Anda di halaman 1dari 20

KEGIATAN BELAJAR I

RADIKALISME

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Saudara mahasiswa,selamat datang pada pembelajaran modul PAI


kontemporer pada Kegiatan Pembelajaran 1. Saudara mungkin pernah
membaca, mendengar dan bahkan mendiskusikan mengenai radikalisme.
Pada Kegiatan Belajar 1 ini, akan disajikan atau diuraikan mengenai
pengertian Islam radikal, sejarahnya, dan indikator/ciri-cirinya.
Dari uraian ini diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang Islam radikal. Mahasiswa bisa bersikap tawassuth,
tawaazun, dan tasaamuh dalam menyikapi isu-isu masa kini pada kehidupan
sehari-hari.

SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari KB 1 diharapkan siswa dapat:


1. Menganalisis konsep dasar mengenai Islam secara mendalam
berwawasan rahmatan lil alamîn, moderat dan seimbang;
2. Menganalisis sejarah dan munculnya paham radikalisme
3. Menganalisis ciri-ciri/indikator yang dipandang memiliki aliran
radikalisme
4. Memecahkan masalah sosial yang timbul akibat pemahaman berbeda
terhadap isu-isu baru dengan bijaksana dan menggunakan kaidah-
kaidah yang dapat diterima oleh semua kalangan.

POKOK-POKOK MATERI

1. Pengertian radikalisme
2. Sejarah radikalisme
3. Indikator radikalisme

5
URAIAN MATERI

A. Pengertian Radikalisme
Secara etimologi, radikalisme dengan kata dasar radikal berasal dari
bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Radikalisme merupakan respons
terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi,
kelembagaan, atau nilai.1
Terminologi radikalisme agama jika dikaitkan dengan istilah bahasa
Arab, sampai saat ini belum ditemukan secara pasti dalam kamus-kamus
bahasa Arab. Sehingga istilah ini sering dikaitkan dengan fundamentalisme
Islam yang berasal dari teori Barat.2
Dalam perkembangan bahasa arab kontemporer, radikalisme pada
akhirnya disamakan arti dengan beberapa istilah, antara lain: al-tatharruf,
al-‘unf, al-guluww, al-irhab3, dan tasyaddud.4
Kata at-tatharruf secara bahasa berasal dari kata al-tharf yang berarti
ujung atau pinggir.5 Maksudnya berada di ujung atau pinggir, baik di ujung
kiri maupun kanan. Karenanya, menurut penelusuran penulis, dalam
aplikasi kamus bahasa arab modern, kata al-tatharruf bermakna konotasi
ekstrimisme, radikalisme, melampaui batas, keterlaluan, berlebih-lebihan.6
Al-‘unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih

1
Dede Rodin, “Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam al-Qur’an”,
jurnal ADDIN Vol. 10, No. 1, 2016, hlm. 35.
2
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam Al-Qur’an”, Kalam; Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 8, No. 2 (Desember 2014), hlm. 283.
3
Dede Rodin, “Islam Dan Radikalisme:, hlm. 343.
4
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam, (Jakarta: LPMA Kemenag RI, 2012),
hlm. 14.
5
Muchlis M. Hanafi, “Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam”, Harmoni: Jurnal Multikultural dan
Multireligius, Volume VIII Nomor 32, Oktober-Desember 2009, hlm. 39.
6
Tim Ristek Muslim, Aplikasi Kamus Arab Indonesia

6
sayang. Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-‘unf dengan penggunaan
kekuatan secara illegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan kehendak
dan pendapat.7
Term ghuluww, berasal dari kata ghalā yaghlû yang berarti melampaui
batas (tajāwuz al-hādd). Di dalam al-Qur’an hanya ditemukan dalam bentuk
kata kerja di dua ayat, yaitu Q.S an-Nisā’ [3]: 171 dan Q.S al-Maā’idah [5]
:73.8 Pada zaman Rasulullah Saw., kata ghuluww ini digunakan untuk
menyebut praktek pengamalan agama yang ekstrim sehingga melebihi
kewajaran semestinya. Menurut hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW
pernah berkata kepada kepada Ibnu ‘Abbās di Muzdalifah saat Haji Wada’.
Saat itu Rasulullah saw. minta kepada Ibnu ‘Abbas agar memunguti kerikil
kecil untuk melempar jumrah. Begitu Ibnu ‘Abbas meletakkan kerikil itu di
tangan Rasul, beliau bersabda, “Ya, yang seperti itu, jangan berlebihan
(guluw) dalam beragama...”9. Maksudnya, jangan berlebihan mengambil
batu yang digunakan untuk melempar jumrah adalah sebesar kerikil
khadzaf (kerikil untuk ketapel) 3 buah untuk lempar jumrah, sebab batu
yang kecil sudah cukup. Substansi hadis ini sangat penting dalam
mempraktikkan ajaran Islam yang rahmatan li al- ‘alamin.10
Kata al-irhāb dalam al-Mu‘jam al-Wasīt memiliki definisi “sifat yang
dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan
untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.11 Sedangkan al-irhab dalam
pengertian negatif di atas tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan kamus-
kamus Arab klasik, karena istilah itu belum dikenal di masa klasik. Bahkan,

