Anda di halaman 1dari 10

Sistem Zonasi Sekolah : Antara Akses, Kualitas dan Kesetaraan

Pendidikan di Indonesia
Oleh : Yusuf Damar Nugroho, PPS PIPS UNY (18705251012)

Pendahuluan
Tahun 2017 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan

kebijakan tentang regulasi penerimaan peserta didik baru di sekolah, atau yang sering disebut

dengan PPDB. Kebijakan baru tersebut mengenai penerapan sistem zonasi, yang menginduk

pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017

kemudian telah disempurnakan lagi melalui Permendikbud No 14 Tahun 2018. Sebelum

adanya sistem zonasi, mekanisme PPDB di sekolah—dalam hal ini di sekolah negeri, biasanya

menggunakan hasil nilai ujian akademik siswa (nilai UNAS) sebagai kriteria utama untuk

menyeleksi peserta didik baru.

Melalui kebijakan sistem zonasi, penyeleksian penerimaan peserta didik baru di sekolah

tidak lagi didasarkan pada nilai ujian akademik. Dengan peraturan baru ini, kriteria utama

untuk menyeleksi peserta didik menggunakan domisili (radius atau jarak) terdekat antara

rumah peserta didik dengan sekolah—dan aspek itu sebagai acuan utama untuk menyeleksi

penerimaan peserta didik baru. Detailnya, aturan sistem zonasi ini, sekolah harus menerima

calon peserta didik baru yang berdomisili pada radius zona terdekat dengan kuota 90%

(sembilan puluh persen) dari total keseluruhan peserta didik yang nantinya diterima.

Pelaksanaan sistem zonasi di sekolah sudah mulai diterapkan secara berkala pada tahun

lalu. Faktanya, menurut beberapa keluhan, kritik dan bahkan protes dari masyarakat, baik yang

penulis dengar langsung maupun tidak langsung—bahwa pelaksanaan sistem zonasi ini masih

banyak diwarnai masalah di lapangan, baik masalah pada level regulasi maupun sampai
dengan praktiknya. Hal itu yang menjadikan kebijakan sistem zonasi sekolah ini masih menuai

adanya pro dan kontra dari masyarakat.

Pada dasarnya, faktor yang melatarbelakangi pemerintah menerapkan adanya sistem

zonasi ini diantaranya adalah untuk pemerataan hak dalam mendapatkan pendidikan bagi anak-

anak usia sekolah. Spesifiknya, misalnya berkaitan soal keterjangkauan akses calon peserta

didik baru untuk bisa mendapatkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya—sehingga

bisa memberi kemudahan dalam hal akses maupun mengurangi biaya sekolah. Selain itu,

sistem zonasi juga diharapkan bisa menghilangkan persepsi “kastanisasi” dalam institusi

pendidikan. Misalnya dengan munculnya dikotomi yang dibuat oleh masyarakat mengenai

sebutan sekolah favorit dan non-favorit, sekolah unggulan dan non-unggulan, dan sebutan-

sebutan lainnya yang dapat melanggengkan kesenjangan di dalam institusi pendidikan. Tentu

dengan adanya konstruksi sosial dari masyarakat yang seperti itu—hakikat dari fungsi

pendidikan yang sesungguhnya seolah-olah menjadi bukan yang utama lagi. Label-label dari

masyarakat semacam itu justru akan semakin mempertajam tingkat ketimpangan dan

ketidakmerataan kualitas institusi pendidikan di negara kita. Dan yang terakhir, tujuan dari

sistem zonasi yaitu untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Itu

beberapa poin, yang menurut hemat penulis, paling mendasari tujuan utama dari munculnya

kebijakan sistem zonasi sekolah.

