Anda di halaman 1dari 13

Radikalisme Agama

Dalam Perspektif Maqashid Syariah & Hermeneutika Filsafat Pancasila

(Sebuah Upaya Deradikalisasi Paham Keagamaan)

Muhammad Fauzinuddin Faiz


Radikalisme Agama
Dalam Perspektif Maqashid Syariah & Hermeneutika Filsafat Pancasila
(Sebuah Upaya Deradikalisasi Paham Keagamaan)

Disampaikan dalam Seminar Sehari Tentang ”Peran Intelektual


Mahasiswa Dalam Deradikalisasi Gerakan Radikal Keagamaan”
BEM IAI IBRAHIMY Banyuwangi, Rabu 17 Januari 2018

Muhammad Fauzinuddin Faiz


Dosen IAIN Jember & Penulis Beberapa Buku
HOME OFFICE MATERI ABOUT EVALUASI REFERENSI SIMPULAN

Kata Kunci Diskusi:


1. Apa yang dimaksud Agama?
2. Apa yang dimaksud Radikalisme?
3. Apa Perbedaan Radikalisme &
Ekstrimisme?
4. Deradikalisasi atau Kontra
Radikalisasi?

LET’S BEGIN…..!
‫الدين ‪ :‬وحي الهي انزل على محمد و امته‬
‫لسعادة الدنيا و اآلخرة‬
‫سُبَ ُِة ِإلَى األم َكلَّ ُِ‬
‫ف الت َّ ُعَبُّدُ‬ ‫الن أ‬
‫ت ِب ِ‬ ‫أ َ أْل َ أ‬
‫صلُ ِفي األ ِعبَادَا ُِ‬
‫ت ِإلَى األ َمعَا ِني َُوأ َ أ‬
‫صلُ األعَادَا ِ‬
‫تُ‬ ‫ن اأ ِإل أل ِتفَا ُِ‬
‫د أو َُ‬
‫اأ ِإل أل ِتفَ ُ‬
‫ات ِإلَى األ َمعَا ِني‬
‫)الموافقات(‬
Terma Radikalisme Menurut para ahli :
Harun Nasution ===> Neo-Khawarij/Khawarij abad 20.
Emmanuel Sivan ===> Islamic Radicalism
Fazlur Rahman ====> Neo-Revivalisme
Espocito & Dekmejian ==> Islamic Revivalism
Aljabiri ===> al-Yasaar al-Islami
Gilles Kepel ==> Ekstrimisme Islam
Abu Fadhl ==> Islam Puritan
Abdullah An-Najjar ==> al-’unf (Main Hakim Sendiri).
Radikalisme => Secara Bahasa ==> Radix (Bahasa Latin) ==>
Akar.
Radikalisme Agama => Terminologi Radikalisme (Radic-al-isme) sering
dirujuk pada kalangan umat beragama yang lebih memilih pemahaman,
penafsiran atau pemaknaan agama secara sempit, rigit, tekstual-skriptual-
ketimbang penafsiran yang kontekstual- emansipatoris- tolerance. Pereduksian
konsep-konsep agama (seperti Konsep Jihad, kafir, murtad, syahid) juga
menjadi bagian yang tak terpisah dari aktifitas pemaknaan ini, dan kalau
perlu diniscayakan aksi kekerasan (bukan dialog) untuk mencapai tujuannya.
Sebagai way of life, sifat holistik Islam cenderung difahami secara “organik“,
bukan secara substantif.
Pemikiran atau sikap yang ditandai oleh 4 hal yang sekaligus
menjadi karakteristiknya. Yaitu: (a) Sikap tidak toleran dan
tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. (b)
sikap fanatik akut, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri
dan menyalahkan rang lain. (c) sikap Eksklusif, yakni sikap
tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak.
(d) sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan
kekerasan dalam mencapai tujuan.
Secara pribadi, saya lebih sepakat dengan terma “REVIVALISM” untuk
menunjuk istilah lain dari radikalisme Agama. Islam Radikal umumnya memiliki
semangat kembali pada al-Qur’an ataupun al-Hadits walaupun penafsirannya cenderung
memilih pemahaman, penafsiran atau pemaknaan agama secara sempit, rigit, tekstual-
skriptual- ketimbang penafsiran yang kontekstual- emansipatoris- tolerance.
Ekstrimisme, bagi saya, adalah intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke
dalam (Inward Oriented) dalam artian pengejewantahan terhadap pemahaman agama dari
sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk pribadi.
Ekstrimisme, adalah intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke luar
(Outward Oriented) dalam artian pengejewantahan terhadap pemahaman agama dari
sebuah kepercayaan cenderung diterapkan dengan aksi kekerasan.
Jadi, Ekstrimisme (Terorisme) merupakan hasil dari proses radikalisasi.
Peran utama Mahasiswa (selain sebagai Agent of Change & Iron
Stock) adalah mahasiswa sebagai Guardian of Value. Artinya Mahasiswa
berperan sebagai penjaga nilai-nilai yang ada di Masyarakat.
Deradikalisasi bermakna lebih kepada pencegahan lewat pendekatan
