Anda di halaman 1dari 32

Referensi Makalah Jurnal

Kamis, 26 Maret 2015

DASAR DASAR ICU


Pendahuluan
Keadaan gawat biasanya menyangkut gangguan 4 sistim organ yaitu pernafasan sirkulasi,
neurologis dan sistim ginjal / lektrolit. Padamulannya mungkin hanya mengenai 1 fungsi
organ akan tetapi bila penanganan kurang baik dapat mengenai organ — organ yang lain,
misalnya pasien dengan gagal ginjal jarung karena miokard infark dapat pula mengakibatkan
terjadinya gagal nafas dan gagal ginjal, dem ikian pula pasien dengan primer gagal nafas
dapat pula mengalami gagal jantung dan gagal ginjal.
Penanganan pasien dengan memperhatikan hubungan yang erat diantara fungsifungsi organ
tubuh merupakan dasar penanganan pasien di ICU.
Dalam sejarahnya ICU berkembang dari adanya unit-unit yang terpisah misalnya unit paru-
paru untuk pemakaian ventilator, unit ginjal untuk dialisa, unit koroner untuk perawatan
pasien dengan penyakit janrung koroner. Karena penagnanan pasien gawat lebih kurang sama
apapun penyakitnya maka pasien-pasien gawat tersebut lebih efektif bila dirawat disuatu
ruang tertentu yang disebut ICU um um (general ICU).
Dari segi ekonomi dan penyediaan tenaga dan peralatan, perawatan pasien gawat yang
dilakukan di ICU lebih menguntungkan.

Pengertian ICU
Icu adalah suatu unit didalam rumah sakit yang mengetrapkan terapi yang aggresif, dengan
menggunakan alat-alat canggih baik invasive atau noninvasive, pada pasien — pasien yang
gawat baik actual atau potential (pasien resiko tinggi), diharapkan pasien akan memperoleh
manfaat yang besar bila dirawat di ICU, oleh karena itu pasien dengan penyakit terminal atau
tak dapat disebuhkan kurang mendapatkan manfaat maksimal bila dirawat di ICU. Prinsip
kerja di ICU adalah instant diagnose dan instant terapi, karena itu hasil pengamatan adanay
perubahan fisiologis atau hasil pemeriksaan baik fisik, laboratorium atau diagnostik lain yang
menunjang keberhasilan penanganan pasien di ICU.
Pasien gawat adalah pasien yang karena penyakitnya baik karena trauma, pembedahan atau
medik dapat mengancam jiwanya, bila tidak segera dilakukan pertolongan berakibat
kematian, kecacatan.
Sesuai dengan macam perawatan yang dapat dilakukan maka ICU terbagi menjadi 3 level
yaitu level I, II dan III
Level I
Disebut pula high dependency unit, di unit ini hanya dilakukan monitoring / observasi fungsi
vital, trmasuk monitoring EKG. Fasilitas untuk melakukan resusitasi juga tersedia di unit
kalau paien memerlukan respirator dimungkinkan pula tetapi hanya dalam jangka waktu < 24
jam.
Level II
Perawatan respirator dalam waktu lebih lama, terdapat dokter jaga dalam 24 jam, serta setiap
waktu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, radiology.
Level III
Biasanya terletak dirumah sakit besar (tipe A), melakukan semua tindakan berkaitan dengan
perawatan intensif pada semua gagal organ. Di unit ini terdapat seorang intensive atau
anestetist yang bekerja sama dengansemuadokter dari disipl in lain, yang dapat saling
berhubungan dalam 24 jam. Perawat yang bekerja di unit ini hams berpendidikan khusus
(critical care nurse).
Sistim pelayanan di ICU dapat bersifat closed system, yaitu adanya l tim dokter yang
melakukan perawat pasien, dokter-dokter lain bisa memasukkan pasien ke ICU setelah
mendapat persetujuan dari tim dokter tersebut, dan semua kebijakan perawat pasien
diserahkan pada tanggung jawab tim dokter di ICU. Opened system, yaitusistim yang
memperkenankan setiap dokter merawat pasiennya di ICU dengan kebijakan perawatan dari
masing — masing dokter. Sedangkan sistim yang lebih kompromitas adalah sistim
menagement — in —concultation yaitu adanya dokter intensivist atau dokter anestesi yang
bertindak sebagai koodinator dalam pelayanan pasien disini faktor komunikasi, informasi dan
edukasi sangat penting demi kebaikan pelayanan pada pasien. Harus dihindari terjadinya
"single organ doctor" yang dapat menimbulkan konflik dalam pemberian terapi.