Terlepas dari masih adanya masalah, kekurangan dan kelemahan yang muncul dilapangan

dari pelaksanaan kebijakan sistem zonasi di sekolah, sepertinya menarik untuk di analisis,

bagaimana kebijakan dari pemerintah—yang dalam hal ini melalui sistem zonasi, berani

melawan arus persepsi dari masyarakat yang selama ini sudah mentradisi, yaitu mengenai

kastanisasi di sekolah. Untuk itu, hadirnya kebijakan baru melalui sistem zonasi ini, diharapkan

mampu mendorong dan mewujudkan tranformasi pendidikan ke arah sistem pendidikan yang

lebih demokratis, egaliter dan lebih progresif. Oleh karenanya, disini penulis ingin menelaah
secara kritis dan mendalam, bagaimana keterpautan antara kebijakan sistem zonasi sekolah

dengan hal akses, kualitas dan kesetaraan pendidikan di Indonesia.

Pembahasan
Sistem Zonasi dan Akses Pendidikan
Ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh sekolah untuk menyeleksi peserta didik

baru, salah satunya yaitu menggunakan hasil nilai akademik. Model penyeleksian peserta didik

seperti itu sama dengan yang diterapkan di institusi pendidikan di Indonesia selama ini,

terutama di sekolah negeri setingkat SMP-SMA. Lalu apa implikasinya dari model

penyeleksian peserta didik dengan menggunakan sistem peraturan dan mekanisme seperti itu?.

Implikasi yang paling besar adalah tidak semua peserta didik bisa masuk di sekolah yang

diinginkan. Calon peserta didik baru harus mencari standar sekolah yang sesuai dengan hasil

nilai akademiknya. Oleh karena itu peserta didik harus saling bersaing dengan peserta didik

lain untuk bisa mendapatkan sekolah yang dinginkan.. Secara otomatis, regulasi semacam itu

bisa mengurangi kesempatan peserta didik baru untuk mendapatkan sekolah yang diharapkan.

Bisa di simplifikasikan bahwa, capaian hasil nilai prestasi akademik peserta didik yang akan

menentukan bisa atau tidaknya masuk di sekolah yang diinginkan. Kebijakan sistem zonasi

sepertinya akan coba merubah sistem yang seperti itu.

Kebijakan sistem zonasi ini jika diamati semakin memberikan kemudahan akses bagi

peserta didik baru untuk bisa mendapatkan sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya

masing-masing, tanpa memandang hasil capaian nilai akademik peserta didik sebagai acuan

yang utama. Oleh karenanya, dengan sistem yang seperti itu, akan lebih membuka kesempatan

lebar-lebar bagi semua peserta didik untuk dapat mengenyam di sekolah, terutama sekolah

yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Karena yang terjadi selama ini, efek dari model

penyeleksian dengan menggunakan hasil capaian nilai akademik itu—membuat populasi

peserta didik di dalam sekolah, khususnya sekolah negeri setingkat SMP-SMA, cenderung diisi
peserta didik yang memiliki latar belakang yang sama. Baik persamaan dalam hal kemampuan

akademik atau bahkan dari status sosial-ekonominya. Kondisi seperti itu tentu akan

menciptakan iklim homogen di sekolah. Dan pengalaman menunjukkan, kecenderungannya

sekolah yang isi peserta didiknya bersifat homogen justru sering menimbulkan budaya yang

bersifat a-demoktratis.

Menurut Zamroni (2001:55), dalam kaitannya dengan munculnya sekolah “favorit”

dengan latar belakang siswa yang homogen berstatus sosial tinggi perlu dicermati sebab bisa

bersifat counterproductive terhadap proses sosialisasi nilai-nilai demokrasi. Disamping itu,

munculnya sekolah favorit dengan latar belakang homogenitas status sosial ekonomi orang tua

berdampingan dengan sekolah-sekolah yang tidak favorit, akan memperkuat sekolah-sekolah

sebagai social re-production, yang bersifat a-demokratis karena menekankan atau

memperkecil mobilitas sosial.

Begitu pentingnya masalah akses terhadap peserta didik baru dalam institusi pendidikan.

