Anda di halaman 1dari 55

KONSEP DASAR INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

A. Pengertian ICU

ICU (Intensive Care Unite) adalah ruang rawat di rumah sakit dengan staf

dan perlengkapan khusus ditunjukan untuk mengelola pasien dengan penyakit,

trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa akibat kegagalan disfungsi satu organ

atau lebih akibat penyakit, bencan atau komplikasi yang masih ada harapan hidup.

Definisi Intensive Care Unit (ICU) Intensive Care Unit (ICU) atau Unit

Perawatan Intensif (UPI) adalah tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit

yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi

penyakit lain. Intensive Care Unit (ICU) merupakan cabang ilmu kedokteran yang

memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasien-pasien

sakit kritis yang kerap membutuhkan monitoring intensif. Pasien yang

membutuhkan perawatan intensif sering memerlukan support terhadap instabilitas

hemodinamik (hipotensi), airway atau respiratory compromise dan atau gagal ginjal,

kadang ketiga-tiganya. Perawatan intensif biasanya hanya disediakan untuk pasien-

pasien dengan kondisi yang potensial reversibel atau mereka yang memiliki peluang

baik untuk bertahan hidup.

Dlam mengelola ICU diperlukan dokter ICU yang memahami teknologi

kedokteran, fisiologi, farmakologi dan kedokteran konvensional dengan kolaborasi

erat bersama perawat yang terdidik dan terlatih untuk critical care.

Kebutuhan pelayanan ICU berhubungan dengan demografi, ekonomi dan

teknologi, tetapi dapat juga berasal dari aktifitas dokter (missal bedah syaraf, bedah

jantung dll). Biaya ICU mencapai tiga kali dari bed bangsal akut dalam perharinya.
Karena penyakit kritis begitu dekat dengan kematian, outcome intervensi

yang diberikan sangat sulit diprediksi. Banyak pasien yang akhirnya tetap

meninggal di ICU.

B. Klasifikasi Intensive Care Unit (ICU)

1. ICU Primer (standar minimal)

a. Merupakan Intensive Care Unit (ICU) yang mampu melakukan resusitasi

dan ventilasi bantu < 24 jam serta pemantauan jantung. ICU ini

berkedudukan di rumah sakit tipe C atau B1.

b. Memiliki kriteria pasien masuk, keluar & rujukan.

c. Memiliki dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala

d. Mempunyai dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi

jantung paru (A-B-C-D-E-F).

e. Konsulen yang membantu harus bisa dihubungi dan dipanggil setiap saat.

f. Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar terlatih.

g. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratrium tertentu (Hb, Ht,

elektrolit, gula darah & trombosit), sinar-X, fisioterapi.

2. ICU Sekunder (menengah)

a. Merupakan Intensive Care Unit (ICU) yang mampu melakukan ventilasi

bantu lebih lama dari ICU primer serta mampu melakukan bantuan hidup

lain, tetapi tidak terlalu kompleks. ICU ini berkedudukan di rumah sakit tipe

B2.

b. Seperti persyaratan ICU PRIMER

c. Ada konsultan intensiv care

d. Mampu merawat dengan alat bantu nafas (ABN).


e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan 1:1 untuk pasien

dg ABN, CRRT (continuous renal replacement therapy) dan 2:1 untuk

lainnya.

f. > 50% tenaga perawat bersertifikat perawat ICU (minimal pengalaman kerja

di ICU > 3 th).

g. Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi.

h. Laboratorium dan penunjang bekerja 24 jam

3. ICU Tersier

a. Merupakan Intensive Care Unit (ICU) yang mampu melakukan semua aspek

perawatan atau terapi intensif. ICU ini berkedudukan di rumah sakit tipe A

b. Memiliki dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu, dapat dihubungi dan

segera datang bila diperlukan.

c. Dikelola oleh intensivist.

d. Kualitas tenaga perawat : > 75% bersertifikat perawat ICU.

e. Mampu melakukan pemantauan invasif.

f. Memiliki minimal satu tenaga pendidik untuk medis ataupun para medis.

g. Memiliki prosedur pelaporan dan pengkajian.

h. Memiliki staf tambahan lain (tenaga administratif untuk kepentingan ilmiah /

penelitian.

C. Ada 3 level ICU di Indonesia

1. Level I di rumah sakit daerah tipe (tipe C dan D)

Di sini ICU lebih tepat disebut sebagai unit ketergantungan tnggi (high

dependency). Dapat melakukan observasi ketat dengan EKG monitor dan

resusitasi dengan cepat tetapi ventilator hanya di berikan kurang dari 24 jam.
2. Level II di rumah sakit tipe B

Di sini dapat melakukan ventilasi jangka lama, ada dokter residen yang selalu

siap di tempat dan mempunyai fasilitas hubungan dengan fasilitas fisioterapi,

patologi dan radiologi. Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan

misalnya dialysis, monitor invasive dan pemeriksaan canggih (CT scan) jika

menunjang peran rumah sakit sebagai trauma center.