7
Dede Rodin, “Islam Dan Radikalisme:..., hlm. 34.
8
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam..., hlm. 15.
9
Abu Dawud, Kitab Manasik, Bab Melempar Jumrah, No. Hadits 1677, dalam hadits tersebut
disebutkan besar batu yang digunakan untuk melempar jumrah adalah sebesar kerikil khadzaf
(kerikil untuk ketapel)
10
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat..., hlm.282
11
Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu‘jam al-Wasith, jilid 1 (Kairo: Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyyah,
1972), hlm. 376

7
8 kali penyebutan kata al-irhāb di dalam al-Qur’an selalu bermakna positif.
Jadi apabila dalam bahasa arab kontemporer menggunakan kata al-irhab
untuk menyebut kata teror, menurut penulis itu merupakan perluasan
makna kata dan bukanlah berdasar dari al-Qur’an.
Term tasyaddud, dalam bentuknya yang mengindikasikan sikap
radikalisme tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Bentuk lain yang
merupakan derivasi dari kata tasyaddud banyak ditemukan dalam al-
Qur’an, misalnya syadīd, syidād, asyiddā’, dan asyad. Namun dari semua
kata-kata tersebut hanya menunjuk kepada kata dasarnya saja, yakni keras
dan tegas, dan tidak ada satupun yang bisa disamakan dengan makna
radikal atau ekstrim.12
Dikarenakan belum adanya kesepakatan di antara para ahli untuk
menggambarkan gerakan radikal sehingga memunculkan banyak
terminologi lain, antara lain Neo-Khawarij13 , Khawarij abad ke-2014.
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrim dari
revivalisme. Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih
berorientasi ke dalam (inward oriented), dengan artian pengaplikasian dari
sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk
radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented) kadang
dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim
disebut fundamentalisme.15

B. Akar Sejarah Radikalisme Agama Islam


Allah menciptakan segala sesuatu di bumi ini dengan keadaan yang
setimbang. Beragam ayat yang disebutkan dalam al-Qur’an menjadi bukti

12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam..., hlm. 14.
13
M.A. Shaban, Islamic History, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm. 56.
14
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 125
15
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm. 46-47.

8
keseimbangan penciptaan Allah SWT. Hal tersebut semestinya bukan
dianggap sebagai fenomena alam biasa, namun juga harus diresapi sebagai
rahmat Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Bijaksana. Nilai moral yang
dapat dipetik dari prinsip keseimbangan di alam raya ini, yakni Allah
mengingatkan agar manusia senantiasa menjaganya dengan tidak
melakukan perilaku-perilaku menyimpang, seperti tidak berlaku adil,
tidak jujur, dan kecurangan-kecurangan lainnya.16 Dalam konteks
keseimbangan juga, Rasulullah melarang umatnya untuk tidak terlalu
berlebihan meski dalam menjalankan agama sekalipun. Beliau lebih senang
jika hal itu dilakukan secara wajar tanpa adanya pemaksaan diri yang
berlebihan. Beberapa gambaran prinsip keseimbangan inilah yang biasa
dikenal dengan moderasi yang biasa diistilahkan wasiat atau wasatiyah.17
Berangkat dari uraian di atas, sejak awal Islam sejatinya memang lahir
dengan asas keadilan, kemanusiaan dan sarat dengan ajaran yang moderat,
seperti dalam firmanNya Q.S. al-Baqarah [2]: 143. Islam moderat artinya
Islam yang tidak terlalu kanan, maupun kiri. Tidak keras namun juga tidak
lemah.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin haruslah senantiasa
menyebarkan kedamaian tanpa adanya paksaan seperti yang telah
diajarkan Rasulullah saw. Namun citra Islam yang penuh kemudahan dan
kedamaian tersebut, juga tidak bisa diartikan bahwa Islam merupakan
agama yang sepele. Islam sebagai agama yang memiliki dasar hukum yang
tertulis bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga melahirkan
beragam penafsiran
Dalam perkembangan sejarahnya, setelah jauh dari zaman Rasulullah
Saw. dan para sahabat, penafsiran cenderung semakin beragam dan harus