kekeluargaan. Dalam konteks dunia akademik, deradikalisasi diwujudkan dalam
bentuk dialog, baik secara praktis (misalnya: seminar, diskusi terbuka dll) atau
menulis buku, jurnal, majalah, buletein dlsb., tentang pemahaman keagamaan
yang inklusif. Atau bisa juga dengan cara menbantah pemahaman keagamaan
yang rigid dengan metodologi yang mapan, epistimologi yang sistemik dan
tentuya dengan cara santun.
Adapaun Kontra Radikalisasi lebih kepada ajakan pada para pemangku
kebijakan (stakeholder) untuk memerangi Radikalisme.
Dalam beragama, kita tidak boleh melupakan kamus dasar bahwa
setiap apa yang diperintah tuhan mesti ada illat, hikmah, asrar dan tujuan
pensyariatannya. Istilah ini dalam kajian Filsafat Hukum Islam sering
disebut Maqashid Syariah.
Maqashid Syariah adl kajian yang menitik-tekankan
kemashlahatan. Secara hirarkis tingkatannya meliputi Dharury
(Kemashlahatan Primer), Hajiy (Kemashlahatan Sekunder) dan Tahsiny
(Tersier).
Menurut Asy-Syathibi, Ada 5 Prinsip dasar kemashlahatan dalam
Maqashid Syariah, misal : Hifz al-Din, Hifz al-Nasf, Hifz al-’Aql,
Hifz al-Nasl dan Hifz al-Maal.
Pemahaman Klasik pada umumnya memahami makna “Hifz” dengan
menjaga atau memelihara. Misal Hiz al-Din berarti Menjaga Agama.
Pemahaman ini tidak salah tapi penganut pemahaman ini sering kali
menafsirkan agama harus dibela, harus dijaga sehingga ketika ada penganut
agama lain yang dianggap “menista” agamanya langsung bertindak kasar
dan amoral bahkan sampai berujung pada ancaman pembunuhan. Ini jelas
radikalisme agama yang amat nyata.
Saya sendiri lebih sepakat dengan pengembangan makna Hifz yang
dilakukan oleh Jasser Auda. Menurutnya terma Hifz tidak hanya berhenti
pada makna “menjaga” atau “memelihara” tapi bisa bermakna “proteksi”,
“prevensi”, “advokasi” dan “progresif ”. Saya kira ini upaya cerdas untuk
menghindarkan dari radikaslisme pemikiran keagamaan.
Saya sepakat dengan Farid Esack, bahwa penafsiran yang bersifat
universal dan bebas nilai hanyalah NONSENSE. Penafsiran justru
akan berhasil jika melibatkan nilai-nilai partikular di mana sang penafsir
hidup. Dalam konteks Indonesia, Memahami al-Qur’an hendaknya
melibatkan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Berbicara nilai, kita sudah
punya pegangan, dasar dan pandangan hidup Bangsa Indonesia dalam diri
Pancasila. Pancasila merupakan ekstrak dari nilai-nilai dan budaya bangsa.
Al-Qur’an & al-Hadits sebagai sumber utama harus dikonteks-
aktualkan dengan melibatkan nilai dari sila pancasila; Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Kelima kata kunci dari masing-masing sila di atas merupakan
konteks dan tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia. Inilah yang
dimaksud mendialogkan teks (nash) dan konteks (Bangsa Indonesia).
Salah satu contoh Penafsiran Berparadigma Maqashidi dan Pancasila
dalam upaya Deradikalisasi yaitu Q.S. Ali Imran: 64 “Katakanlah: Hai
Ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada kalimatun sawa ....”. Jika merujuk
pada makna leksikal bahasa Arab. Kata sawa’un bisa berarti hasuna
(memperbaiki), ashlaha (mendamaikan), dan waffaqa (merukunkan).
Kalimatun Sawa pada konteks Indonesia dapat dipahami dengan
paradigma Pancasila dan Maqashid Syariah. Dalam hal ini berarti kalimatun
sawa adl sama-sama menjungjung tinggi nilai ketuhanan dengan mengakui bahwa
semua pemeluk agama, walaupun dengan baju agama yang berbeda memiliki visi
yang sama yaitu ketuhanan, bersama-sama memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan, menjaga perstuan NKRI, memperjuangkan kesejahteraan
rakyat baik sosial maupun ekonomi dan bersama-sama memperbaiki kualitas
pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan sebagainya, sebagai ruang untuk
melaksanakan nilai keadilan konteks keindonesiaan. Inilah yang disebut
pemahaman progresif (hizf al-Din) dalam Maqashid Syariah.

Anda mungkin juga menyukai