Design / Perencaaan ICU


Pada dasarnya suatu ICU harus mempunyai area atau ruang untuk perawatan pasien, ruang
penyimpanan barang / alat / obat, ruang laboratorium dan ruang untuk tunggu atau
komunikasi dengan keluarga atau famili penderita.
Area perawatan pasien
Minimal setiap pasien memerlukan area seluas 18,5 m2, setiap area dilengkapi dengan
sumber I istrik yang cukup, 2-3 sumber olcsigen, 2 sumber compressed air, 2 sumber suction,
dapat menempel didinding atau menggantung dari atap, atau pada kolom dari lantai.
Disetiap tempat tidur dilengkapi dengan monitor minimal 4 channel; EKG-Nadi, Sp02,
pengukuran tekanan darah noninvasive, dapat pula ditambahkan pengukuran tekanan darah
invasive (direct arterial blood pressure monitoring), cardiac output monitor, atau end tidal
CO2 monitor, serta monitoring suhu.
Sebaiknya di lengkapi dengan ruang isolasi untuk pasien — paien yang menderita sepsis.
Ruang ini memerlukan perlakuan khusus.
Disekitar tempat tidur harus cukup ruangan untuk menempatkan barang / alat misalnya
respirator, tiang infus, syringe pump, infusion pump, meja atau trolley tempat letnbar
observasi.
Ruangan ICU harus diberi jendela kaca yang ben ing supaya pasien tidak merasa diisolasi
atau mengalami disorientasi waktu, yang. dapat meningkatkan stress. Di area nurse station,
sebaiknya bisa mengamati semua pasien, dilengkapi dengan rak penyimpanan obat, kulkas
baik untuk obat atau specimen, telepon serta formulir—formulir yang digunakan.
Tempat cuci tangan harus disediakan dalam jumlah yang cukup, sebaiknya berdekatan
dengan tempat tidur pasien. Alat viewer untuk membaca foto juga merupakan keharusan di
suatu ICU.

Kriteria Masuk dan Keluar ICU


Indikasi masuk ICU biasanyadigolongkan menjadi prioritas tinggi dan prioritas rendah.
Prioritas tinggi adalah pasien — pasien gawat, fungsi vital tidak stabil, penyakitnya potensial
bersifat reversible, yang memerlukan perawatan intensif, pemasangan ventilator, pemberian
obat vasoaktifdan observasi fungsi vital yang ketat. Bila prognosisnya tidak dapat tidak dapat
dipastikan, maka dapat dicoba dirawat di ICU dengan catatan "risk" yang memerlukan
perawat intensif atau pasien dengan keadaan medik atau penyakitnya bersifat irreversible.
Termasuk golongan pasien ini adalah pasien dengan Ca terminal, atau penyakit kronis yang
lanjut. Kadang — kadang atas pertimbangan social paien yang sebenarnya tidak memerlukan
perawatan ICU diputuskan untuk dirawat ICU, asalkan keluarga diterangkan tentang masalah
yang akan dihadapi khusunya tentang biayanya.
Criteria masuk dan keluar dapat ditentukan oleh masing — masing ICU sesuai dengan tipe
jumlah tempat tidur. Penyususnan criteria tersebut berdasarkan adanya gagal organ baik
pernafasan, sirkulasi, syaraf pusat atau gagal ginjal / elektrol it.

Lembar Pencatatan ICU


Pasien yang dirawat di ICU menunjukkan adanya perubahan patofisiologi yang kompleks,
sehingga pemeriksaan fisik dan pengamatan data—data perubahan fisiologis dan
laboratorium merupakan informasi yang sangat penring dalam menentukan diagnose dan
trapi. Lembar pencacatan di ICU harus dapat mencakup semua perubahan fisiologis dan
penanganannya. Prinsip dari lembar pencacatan adalah clear, complete dan lebar yang
kendalannya adalah cara penulisan dan cara penyimpannya.
Parameter yang harus ada di lem bar pencatatan.
Tanda / fungsi vital; tekanan darah, nadi, suhu, respirasi.
Respirasi ; Sp02, tidal volume, minute ventilation, airway pressure, AaDO2, compliance.
Hemodinamik ; CVP, arterial pressure, cardiac output, tekanan A, pulmonal is Setting
ventilator : mode, PEEP, Fo02.
5. Status neurologis : GCS, ukuran pupil, reaksi cahaya. Balans cairan input dan output.
Obat — obat yang diberikan
Data — data laboratorium.