16
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam... hlm. 4.
17
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam... hlm. 5.

9
disesuaikan dengan konteks yang ada. Dalam situasi demikian, timbul
upaya “penomor satuan” jenis penafsiran yang menimbulkan fanatisme.
Fanatisme menimbulkan persoalan yang cukup serius mengingat tak
jarang ada berbagai kepentingan di balik penafsiran tersebut.
Realita teks keagamaan yang multitafsir memberikan peluang kepada
siapa saja yang mempunyai kepentingan khusus untuk menafsirkan teks
keagamaan sesuai dengan ideologi maupun kepentingannya masing-
masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai alat untuk melegalkan aksi-aksi
kekerasan atas nama agama. Mereka bahkan bersedia mengorbankan apa
saja yang tidak masuk akal; dari berkorban harta sampai jiwa.18
Dalam konteks sejarah Islam, tidak dipungkiri adanya peperangan
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tercatat tidak kurang dari 19
sampai 21 kali terjadi ghazwa (perang besar) atau perang yang langsung
dipimpin oleh Rasulullah saw. Bahkan ada yang berpendapat 27 kali terjadi
perang, yang melibatkan pasukan besar dan Rasulullah Saw. sendiri yang
terlibat di dalamnya, atau mengutus pasukan tersebut.
Selain dalam bentuk ghazwa, ada pula istilah lain dalam sejarah Islam
yaitu disebut dengan sariyyah (perang yang tidak dipimpin oleh Rasulullah
Saw.) atau perang kecil yang terjadi hampir 35 sampai 42 kali. 19 Menurut
Gamal al-Banna, usaha untuk memahami ayat qitâl, dan bagaimana bentuk
penerapannya, tidak akan tercapai dengan baik tanpa memahami kondisi
dan sebab-sebab yang melatarbelakangi ayat tersebut diturunkan.
Kepindahan dari Mekah ke Madinah bukanlah semata perpindahan
dari suatu tempat ketempat lain, akan tetapi merupakan kepindahan dari
sebuah model masyarakat ke model masyarakat yang lain yang memiliki

18
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat...hlm. 286.
19
A. Lalu Zaenuri. Qitâl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1

10
sifat, karakter serta memiliki spesifikasi tersendiri yang sangat berbeda
dibandingkan dengan spesifikasi yang dimiliki oleh masyarakat Quraisy.20
Menurut penulis, dalam sejarah peperangan masa Rasulullah, perlawanan
yang dilakukan kaum muslim bukanlah termasuk tindakan radikalisme.
Sebab mereka lebih memberikan perlawanan setelah mendapatkan
serangan musuh, dan tidak menyerang dengan membabi buta tanpa alasan.
Beberapa literatur menerangkan gerakan radikalisme Islam dimulai
pada masa Kalifah Ali bin Abi Thalib, yakni munculnya kaum Khawarij.
Berakar pada sejarah Islam masa lampau, gerakan kaum Khawarij yang
muncul pada masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan prinsip-
prinsip radikal dan ekstrim dapat dilihat sebagai gerakan fundamentalisme
klasik dalam sejarah Islam. Langkah radikal mereka diabsahkan dengan
semboyan laa hukma illā li Allah (tidak ada hukum kecuali milik Allah) dan
la hukama illa Allah (tidak ada hakim selain Allah) yang dielaborasi berdasar
Q.S. al-Ma’idah [5]: 44
ٕ‫ُ ى‬
َ ‫ول َكِ َ ُم ُم ْال ىك ِر ُو ْو‬ ٰ ‫ َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما ٓ ا َ ْنزَ َل‬...
‫ّللاُ اَا‬
“...Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir”21
Peristiwa mengerikan tersebut terjadi pada 14 Ramadhan 40 H, ketika
tiga orang militan yang merencanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh
penting kaum muslim di Mekah ketika itu. Mereka adalah ‘Amr bin Bakr,
al-Barak bin Abdullah, dan Abdurrahman bin Muljam yang semuanya
merupakan anggota dari kaum Khawarij (kelompok yang keluar dan
memisahkan diri dari mainstream muslim), yang tidak puas dengan
kepemimpinan umat ketika itu. Mereka pada awalnya adalah pengikut dari
salah seorang dari tiga pemimpin yang sedang mereka rencanakan
pembunuhannya itu, yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat

20
Gamal al-Banna, Jihad, (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), hlm. 71.
21
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 112-113

11
itu. Tetapi mereka tidak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk
menerima tahkīm (arbritasi) antara sang khalifah dengan musuhnya,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr
bin as. Mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap
kepemimpinan yang sah (bugāt), sehingga ia pun harus diperangi. Karena
alasan demikian, kelompok Khawarij tidak mau tunduk kepada Ali dan
Mu’awiyah.
Selain sejarah Khawarij, di sepanjang sejarah Islam banyak ditemukan
fenomena pemasungan teks-teks keagamaan (al-Qur’an) untuk
kepentingan politik, yang ujung-ujungnya memicu tindakan radikalisme
agama. Sebagai contoh lain adalah peristiwa mihnah yang terjadi pada
masa pemerintah khalifah al-Ma’mun (813-833 H). Dalam peristiwa
tersebut, terjadi pemaksaan pendapat oleh golongan Mu’tazilah, sebuah
golongan dalam Islam yang justru mengaku dirinya sebagai kelompok
yang rasionalis. Tokoh-tokoh Islam dan pemuka masyarakat yang tidak
sependapat dengan sekte tersebut dipenjarakan, disiksa dan bahkan ada
yang dihukum mati.22 Gerakan kaum Khawarij yang muncul di akhir masa
pemerintah Ali bin Abi Thalib dan gerakan kaum Mu’tazilah ini yang
kemudian sering dijadikan contoh gerakan fundamentalisme klasik yang
melegalkan praktik radikal.
Dalam sejarah Islam gerakan-gerakan tersebut menandai terbentuknya
gejala takfirisme dalam Islam. Pada masa pra-modern, gerakan
fundamentalisme radikal muncul pada abad 12 H di Semenanjung Arabia
di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) yang
kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi. Inilah yang kemudian
membentuk salafisme awal yang bersifat takfiri. Gerakan Wahabi ini

22
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat..., hlm. 286.

12
terinspirasi dari pemahaman doktrin-doktrin yang diajarkan Ibnu
Taimiyah.
Dengan mengusung gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran
Islam serta mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Saw., gerakan ini melakukan tindak kekerasan dengan membunuh orang-
orang yang dianggap bid’ah, tahayul khurafat. Sejarah juga mencatat gerakan
ini juga melakukan tindak kekerasan dengan menghancurkan monumen-
monumen historis di Mekah dan Madinah.23
Dari paparan historis di atas, dapat dikatakan bahwa radikalisme dan
fundamentalisme Islam, sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama
lain, memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
kelompok lain. Pertama, skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan
tekstual atas ayat-ayat al-Qur’an. Karenanya mereka menolak
hermeneutika sebagai cara dalam memahami al-Qur’an. Kedua, penolakan
terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusak
kesucian teks. Ketiga, penolakan terhadap pendekatan historis dan
sosiologis yang dipandang akan membawa manusia melenceng jauh dari
doktrin literal kitab suci. Keempat, memonopoli kebenaran atas tafsir
agama, di mana mereka menganggap dirinya yang paling berwenang
dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang lainnya sebagai
kelompok yang sesat.24 Jadi kesimpulan menurut penulis, berdasarkan
definisi secara etimologi maupun terminologi, radikalisme agama adalah
suatu paham yang menghendaki adanya perubahan yang mendasar
(fundamental) sesuai dengan interpretasi ideologi yang dianutnya dimana
dalam penerapannya cenderung menggunakan tindak kekerasan sampai
tindakan yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

23
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat..., hlm. 287.
24
Hans Kung dan Jurgen Moltmann (eds.), Fundamentalism as a Ecumanical Challenge,
(London: Mac Millan, 1992), hlm. 3-13