Karena dengan akses yang sama, maka pemerataan pendidikan akan lebih mudah diwujudkan,

tentu tanpa mengabaikan juga dengan usaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan

itu sendiri. Harus kita akui memang, bahwa sampai saat ini, kondisi-sosial ekonomi masyarakat

(peserta didik) setidaknya masih sering menjadi faktor yang dapat memengaruhi sulit dan

mudahnya untuk mendapatkan akses dalam pendidikan. Semakin tinggi status ekonomi peserta

didik baru, biasanya akan semakin mudah juga dalam mendapatkan sekolah yang berkualitas,

baik secara pelayanan maupun fasilitas. Mereka akan dengan mudah memilih jenis dan model

sekolah yang diinginkan karena merasa memiliki biaya yang cukup. Sebaliknya, jika status

ekonomi peserta didik tergolong rendah, acapkali akan sedikit kesulitan dalam mendapatkan

sekolah yang berkualitas, karena secara biaya tidak dapat dijangkau. Hal seperti itu akan sangat

lebih jelas bisa kita amati di sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta.
Fenomena diatas diperkuat oleh analisis dari Randall Collins dalam The Credential

Society: An Historical Sosiology of Education and Stratification, yang mengemukakan bukti-

bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial itu sendiri.

Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari

kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang

lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan

di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat tidak mampu

harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas

sepanjang masa sekolahnya (Zamroni, 2000:141).

Penulis pernah membaca salah satu hasil identifikasi, bahwa sebuah sekolah yang

menyeleksi peserta didik barunya dengan menggunakan standar nilai akademik yang tinggi,

akan sulit dijangkau oleh calon peserta didik baru yang berasal dari latar belakang tingkat status

ekonomi yang rendah (walaupun itu tidak bisa di generalisasi). Hal itu jika diamati lebih kritis

lagi bahwa, disini kebijakan dari pemerintah akan sangat memengaruhi kesempatan akses

pendidikan dari peserta didik. Oleh karenanya, kebijakan sistem zonasi sekolah ini diharapkan

bisa mengurangi adanya ketidakadilan dan diskriminasi semacam itu.

Jika pembahasan diatas dilihat dari kaca-mata pendidikan multikulutral, misalnya

menurut Bank (2001), Ia berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu

rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya

keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,

kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Kata kunci yang dikatakan

oleh Bank jika dikaitkan dengan konteks bahasan tulisan ini yaitu pada kalimat “mengakui dan

menilai pentingnya kesempatan yang sama pada setiap individu”.

Lebih lanjutnya lagi, Bank mendefiniskan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan,

pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah
struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan

khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang

bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis

di sekolah (Bank, 1993).

Dari pernyataan Bank tersebut setidaknya dapat disimpulkan bahwa, sistem zonasi sangat

dekat dengan prinsip pendidikan multikultural yang mencoba mengubah melalui struktur

lembaga pendidikan—sehingga dapat memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada

seluruh peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas tanpa

memandang apa latar belakangnya, kemampuan ekonominya maupun aspek-aspek lainnya.

Sistem Zonasi dan Kualitas Pendidikan


Sebelum sistem zonasi sekolah diterapkan, biasanya sekolah-sekolah negeri setingkat

SMP-SMA cenderung diisi oleh peserta didik yang memiliki prestasi atau kemampuan nilai

akademik yang sama (homogen). Peserta didik yang memiliki nilai akademik tinggi, akan

dengan mudah mencari sekolah yang diinginkan (sekolah favorit), sebaliknya peserta didik

yang memiliki capaian nilai akademik biasa-biasa saja—akan sedikit kesulitan untuk mencari

sekolah yang ingin dituju, yang biasanya juga memiliki keinginan untuk masuk di sekolah yang

katanya dikategorikan sebagai sekolah favorit itu. Pertanyaan mendasar, mengapa bisa terjadi

hal yang demikian?.