3. Level III rumah sakit tertier (tipe A)

Biasanya pada RS tipe A mempunyai semua aspek yang di butuhkan ICU agar

dapat memenuhi peran sebagai RS rujukan.

D. Dari segi fungsinya ICU dapat di bagi menjadi :

1. ICU medic.

2. ICU trauma/ bedah.

3. ICU umum.

4. ICU pediatric.

5. ICU neonates.

6. ICU respiratori.

Semua jenis ICU mempunyai tujuan yang sama yaitu mengelola pasien sakit

serius yang terancam jiwanya.

Personil (Sumber daya manusia) di ICU meliputi tenaga dokter, perawat ICU,

paramedic lain dan non medic tergantung pada level ICU. Peran perawat di

perluas dalam menangani pasien antara lain :

a. Dalam proses sapih ventilator yang dilakukan berdasarkan keadaan pasien

dan data laboratorium atau monitor bedside.


b. Dalam pengobatan titrasi obat inotropik, vasodilator, sedative, analgetik,

insulin dan obat lain dapat dilakukan penyesuaian oleh perawat ICU

berdasarkan data klinis dan laboratorium.

c. Dalam menangani kasus hipotensi dapat melakukan challenge test lebih

dahulu apabila gagal dibicarakan dengn dokter ICU.

d. Perawat di ICU dapat bertindak dalam segi administrasi, bicara dengan

teman atau keluarga pasien. Tugas lain bias sebagai fisioterpis, tata usaha

ruangan, pekerja sosial dan pengawas ruangan.

E. Organisasi Perawatan Intensive Care Unit (ICU)

1. Minimal 1 Seorang Dokter Spesialis Anasthesi sebagai Kepala sesuai dengan SK

Dirjendyan Med. SK Menkes Np.983 102

2. Bertanggung jawab langsung kepada Direksi RS

3. Kepala Ruang Perawatan perawat anestesi / ICU

4. Setidaknya 50% perawat yang terlatih dan memiliki sertifikat khusus

Intensive Care Unit (ICU) membutuhkan kerja sama tim yang berasal dari

berbagai disiplin ilmu, yaitu para intensivist (klinisi yang mengkhususkan diri pada

bidang perawatan intensif), farmasis, perawat, terapis respiratori, dan konsultan

medis lain yang berasal dari berbagai spesialis seperti bedah, pediatrik, dan

anestesiologi. Para intensivist akan mengatur managemen terapi, diagnosis,

intervensi dan perawatan yang bersifat individual bagi tiap-tiap pasien yang

mengalami penyakit berat.

1. Peran Intensive Care Unit (ICU) Sebuah Unit Perawatan Intensif harus memiliki

kemampuan minimal untuk :

a. Melakukan resusitasi jantung paru


b. Menanggulangi kegawatan nafas Menanggulangi kegawatan sirkulasi

c. Menanggulangi kegawatan kesadaran

d. Menentukan kebijakan / kriteria penderita masuk atau keluar serta rujukan

e. Memiliki dokter spesialis anestesi purna waktu

f. Mengkoordinasi satu tim untuk sebuah pendekatan bersama

g. Memiliki jumlah perawat terlatih yang cukup

h. Memiliki dokter jaga 24 jam

i. Memiliki konsulen yang siap panggil 24 jam

j. Siap melayani pemeriksaan laboratorium, sinar X, perubahan diagnosis dan

fisioterapi

2. Tipe, Ukuran dan Setting Ruangan Intensive Care Unit (ICU)

a. Letak dekat UGD, OK, ruang pulih, laboratorium, radiologi, sumber air, listrik,

pencahayaan baik dan memenuhi syarat

b. Unit terbuka luas 16-20 m2/tt tertutup luas 24-28 m2/kamar

c. Kamar isolasi

d. Tempat tidur khusus Setiap unit perawatan intensif harus memiliki sumber energi

elektrik, air, oksigen, udara terkompresi, vakum, pencahayaan, temperatur dan

sistem kontrol lingkungan yang menyokong kebutuhan pasien serta tim

perawatan intensif dalam kondisi normal maupun emergensi.

e. Peralatan monitoring yang harus tersedia bagi tiap-tiap pasien antara lain

pemantau denyut jantung, frekuensi respirasi, level oksigen arterial dan EKG.

3. Peralatan Standar di Intensive Care Unit (ICU)

a. Sumber O2, udara tekan, penghisap sentral

b. Peralatan lain
1) Alat untuk mempertahankan jalan nafas, melakukan ventilasi, bantu

hemodinamik (kantong pompa infus, penghangat darah)

2) Monitoring portable

3) Selimut pengatur suhu tubuh

c. Peralatan standar di Intensive Care Unit (ICU) meliputi

1) Ventilasi mekanik untuk membantu usaha bernafas melalui endotracheal tubes

atau trakheotomi

2) Peralatan hemofiltrasi untuk gagal ginjal akut

3) Peralatan monitoring

4) Akses intravena untuk memasukkan obat, cairan, atau nutrisi parenteral total,

nasogastric tubes, suction pumps, drains dan katete

5) Serta obat-obatan inotropik, sedatif, antibiotik broad spectrum dan analgesik.

