Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL KEGIATAN INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)

MAHASISWA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS BRAWIJAYA DAN


NERS MUDA STIKES NGUDIA HUSADA MADURA

DISKUSI INTERPROFESI DAN KOLABORASI PENYULUHAN PADA


PASIEN DAN KELUARGA PASIEN DENGAN BENIGN PROSTAT
HIPERPLASIA (BPH) DI BANGSAL G1 RSAL DR. RAMELAN
SURABAYA

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Lilin Andreas Vitania, S.Farm 170070600111002
Niela Rizki Amalia, S.Farm 170070600111004
Yasmintoko, S.Farm 170070600111011
Hendrica Helma Tyasanti, S.Farm 170070600111013
Maria Catur Natalia, S.Farm 170070600111017

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
ridha-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan proposal kegiatan Interprofessional Education (IPE) di RSAL
Dr. Ramelan Suarabaya sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa proposal ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I. D. G. Nalendra D.I., Sp.B, Sp.BTKV (K) sebagai Kepala RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.
2. drg. Wuryani, M.Kes sebagai Kepala Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan
RSAL Dr. Ramelan Surabaya.
3. Drs. I Nyoman Armawan, MM., Apt sebagai Kepala Departemen Farmasi RSAL Dr.
Ramelan Surabaya.
4. Nanang Yeri K., S.Si, M.Si., Apt selaku Kepala Sub Departemen Bina Farmasi RSAL
Dr. Ramelan Surabaya.
5. Anisyah Achmad, S. Si., Sp. FRS., Apt sebagai dosen pembimbing Interprofessional
Education (IPE).
6. Aliraka Jani G, S.Kep., NS sebagai CI Perawat Bangsal G1 RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.
7. Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
terlaksananya Interprofesional Education (IPE) di RSAL Dr. Ramelan Surabaya.
Demikian proposal Interprofessional Education (IPE) ini disusun, diharapkan
tulisan ini bermanfaat bagi rekan – rekan khususnya dan pembaca pada umumnya untuk
meningkatkan profesionalisme kinerja farmasi di kemudian hari.

Surabaya, 11 Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Etiologi .............................................................................................. 3
2.3 Patofiisologi ....................................................................................... 5
2.4 Gejala ................................................................................................ 5
2.5 Terapi ................................................................................................ 6
BAB 3. METODE KEGIATAN
3.1 Metode .............................................................................................. 12
3.2 Media ................................................................................................ 12
3.3 Susunan Kegiatan............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14
LAMPIRAN ........................................................................................................ 15

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Leaflet ........................................................................................... 15


Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta ..................................................................... 17
Lampiran 3. Daftar Hadir Pemateri ................................................................... 18
Lampiran 4. Notulensi Kegiatan Edukasi .......................................................... 19
Lampiran 5. Notulensi Kegiatan Diskusi ........................................................... 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah istilah klinis yang menggambarkan
bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang jinak pada
prostat. Banyak faktor yang diduga berperan dalam pertumbuhan kelenjar prostat. Pada
dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih
menghasilkan hormon testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain, pola diet,
mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan
proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu
mempengaruhi sel prostat untuk mensintesis growth factor, yang selanjutnya berperan
dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat (Mochtar, 2015).
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun (Gravas et al, 2014). Angka
kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-
2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun
(Mochtar, 2015).
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher kandung
kemih dan uretra oleh BPH. Selanjutnya obstruksi ini dapat menimbulkan perubahan
struktur kandung kemih maupun ginjal, sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran
kemih atas maupun bawah (Mochtar, 2015). Dengan melihat resiko komplikasi BPH yang
cukup berat, maka sangat diperlukan kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan untuk
memberikan pelayanan kesehatan optimal bagi pasien. Salah satu profesi yang turut
berkolaborasi adalah apoteker dengan perawat. Kolaborasi ini semakin terlihat pada
kondisi post operative BPH. Apoteker berperan memantau efektivitas terapi, meliputi anti
nyeri, anti perdarahan, dan antibiotik. Sementara, perawat berperan dalam perawatan
luka pasca operasi dan pengamatan volume urin tampung. Kolaborasi yang baik antar
kedua profesi kesehatan ini, akan meningkatkan efektivitas terapi pasien BPH, sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan length of stay pasien di rumah sakit.
Oleh karena itu, disusunlah kegiatan Interprofesional Education (IPE) ini sebagai bentuk
implementasi sederhana kolaborasi antara profesi kesehatan apoteker dan perawat.

