Pendidikan di Indonesia
Oleh : Yusuf Damar Nugroho, PPS PIPS UNY (18705251012)
Pendahuluan
Tahun 2017 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan
kebijakan tentang regulasi penerimaan peserta didik baru di sekolah, atau yang sering disebut
dengan PPDB. Kebijakan baru tersebut mengenai penerapan sistem zonasi, yang menginduk
pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017
adanya sistem zonasi, mekanisme PPDB di sekolah—dalam hal ini di sekolah negeri, biasanya
menggunakan hasil nilai ujian akademik siswa (nilai UNAS) sebagai kriteria utama untuk
Melalui kebijakan sistem zonasi, penyeleksian penerimaan peserta didik baru di sekolah
tidak lagi didasarkan pada nilai ujian akademik. Dengan peraturan baru ini, kriteria utama
untuk menyeleksi peserta didik menggunakan domisili (radius atau jarak) terdekat antara
rumah peserta didik dengan sekolah—dan aspek itu sebagai acuan utama untuk menyeleksi
penerimaan peserta didik baru. Detailnya, aturan sistem zonasi ini, sekolah harus menerima
calon peserta didik baru yang berdomisili pada radius zona terdekat dengan kuota 90%
(sembilan puluh persen) dari total keseluruhan peserta didik yang nantinya diterima.
Pelaksanaan sistem zonasi di sekolah sudah mulai diterapkan secara berkala pada tahun
lalu. Faktanya, menurut beberapa keluhan, kritik dan bahkan protes dari masyarakat, baik yang
penulis dengar langsung maupun tidak langsung—bahwa pelaksanaan sistem zonasi ini masih
banyak diwarnai masalah di lapangan, baik masalah pada level regulasi maupun sampai
dengan praktiknya. Hal itu yang menjadikan kebijakan sistem zonasi sekolah ini masih menuai
zonasi ini diantaranya adalah untuk pemerataan hak dalam mendapatkan pendidikan bagi anak-
anak usia sekolah. Spesifiknya, misalnya berkaitan soal keterjangkauan akses calon peserta
didik baru untuk bisa mendapatkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya—sehingga
bisa memberi kemudahan dalam hal akses maupun mengurangi biaya sekolah. Selain itu,
sistem zonasi juga diharapkan bisa menghilangkan persepsi “kastanisasi” dalam institusi
pendidikan. Misalnya dengan munculnya dikotomi yang dibuat oleh masyarakat mengenai
sebutan sekolah favorit dan non-favorit, sekolah unggulan dan non-unggulan, dan sebutan-
sebutan lainnya yang dapat melanggengkan kesenjangan di dalam institusi pendidikan. Tentu
dengan adanya konstruksi sosial dari masyarakat yang seperti itu—hakikat dari fungsi
pendidikan yang sesungguhnya seolah-olah menjadi bukan yang utama lagi. Label-label dari
masyarakat semacam itu justru akan semakin mempertajam tingkat ketimpangan dan
ketidakmerataan kualitas institusi pendidikan di negara kita. Dan yang terakhir, tujuan dari
sistem zonasi yaitu untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Itu
beberapa poin, yang menurut hemat penulis, paling mendasari tujuan utama dari munculnya
Terlepas dari masih adanya masalah, kekurangan dan kelemahan yang muncul dilapangan
dari pelaksanaan kebijakan sistem zonasi di sekolah, sepertinya menarik untuk di analisis,
bagaimana kebijakan dari pemerintah—yang dalam hal ini melalui sistem zonasi, berani
melawan arus persepsi dari masyarakat yang selama ini sudah mentradisi, yaitu mengenai
kastanisasi di sekolah. Untuk itu, hadirnya kebijakan baru melalui sistem zonasi ini, diharapkan
mampu mendorong dan mewujudkan tranformasi pendidikan ke arah sistem pendidikan yang
lebih demokratis, egaliter dan lebih progresif. Oleh karenanya, disini penulis ingin menelaah
secara kritis dan mendalam, bagaimana keterpautan antara kebijakan sistem zonasi sekolah
Pembahasan
Sistem Zonasi dan Akses Pendidikan
Ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh sekolah untuk menyeleksi peserta didik
baru, salah satunya yaitu menggunakan hasil nilai akademik. Model penyeleksian peserta didik
seperti itu sama dengan yang diterapkan di institusi pendidikan di Indonesia selama ini,
terutama di sekolah negeri setingkat SMP-SMA. Lalu apa implikasinya dari model
penyeleksian peserta didik dengan menggunakan sistem peraturan dan mekanisme seperti itu?.