F. ETIK di ICU

Kontroversi sering terjadi di ICU dalam hal legalitas, moral dan etik seperti pada

kasus Euthanasia atau pengobatan antusias. Etik di ICU juga di pertimbangkan hal-

hal berikut :

1. Prosedur masuk ICU : Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter disiplin lain

diluar ICU setelah konsultasi dengan dokter ICU. Transportasi pasien ke ICU

masih dalam tanggung jawab dokter pengirim. Transportasi dapat di bantu

perawat ICU bila pasien dalam keadaan khusus. Pasien dan atau keluarga di beri

penjelasan tentang indikasi masuk ICU, tata tertib ICU, biaya dan segala

konsekuensinya dengan menandatangani informed consent ( surat persetujuan ).

2. Indikasi masuk ICU : Seperti dikemukakan dalam definisi ICU maka indikasi

masuk ICU adalah Pasien sakit kritis, pasien tak stabil yang memerlukan terapi
intensif, mengalami gagal nafas berat, pasien bedah jantung Pasien yang

memerlukan pemantauan intensif invasif dan non invasif, sehingga komplikasi

berat dapat dihindari atau dikurangi Pasien yang memerlukan terapi intensif

untuk mengatasi komplikasi akut, walaupun manfaatnya minimal (misal

penderita tumor ganas metastasis, komplikasi infeksi, dsb) dan masih ada

kemungkinan dapat di sembuhkan kembali oleh perawatan, pemantauan

dan pengobatan intensif. Selain itu indikasi masuk ICU ada indikasi sosial yaitu

masuknya pasien ke ICU karena ada pertimbangan sosial.

3. Kontra indikasi Masuk ICU : Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah

pasien dengan penyakit yang menular dimana penularan penyakit melalui udara.

(contohnya : Pasien dengan Gangrene, TB aktif dll).

4. Kriteria keluar ICU : pasien tidak perlu lagi mendapat perawatan di ICU bila

meninggal, tidak ada kegawatan yang mengancam jiwa sehingga bias dirawat di

ruang biasa dan atas permintaan keluarga bila ada informed consent

khusus darikeluarga pasien. (Perhatikan hubungan pasien dengan yang

mengajukan pulang paksa dan berikan informasi tentang resiko dari keputusan

pasien atau keluarga).

Catatan : Prosedur masuk ICU, indikasi masuk ICU, kontra indikasi masuk ICU

dan criteria keluar ICU sangat perlu di sosialisasikan dan di pahami kepada

seluruh tenaga di Rumah sakit baik perawat di IGD, ruangan rawat biasa,

laboratorium, radiologi dll, agar tidak menjadi konflik dalam proses masuk dan

keluar pasien ICU.

Pasien di ICU merupakan pasien dengan ketergantungan tinggi terhadap

perawat dan dokter. Terkadang segala sesuatu yang terjadi pada pasien diketahui
oleh data objektf seperti monitoring dan recording, hasil laborat dan tanda-tanda

klinis. Perubahan yang terjadi pada diri pasien harus dianalisa dengan cermat

untuk mendapatkan tindakan atau pengobatan secara cermat dan tepat.

Komunikasi yang baik juga perlu di jaga antara keluarga pasien dan

perawat/dokter sehingga keluarga tahu perkembangan pasien dan mengurangi

kecemasan. Di ICU juga perlu ada tenaga jas rohaniawan dan tempat khusus

untuk dapat beristirahat yang dilengkapi kamar mandi/ WC.

Mengingat beban kerja personil di ICU maka perlu mendapat perhatian

khusus dari segi kesejahteraan personil ICU. Mulai dari sarana di tempat kerja

seperti ruang rehat yang di sediakan makanan kecil dan minuman. Kemudian

rekreasi keluarga ICU di luar dinas untuk menyegarkan pikiran. Fasilitas

kunjungan symposium, seminar atau setudi banding ke Rumah sakit dapat

menambah ilmu daisamping sebagai sarana rekreasi. Dalam hal pendapatan

tentunya personil ICU berhak mendapat jasa intensif yang lebih menimbang

beban kerja dan resiko bekerja di ICU.

G. Pengelolaan rutin pasien ICU dapat meliputi :

2. Pendekatan pasien. Seperti Anamnesis, serah terima pasien, pemerikasaan fisik,

kajian hasil pemerikasaan, identifikasi masalah dan setrategi penanggulangannya,

juga informasi kepada keluarga secara konsisten.

3. Pemeriksaan fisik dari seluruh aspek fisiologis dan data demografi. Minimal 1

kali sehari.