1
1.2 Tujuan Instruksional
Tujuan dilakukannya program IPE ini adalah untuk menghasilkan tenaga
kesehatan dengan kemampuan sebagai berikut.
1 Bekerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
2 Berfokus pada kebutuhan pasien dan keluarga.
3 Melibatkan pasien dan keluarga.
4 Mempromosikan kolaborasi interprofesional.
5 Mendorong profesi kesehatan untuk belajar dengan, dari dan tentang satu
sama lain.
6 Meningkatkan praktek profesi pendidikan interprofesional dan membantu
setiap profesi untuk meningkatkan kemampuan praktik profesinya serta
memahami bagaimana praktik yang dilengkapi oleh profesi lain.
7 Menghormati integritas dan kontribusi maisng-masing profesi pendidikan
interprofesional dnegan tidak mengancam identitas dan wilayah profesi lain.
Dalam proses pendidikan interprofesi terjadi proses menghargai kontribusi
khas masing-masing profesi dalam proses belajar, praktek, dan
memperlakukan semua profesi secara setara.
8 Meningkatkan tingkat kepuasan professional pendidikan interprofesi
menumbuhkansikap saling mendukung antara prfesi, mendorong fleksibilitas
dan memenuhi praktik kerja, tetapi menetapkan batas yang dibuat pada
masing-masing profesi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang umum pada pria
dewasa dan kejadiannya ada kaitannya dengan faktor usia. Berdasarkan kriteria secara
klinis, Baltimore Longitudinal study of Aging menemukan bahwa prevalensi BPH adalah
sekitar 25% pada pria berusia 40 sampai 49 tahun, 50% pada pria berusia 50 sampai 59
tahun, dan 80% pada pria berusia 70-79 tahun (Arrighi, Metter et al. 1991).
BPH secara teoritis adalah deteksi dari hyperplasia prostat, yang merupakan
proliferasi yang jinak dari stroma dan epitel dengan studi histologis. Biasanya BPH
mengacu pada saat pemeriksaan prostat yang mengalami pembesaran dan biasanya
dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinis atau ultrasonografi (Levy and Samraj 2007).

2.2 Etiologi
Sebagian besar Benign Prostate Hyperplasia (BPH) disebabkan karena
idiopathic. Namun terdapat beberapa faktor yang berperan yang dapat menyebabkan
BPH, yaitu usia dan hormone (Smeltzer, 2001). Usia dapat mempengaruhi terjadinya
BPH karena semakin bertambahnya usia, maka fungsi dari organ tubuh juga akan
menurun. Hal tersebut juga mempengaruhi regulasi hormone testoteron seorang pria.
Hormon testoteron pada pria tetap diproduksi dalam jumlah yang sama, namun karena
fungsi organ genetalia yang menurun, pemakaian hormone testoteron juga menurun.
Karena jumlah hormone testoteron yang menumpuk, maka enzim 5α-reductase akan
mengubah testoteron menjadi dihydrotestoteron (DHT) yang dapat menyebabkan
pembesaran kelenjar prostat (Dipiro, et al, 2008).
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat sebagai berikut
(Citra,2009):
1. Teori dihidrotestosteron
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormone testosteron.
Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 α –reduktase. DHT inilah yang secara
langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.

3
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α – reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen : testosteron relatif meningkat.
Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu
sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan
pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon
androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi), menyebabkan
terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.

4
2.3 Patofisiologi
Kelenjar prostat terdiri atas tiga tipe jaringan, yaitu epitel/glandular, stromal/otot
polos, dan kapsul. Jaringan stromal dan kapsul mengandung reseptor adrenergik alfa 1.
Mekanisme patofisiologi penyebab BPH secara jelas belum diketahui. Namun diduga
intraprostatik dihidrotestosteron (DHT) dan 5α-reduktase tipe II terlibat (Sukandar, dkk,
2013).
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra
pars prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya
tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik buli-buli,
yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symptoms(LUTS). Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks
vesikoureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis
bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal (Citra, 2009).

2.4 Gejala
Gejala dapat berupa keluan pada saluran kemih bagian bawah yang terdiri dari
obstruksi dan iritasi. Keluhan meliputi (Aprilia,2010) :
a. Obstruksi :
1) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2) Pancaran waktu miksi lemah
3) Intermitten (miksi terputus)
4) Miksi tidak puas
5) Distensi abdomen
6) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.
Selain itu gejala dapat berupa gejala pada saluran kemih bagian atas berupa
nyeri pinggang, demam (infeksi), benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam
(infeksi, urosepsis). Untuk gejala di luar saluran kemih dapat berupa keluhan pada
penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua
penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal.