Etika Perawatan ICU


Masalah etik sering muncul di ICU, misalnya pasien dirawat dengan respirator, ternyata
diketahui menderita hepatoma stadium lanjut, apakah respirator tersebut akan dilepas, lebih
— lebih bila respirator tersebut hanay satu — satunya sdang ada pasien lain yang mutlak
memerlukan bantuan nafas dengan respirator. Problem lain misalnya pasien dengan penyakit
AIDS kemudian mengalami cardiac arrest apakah pasien harus dilakukan CPR ?. Seringkali
pula tidak ada jawaban yang bisa mernuaskan
Walaupun pasien atau keluarga menghendaki dilakukan tindakan maksimal dokter harus
mempertimbangkan antara manfaat di lakukannya terapi dengan kalau tidak dilakukan, dalam
arti tindakan tersebut akan sia — sia.
Beberapa alternatif pengobatan yang diberikan pada pasien ICU sehubungan dengan masalah
etik :
1.      Do anything — full support, meliputi CPR, obat vasopressor, respirator hemodial isa dan
pembedahan.
2.      Do something — full support kecuali CPR, obat vasopressor masih diberikan kalau perlu
parenteral nutrisi.
3.      Do nothing— mengupayakan agar pasien merasa nyaman, tak mengalami nyeri, tergantung
pada kebijakan para dokter dan keluarga seringkali obat antibiotika dan obat—obat lain tidak
diberikan kecuali vitamin, cairan infus hanyadiberikan larutan standard maintenance saja.

Bila mengalami kesulitan dalam memutuskan masalah yang berkaitan dengan etik, maka
sebaiknya konsultasi dengan komisi etik dimasing— masing rumah sakit.

 BERANDA
 DAFTAR ISI
 INFO KONTAK
 PROFIL BLOG
 HOME
 BUSINESS
o Internet
o Market
o Stock
 DOWNLOADS
o Dvd
o Games
o Software
 Office
 PARENT CATEGORY
o Child Category 1
 Sub Child Category 1
 Sub Child Category 2
 Sub Child Category 3
o Child Category 2
o Child Category 3
o Child Category 4
 FEATURED
 HEALTH
o Childcare
o Doctors
 UNCATEGORIZED

Konsep Dasar ICU (Intensive Care Unit)


Kamis, Oktober 27, 2011  Manajemen  No comments

ICU (Intensive Care Unit)

Perawatan intensif merupakan pelayanan keperawatan yang saat ini sangat perlu
untuk di kembangkan di Indonesia yang bertujuan memberikan asuhan bagi pasien
dengan penyakit berat yang potensial reversibel, memberikan asuhan pada pasien yang
memerlukan pbservasi ketat dengan atau tanpa pengobatan yang tidak dapat diberikan
diruang perawatan umum memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien dengan
potensial atau adanya kerusakan organ umumnya paru mengurangi kesakitan dan
kematian yang dapat dihindari pada pasien-pasien dengan penyakit kritis  (Adam &
Osbone, 1997)
1. Pengertian

Adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam Rumah Sakit yang memiliki staf
khusus, peralatan khusus ditujukan untuk menanggulangi pasien gawat karena
penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain. 

2. Staf Khusus 

adalah dokter dan perawat yang terlatih, berpengalaman dalam Intensive


Care (Perawatan dan terapi Intensif) dan yang mampu memberikan pelayanan 24 jam. 

3. Peralatan Khusus ICU

adalah alat–alat pemantauan, alat untuk menopang fungsi vital, alat untuk prosedur
diagnostic dan alat Emergency lainnya

4. Tujuan Pengelolaan di ICU 

Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kematian atau cacat 

Mencegah terjadinya penyulit

Menerima rujukan dari level yang lebih rendah & melakukan rujukan ke level yang
lebih tinggi

5. Macam – macam ICU 


Menurut fungsi ICU dibagi menjadi beberapa unsur yaitu :

a. ICU Khusus 
Dimana dirawat pasien payah dan akut dari satu jenis penyakit 
Contoh :   

- ICCU (Intensive Coronary Care Unit) 


  yaitu pasien dirawat dengan gangguan pembuluh darah 

  Coroner.

