kondisi sakit yang terjadi pada salah satu anggota keluarga atau beberapa tidak hanya
mempengaruhi kehidupan yang mengalaminya, tetapi dapat juga mengganggu keseimbangan
sistem dalam keluarga. Tenaga kesehatan perlu meminta peran serta keluarga untuk membantu
pasien dalam menghadapi masalah sakitnya. menghadapi sakit pasien.
Untuk mengetahui manifestasi sakit pasien, tenaga kesehatan harus mengetahui respon
pasien terhadap stimulus stres baik yang berasal dari dalam (keluarga dan pekerjaan) maupun
dari luar (karakter personal).Untuk memahami masalah yang sedang dialami oleh pasien,
seharusnya seorang tenaga kesehatan juga melihat latar belakang keluarganya sehingga
diharapkan dapat memahami pasien secara holistik. Untuk memahami permasalahan pasien,
tenaga kesehatan seharusnya mengevaluasi dinamika keluarga.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengevaluasinya, seperti:
a. Mengobservasi interaksi antara anggota keluarga.
b. Lakukan konseling dengan seluruh anggota keluarga.
c. Lakukan kunjungan rumah.
d. Buatlah genogram untuk mengetahui struktur dan hubungan keluarga.
Konsep family life cycle dapat dipahami bila kita mengatahui dinamika dalam keluarga.
Beberapa tahapan family life cycle (John, 2011):
1. Meninggalkan rumah, menjadi pribadi yang mandiri dan mulai terpisah secara emosi dengan
orang tua.
2. Menikah, menjalin hubungan dengan suami atau istri, tahap ini membuat hubungan emosi
dengan orangtua menjadi lebih terpisah.
3. Belajar hidup bersama, memulai hidup baru dengan keluarga.

11
4. Mengasuh anak pertama, memiliki anggota keluarga baru dan menambah peran sebagai
orang tua.
5. Hidup dengan remaja, meingkatkan fleksibiltas batasan-batasan dalam keluarga
6. Melepas anak yang telah dewasa, penyesuaian telah berakhirnya peran sebagai orang tua.
7. Pensiun, masa di mana sudah tidak memiliki penghasilan dan membangun hubungan baru
dengan anak, cucu, atau anggota keluarga lainnya.
8. Usia tua, belajar menerima bahwa semakin lemah dan bergantung pada orang lain, belajar
menerima kehilangan pasangan hidup, keluarga, atau teman.

12
BAB III
PEMBAHASAN

Pembahasan keterkaitan antara kategori attachment, patient-centered care process, dan


outcome.

Keberhasilan attachment dalam pelaksanaan IPE dipengaruhi oleh pengenalan tim kepada
pasien dan keluarga pasien, dan terjalinnya komunikasi yang interpersonal antara tim dengan pasien
atau keluarga pasien maupun antara anggota tim itu sendiri. Hubungan pasien dengan dokter akan
terwujud jika dokter memiliki sifat yang ramah, informatif, komunikatif, responatif, suportif, dan cekatan
(Purwanti dan Furandini, 2012). Prinsip-prinsip etika seperti menghargai orang, tujuan yang jelas, dan
kerahasiaan menjadi dasar dalam hubungan dokter pasien (Williams, 2006; Qauliyah, 2006).

Menurut hasil penelitian, komunikasi antar anggota tim yang baik juga berperan dalam
pelaksanaan IPE dalam menghasilkan kolaborasi tim yang baik agar menunjang outcome dengan
comprehensive care dan continuity of care dari perawatan pasien. Beberapa faktor yang
mempengaruhi suksesnya pelaksanaan IPE yaitu kesiapan IPE yang meliputi teamwork, juga peran
dan tanggung jawab (American College of Clinical Pharmacology, 2009). Salah satu kompetensi yang
harus dimiliki peserta didik dalam pelaksanaan IPE adalah :

1. Teamwork,
2. Kompetensi teamwork, meliputi:
a. Kekompakan tim
b. Saling percaya
c. Berorientasi kolektif
d. Mementingkan kerja sama (Lee et al., 2009).

Teamwork dalam IPE akan efektif apabila semua anggota tim berpartisipasi aktif dan saling
berbagi ilmu dan keterampilan (WHO, 2010). Maka dari itu dalam penerapan IPE dibutuhkan
komunikasi antar anggota tim yang baik, sesuai dengan definisi Canadian Interprofessional Health
Collaborative (CIHC) bahwa IPE merupakan pendidikan interdisiplin yang belajar mengenai kolaborasi
dalam lintas disiplin ilmu untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam bekerja
bersama profesi kesehatan lainnya (CIHC, 2007). Hal tersebut didukung oleh penelitian stimulation in
interprofessional education for patient-centred collaborative care yang menyatakan hal yang utama
dalam IPE adalah praktek kolaborasi (Baker et al., 2008).