13
Ketika teks-teks keagamaan dipahami secara dangkal, maka tidak
menutup kemungkinan akan melahirkan paham dan gerakan radikal.
Karena itulah, untuk menangkal gerakan radikal, salah satu langkah yang
diperlukan adalah pemahaman yang benar dan komprehensif atas teks-
teks keagamaan tersebut.
C. Radikalisme dalam “Gerakan Keagamaan”
Radikalisme mula-mula adalah aliran yang digunakan oleh kaum
revolusioner nasional di dunia Barat untuk merebut kekuasaan politik.
Demikian juga sebagai aliran yang digunakan oleh kaum nasionalis anti
kolonial dan para aktivis sosial untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Namun dalam perkembangannya radikalisme digunakan oleh kelompok-
kelompok militan yang mendasarkan dirinya pada interpretasi agama.25
Secara global, radikalisme dikaitkan dengan beberapa diskursus,
antara lain: radikalisme dalam revolusi sosial dan politik, radikalisme
dalam gerkan pembebasan nasional, radikalisme dalam gerakan sosial,
radikalisme dalam gerakan keagamaan.
Dalam pemabahasan kali ini teori radikalisme hanya akan difokuskan
pada gerakan keagamaan. Radikalisme melanda gerakan keagamaan atau
gerakan politik yang menggunakan cita-cita keagamaan.

C. Indikator Islam Radikal


1. Takfiri
Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim
lainya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain)
sebagai kafir dan murtad. Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari
kata kafir (kaum tidak beriman), dan disebutkan sebagai “orang yang
mengaku seorang Muslim tetapi dinyatakan tidak murni Islamnya dan

25
Margaretha Hanita, “Radikalisme dalam Masyarakat Multikultural: Ancaman Lokal dan
Tantangan Global”, Jurnal, stin.ac,id, h.6

14
diragukan keimanannya”. Tindakan menuduh Muslim lain sebagai “kafir”
telah menjadi suatu bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang Muslim
menuduh Muslim sekte atau aliran lainnya sebagai kafir. Tindak kekerasan
yang berawal dari tuduhan mengkafirkan Muslim lain kian marak dengan
merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah,
khususnya setelah pecahnya Perang Saudara Suriah pada 2011.
Dalam Islam memang ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang
tidak boleh dikafirkan. Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua
kategori :
a. Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
b. Kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan
kufur.
Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili,
yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Ash-Shalâh. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, :
1) Kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini
berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada
seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya
mencaci Allah, memaki Nabi-Nya, menyakiti Nabi, bersujud kepada
kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau
contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama.
Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi
sebagai kafir.
2) Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam
menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-
perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.
ُ ُ‫ ِسبَابُ ْال ُم ْس ِل ِم ا‬.
‫س ْو ٌق َوقِت َالُهُ ُك ْر ٌو‬
“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur”
[HR Bukhari Muslim]

15
َ‫ف بِغَي ِْو هللاِ اَقَدْ َكرَ َو أ َ ْو أ َ ْش َوك‬
َ َ‫َم ْن َحل‬
“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir
atau musyrik” [HR Tirmidzi]
َ َ‫ض ُكم ِرق‬
‫اب بَ ْعض‬ ً َّ‫ي ُكر‬
ُ ‫ارا يَض ِْوبُ َب ْع‬ ْ ‫الَ ت َْو ِجعُ ْوا َب ْع ِد‬.ٍ
“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian
membunuh yang lain” [HR Bukhari Muslim]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari
agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal.
Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam,
murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).
2. Al-Walâ’ dan Barâ’
Al-Walâ’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain
mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu.
ْ adalah lawan kata dari al-mu’aadaah
Selanjutnya, kata al-muwaalaah (ُ ‫)ال ُم َواالَة‬
ْ atau al-‘adawaah (ُ ‫)ال َعدَ َواة‬
(ُ ‫)ال ُم َعادَاة‬ ْ yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali
ْ adalah lawan kata dari al-‘aduww (‫)العَد ُو‬
(‫)ال َو ِلى‬ ْ yang berarti musuh. Kata ini

juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia


merupakan kata yang mengandung arti yang saling berlawanan.
Al-Wala' artinya loyalitas dan kecintaan. Wala’ adalah kata mashdar dari
fi’il, waliya yang artiannya dekat. Yang dimaksud dengan wala’ di sini
adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu
dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan berlokasi tinggal
bersama mereka.
Al-Bara', artinya berlepas diri dan kebencian. Bara’ adalah mashdar dari
bara’ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya, ialah memutus
hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi
mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal
bersama mereka.