4. Pemeriksaan, observasi dan monitoring rutin.

5. Jalur intra vaskuler.

6. Intubasi dan pengelolaan trachea.


7. Pengelolaan cairan.

8. Perdarahan gastro intestinal.

9. Nutrisi.

10. Usia lanjut dan penyakit yang serius.

11. Reaksi pasien saat di rawat di ICU.

12. Tujuan akhir pengobatan ICU yang di intervensikan sebelumnya.


PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS

1. Terapi Oksigen

Oksigen adalah suatu substansi yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan

mahluk hidup lainnya. Oksigen diperlukan untuk pernapasan normal oganisme

aerobik. Oksigen merupakan 50% komponen penyusun planet bumi, 21%

komponen udara yang kita hirup, dan 89% komponen air.

2. Tujuan terapi oksigen

Adalah untuk menanggulangi hipoksia jaringan yang terjadi karena penurunan

tekanan oksigen arteri. Pasien jarang dapat bertahan hidup dengan nilai tekanan

oksigen arterial pada daerah merah (tekanan 25 mmHg).

3. Metode Pemberian Oksigen

a. Variable performance

These devices administer uncontrolled oxygen therapy, because the patient

creates the inspired mixture by the act of breathing. Example : nasal catheter,

nasal cannula, mask shells with or without rebreathing bag.

Low capacity masks shell

Nasal cannula

High capacity systems

(non re-breathing mask)

Nasal catheter

Fixed performance

These devices allow controlled oxygen dosage. They create a constant proportion of

air /oxygen mixture in excess of patient inspiratory flow rate and are independent of
patient factors or fit to the face. With gas flow constantly in excess of patient demand

and with enhanced CO2 washout, rebreathing is virtually eliminated.

Venturi Mask Ventimask

4. Konsep Penatalaksanaan Jalan Nafas

a. Anatomi

Hubungan jalan napas dan dunia luar didapatkan melalui dua jalan:

1) Hidung menuju nasofaring

2) Mulut menuju orofaring

3) Hidung dan mulut di bagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle; di bagian belakang bersatu di hipofaring.

4) Hipofaring menuju esofagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis menuju

trakhea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis, dan

sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

b. Persarafan

1) N. trigeminus (V), mensarafi mukosa hidung, palatum (V-1), daerah maksila

(V2), lidah dan daerah mandibula (V-3).

2) N. fasialis (VII), mensarafi palatum.

3) N. glossofaringeus (IX), mensarafi lidah, faring, palatum mole dan tonsil.

4) N. vagus (X), mensarafi daerah sekitar epiglotis dan pita suara.

5. Obstruksi Jalan Napas

Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan teranestesi posisi terlentang, tonus otot

jalan napas atas dan otot genioglossus hilang; sehingga lidah akan menyumbat

hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas baik total maupun parsial.

Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui serta dikoreksi dengan beberapa
cara misalnya manuver tripel jalan napas (triple airway manuever), pemasangan alat

jalan napas faring (pharyngeal airway), pemasangan alat jalan napas sungkup laring

(laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakhea (endotracheal tube).

Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring pada saat anestesia ringan

dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.

6. Tanda-Tanda Obstruksi Jalan Napas

a. Stridor

b. Napas cuping hidung

c. Retraksi trachea

d. Retraksi dinding dada

e. Tidak terasa ada udara ekspirasi

f. Spasme atau Kejang Laring

Terjadi karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini

biasanya disebabkan oleh anestesi ringan atau pada orang yang mendapat

rangsangan sekitar faring.

Terapi :

1) Manuver tripel jalan napas

2) Ventilasi positif dengan oksigen 100%

3) Manuver Tripel Jalan napas

Manuver Tripel Jalan napas terdiri atas :

a) Kepala ekstensi pada sendi otot atlanto-oksipital

b) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

Mulut dibuka
Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,

sehingga gas atau udara lancar memasuki trakhea lewat hidung atau mulut.

7. Macam-Macam Alat Penatalaksanaan Jalan nafas

a. Jalan Napas Faring

Jika manuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-

faring lewat mulut (OPA, oro-pharyngeal airway) atau jalan napas hidung-faring

lewat hidung (NPA, naso-pharyngeal aiway).

1) NPA : berbentuk seperti pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari karet

lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma

mukosa hidung, pipa diolesi dengan jelly.

2) OPA : Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang di

tengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras

untuk mencegah gangguan patensi lubang bila pasien menggigitnya; sehingga

aliran udara tetap terjamin.

OPA juga dipasang bersama pipa trakhea atau sungkup lring untuk menjaga

patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien.

b. Sungkup Muka

Sungkup muka (face mask) mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi

atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa

sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif

tidak bocor dan gas masuk semua ke trakhea lewat mulut atau hidung.

Bentuk sungkup muka sangat beragam tergantung usia pasien dan pembuatnya.

1) Ukuran 03 untuk bayi baru lahir

2) 02, 01, 1 untuk anak kecil


3) 2, 3 untuk anak besar

4) dan 4, 5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan transparan supaya

udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir

terjepit kelihatan.

c. Sungkup Laring

Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) adalah alat jalan napas berbentuk

sendok terdiri atas pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang

pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada pipa trakhea. Tangkai

pipa LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk

menjaga supaya lubang tetap paten.