13
Dalam pelaksanaan IPE, kategori attachment mempengaruhi perawatan pasien menurut
patient-centered care, attachment yang berhasil akan membantu dan mendukung perawatan pasien
secara menyeluruh dan melibatkan keluarga pasien dalam perawatan pasien, sedangkan pada
attachment yang kurang didapatkan kurangnya bantuan dan dukungan menyeluruh pada perawatan
pasien dan kurangnya peran keluarga pasien dalam perawatan pasien. Implementasi IPE
menanamkan mahasiswa dalam mengutamakan keselamatan pasien dan peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan bersama profesi kesehatan yang lain (Buring, 2009). Proses perawatan pasien
dengan IPE akan meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pasien (Tim Community and Family
Health Care – Interprofessional Education [CFHC-IPE], 2014). Dalam penelitian Interprofessional
education: effects on professional practice and health care outcomes didapatkan 4 dari 6 studinya
mengindikasikan perawatan pasien dengan IPE memberikan dampak positif pada kepuasan pasien,
kolaborasi tim mengurangi medical errors pada departemen gawat darurat, dan manajemen pelayanan
kesehatan dalam perawatan pasien (Reeves et al., 2008).

Pentingnya peran keluarga dalam mendukung kesehatan pasien secara menyeluruh, keluarga
yang ikut terlibat dalam perawatan pasien menghasilkan kualitas pelayanan IPE yang lebih
baik.Keberhasilan kurikulum IPE sangat dipengaruhi oleh kemauan dan komitmen dari berbagai
stakeholder, yang salah satunya adalah pasien dan keluarga pasien (University of Toronto, 2008).
PenelitianFamily involvement in routine health care: a survey of patients' behaviors
andpreferencesmendapatkan 55% pasien mengindikasikan mereka lebih memilih memiliki teman atau
keluarga yangmenemani mereka dalam ruang pemeriksaan, pasien memilih keterlibatan langsung
darikeluargadalam perawatan kesehatan mereka (Botelho, 1996).

14
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
IPE merupakan suatu proses yang dilakukan dengan melibatkan sekelompok mahasiswa atau
profesi kesehatan yang memiliki perbedaan latar belakang profesi dan melakukan pembelajaran
bersama dalamperiode tertentu, bertujuanhuntuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan
dengan ilmu, keterampilan, sikap danperilaku profesional yang penting untuk praktek kolaborasi
interprofesional. Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) merupakan
kemitraan antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanankesehatan.

Biopsikososial adalah metode dengan interaksi biologi, psikologi dan faktor sosialuntuk
mengobati penyakit dan meningkatkan kesehatan yang lebih baik. Ini adalahkombinasi dari tubuh,
pikiran dan lingkungan bukan hanya tubuh dan medis ataubiomedis. Konsep biopsikososial
memungkinkan suatu pemahaman yang menyeluruh tentangmunculnya suatu kondisi sakit yang
dihubungkan dengan faktor lingkungan danstres yang terkait di dalamnya.

Attachment, patient-centered care process, dan outcome. Keberhasilan attachment dalam


pelaksanaan IPE dipengaruhi oleh pengenalan tim kepada pasien dan keluarga pasien, dan terjalinnya
komunikasi yang interpersonal antara tim dengan pasien atau keluarga pasien maupun antara anggota
tim itu sendiri , anggota tim yang baik juga berperan dalam pelaksanaan IPE dalam menghasilkan
kolaborasi tim yang baik agar menunjang outcome dengan comprehensive care dan continuity of care
dari perawatan pasien. Teamwork dalam IPE akan efektif apabila semua anggota tim berpartisipasi
aktif dan saling berbagi ilmu dan keterampilan. Maka dari itu dalam penerapan IPE dibutuhkan
komunikasi antar anggota tim yang baik.

4.2 Saran
Setelah mengetahui tentang metode Biopsikososial dan attachment, patient-centered care
process, dan outcome dalam IPE, diharapan pembelajaran IPE ini tetap berlanjut dan dikembangkan.
Hal ini untuk melatih mahasiswa kesehatan agar mampu berkolaborasi dan bekerjasama dengan
profesi lain sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik untuk pasien dan dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

Firawati & Pabuty. A.,S.,P. (2012). Pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Di RSUD Solok. Jurnal
KesehatanMasyarakat. Vol. 6, No. 2.
Lestari, dkk. (2017). Hubungan Interprofessional Kolaborasi dengan Pelaksanaan Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi di RSUD Prof Dr H.M Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng.
JSTKesehatan, Januari 2017, Vol. 7No. 1.
Simamora , R.H. (2019). Buku Ajar : Pelaksanaan Identifikasi Pasien. Ponorogo, Jawa Timur:
UwaisInspirasi Indonesia.
Ahmadi, Abu. (2002). Psikologi Sosial. Rineka Cipta: Jakarta

16
13

Anda mungkin juga menyukai