Menurut pandangan penulis, salah satunya yaitu karena di dalam masyarakat sudah

terbangun persepsi—bahwa sekolah yang memiliki input peserta didik baru dengan standar

nilai akademik yang tinggi, dianggap sebagai sekolah favorit atau unggul. Kemudian

masyarakat cenderung mengimplikasikan, bahwa sekolah yang favorit atau unggul itu biasanya

merupakan sekolah yang berkualitas dan bermutu. Sebaliknya, sekolah yang memiliki input

peserta didik baru dengan nilai akademik yang rendah, biasanya masyarakat menegasikan

bahwa sekolah tersebut bukan sekolah unggul atau favorit—dan yang lebih ekstremnya lagi,
masyarakat menilai sekolah tersebut kemungkinan kurang memiliki mutu atau kualitas yang

memadai. Perlu diakui memang, munculnya fenomena seperti itu juga salah satu akibat

dominasi dari populasi latar belakang peserta didik yang sama di dalam sebuah sekolah.

Ditambah memang masih adanya ketimpangan kualitas sekolah-sekolah di negara kita,

khususnya di sekolah negeri.

Lalu apa kaitannya hal tersebut dengan kebijakan sistem zonasi yang mulai diterapkan

oleh pemerintah?. Sistem zonasi sekolah ini sepertinya menjadi salah satu alternatif untuk

mengurangi bahkan menghilangkan ketimpangan dan ketidakmertaan peserta didik dan

meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Sehingga dengan kualitas layanan pendidikan yang

merata, maka masyarakat akan sedikit demi sedikit mengubah dan menghilangkan konstruksi

berpikirnya mengenai sekolah—bahwa sekolah dimanapun pada hakikatnya itu sama.

Tantangannya kemudian, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah untuk

memeratakan kualitas layanan di dalam sekolah tersebut—misalnya redistribusi guru (baik

secara kuantitas maupun kualitas), peningkatan kualitas SDM guru, maupun peningkatan

layanan sarana dan prasarana sekolah yang memadai. Misalnya saja selama ini, tingkat

persebaran kualitas guru itu jika diamati memang sangat tidak merata. Guru-guru yang

memiliki kualitas dan kapabilitas baik, cenderung menumpuk di satu wilayah tertentu (di kota),

sehingga wilayah yang lain bisa di katakan kekurangan guru-guru yang berkualitas. Disinilah

salah satu tujuan sistem zonasi, yaitu untuk pemerataan persebaran guru.

Namun bukan tidak mungkin, kebijakan sistem zonasi ini hanya akan menjadi utopia saja

jika pemerintah ingin membangun iklim kesetaraan di dalam sistem pendidikan di negara kita,

namun kualitas yang mendukung terwujudnya kesetaraan itu sendiri tidak segera diusahakan.

Misalnya peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan masalah-masalah yang sudah

disebutkan diatas. Karena dari fakta dilapangan berkaitan dengan penerapan sistem zonasi ini

bahwa, yang menjadi salah satu keberatan para orang tua yang anaknya (peserta didik)
memiliki prestasi nilai akademik tergolong baik—mereka sedikit keberatan jika harus

mendapatkan sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya, namun sekolah tersebut

belum memiliki kualitas yang memadai. Hal demikian sangat mungkin terjadi didalam

penerapan sistem zonasi sekolah. Karena menurut hemat penulis bahwa, sebuah kebijakan

apapun tidak dapat mencapai keberhasilan jika tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik

pula—dan kebijakan sistem zonasi ini berhubungan dengan pengelolaan pendidikan nasional.

Seperti apa yang dikatan oleh Tilaar, bahwa pengelolaan pendidikan itu meliputi peningkatan

kualitas, peningkatan inovasi dan kreativitas, membangun jaringan kerja sama (networking),

dan yang terakhir yaitu pelaksanaan otonomi daerah (Tilaar, 2000: 155).

Sebagai penutup di bahasan ini, intinya adalah pasca penerapan sistem zonasi ini

pemerataan kualitas pendidikan harus segera di usahakan dan diwujudkan. Kualitas tidak hanya

menyangkut masalah sarana dan prasarana sekolah, melainkan juga sumber daya manusia yang

ada di sekolah tersebut, dalam hal ini adalah guru. Ketika akses pendidikan dari peserta didik

semakin dipermudah—ketidakadilan dan diskriminasi terhadap peserta didik mulai berkurang,

maka langkah selanjutnya dan yang seharusnya menjadi paling prioritas untuk ditangani

pemerintah adalah soal pemerataan kualitas atau mutu pendidikan. Dan kebijakan sistem zonasi

sekolah mendapat tantangan untuk menjawab dan menyelesaikan masalah tersebut.