16
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Walâ’ berarti penyesuaian diri
seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa
perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi
ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan
membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu
dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti
seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang
kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti,
antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskandiri dan memusuhi.
Kata barî’ (‫ )بَ ِوي َء‬berarti membebaskan diri dengan melaksanakan
kewajibannya terhadap orang lain. Allah Swt berfirman: “(Inilah
pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [Q.S. At-
Taubah [9]: 1] Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri
seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa
perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri
utama al-Bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allah secara terus-
menerus dan penuh komitmen.
Walâ’ wal barâ’ merupakan salah satu di antara tuntutan syahadat yang
diikrarkan oleh seorang mukmin. Ia adalah bagian dari makna kalimat
tauhid, yaitu berlepas diri dari setiap sesuatu yang diibadahi selain Allah.
Bagi seorang mukmin, ikatan walâ’ wal barâ’ merupakan ikatan iman yang
paling kokoh yang dimiliki oleh dirinya. Sebagaimana yang ditegaskan
oleh Nabi Saw dalam sabdanya: “Sungguh ikatan keimanan yang paling kokoh
adalah kamu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ahmad)
Namun sayangnya, sebagian umat Islam masih ada yang salah kaprah
dalam menerapkan konsep akidah yang satu ini. Di antara penyebabnya
adalah munculnya penyempitan makna wala’ wal bara’ oleh sebagian

17
kelompok. Siapa pun yang berada dalam jamaahnya maka harus didekati
dan dicintai. Sebaliknya, siapa pun yang berada di luar jamaahnya maka
berhak untuk dimusuhi dan dijauhi.
3. Bom Bunuh Diri
Bom merupakan sebuah senjata modern yang digunakan untuk
berperang dan dapat membunuh banyak nyawa. Bom bunuh diri
merupakan sebutan atas tindakan yang dilakukan seseorang yang
meledakkan dirinya dengan menggunakan bom. Bunuh diri/intihar
menurut bahasa berasal dari kata naharahu yang berarti menyembelihnya,
dan Intahara ar-rajulu berarti seseorang menyembelih diri sendiri.26 Yang
dimaksud adalah seseorang melakukan bunuh diri. Adapun menurut
istilah syar’i adalah “orang yang membunuh dirinya sendiri dengan
menghilangkan ruhnya, melalui salah satu cara yang mengakibatkan
kematian, dikarenakan tertimpa musibah yang tidak kuat ia tanggung, atau
tertimpa ujian yang ia tidak sabar menghadapinya.” Imam al-Qurtubi
mendefinisikan intihar adalah seseorang yang membunuh diri sendiri
dengan sengaja, untuk menghilangkan kerakusan terhadap dunia dan
harta sampai mendorongnya pada bahaya yang membawa pada
kehancuran, atau mungkin saja dikatakan pada ayat “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu” (Q.S. an-Nisa [4] ayat 29) dalam keadaan panik atau
marah.27
Bunuh diri atau intihar adalah tindakan yang dilarang oleh agama. Diri
manusia pada hakikatnya hanyalah barang titipan yang diberikan Allah.
Oleh karena itu titipan itu tidak boleh diabaikan. Dalam melakukan aksi
tersebut para pelaku telah mempersiapkan diri dengan baik. Tindakan ini

26
Muhammad Tho’mah Al-Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam,
(Bandung: Pustaka Umat, 2002), hlm. 23
27
Al – Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz 5, hlm 156 - 157