5
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat
Hipertroplasi (Aprilia,2010):
1. Sering buang air kecil dan tidak sanggup menahan buang iar kecil, sulit
mengeluarkan atau menghentikan urin. Mungkin juga urin yang keluar hanya
merupakan tetesan belaka.
2. Sering terbangun waktu tidur di malam hari, karena keinginan buang air kecil yang
berulang-ulang.
3. Pancaran atau lajunya urin lemah
4. Kandung kemih terasa penuh dan ingin buang iar kecil lagi
5. Pada beberapa kasus, timbul rasa nyeri berat pada perut akibat tertahannya urin
atau menahan buang air kecil

2.5 Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya
adalah mulai dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi
intervensi. Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih
merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2000).

1.1 Watchful waiting


Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa
terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan
ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih
menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS
8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine
melemah (Qmax < 12mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram
tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. Pada watchful
waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-

6
buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol
dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS,
pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi
yang lain (Roehrborn, 2001).
1.2 Terapi Farmakologi/ Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap
tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomen-dasikan pemberian medikamentosa.
Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar
pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan
evaluasi selama pemberian obat. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa harga obat-
obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi dalam jangka waktu
lama. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien
memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu
mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa
adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai
komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
Jenis obat yang digunakan adalah (Lepor and Lowe, 2002):
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek:prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama:doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dandutasteride
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-
buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non
selektif yang pertama kali diketahui mampu memper-baiki laju pancaran
miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh
pasien karena menyebab-kan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di
antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada
sistem kardiovaskuler. Diketemukannya obat antagonis adrener-gik-α1
dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan
pada-α2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis
adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short

7
acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan
long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup
diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis
adrenergik-α terbukti dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan
BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan
meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu
memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan
Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan
sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan
dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi
dan takhipilaksis sampai pemberian 6-12 bulan. Dibandingkan dengan
inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis adrenergik-α lebih efektif dalam
memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS,
dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi
antagonis adrenergik-α dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan
dengan pemberian antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian
antagonis adrenergik-α tidak perlu memper-hatikan ukuran prostat serta
memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor
5-α reduktase. Berbagai jenis antagonis adrenergik α menunjukkan efek
yang hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek
terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines,
dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan
pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu
obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan
tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien
mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupunterazosin, < 5%
setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo.
Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau
terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo.
Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap system kardiovasuler tidak tampak
nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan anta-gonis adrenergic α
yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-α1A.
Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan
banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan
dengan plasebo 0-1%. Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan
antagonis adrenergik-α tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin

8
tinggi dosis, efek yang diinginkan makin nyata, namun disamping itu
komplikasi yang timbul pada system kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu
sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan
harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-
lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan
bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-α1A
(tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang
lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6
tahun (AUA practice guidelines committee, 2003).
b. Inhibitor 5 α-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk
mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α-
redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa
obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan
skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek
finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa pemberian
finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu menurunkan
volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi
urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm 3. Efek samping yang
terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi
impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak
kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50%
dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini
kanker prostat (AUA practice guidelines committee, 2003).
1.3 Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmako yang biasa dilakukan ketika penderita sudah berada pada
level berat adalah dengan dilakukannya pembedahan. Pembedahan ini ada dua metode
yaitu TURP dan TUIP. TURP merupakan kependekan dari Transurethral Resection of the
Prostate merupakan resectoscop endoskopi yang dimasukkan melalui uretra yang
digunakan untuk memindahkan bagian dalam inti prostat. TURP ini hanya dilakukan jika
ukuran prostat lebih kecil dari 50g. dengan demikian maka proses ini bisa dilakukan
selama 1 jam saja. Komplikasi dari metode ini biasanya bisa menimbulkan disfungsi
ereksi, pendarahan, inkontinen urinsebesar 2-15 % dan memburuknya ejakulasi sebesar
75%. Selai itu terkadang sebesar 2- 10% dan 12 %-15% pasien membutuhkan operasi
yang kedua setelah lima tahun dan 8 tahun. Namun untuk ukuran prostat yang lebih