Sistem Zonasi dan Kesetaraan Pendidikan


Kesetaraan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam sebuah negara. Oleh

karenanya, kesetaraan sangat diperlukan untuk pengembangan iklim demokrasi di negara kita.

Kesetaraan bisa ditafsirkan sebagai kesempatan yang sama untuk setiap warga negara, tanpa

melihat apa latar belakangnya, termasuk kelas sosialnya. Menurut apa yang pernah penulis

baca, Menteri Pendidikan saat ini, yaitu Prof. Dr. Muhadjir Effendy pernah mengatakan bahwa

sekolah negeri harus memiliki kewajiban untuk memproduksi layanan publik. Dan layanan

publik itu memiliki tiga unsur—diantarannya yaitu non-rivalry, non-excludability, dan non-
discrimination. Jadi, tidak boleh sebuah sekolah itu dikompetisikan secara berlebihan, tidak

boleh dieksklusifkan untuk orang atau kalangan tertentu, dan tidak boleh ada praktik

diskriminasi. Namun sepertinya sistem yang dikembangkan di negara kita selama ini kurang

memenuhi tiga persyaratan sebagai layanan publik itu.

Memahami apa yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan tersebut, sepertinya ada sedikit

kontradiksi dengan realita yang terjadi dengan sistem persekolahan di negara kita. Dimana

sekolah di negara kita sudah menjadi arena institusi yang dikompetisikan secara berlebihan,

kemudian munculnya sekolah-sekolah yang eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh peserta

didik dari kalangan tertentu dan yang terakhir yaitu terkadang masih terjadinya diskriminasi

terhadap peserta didik di sekolah. Munculnya kebijakan sistem zonasi sekolah akan menjadi

tantangan dan harapan untuk mewujudkan seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan

tersebut.

Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, bahwa sistem zonasi memang erat kaitannya dengan hal

akses, kualitas dan prinsip kesetaraan dalam pendidikan. Kemudahan regulasi dalam proses

penyeleksian peserta didik di sekolah bisa menjadi indikator—bahwa kebijakan ini sebagai

upaya dari pemerintah untuk mempermudah anak usia sekolah agar bisa mendapatkan

kesempatan akses layanan pendidikan yang lebih efektif dan efisien—tanpa melihat

kemampuan nilai akademik sebagai syarat yang paling utama. Dengan begitu, sekolah bukan

lagi menjadi institusi yang dikompetisikan secara berlebihan, karena itu justru akan

melanggengkan terjadinya tingkat ketimpangan di dalam sekolah. Selain dalam kemudahan

akses, sistem zonasi ini juga memiliki misi untuk mendorong dan mempercepat kualitas

pendidikan sekolah di negara kita. Namun, kesetaraan dan keadilan dalam sistem zonasi

sekolah ini baru akan tercapai jika kualitas pendidikan di sekolah juga bisa diwujudkan.
Referensi
Bank, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon
………….....Cherry A McGee Bank (editor). 2001. Handbook of Research on Multicultural
Education 2nd Edition. San Fransisco: Jossey Bass
Depkes.2018. Semua Bisa Sekolah!! Zonasi untuk Pemerataan yang Berkualitas. Diperoleh
dari www.depkes.go.id/article/view/1807250000/semua-bisa-sekolah-zonasi-untuk-
pemerataan-yang-berkualitas.html
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Remaja Rosdakarya
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
……….2001. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Cicil Society. Yogyakarta:
Bigraf Publishing

*Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas semester mata kuliah Pendidikan Demokrasi dan
Multikultural, PPS PIPS UNY.
Dosen Pengampu : Amika Wardana, P.hD

Anda mungkin juga menyukai