18
pun tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Hanya orang-orang tertentu
saja yang dapat melakukannya.
Istilah lain bunuh diri adalah al-mughammarah (mengorbankan diri),
juga bisa berarti as-syiddah (kekerasan). Al-Mughammir berarti orang yang
terjun dalam kekerasan atau hal-hal yang mencelakakan. Maka al-
Mughammir (orang yang berkorban) ialah orang yang menceburkan dirinya
dalam bahaya, atau orang yang berani mengarungi kerasnya kematian
(Syuja’ Mughammir).28
Serangan bunuh diri adalah suatu serangan yang dilakukan (para)
penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang (atau orang-
orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya,
misalnya dengan sebuah ledakan bom atau tabrakan yang dilakukan oleh
si penyerang. Istilah ini kadang-kadang digunakan secara bebas untuk
sebuah kejadian yang maksud si penyerang tidak cukup jelas meskipun ia
hampir pasti akan mati karena pembelaan diri atau pembalasan dari pihak
yang diserang. Di zaman modern, serangan seperti itu seringkali dilakukan
dengan bantuan kendaraan atau bahan peledak seperti bom (bom bunuh diri)
atau keduanya (misalnya kendaraan yang dimuati dengan bahan peledak).
Bila semua rencana berjalan mulus, si penyerang akan terbunuh dalam
tabrakan atau peledakan.
Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian,
sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan
suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari
kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan
pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman Allah Swt:

28
MT. Al Qadah, op cit, hlm 15 – 16.

19
‫ّللاُ َغرُ ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬ ْ َ‫َْ ْت ُ ْم بِه َو ىل ِك ْن َّما تَعَ َّمد‬
ٰ َ ‫ت قُلُ ْوبُ ُك ْم َۗوكَا‬ َ ْْ َ‫َْ ََلَ ْي ُك ْم ُجََا ٌٌ اِ ْي َما ٓ ا‬
َ ‫ ۗ َولَي‬...
“...Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).
Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian
orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan atau
pelanggaran syari’at. Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya
kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah
muslimin tanpa ada alasan yang dibenarkan syari’at.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah
haramkan kecuali dengan cara yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang
muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi
bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga
perkara: [1] nyawa dibalas nyawa (qishash), [2] seorang lelaki beristri yang berzina,
[3] dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah
(murtad).” (HR. Bukhari Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja
adalah dosa besar. Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa
kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda
dan kaffarah/tebusan. Allah Swt. Berfirman:
‫سلَّ َمةٌ ا ى ِٓلى ا َ ْم ِله‬
َ ‫َـًٔا اَتَحْ ِوي ُْو َرقَبَة مؤْ ِمََة َّو ِديَةٌ م‬ َ َْ ‫َو َما كَا َ ِل ُمؤْ ِمن ا َ ْ يَّ ْقت ُ َل ُمؤْ ِمًَا ا َِّال‬
َ َْ ‫َـًٔا ۚ َو َم ْن قَت َ َل ُمؤْ ِمًَا‬
.... ‫صدَّقُ ْوا‬ ٓ َّ ‫ا‬
َّ َّ‫ِال ا َ ْ ي‬
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang
beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran” (QS. An-Nisa’ [4]: 92).

Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom


bunuh diri, ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga

20
hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad. Ulama Ahlussunah tidak
merestui aksi terorisme dalam bentuk apapun, dan tidak ada satu pun
ulama yang merestui perbuatan demikian. Adapun yang difatwakan
sebagian ulama mengenai bolehnya melakukan aksi bom bunuh diri itu
dalam kondisi peperangan atau di medan perang melawan kuffar, bukan
dalam kondisi aman atau di negeri-negeri yang tidak sedang terjadi
peperangan atau yang orang-orang kafir dijamin keamanannya di sana.
Syekh Al-Qardhawi mengkategorikan bahwa perjuangan rakyat
Palestina dengan meledakkan dirinya sebagai tindakan pengorbanan
(‘amaliyyat fida’iyyah), ketimbang bunuh diri. Meskipun seringkali sasaran
pengeboman adalah warga sipil, tetapi Al-Qardhawi memakai kaidah
hukum al-dharûrât tubîh al-mahdzûrât (keadaan darurat membolehkan yang
diharamkan) atas konsekuensi tersebut.
Pernyataan Syekh Al-Qardhawi ini memicu beragam respon dari
berbagai kalangan termasuk di antaranya adalah Professor Hashim Kamali,
seorang pakar hukum internasional. Dalam bukunya yang diterjemahkan
berjudul Membumikan Syariah, Ia menjelaskan bahwa apa yang
diungkapkan Al-Qardhawi memang terbatas pada kasus Palestina. Akan
tetapi premis fatwa yang mengatakan bahwa sasaran pengeboman
hanyalah sasaran pengalihan adalah juga kurang tepat. Hashim Kamali
meyakini bahwa pelaku bom tersebut memang menyasar warga sipil
karena tidak bisa menjangkau barak militer Israel dan ini menyalahi prinsip
mubasyarah, pihak pertama yang semestinya jadi sasaran. Oleh karenanya,
Hashim Kamali menyatakan bahwa terlalu simplistik menfatwakan
tindakan bom bunuh diri warga Palestina dan juga dimanapun daerah
tinggalnya, disamakan dengan jihad dan pelakunya dihukumi sebagai mati
syahid. Hal ini karena tindakan tersebut menyalahi dua prinsip
fundamental ajaran Islam: pertama keharaman bunuh diri secara mutlak
dan kedua haramnya membunuh orang-orang sipil yang tidak bersalah.