9
besar dari 50g maka diperlukan pembedahan dengan pembukaan jaringan (open
prostatectomy). Efek samping dari prostatektomi meliputi perdarahan, infeksi jaringan,
ejakulasi yang memburuk 75%, disfungsi ereksi 16% -33%, inkontinen urin sebesar 2 %
dan reoperasi sebesar 3%- 5% selama 10 tahun. TUIP atau Transurethral Incision of the
Prostate merupakan prosedur alternative untuk BPH dengan besar prostat kurang dari
30g. TUIP sama efektifnya dengan TURP namun memiliki efek samping yang lebih
minimal, diantaranya pendarahan yang lebih sedikit dan waktu yang diperlukan lebih
pendek. TUIP dilakukan dengan resectoscop endoskopi dengan melakukan 2-3 insisi
pada leher bladder untuk pembukaan. Kemudian dilakukan vaporasi prostat
menggunakan energy laser pada jaringan prostat ( Dipiro, 2008).
Selain pembedahan maka bisa menggunakan fitoterapi. Banyak fitoterapi yang
telah diterapkan di Eropa. Namun publikasi data herbal tersebut masih mengalami
perdebatan. Lebih jauh dari itu produk- produk tersebut dijual oleh Dietary Supplement
Health and Education Act , namun efikasi, keamanan, dan kualitas masih belum
diregulasi oleh FDA. Dengan demikian maka penggunaan herbal yang meliputi Saw
palmetto berry (Serenoa repens), stinging nettle (Urtica dioica), South African
stargrass(hypoxis rooperi), pumpkin seed (Cucurbita pepo), African plum ( Pygeum
africanum) untuk menejemen terapi BPH ( Dipiro, 2008).
Terapi non farmako lainnya meliputi pengaturan pola hidup yang benar. Terapi ini
meliputi pola hidup seperti tidak menahan urinasi agar tidak terjadi destrusor pada
bladder. Selain itu tidak dianjurkan untuk mengangkat beban berat dan mengejan saat
urinasi karena akan mengakibatkan hemorrhoid. Kemudian untuk pasien yang
mengalami nokturia maka jangan minum air 2 jam sebelum tidur. Pasien juga
menghindari minuman yang mengandung kafein dan alcohol serta obat- obatan golongan
adrenergic.
Tabel Managemen Non farmakologis BPH ( Kimble, 2013)

10
1.4 Terapi Farmakologi Post-operative
1. Anti Nyeri
Obat ini digunakan untuk membantu meredakan rasa nyeri setelah operasi. Obat
ini hanya bersifat untuk mengurangi gejala sehingga hanya digunakan ketika ada gejala
berupa rasa nyeri. Efek samping yang umum pada obat ini adalah gangguan pada
lambung sehingga penggunaan obat harus sesuai aturan pakai dan dipakaisesudah
makan serta seperlunya saja.
Contoh obat-obat penghilang rasa nyeri diantaranya:
Injeksi : Metamizole, Ketorolak, Tramadol
Oral : Asam Mefenamat, Ibuprofen,
Pemantauan keberhasilan obat : Rasa nyeri berkurang dan menghilang
Pemantauan efek samping obat : Nyeri pada perut
2. Anti Perdarahan
Obat anti perdarahan digunakan untuk mempercepat pembekuan darah pada
luka akibat operasi.
Contoh obat (injeksi atau minum) : Vitamin K, Asam Traneksamat
Pemantauan keberhasilan obat : Perdarahan berhenti ditandai dengan warna urin
kembali normal dan jernih
Pemantauan efek samping obat :
Asam Traneksamat : Diare, mual, muntah
Vitamin K :kemerahan pada kulit

3. Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka operasi.
Antibiotik harus digunakan tepat waktu dan sampai habis untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap antibiotik.
Contoh Antibiotik pada operasi BPH:
Injeksi : cefazolin, cerftriaxone, cefoperazon, ciprofloksacin
Oral : Cefixime, Ciprofloksasin
Pemantauan keberhasilan obat : luka operasi mongering dan tidak terdapat pus.
Pemantauan efek samping obat : mual, muntah, diare, dan gangguan pada
saluran pencernaan

11
BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Metode
Metode yang digunakan pada kegiatan IPE ini adalah melalui diskusi dengan
Ners Muda, pemberian penyuluhan dengan ceramah dan tanya jawab kepada psien dan
keluarga pasien dengan BPH di bangsal G1 RSAL Dr. Ramelan Surabaya

3.2 Media
Media yang digunakan untuk penyuluhan adalah poster dan leaflet yang
dibagikan kepada peserta edukasi

3.3 Susunan Kegiatan


Kegiatan IPE dilakukan bersama dengan mahasiswa pendidikan profesi perawat
dari Universitas Ngudia Husada Madura pada tanggal 19 Januari 2018 pukul 10.00 WIB
di ruang G1 (Bedah). Kegiatan IPE diawali dengan diskusi dan dilanjutkan dengan
pemberian penyuluhan. Berikut adalah detail susunan acara yang dilakukan:
No. Waktu Kegiatan Pendidikan Kesehatan Respon Sasaran