Implikasi yang paling besar adalah tidak semua peserta didik bisa masuk di sekolah yang
diinginkan. Calon peserta didik baru harus mencari standar sekolah yang sesuai dengan hasil
nilai akademiknya. Oleh karena itu peserta didik harus saling bersaing dengan peserta didik
lain untuk bisa mendapatkan sekolah yang dinginkan.. Secara otomatis, regulasi semacam itu
bisa mengurangi kesempatan peserta didik baru untuk mendapatkan sekolah yang diharapkan.
Bisa di simplifikasikan bahwa, capaian hasil nilai prestasi akademik peserta didik yang akan
menentukan bisa atau tidaknya masuk di sekolah yang diinginkan. Kebijakan sistem zonasi
Kebijakan sistem zonasi ini jika diamati semakin memberikan kemudahan akses bagi
peserta didik baru untuk bisa mendapatkan sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya
masing-masing, tanpa memandang hasil capaian nilai akademik peserta didik sebagai acuan
yang utama. Oleh karenanya, dengan sistem yang seperti itu, akan lebih membuka kesempatan
lebar-lebar bagi semua peserta didik untuk dapat mengenyam di sekolah, terutama sekolah
yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Karena yang terjadi selama ini, efek dari model
peserta didik di dalam sekolah, khususnya sekolah negeri setingkat SMP-SMA, cenderung diisi
peserta didik yang memiliki latar belakang yang sama. Baik persamaan dalam hal kemampuan
akademik atau bahkan dari status sosial-ekonominya. Kondisi seperti itu tentu akan
sekolah yang isi peserta didiknya bersifat homogen justru sering menimbulkan budaya yang
bersifat a-demoktratis.
dengan latar belakang siswa yang homogen berstatus sosial tinggi perlu dicermati sebab bisa
munculnya sekolah favorit dengan latar belakang homogenitas status sosial ekonomi orang tua
Begitu pentingnya masalah akses terhadap peserta didik baru dalam institusi pendidikan.
Karena dengan akses yang sama, maka pemerataan pendidikan akan lebih mudah diwujudkan,
tentu tanpa mengabaikan juga dengan usaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan
itu sendiri. Harus kita akui memang, bahwa sampai saat ini, kondisi-sosial ekonomi masyarakat
(peserta didik) setidaknya masih sering menjadi faktor yang dapat memengaruhi sulit dan
mudahnya untuk mendapatkan akses dalam pendidikan. Semakin tinggi status ekonomi peserta
didik baru, biasanya akan semakin mudah juga dalam mendapatkan sekolah yang berkualitas,
baik secara pelayanan maupun fasilitas. Mereka akan dengan mudah memilih jenis dan model
sekolah yang diinginkan karena merasa memiliki biaya yang cukup. Sebaliknya, jika status
ekonomi peserta didik tergolong rendah, acapkali akan sedikit kesulitan dalam mendapatkan
sekolah yang berkualitas, karena secara biaya tidak dapat dijangkau. Hal seperti itu akan sangat
lebih jelas bisa kita amati di sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta.
Fenomena diatas diperkuat oleh analisis dari Randall Collins dalam The Credential
bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial itu sendiri.
Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari
kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang
lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan
di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat tidak mampu
harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas
Penulis pernah membaca salah satu hasil identifikasi, bahwa sebuah sekolah yang
menyeleksi peserta didik barunya dengan menggunakan standar nilai akademik yang tinggi,
akan sulit dijangkau oleh calon peserta didik baru yang berasal dari latar belakang tingkat status
ekonomi yang rendah (walaupun itu tidak bisa di generalisasi). Hal itu jika diamati lebih kritis
lagi bahwa, disini kebijakan dari pemerintah akan sangat memengaruhi kesempatan akses
pendidikan dari peserta didik. Oleh karenanya, kebijakan sistem zonasi sekolah ini diharapkan
rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya
keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Kata kunci yang dikatakan
oleh Bank jika dikaitkan dengan konteks bahasan tulisan ini yaitu pada kalimat “mengakui dan
Lebih lanjutnya lagi, Bank mendefiniskan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan,
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah
struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan
khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang
bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis
Dari pernyataan Bank tersebut setidaknya dapat disimpulkan bahwa, sistem zonasi sangat
dekat dengan prinsip pendidikan multikultural yang mencoba mengubah melalui struktur
lembaga pendidikan—sehingga dapat memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada
seluruh peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas tanpa
SMP-SMA cenderung diisi oleh peserta didik yang memiliki prestasi atau kemampuan nilai
akademik yang sama (homogen). Peserta didik yang memiliki nilai akademik tinggi, akan
dengan mudah mencari sekolah yang diinginkan (sekolah favorit), sebaliknya peserta didik
yang memiliki capaian nilai akademik biasa-biasa saja—akan sedikit kesulitan untuk mencari
sekolah yang ingin dituju, yang biasanya juga memiliki keinginan untuk masuk di sekolah yang
katanya dikategorikan sebagai sekolah favorit itu. Pertanyaan mendasar, mengapa bisa terjadi
Menurut pandangan penulis, salah satunya yaitu karena di dalam masyarakat sudah
terbangun persepsi—bahwa sekolah yang memiliki input peserta didik baru dengan standar
nilai akademik yang tinggi, dianggap sebagai sekolah favorit atau unggul. Kemudian
masyarakat cenderung mengimplikasikan, bahwa sekolah yang favorit atau unggul itu biasanya
merupakan sekolah yang berkualitas dan bermutu. Sebaliknya, sekolah yang memiliki input
peserta didik baru dengan nilai akademik yang rendah, biasanya masyarakat menegasikan
bahwa sekolah tersebut bukan sekolah unggul atau favorit—dan yang lebih ekstremnya lagi,
masyarakat menilai sekolah tersebut kemungkinan kurang memiliki mutu atau kualitas yang
memadai. Perlu diakui memang, munculnya fenomena seperti itu juga salah satu akibat
dominasi dari populasi latar belakang peserta didik yang sama di dalam sebuah sekolah.
Lalu apa kaitannya hal tersebut dengan kebijakan sistem zonasi yang mulai diterapkan
oleh pemerintah?. Sistem zonasi sekolah ini sepertinya menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Sehingga dengan kualitas layanan pendidikan yang
merata, maka masyarakat akan sedikit demi sedikit mengubah dan menghilangkan konstruksi
secara kuantitas maupun kualitas), peningkatan kualitas SDM guru, maupun peningkatan
layanan sarana dan prasarana sekolah yang memadai. Misalnya saja selama ini, tingkat
persebaran kualitas guru itu jika diamati memang sangat tidak merata. Guru-guru yang
memiliki kualitas dan kapabilitas baik, cenderung menumpuk di satu wilayah tertentu (di kota),
sehingga wilayah yang lain bisa di katakan kekurangan guru-guru yang berkualitas. Disinilah
salah satu tujuan sistem zonasi, yaitu untuk pemerataan persebaran guru.
Namun bukan tidak mungkin, kebijakan sistem zonasi ini hanya akan menjadi utopia saja
jika pemerintah ingin membangun iklim kesetaraan di dalam sistem pendidikan di negara kita,
namun kualitas yang mendukung terwujudnya kesetaraan itu sendiri tidak segera diusahakan.
disebutkan diatas. Karena dari fakta dilapangan berkaitan dengan penerapan sistem zonasi ini
bahwa, yang menjadi salah satu keberatan para orang tua yang anaknya (peserta didik)
memiliki prestasi nilai akademik tergolong baik—mereka sedikit keberatan jika harus
mendapatkan sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya, namun sekolah tersebut
belum memiliki kualitas yang memadai. Hal demikian sangat mungkin terjadi didalam
penerapan sistem zonasi sekolah. Karena menurut hemat penulis bahwa, sebuah kebijakan
apapun tidak dapat mencapai keberhasilan jika tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik
pula—dan kebijakan sistem zonasi ini berhubungan dengan pengelolaan pendidikan nasional.