- Respiratory Unit 
  Pasien dirawat yang mengalami gangguan pernafasan 
- Renal Unit

  dimana pasien yag dirawat dg.gg. ginjal. 


 

b. ICU Umum
Dimana dirawat pasien yang sakit payah akut di semua bagian RS menurut umur ICU
anak & neonatus dipisahkan dengan ICU dewasa 
 

6. Klasifikasi Pelayanan ICU

a. ICU Primer

b. ICU Sekunder

c. ICU Tersier

a. ICU Primer

Mampu  memberikan  pengelolaan  resusitasi  segera, tunjangan,kardio respirasi


jangka pendek 

Memantau dan mencegah penyulit pasien dan bedah yang berisiko

Ventilasi mekanik dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam 

Ruangan dekat dengan kamar bedah

Kebijakan / criteria pasien masuk, keluar dan rujukan

Kepala : dokter spesialis anestesi

Dokter jaga 24 jam, mampu RJP 

 Konsultan dapat dihubungi dan dipanggil setiap saat

Jumlah perawat cukup dan sebagian besar terlatih

Pemeriksaan Laborat : Hb, Hct, Elektrolit,GD, Trombosit 

Kemudahan Rontgen dan Fisioterapi

b. ICU Sekunder

 Memberikan pelayanan ICU umum yang mampu mendukung kedokteran umum,


bedah, trauma, bedah syaraf, vaskuler dsb. 

Tunjangan ventilasi mekanik lebih lama. 

Ruangan khusus dekat kamar bedah 

Kebijakan dan kriteria pasien masuk, keluar dan rujukan 

Kepala intensivis, bila tidak ada SpAn.


Dokter jaga 24 jam mampu RJP ( A,B,C,D,E,F ) 

Ratio pasien : perawat = 1 : 1 untuk pasien dengan ventilator,RT dan 2 : 1 untuk pasien
lainnya. 

50% perawat bersertifikat ICU dan pengalaman kerja minimal 3 tahun di ICU

Mampu melakukan pemantauan invasife 

Lab, Ro, fisioterapi selama 24 jam 

c. ICU Tersier 

Memberikan pelayanan ICU tertinggi termasuk dukungan hidup multi sistem


( ventilasi mekanik , kardiovaskuler, renal ) dalam jangka waktu tak terbatas

Ruangan khusus

Kebijakan/ indikasi masuk, keluar dan rujukan

Kepala : intensivis

Dokter jaga 24 jam, mampu RJP (A,B,C D,E,F )

Ratio pasien : perawat = 1:1 untuk pasien dengan ventilator, RT dan 2 : 1 untuk pasien
lainnya.

75% perawat bersertifikat ICU atau minimal pengalaman kerja di ICU 3 tahun

Mampu melakukan pemantauan / terapi non invasive maupun invasive.

Laborat, Ro, Fisioterapi selama 24 jam

Mempunyai pendidikan medik dan perawat

Memiliki prosedur pelaporan resmi dan pengkajian Memiliki staf administrasi, rekam
medik dan tenaga lain 

7. Syarat - syarat Ruang ICU

Letaknya di sentral RS dan dekat dengan kamar bedah serta kamar pulih sadar
( Recovery Room)

Suhu ruangan diusahakan 22-25 C, nyaman , energi tidak banyak keluar.

Ruangan tertutup & tidak terkontaminasi dari luar

Merupakan ruangan aseptic & ruangan antiseptic dengan dibatasi kaca- kaca.


Kapasitas tempat tidur dilengkapi alat-alat khusus

Tempat tidur harus yang beroda dan dapat diubah dengan segala posisi.

Petugas maupun pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki ruangan isolasi.

Tempat dokter & perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah untuk
mengobservasi pasien

8. Ketenagaan
a. Tenaga medis 
b. Tenaga perawat yang terlatih 
c. Tenaga Laboratorium 
d. Tenaga non perawat : pembantu perawat , cleaning servis 
e. Teknisi 
  
9. Sarana & Prasarana yang harus ada di ICU

 Lokasi : satu komplek dengan kamar bedah & Recovery Room

RS dengan jumlah pasien lebih 100 orang sedangkan untuk R.ICU antara 1-2 % dari
jumlah pasien secara keseluruhan.