Dikenal 2 macam sungkup laring :

1) Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

2) Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.

3) Face mask

4) Laryngeal mask airway (LMA)

a) Ukuran LMA dan peruntukannya

b) Ukuran Usia Berat badan (kg)

c) 1.0 Neonatus 60

Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan

laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan antara lain agar dapat

dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan bila intubasi

trakhea diramalkan akan mengalami kesulitan. LMA memang tidak dapat


menggantikan kedudukan intubasi trakhea, tetapi ia terletak di antara

sungkup muka dan intubasi trakhea.

Pemasangan hendaknya menunggu anestesi cukup dalam atau

menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut,

faring-laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya

tergigit, maka dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa

napas mulut faring (OPA).

d. Pipa Trakhea

Pipa trakhea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung ke

dalam trakhea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran

diameter lubang pipa dinyatakan dalam milimeter. Karena penampang trakhea

bayi, anak kecil dan dewasa berbeda penampang melintang trakhea bayi dan

anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan dewasa berbentuk

seperti huruf D maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa cuff;

sedangkan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak bocor.

Penggunaan cuff pada bayi dan anak kecil dapat membuat trauma selaput

lendir trakhea. Jika kita ingin menggunakan pipa trakhea dengan cuff pada bayi,

kita harus menggunakan ukuran pipa trakhea yang diameternya lebih kecil dan

ini membuat resiko tahanan jalan napas lebih besar. Pipa trakhea dapat

dimasukkan melalui mulut (orotrakheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal

tube). Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran dan perkiraan ukuran yang

diperlukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


1) Pipa trakhea dan peruntukannya

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak sampai bibir (cm)

Prematur 2.0 2.5 10 10

Neonatus 2.5 3.5 12 11

1 6 bulan 3.0 4.0 14 11

1 tahun 3.5 4.0 16 12

1 4 tahun 4.0 5.0 18 13

4 6 tahun 4.5 5.5 20 14

6 8 tahun 5.0 5.5 22 15 16

8 10 tahun 5.5 6.0 24 16 17

10 -12 tahun 6.0 6.5 26 17 18

12 14 tahun 6.5 7.0 28 30 18 22

Dewasa wanita 6.5 8.5 28 30 20 24

Dewasa pria 7.5 10.0 32 34 20 24

2) Cara memilih pipa trakhea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakhea (mm) = 4.0 + umur (tahun)

Panjang pipa oro-trakheal (cm) = 12 + umur (tahun)

Panjang pipa naso-trakheal (cm) = 12 + umur (tahun)

e. Laringoskopi dan Intubasi

Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop adalah alat

yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat

memasukkan pipa trakhea dengan baik dan benar.

Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop :

1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi anak dewasa


2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar dewasa

Kesulitan memasukkan pipa trakhea berhubungan dengan variasi anatomi

yang dijumpai.

f. Indikasi Intubasi Trakhea

Intubasi trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea ke dalam trakhea

melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan

trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea.

1) Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut :

a) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun

b) Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan napas, dan lain-lain.

c) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

d) Pencegahan aspirasi dan regurgitasi

2) Kesulitan intubasi

a) Leher pendek berotot

b) Mandibula menonjol

c) Maksila / gigi depan menonjol

d) Uvula tak terlihat

e) Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

f) Gerak vertebra servikalis terbatas


3) Komplikasi intubasi

a) Selama intubas

Trauma gigi geligi

Laserasi bibir, gusi, laring

Merangsang saraf simpatis (hipertensi takikardi)

Intubasi bronkus

Intubasi esophagus

Aspirasi

Spasme bronkus

b) Setelah ekstubasi

Spasme laring

Aspirasi

Gangguan fonasi

Edema subglotis-glotis

Infeksi laring, faring, trakhea

g. Ekstubasi

Ekstubasi ditunda sampai pasien benar- benar sadar, jika :

1) Intubasi kembali akan menmbulkan kesulitan

2) Paska ekstubasi ada resiko aspirasi

Ekstubasi dikerjakan umumnya pada keadaan anestesi sudah ringan dengan

catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi, bersihkan rongga

mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.Perbandingan sifat alat

jalan napas
Jenis Alat Sungkup Muka Sungkup Laring Pipa Trakhea
Intervensi Intervensi Perlu Tak perlu dipegang Tak perlu dipegang
dipegang
Kualitas jalan nafas Cukup baik Cukup atau baik Sangat baik
Akses kepala leher Jelek Baik Baik
Ventilasi Spontan Prosedur sangat Prosedur lama Prosedur lama
pendek
Ventilasi kendali Prosedur sangat Prosedur lama Prosedur sangat
pendek lama

8. Konsep Ventilasi Mekanik

Dalam bidang kedokteran, ventilasi mekanik adalah suau metode untuk membantu

atau menggantikan pernapasan spontan. Ventilasi mekanik dilakukan sebagai

tindakan life saving dalam CPR, perawatan intensif, dan anestesi.