Diskusi

1 15 menit Diskusi mengenai masing – masing peran Hasil diskusi terlampir


profesi (perawat dan apoteker) dalam
penanganan pasien BPH terutama pasien
post operasi

Penyuluhan

1. 5 menit Pembukaan :
a. Mengucapkan salam a. Menjawab salam
b. Memperkenalkan diri b. Mendengarkan dan
c. Menjelaskan tujuan penyuluhan memperhatikan
d. Menyebutkan materi/pokok bahasan
yang akan disampaikan
2. 20 menit Pelaksanaan :
a. Menjelaskan materi penyuluhan secara Memperhatikan penjelasan
teratur dan berurutan materi yang akan diberikan
 Pengertian BPH
 Tanda dan gejala BPH
 Penyebab BPH
 Pengobatan BPH

12
3. 15 menit Evaluasi :
a. Memberikan pertanyaan berkaitan a. Merespon
dengan materi yang sudah dijelaskan b. Menjawab pertanyaan
b. Memberikan kesempatan kepada yang akan diberikan
peserta untuk bertanya c. Menjawab salam

Penutup :
a. Menyimpulkan hasil penyuluhan
b. Mengakhiri dengan salam

13
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia,DianikaR.2010.Korelasi Antara kejadian Leukosituria dan Volume Prostat


Penderita Pembesaran Prostat Jinak Pada Pemeriksaan Ultrasonografi.Fakultas
Kedokteran UNS. Surakarta.
Arrighi, H. M., E. J. Metter, et al. (1991). "Natural history of benign prostatic hyperplasia
and risk of prostatectomy. The Baltimore Longitudinal Study of Aging." Urology
38(1Suppl): 4-8.
AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign prostatic
hyperplasia. 2003. Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J
Urol.170: 530-547, 2003
Citra, Bevi Dewi. 2009. Files of DrsMed : Benign Prostate Hyperplasia (BPH). Faculty of
Medicine –University Riau, Riau.
Dipiro, JT, Robert L. T, Gary C Y, Gary R.M, Barbara G. W, L. Michael P. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, seventh edition. Mc Graw Hill.
New York.
Gravas S., Bachman A., Descazeaud A., et al. Guideline on the Management of Non-
Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Benign Protatic
Obstruction (BPO). European Association of Urology. 2014.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2000. Konsensus sementara benign prostatic hyperplasia
di Indonesia.
Kimble, Coda and Young.2013. Applied Therapeutic The Clinical Use of Drug. Lippincott
Williams &Wilkins, Awolters Kluwer Business. USA.
Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign prostatic
hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB,
Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 1337-1378, 2002
Levy, A. and G. P. Samraj (2007). "Benign prostatic hyperplasia: when to 'watch and
wait,'when and how to treat." Cleve Clin J Med 74 Suppl 3: S15-20.
Mochtar CA., Umbas R., Soebandi DM., et al. Panduan Penatalaksanaan Klinis
Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Ikatan Ahli Urologi
Indonesia. 2015.
Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of
benign prostatic hyperplasia: a comparative, international review. Urology 58: 642-
650, 2001.
Smeltzer, S C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.
Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2013. ISO Farmakoterapi. Penerbit ISFI: Jakarta.

14
LAMPIRAN

Lampiran 1. Leaflet

Disusun oleh :
Lilin Andreas Vitania
Niela Rizki Amalia
Yasmintoko
Hendrica Helma Tyasanti
Maria Catur Natalia

15
16
Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta

DAFTAR HADIR PESERTA EDUKASI BPH


INTERPROFESSIONAL EDUCATION Mahasiswa Profesi Apoteker Universitas
Brawijaya dan Ners Muda STIKES Ngudia Husada Madura
Hari, Tanggal : Tempat :

NO NAMA TTD

17
Lampiran 3. Daftar Hadir Pemateri

DAFTAR HADIR PEMBERI MATERI EDUKASI BPH


INTERPROFESSIONAL EDUCATION Mahasiswa Profesi Apoteker Universitas
Brawijaya dan Ners Muda STIKES Ngudia Husada Madura
Hari, Tanggal : Tempat :

NO NAMA ASAL TTD

18
Lampiran 4. Notulensi Kegiatan Edukasi

NOTULENSI KEGIATAN EDUKASI


INTERPROFESSIONAL EDUCATION Mahasiswa Profesi Apoteker Universitas
Brawijaya dan Ners Muda STIKES Ngudia Husada Madura

19
Lampiran 5. Notulensi Kegiatan Diskusi

NOTULENSI KEGIATAN DISKUSI

20

Anda mungkin juga menyukai