Bangunan : terisolasi dilengkapi dengan : pasienmonitor, alat komunikasi, ventilator,


AC, pipaair, exhousefan untuk mengeluarkan udara, lantai mudah dibersihkan, keras
dan rata, tempat cuci tangan  yang dapat dibuka dengan siku & tangan,   v pengering
setelah cuci tangan

R.Dokter & R. Perawat

R.Tempat buang kotoran

R. tempat penyimpanan barang & obat 

R. tunggu keluarga pasien

R. pencucian alat   Dapur 

Pengering setelah cuci tangan    R.Dokter & R. Perawat 

R.Tempat buang kotoran 

R. tempat penyimpanan barang & obat

Sumber air Sumber listrik cadangan/ generator, emergency lamp Sumber O2 sentral
Suction sentral Almari alat tenun & obat, instrument dan alat kesehatanAlmari
pendingin (kulkas)Laborat kecil
Alat –alat penunjang a.l.: Ventilator, Nabulaizer, Jacksion Reese, Monitor ECG,
tensimeter mobile, Resusitato, Defibrilator, Termometer electric dan manual,Infus
pump, Syring pump,O2 transport, CVP, Standart infuse, Trolly Emergency,Papan
resusitasi,Matras anti decubitus, ICU kid, Alat SPO2, Suction continous pump dll. 

9. Indikasi Masuk ICU

a. Prioritas 1 

Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang memerlukan terapi intensif dan
agresif.

Gangguan atau gagal nafas akut

Gangguan atau gagal sirkulasi

Gangguan atau gagal susunan syaraf

Gangguan atau gagal ginjal 

b. Prioritas 2 

•Pementauan atau observasi intensif secara ekslusif atas keadaan-keadaan yang dapat
menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital

Misal :

Observasi intensif pasca bedah operasi : post    trepanasi, post open heart, post
laparatomy dengan komplikasi,dll.

Observasi intensif pasca henti jantung dalam keadaan stabil

Observasi pada pasca bedah dengan penyakit jantung.

c. Prioritas 3   

Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang mempunyai harapan kecil
untuk penyembuhan (prognosa jelek). Pasien kelompok ini mugkin memerlukan terapi
intensif untuk mengatasi penyakit akutnya, tetapi tidak dilakukan tindakan invasife
Intubasi atau Resusitasi Kardio Pulmoner

NB : Px. prioritas 1 harus didahulukan dari pada prioritas 2 dan 3

  

10. Indikasi Keluar ICU 

Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil.  

Terapi dan perawatan intensif tidak memberi hasil pada pasien. 


Dan pada saat itu pasien tidak menggunakan ventilator.Pasien mengalami mati batang
otak. 

Pasien mengalami stadium akhir (ARDS stadium akhir)  

Pasien/keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (pl.paksa) 

Pasien/keluarga memerlukan terapi yang lebih gawat mau masuk ICU dan tempat
penuh. 

 Prioritas pasien keluar dari ICU

Prioritas I dipindah apabila pasien tidak membutuhkan perawatan intensif lagi, terapi
mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk sedikit kemungkinan bila
perawatan intensif dilanjutkan misalnya : pasien yang mengalami tiga atau lebih gagal
sistem organ yang tidak berespon terhadap pengelolaan agresif.

Prioritas II pasien dipindah apabila hasil pemantuan intensif menunjukkan bahwa


perawatanintensif tidak dibuthkan dan pemantauan intensif selanjutnya tidak
diperlukan lagi

Prioritas III tidak ada lagi kebutuhan untuk terapi intensive jika diketahui
kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil dan keuntungan terapi hanya sedikit
manfaatnya misal : pasien dengan penyakit lanjut penyakit paru kronis, liver terminal,
metastase carsinoma

11. Tugas Perawat ICU

Identifikasi masalah

Observasi 24 jam

Kardio vaskuler : peredaran darah, nadi, EKG, perfusi periver, CVP

Respirasi : menghitung pernafasan , setting ventilator, menginterprestasikan hasil


BGA, keluhan dan pemeriksaan fisik dan foto thorax.

Ginjal : jumlah urine tiap jam, jumlah urine selama 24 jam

Pencernaan : pemeriksaan fisik, cairan lambung, intake oral, muntah , diare 

Tanda infeksi : peningkatan suhu tubuh/penurunan (hipotermi), pemeriksaan kultuur,


berapa lama antibiotic diberikan  

Nutrisi klien : enteral, parenteral

Mencatat hasil lab yang abnormal.