a. Penggunaan Klinis

Ventilasi mekanik digunakan jika pernapasan spontan tidak didapatkan (apneu)

atau tidak adekuat. Hal ini dapat merupakan akibat intoksikasi, henti jantung,

penyakit saraf, trauma kepala, paralisis otot pernapasan pada Guillain-Barr

syndrome, Myasthenia Gravis, spinal cord injury, atau efek anestetika dan obat-

obatan pelemas otot. Berbagai penyakit paru (misal edema pulmonum, COPD)

atau trauma thorax (misal patah tulang iga), dan penyakit jantung seperti gagal

jantung kongestif, sepsis & shock juga dapat menghambat ventilasi normal.

Tergantung situasi, ventilasi mekanik dapat dilanjutkan untuk beberapa menit

atau bahkan beberapa tahun.


ANALISA GAS DARAH DAN MANAJEMEN ASAM BASA

Analisa Gas Darah dan Manajemen Asam Basa :

1. Asam adalah ion hydrogen atau dodnor proton. Suatu cairan disebut asam bila

mengandung H+ atau mampu melepas atau memberikan H+.


2. Basa adalah garam dari ion hydrogen atau akseptor proton. Suatu cairan bersifat

basa bila sanggup menerima H+.


3. Asam karbonat (H2CO3) adalah asam karena mampu melepas H+ dan menjadi

HCO-3. Sedangkan bikarbonat adalah (HCO3) adalah basa karena mampu

menerima H+ untuk kemudian menjadi H2CO3.

Analisa Gas Darah dan Manajemen Asam Basa : Regulasi Asam Basa

Regulasi sistem asam basa diatur oleh tiga sistem yaitu sistem pernafasan, sistem renal

dan sistem buffer.

1. Sistem Pernafasan

2. Sistem Renal

3. Sistem Buffer

Analisa Gas Darah dan Manajemen Asam Basa: Pembacaan AGD

Nilai Normal AGD dan Hasil/Kesimpulanya

Asidosis Alkalosis
Ph (7,35 7,45) Turun Naik
HCO3 22 26 Turun Naik
PCO2 35 45 Naik Turun
BE 2 +2 Turun Naik
PO2 80 100 Turun Naik

1. Lihat Ph, (apakah asidosis atau alkalosis)


2. Lihat hasil HCO3 atau pCO2 yang mendukung sesuai dengan hasil pH (untuk

menentukan respiratirik atau metabolik)

3. Lihat hasil HCO3 atau pCO2 yang hasilnya berlawanan dengan pH (untuk

menentukan adanya kompensasi sebagaian atau tidak)

4. Lihat pO2 untuk melihat adanya Hipoksemia atau Hiperoksemia

Bila nilai Ph normal tetapi terjadi kelainan nilai HCO3 atau PCO2 maka ;

1. Lihat nilai pH, pH 7,35 7,40 adalah asidos dan pH 7,41 7,45 adalah alkalosis

2. Lihat hasil HCO3 atau pCO2 yang mendukung sesuai dengan hasil pH (untuk

menentukan respiratirik atau metabolik)

3. Lihat hasil HCO3 atau pCO2 yang hasilnya berlawanan dengan pH (untuk

menentukan adanya kompensasi penuh atau tidak)

4. Lihat pO2 untuk melihat adanya Hipoksemia atau Hiperoksemia

Analisa Gas Darah dan Manajemen Asam Basa: Akibat Gangguan Keseimbangan

Asam Basa

1. Asidosis akan meningkatkan konsentrasi K dalam darah. Sehingga fungsi sel

dan enzim tubuh memeburuk. Kemudian mengakibatkan aritmia ventrikuler.

2. Alkalosis akan menurunkan konsentrasi K dalam darah. Sehinggga afinitas Hb

O2 meningkat. Akibatnya pelepasan O2 kejaringan sulit. Sehingga terjadi

hipoksemia.

3. Kenaikan pCO2 (80 100 mmHg) akan mengakibatkan koma dan aritmia serta

vasodilatasi pembuluh darah. Bila hal ini terjadi diotak maka aliran darah ke otak

akan meningkat dan mengakibatkan kenaikan tekanan intra cranial.


4. Penurunan pCO2 (< 25 mmHg) akan mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh

darah. Sehingga aliran darah kejaringan turun. Bila hal ini terjadi diotak maka akan

terjadi hipoksemia otak.

Analisa Gas Darah dan Manajemen Asam Basa: Manajaemen Gangguan Asam

Basa

1. Pemberian Bikarbonat

Dosis: 1/3 x BB x (|BE| 2)

Diberikan setengah dosis dahulu, kemudian setalah 30 60 menit dievaluasi

kembali hasilnya. Bila belum optimal dilanjutkan pemberian sisanya.