Seperti apa yang dikatan oleh Tilaar, bahwa pengelolaan pendidikan itu meliputi peningkatan
kualitas, peningkatan inovasi dan kreativitas, membangun jaringan kerja sama (networking),
dan yang terakhir yaitu pelaksanaan otonomi daerah (Tilaar, 2000: 155).
Sebagai penutup di bahasan ini, intinya adalah pasca penerapan sistem zonasi ini
pemerataan kualitas pendidikan harus segera di usahakan dan diwujudkan. Kualitas tidak hanya
menyangkut masalah sarana dan prasarana sekolah, melainkan juga sumber daya manusia yang
ada di sekolah tersebut, dalam hal ini adalah guru. Ketika akses pendidikan dari peserta didik
maka langkah selanjutnya dan yang seharusnya menjadi paling prioritas untuk ditangani
pemerintah adalah soal pemerataan kualitas atau mutu pendidikan. Dan kebijakan sistem zonasi
karenanya, kesetaraan sangat diperlukan untuk pengembangan iklim demokrasi di negara kita.
Kesetaraan bisa ditafsirkan sebagai kesempatan yang sama untuk setiap warga negara, tanpa
melihat apa latar belakangnya, termasuk kelas sosialnya. Menurut apa yang pernah penulis
baca, Menteri Pendidikan saat ini, yaitu Prof. Dr. Muhadjir Effendy pernah mengatakan bahwa
sekolah negeri harus memiliki kewajiban untuk memproduksi layanan publik. Dan layanan
publik itu memiliki tiga unsur—diantarannya yaitu non-rivalry, non-excludability, dan non-
discrimination. Jadi, tidak boleh sebuah sekolah itu dikompetisikan secara berlebihan, tidak
boleh dieksklusifkan untuk orang atau kalangan tertentu, dan tidak boleh ada praktik
diskriminasi. Namun sepertinya sistem yang dikembangkan di negara kita selama ini kurang
Memahami apa yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan tersebut, sepertinya ada sedikit
kontradiksi dengan realita yang terjadi dengan sistem persekolahan di negara kita. Dimana
sekolah di negara kita sudah menjadi arena institusi yang dikompetisikan secara berlebihan,
kemudian munculnya sekolah-sekolah yang eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh peserta
didik dari kalangan tertentu dan yang terakhir yaitu terkadang masih terjadinya diskriminasi
terhadap peserta didik di sekolah. Munculnya kebijakan sistem zonasi sekolah akan menjadi
tantangan dan harapan untuk mewujudkan seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan
tersebut.
Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, bahwa sistem zonasi memang erat kaitannya dengan hal
akses, kualitas dan prinsip kesetaraan dalam pendidikan. Kemudahan regulasi dalam proses
penyeleksian peserta didik di sekolah bisa menjadi indikator—bahwa kebijakan ini sebagai
upaya dari pemerintah untuk mempermudah anak usia sekolah agar bisa mendapatkan
kesempatan akses layanan pendidikan yang lebih efektif dan efisien—tanpa melihat
kemampuan nilai akademik sebagai syarat yang paling utama. Dengan begitu, sekolah bukan
lagi menjadi institusi yang dikompetisikan secara berlebihan, karena itu justru akan
akses, sistem zonasi ini juga memiliki misi untuk mendorong dan mempercepat kualitas
pendidikan sekolah di negara kita. Namun, kesetaraan dan keadilan dalam sistem zonasi
sekolah ini baru akan tercapai jika kualitas pendidikan di sekolah juga bisa diwujudkan.
Referensi
Bank, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon
………….....Cherry A McGee Bank (editor). 2001. Handbook of Research on Multicultural
Education 2nd Edition. San Fransisco: Jossey Bass
Depkes.2018. Semua Bisa Sekolah!! Zonasi untuk Pemerataan yang Berkualitas. Diperoleh
dari www.depkes.go.id/article/view/1807250000/semua-bisa-sekolah-zonasi-untuk-
pemerataan-yang-berkualitas.html
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Remaja Rosdakarya
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
……….2001. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Cicil Society. Yogyakarta:
Bigraf Publishing
*Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas semester mata kuliah Pendidikan Demokrasi dan
Multikultural, PPS PIPS UNY.
Dosen Pengampu : Amika Wardana, P.hD