Posisi ETT dikontrol setiap saat dan pengawasan secara kontinyu seluruh proses
perawatan
Menghitung intake / output (balance cairan) 

- Selain hal itu peran perawat juga : 

ØCaring Role 
ØTherapeutic Role 

- Dalam penanganan pasien gawat diperlukan 3 kesiapan :  


ØSiap Mental 
ØSiap pengetahuan dan ketrampilan 
ØSiap alat dan obat 

- Urutan prioritas penanganan kegawatan didasarkan pada 6B yaitu :

B-1 Breath  - Sistem pernafasan 

B-2 Bleed   - Sistem peredaran darah

B-3 Brain    - Sistem syaraf pusat 

B-4 Blader  - Sistem urogenital 

B-5 Bowel  -Sistem pencernaan 

B-6 Bone    - Sistem tulang dan persendian

12. Pasien Kritis

Fisiologis tidak stabil dan memerlukan monitoring serta terapi intensif. 

- Ruang Lingkup Keperawatan Intensive : 

•a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit akut yang mengancam nyawa dan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari

•b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekalipun melakukan
pelaksanaan spesifik pemenuhan kebutuhan dasar

•c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh :   

Penyakit   

Kondisi pasien yang memburuk karena pengobatan atau terapi 

Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang tergantung pada fungsi alat / mesin
dan orang lain
13. Standar minimum pelayanan ICU : 

a. Resusitasi jantung paru. 


b. Pengelolaan jalan nafas 
c. Terapi oksigen 
d. Pemantauan EKG, pulse Oksimetri kontinyu 
e. Pemberian nutrisi enteral dan parental 
f. Pemeriksaan Laboratorium dengan cepat 
g. Pelaksanaan terapi tertitrasi 
h. Memberi tunjangan fungsi Vital selama transportasi 
i. Melakukan fisioterapi. 

Pengertian Nyeri

Ilustrasi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan
perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih
banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2001).

Intensitas nyeri gambaran seberapa parah nyeri ysng dirasakan individu. Pengukuran intensitas nyeri
sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling
mungkin adalah menggunkan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2006).

Klasifikasi Nyeri
Menurut Smeltzer (2001), nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Nyeri akut 
Nyeri akut biasanya awitannya tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut
mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Hal ini menarik perhatian pada
kenyataan bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi
serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada
penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadi penyembuhan; nyeri ini
umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan definisi,
nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan.

b. Nyeri kronik 
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu.
Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dengan tetap dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi signal yang
sangat penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya menjadi
masalah dengan sendirinya.

Mekanisme Neurofisiologik nyeri


Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem
yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem noniseptik. Sensivitas dari
komponen sistem noniseptik dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu.
Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang
sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain. Lebih
jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lain.
Sebagai contoh, nyeri akibat artritis kronis dan nyeri pascaoperatif sering terasa lebih parah pada
malam hari (Smeltzer, 2002).

Salah satu neuromodulator nyeri adalah endorfin (morfin endogen), merupakan substansi sejenis
morfin yang disuplai oleh tubuh yang terdapat pada otak, spinal dan traktus gastrointestinal yang
memberi efek analgesik, pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis
antara nyeri perifer dan neuron yang menuju ke otak tempat seharusnya untuk substansi nyeri, pada
saat tersebut endorfin akan memblokir lepasnya substansi nyeri tersebut (Tamsuri, 2007).

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan


sensivitas Nyeri
Menurut Smeltzer, (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah :

a. Pengalaman masa lalu 


Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih
sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang hanya mengalami
sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih
berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa
yang menyakitkan yang akan diakibatkan.

b. Ansietas 
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi
nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah
sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan suatu sensasi. Paice (1991) melaporkan
suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik yang diyanikini mengendalikan emosi
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni
memperburuk atau menghilangkan nyeri.

c. Budaya 
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari
apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai
kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat
dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri (Potter,
2005).

d. Usia 
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia.
Perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-
nak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan
dan mengekspresikan nyeri.

e. Efek Plasebo 
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk tablet, kapsul, cairan injeksi dan
sebagainya. Plasebo umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan atau air biasa. Karena
plasebo tidak memiliki efek farmakologis, obat ini hanya memberikan efek dikeluarkannya produk
ilmiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden, sehingga menimbulkan efek penurunan
nyeri (Tamsuri, 2006).