2. Terapi Oksigen
Dengan NRM bila PCO2 tinggi dan dengan RM bila pCO2 rendah.
3. Ventilator, bila pCO2 > 60 nnHg atau pO2 < 60 mmHg
TERAPI INTRAVENA
1. DEFINISI

Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan,

elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena.

Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan

yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian

yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan

elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien dalam

memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler. Terapi intravena

dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam

pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena

didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien,

usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena

dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi

larutan yang benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan serta mengatur dan

mempertahankan sistem.

2. TIPE-TIPE CAIRAN

Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya

dibagi menjadi:

a. Isotonik

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau mendekati osmolalitas

plasma. Cairan isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel, misalnya

kelebihan cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan

meningkatkan volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah


CES 1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah

yang hilang.

Contoh:

1) NaCl 0,9 %

2) Ringer Laktat

3) Komponen-komponen darah (Alabumin 5 %, plasma)

4) Dextrose 5 % dalam air (D5W)

b. Hipotonik

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas

plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan

menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini

umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air

masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel,

sel tersebut akan membesar atau membengkak. Perpindahan cairan terjadi dari

kompartemen intravaskuler ke dalam sel. Cairan ini dikontraindikasikan untuk

pasien dengan risiko peningkatan TIK. Pemberian cairan hipotonik yang

berlebihan akan mengakibatkan:

1) Deplesi cairan intravaskuler

2) Penurunan tekanan darah

3) Edema seluler

4) Kerusakan sel

Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi serius, klien harus

dipantau dengan teliti.

Contoh: dextrose 2,5 % dalam NaCl 0,45 %, NaCl 0,45 % NaCl 0,2 %
c. Hipertonik

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi daripada osmolaritas

plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan

dalam sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler,

sehingga menyebabkan sel-selnya mengkerut. Cairan ini dikontraindikasikan

untuk pasien dengan penyakit ginjal dan jantung serta pasien dengan dehidrasi.

Contoh:

1) D 5% dalam saline 0,9 %

2) D 5 % dalam RL

3) Dextrose 10 % dalam air

4) Dextrose 20 % dalam air

5) Albumin 25

3. PEMBAGIAN CAIRAN/LARUTAN BERDASARKAN TUJUAN

PENGGUNAANNYA :

a. Nutrient solution

Berisi karbohidrat ( dekstrose, glukosa, levulosa) dan air. Air untuk menyuplai

kebutuhan air, sedangkan karbohidrat untuk kebutuhan kalori dan energi. Larutan

ini diindikasikan untuk pencegahan dehidrasi dan ketosis.

Contoh: D5W, Dekstrose 5 % dalam 0,45 % sodium chloride

b. Electrolyte solution

Berisi elekrolit, kation dan anion. Larutan ini sering digunakan untuk larutan

hidrasi, mencegah dehidrasi dan koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Contoh: Normal Saline (NS), Larutan ringer (sodium, Cl, potassium dan kalsium)

Ringer Laktat /RL (sodium, Cl, Potassium, Kalsium dan laktat)


c. Alkalizing solution

Untuk menetralkan asidosis metabolic

Contoh : Ringer Laktat /RL

d. Acidifying solution

Untuk menetralkan alkalosis metabolic

Contoh : Dekstrose 5 % dalam NaCl 0,45 %, NaCl 0,9 %

e. Blood volume expanders

Digunakan untuk meningkatkan volume darah karena kehilangan darah/plasma

dalam jumlah besar. (misal: hemoragi, luka baker berat)

Contoh : Dekstran, Plasma, Human Serum Albumin

4. PEMBAGIAN CAIRAN LAIN ADALAH BERDASARKAN

KELOMPOKNYA:

a. Kristaloid

Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume

expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna

pada pasien yang memerlukan cairan segera.

Contoh: Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

b. Koloid

Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar

dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya

hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.

Contoh: albumin dan steroid.


5. Tujuan terapi intravena adalah:

a. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,

vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.

b. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit

c. Memperbaiki keseimbangan asam basa

d. Memberikan tranfusi darah

e. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena

f. Membantu pemberian nutrisi parenteral

6. Indikasi

a. Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang memungkinkan pemberian

obat langsung ke dalam IV

b. Keadaan ingin mendapatkan respon yang cepat terhadap pemberian obat

c. Klien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar secara terus-menerus melalui

IV

d. Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa diberikan melalui oral atau

intramuskuler

e. Klien yang membutuhkan koreksi/pencegahan gangguan cairan dan elektrolit

f. Klien yang sakit akut atau kronis yang membutuhkan terapi cairan

g. Klien yang mendapatkan tranfusi darah

h. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada

operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk

persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)


i. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi

(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah

kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

7. Kontraindikasi

Infus dikontraindikasikan pada daerah:

a. Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau thrombosis

b. Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh

c. Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis

d. Vena yang sklerotik atau bertrombus

e. Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula

f. Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit

g. Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)

h. Lengan yang mengalami luka bakar

8. Macam-Macam Infus

a. Continous Infusion (Infus berlanjut) mengunakan alat control

Infus ini bisa diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan

atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri dan

intra techal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang

ditanam maupun eksternal.

