Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nuranggita Siswandi Putri

NIM : 2110101010044

KONFLIK PENERAPAN SISTEM ZONASI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU 2018

(Studi Kasus pada SMPN 11 Medan)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2017 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy
mengeluarkan Permendikbud Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta
Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat yang resmi
mencantumkan sistem zonasi pada bagian keempat pasal 15 ayat 1-5. (https://www.republika.co.id
diakses tanggal 14 Agustus 2018 pukul 9.41). Menurut Nogi (Andriani 2014: 5(1), 23-30) penerapan
atau implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan.
Tanpa suatu implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia. Sedangkan
menurut Grindle (Andriani 2014: 5(1), 23-30) implementasi kebijakan sesungguhnya bukan sekedar
berhubungan dengan mekanisme penjabaran atau operasional dari keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran birokrasi melainkan lebih dari itu yaitu menyangkut masalah
konflik, keputusan dan siapa yang akan memperoleh apa dan suatu kebijakan.

Berbagai isu muncul ditengah masyarakat seperti paradox modernitas dan tradisi, kemajuan dan
keterbelakangan, kesejahteraan, keadilan dan pemerataan. Tujuan dari sistem zonasi ini,
diantaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan
sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah,
khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Sistem
zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi
siswa yang heterogen; dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan/afirmasi
agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan kualitas
pendidik dan tenaga kependidikan. (https://news.okezone.com diakses tanggal 17 Agustus 2018
pukul 9.25) Dalam Permendikbud Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan
Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat mengatur sistem
zonasi dalam Pasal 16 ayat 1 yang berbunyi “Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling
sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima.” Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa kedekatan jarak antara rumah dengan
sekolah menjadi kriteria utama

dalam pertimbangan penerimaan siswa baru, yang artinya nilai hasil Ujian Nasional (UN) siswa
tidak lagi jadi penentu utama (https://nasional.tempo.co diakses tanggal 17 Agustus 2018 pukul
9.23) Seperti tahun sebelumnya, sistem zonasi kembali mengalami pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Sistem ini menuai protes dari berbagai wilayah di Indonesia. Semarang misalnya dalam
jateng.tribunews.com, salah satu warga mengeluhkan sistem ini dimana domisilinya tidak sesuai
dengan alamat yang tertera di KTP dan KK. Jika ingin mendapatkan SD negeri harus mencari di
daerah Banyumanik, sesuai dengan alamat KTP, meski jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Hal ini
bisa diatasi dengan melampirkan surat keterangan domisili, namun peluang diterima hanya 10%.
(Sumber: http://jateng.tribunnews.com,diakses tanggal 25 Juli 2018 pukul 9.31 WIB) Di Banyumas,
sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 dikeluhkan orang tua siswa
berprestasi. Sistem tersebut hanya mengakses 5% untuk siswa berprestasi, sedangkan kualitas
sekolah tidak merata, khususnya sekolah di wilayah pinggiran. (https://news.detik.comdiakses
tanggal 25 juli 2018 pukul 9.10 WIB) Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami
perubahan sosial yang sangat cepat, maju dan memperlihatkan gejala desintegratif. Perubahan
sosial yang cepat itu meliputi berbagai bidang kehidupan, dan merupakan masalah bagi semua
institusi sosial seperti: industri, agama, perekonomian, pemerintahan, keluarga, dan perkumpulan-
perkumpulan. Masalah sosial dan masyarakat itu juga dirasakan oleh dunia pendidikan. Masalah
pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan dalam masyarakat merupakan
refleksi masalah-masalah sosial dalam masyarakat (Ahmadi dalam Muhyi 2004: 32-33). Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI), mempertanyakan Permendikbud terkait sistem zonasi, yakni tentang
biaya pada Pasal 19 ayat 1 dan 3, dan Pasal 16 ayat 1 dan 2 tentang radius atau domisili peserta
dengan sekolah. Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menegaskan, lemahnya aturan membuat
PPDB 2018 tetap menimbulkan masalah seperti tahun lalu. Ia mencontohkan, daya tampung sekolah
tak seimbang dengan jumlah pendaftar menimbulkan beragam praktik kecurangan. Diantaranya
melalui penyalahgunaan fungsi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) oleh sejumlah oknum. Ia
menegaskan, lemahnya aturan yang menjelaskan keterbatasan daya tampung sekolah kerap diakali
dengan memanipulasi SKTM. (http://www.pikiran-rakyat.com diakses tanggal 25 Juli 2018 pukul
9.26 WIB) Pembaruan praxis pendidikan mengalami kegagalan dalam menjawab permasalahan
masyarakat dan kehidupannya. Zamroni (2000 : 2) melihat bahwa kegagalan pembaharuan
pendidikan di tanah air Indonesia bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan
pendidikannya sendiri yang bersifat erratic (tambal sulam), melainkan lebih disebabkan oleh
ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan
dalam perubahan sosial yang telah usang. Dengan demikian, ketergantungan ini menyebabkan
adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan. (Kartono
2010: 2(1), 1-15)
Rumusan Masalah

Bagaimana konflik penerapan Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru 2018 di Kotamadya Medan?

Aspek-aspek yang bertentangan

Harapannya, sistem zonasi ini, diantaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa;
mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan
diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan
distribusi guru. Sistem zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran
dengan kondisi siswa yang heterogen; dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan
bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan
kualitas pendidik dan tenaga kependidikan.

Kenyataannya, Sistem tersebut hanya mengakses 5% untuk siswa berprestasi, sedangkan kualitas
sekolah tidak merata, khususnya sekolah di wilayah pinggiran. daya tampung sekolah tak seimbang
dengan jumlah pendaftar menimbulkan beragam praktik kecurangan. Diantaranya melalui
penyalahgunaan fungsi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) oleh sejumlah oknum. Ia menegaskan,
lemahnya aturan yang menjelaskan keterbatasan daya tampung sekolah kerap diakali dengan
memanipulasi SKTM.

Anda mungkin juga menyukai