21
TINDAK LANJUT
BELAJAR
Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat
melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.

4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas


yang ada di LMS.

CONTOH SOAL
Seseorang yang memahami ayat “…maka bunuhlah orang-orang
musyrikin (non-muslim) itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. …..” (Q.S. al-Taubah [9]: 5) tanpa mengetahui konteks
ayat itu diturunkan. Lalu ia merasa punya kewajiban melaksanakan
perintah ayat tersebut. Kemudian orang tersebut membom tempat ibadah
non muslim. Maka tindakan orang tersebut tepatnya disebut tindakan:
A. Jihad.
B. Nahi Munkar.
C. Intoleran.
D. Radikal.
E. Teror.

22
GLOSARIUM

Al-‘unf : Abdullah an-Najjar mendefinisikan al-‘unf dengan


penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri)
untuk memaksakan kehendak dan pendapat
Al-Bara : Memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-
orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka,
membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal
bersama mereka
Al-Mughammir : Berarti orang yang terjun dalam kekerasan atau hal-hal
yang mencelakakan
Al-Walâ : Loyalitas dan kecintaan kepada kaum muslimin dengan
mencintai mereka, membantu dan menolong mereka
atas musuh-musuh mereka dan berlokasi tinggal
bersama mereka.
Ghazwah : Menyerang atau menyerbu, gazwan, gazawah, gazawan
yang bermakna penyerbuan, penyerangan dan perang.
Irhab : Rasa takut yang ditimbulkan akibat aksi-aksi kekerasan,
misalnya pembunuhan, pengeboman, dan perusakan.
Irhâbî berarti orang yang menempuh jalan teror dan
kekerasan
Istihlal : Merupakan suatu hal yang dihalalkan oleh Allah SWT
Kufur : Mengingkari syariat Islam dan tidak mengakui Allah
sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Nabi-Nya
Radikal : Secara menyeluruh,” “habis-habisan,” dan “maju dalam
berpikir atau bertindak
Radikalisme : Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastis
Sariyyah : Kegiatan memata-matai yang dilakukan sekelompok
tentara pada waktu tertentu untuk memantau kegiatan
musuh
Takfîri : Sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim
lainya (atau kadang juga mencakup penganut
ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad
Tatharruf : Sikap berlebih-lebihan dalam agama

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Junaidi, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam Al-


Qur’an”, Kalam; Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 8, No. 2
(Desember 2014).
Al-Banna, Gamal, Jihad, Jakarta: MataAir Publishing, 2006.
Al-Qadah, Muhammad Tho’mah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum
Islam, Bandung: Pustaka Umat, 2002.
Azra, Azyumardi, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Bandung: Mizan, 1999.
Hanafi, Muchlis M., “Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam”, Harmoni: Jurnal
Multikultural dan Multireligius, Volume VIII Nomor 32, Oktober-
Desember 2009.
Hanita, Margaretha, “Radikalisme dalam Masyarakat Multikultural:
Ancaman Lokal dan Tantangan Global”, Jurnal, stin.ac,id.
Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu‘jam al-Wasith, jilid 1, Kairo: Majma‘ al-Lugah al-
‘Arabiyyah, 1972.
Kung, Hans dan Moltmann, Jurgen (eds.), Fundamentalism as a Ecumanical
Challenge, London: Mac Millan, 1992.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam, Jakarta: LPMA
Kemenag RI, 2012.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Rodin, Dede, “Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’
dalam al-Qur’an”, Jurnal ADDIN, Vol. 10, No. 1, 2016.
Shaban, M.A., Islamic History, Cambridge: Cambridge University Press,
1994.
Zaenuri, A. Lalu, Qitâl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1.

24

Anda mungkin juga menyukai