Pengukuran Nyeri
Pengukuran nyeri dapat dilihat dari tanda-tanda karakteristik yang ditimbulkan, yaitu:

1. Nyeri ringan umumnya memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi 


2. Nyeri sedang atau moderat memiliki karakteristik : Peningkatan frekuensi pernafasan, Peningkatan
tekanan darah, Peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil. 
3. Nyeri berat memiliki karakteristik : Muka pucat, Otot mengeras, Penurunan frekuensi nafas dan
tekanan darah, Kelelahan dan keletihan.
Daftar Pustaka
 Potter, Patricia A. 2005. Buku ajar Fundamental : Konsep, proses dan praktek. Edisi 4 . Jakarta.
EGC.
 Smeltzer, Suzanne C . 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol 2.
Jakarta : Buku kedokteran
 Smeltzer, Suzanne C . 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol 2.
Jakarta : Buku kedokteran
 Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Konsep Nyeri. Nyeri adalah perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri ini hanya dapat
dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain, serta mencakup pola fikir,
aktifitas seseorang secara langsung, dan juga perubahan hidup seseorang. Nyeri merupakan tanda dan
gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan secara fisiologikal. Demikian
sedikit pengertian dan konsep nyeri. Untuk kali ini Blog Keperawatan akan mencoba berbagi sedikit
mengenai konsep nyeri ini dan semoga bisa memberikan manfaat.

Ada juga pengertian nyeri dari beberapa ahli diantaranya yaitu : 

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Brunner & Suddarth, 2002)

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanisfestasikan sebagai penderitaan


yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka (Kozier
dan Erb, 1983)

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial menyebabkan kerusakan
jaringan (Perry & Potter, 2005)
Selanjutnya kita melangkah kepada penyebab dari nyeri. Penyebab nyeri diantaranya yaitu :
1. Trauma. Trauma ini juga terbagi menjadi beberapa macam. Penyebab trauma ini terbagi menjadi :

1. Mekanik. Rasa nyeri yang diakibatkan oleh mekanik ini timbul akibat ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan. Contoh dari nyeri akibat trauma mekanik ini adalah akibat adanya benturan,
gesekan, luka dan lain-lain.
2. Thermis. Nyeri karena hal ini timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas,
dingin, misal karena api dan air.
3. Khemis. Nyeri yang ditimbulkan karena adanya kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau pun
basa kuat.
4. Elektrik. Nyeri yang ditimbulkan karena adanya pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa
nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.

2. Neoplasma. Neoplasma ini juga terbagi menjadi dua yaitu :

 Neoplasma Jinak.
 Neoplasma Ganas.

3. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah. Hal ini dapat dicontohkan pada pasien
dengan infark miokard akut atau pun angina pektoris yang dirasakan adalah adanya nyeri dada yang
khas.
4. Peradangan. Nyeri yang diakibatkan karena adanya kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Contohnya adalah nyeri karena abses.
5. Trauma psikologis.

Setelah kita mengetahui akan penyebab dari nyeri pada konsep nyeri ini maka selanjutnya kita
melangkah kepada klasifikasi nyeri.
Klasifikasi nyeri dibedakan menjadi : 
1. Menurut Tempat Nyeri.

1. Periferal Pain. Periferal pain ini terbagi menjadi 3 yaitu nyeri permukaan (superfisial pain), nyeri dalam
(deep pain), nyeri alihan (reffered pain). Nyeri alihan ini maksudnya adalah nyeri yang dirasakan pada
area yang bukan merupakan sumber nyerinya.
2. Central Pain. Nyeri ini terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang otak.
3. Psychogenic Pain. Nyeri ini dirasakan tanpa adanya penyebab organik, tetapi akibat dari trauma
psikologis.
4. Phantom Pain. Phantom Pain ini merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak ada lagi,
contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari stimulasi dendrit yang berat dibandingkan
dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang
telah diangkat.
5. Radiating Pain. Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.

2. Menurut Sifat Nyeri.

 Insidentil. Yaitu sifat nyeri yang timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang.
 Steady. Yaitu sifat nyeri yang timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama.
 Paroxysmal. Yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan biasanya menetap
selama 10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul kembali.
 Intractable Pain. Yaitu sifat nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi. Contoh pada arthritis,
pemberian analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat
mengakibatkan kecanduan.

3. Menurut Berat Ringannya Nyeri.

1. Nyeri Ringan yaitu nyeri yang berada dalam intensitas yang rendah.
2. Nyeri Sedang yaitu nyeri yang menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan juga reaksi psikologis.
3. Nyeri Berat yaitu nyeri yang berada dalam intensitas yang tinggi.

4. Menurut Waktu Serangan.

1. Nyeri Akut. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur. Klien yang mengalami
nyeri akut pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala antara lain : respirasi meningkat, Denyut
jantung dan Tekanan darah meningkat, dan pallor.
2. Nyeri Kronis. Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama dan pada
umumnya penderita sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai dirasakan.

Selanjutnya melangkah pada patofisiologi nyeri. 


Patofisiologi nyeri ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung-ujung saraf bebas yang berespon
terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai
bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif, reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner
juga mengirim informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yangmemperparah nyeri antara
lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-
masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri cepat (fast pain)
disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh
serat C lambat.

Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P sewaktu bersinaps di korda spinalis.


Setelah di korda spinalis, sebagian besar serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari
segmen. Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen di korda spinalis
sebelum bersinaps. Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai rangsangan
nyeri diikirim oleh satu dari dua jaras ke otak- traktus neospinotalamikus atau traktus
paleospinotalamikus (Corwin, 2000 : 225).
Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di salurkan ke otak melalui serat-
serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut berakhir di reticular activating system dan
menyiagakan individu terhadap adanya nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari
thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatic tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti
(Corwin, 2000 : 225).

Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh serat A delta, disalurkan
ke otak melalui serat-serat traktus paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular
dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut daerah grisea periakuaduktus. Serat- serat
paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan hipotalamus
dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus paleospinotalamik memiliki lokalisasi yang difus
dan berperan menyebabkan distress emosi yang berkaitan dengan nyeri (Corwin, 2000 : 225).

Demikian tadi sahabat sedikit mengenai konsep nyeri dan dengan kita mengenal akan penyebab
nyeridan juga konsep nyeri ini akan bisa memberikan manfaat.

KONSEP NYERI
Tinjauan Pustaka Lainnya dapat di Download
dihttp://www.ziddu.com/download/9525806/NYERI.doc.html

Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui
bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan


emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada


kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya
mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah
yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh
darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak
sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat


menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri,
2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapatmekanoreseptor, neuron
beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskanneurotransmiter penghambat. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien
dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat
kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan
endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti
nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal


6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus


f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial,
Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap
nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan
keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur,
bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi
mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua
fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang
dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara
satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak
akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda
merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan
nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi
dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali
pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila
klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan
nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat
untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan
kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala
sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri
berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak.
Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.
Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal
jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon
nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita
boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya
seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana
mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided
imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama
timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang
maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat
untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran
intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh
terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut.
Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi
jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala
pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa
jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus,
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.
Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi
setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi
banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka
deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji
tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri
mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.

Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.

Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-
1533.

http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html

MAKALAH KONSEP NYERI


November 1, 2012 · by makalahkeperawatan · Bookmark the permalink. ·

KONSEP NYERI :
Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai
reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan
ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi
dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan
cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri
biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal
dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptordapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai
saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri
dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan.
Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien
dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, sepertiendorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh.Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi,
konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga
faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang
perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung
selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk
merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)


Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini
sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah
mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari
stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan
individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan
perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena
nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri
berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu
memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa
kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri
yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih
dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka
tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990),
perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan
menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat
subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta
untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat
dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan
jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm
(AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif
bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami
penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

Penilaian Nyeri Berdasarkan PQRST

1. P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri…? Apakah karena terkena ruda paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
2. Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa sering terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan /
tertimpa benda berat, diris-iris, dll.

3. R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah juga menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?

4. S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS ( Baca : Cara Mengukur GCS (Glasgow’s Coma Scale) ) untuk
gangguan kesadaran, skala nyeri / ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan

5. T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa sering keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi…?
Apakah terjadi secara mendadak atau bertahap..? Acut atau Kronis..?

Sumber
https://makalahkeperawatan.wordpress.com/2012/11/01/makalah-konsep-nyeri/
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.

Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.

Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

Anda mungkin juga menyukai