1) Keuntungan:

a) Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan

akurat

b) Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di

selang infus atau adanya penyumbatan


c) Mengurangi waktu perawat untuk memastikan kecepatan aliran infus

2) Kerugian:

a) Memerlukan selang khusus

b) Biaya lebih mahal

c) Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi

Contoh alat pengontrol infus: Syringe pump Infus pump

b. Intermittent Infusion (Infus sementara)

Infus ini dapat diberikan melalui heparin lock, piggybag untuk infus yang

kontinyu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus .

1) Keuntungan :

a) Inkompabilitas dihindari

b) Dosis obat yang lebih besar dapat diberikan dengan konsentrasi

permililiter yang lebih rendah daripada yang dipraktikkan dengan metode

dorongan IV.

2) Kerugian :

a) Kecepatan pemberian tidak dikontrol dengan teliti kecuali infus dipantau

secara elektronik

b) Volume yang ditambahkan 50-100 ml cairan IV dapat menyebabkan

kelebihan cairan pada beberapa pasien

9. Prinsip Gerontologis dan Pediatrik Pemberian Infus

a. Pediatrik

1) Karena vena klien sangat rapuh, hindari tempat-tempat yang mudah

digerakkan atau digeser dan gunakan alat pelindung sesuai kebutuhan

(pasang spalk kalau perlu


2) Pilih aktivitas sesuai usia yang sesuai dengan pemeliharaan infus IV

3) Vena-vena kulit kepala sangat mudah pecah dan memerlukan perlindunga

agar tidak mudah mengalami infiltrasi (biasanya digunakan untuk neonatus

dan bayi)

4) Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan yang

minimal

5) Kebanyakan klien pediatrik biasanya menggunakan kateter/jarum ukuran 22

G-24 G

b. Gerontik

1) Pada klien lansia, sedapat mungkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran

paling kecil (24-26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena dan

memungkinkan aliran darah lebih lancar sehingga hemodilusi cairan

intravena atau obat-obatan akan meningkat.

2) Hindari bagian punggung tangan atau lengan lansia yang dominan untuk

tempat pungsi, karena akan mengganggu kemandirian lansia

3) Apabila kulit dan vena lansia rapuh, gunakan tekanan torniket yang minimal

4) Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum (jaringan

subkutan lansia hilang). Untuk menstabilkan vena, pasang traksi pada kulit

di bawah tempat insersi

5) Penggunaan sudut 5 15 saat memasukkan jarum akan sangat bermanfaat

karena vena lansia lebih superficial

6) Pada lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan

kulit dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.


10. KOMPLIKASI

a. Komplikasi local

1) Flebitis

Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi

ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di

sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak

pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insiden flebitis

meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi

cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan

tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan

masuknya mikroorganisme saat penusukan).

a) Intervensi :

Menghentikan IV dan memasang pada daerah lain

Tinggikan ekstremitas

Memberikan kompres hangat dan basah di tempat yang terkena

b) Pencegahan :

Gunakan tehnik aseptik selama pemasangan

Menggunakan ukuran kateter dan jarum yang sesuai dengan vena

Mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih

area insersi

Mengobservasi tempat insersi akan adanya kemungkinan komplikasi

apapun setiap jam

Menempatkan kateter atau jarum dengan baik

Mengencerkan obat-obatan yang mengiritasi jika mungkin


2) Infiltrasi

Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling

tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan

(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang

menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan

aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih

besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara

yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang

torniket di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan

mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran

vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi

infiltrasi.

a) Intervensi:

Menghentikan infus (infus IV seharusnya dimulai di tempat baru atau

proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan)

Meninggikan ekstremitas klien untuk mengurangi ketidaknyamanan

(meningkatkan drainase vena dan membantu mengurangi edema)

Pemberian kompres hangat (meningkatkan sirkulasi dan mengurangi

nyeri)

b) Pencegahan:

Mengobservasi daerah pemasangan infus secara kontinyu

Penggunaan kanula yang sesuai dengan vena

Minta klien untuk melaporkan jika ada nyeri dan bengkak pada area

pemasangan infuse
3) Iritasi Vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di

atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH

rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,

eritromycin, dan nafcillin)

a) Intervensi:

Turunkan aliran infuse

b) Pencegahan:

Encerkan obat sebelum diberikan

Jika terapi obat yang menyebabkan iritasi direncanakan dalam jangka

waktu lama, sarankan dokter untuk memasang central IV.

4) Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area

insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan

selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai

yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan.

Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada

tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.

a) Intervensi:

Melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa

steril

Memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan

kemudian memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi

darah
Mengkaji tempat penusukan

Memulai lagi uintuk memasang pada ekstremitas lain jika

diindikasikan

b) Pencegahan:

Memasukkan jarum secara hati-hati

Lepaskan torniket segera setelah insersi berhasil

5) Tromboflebitis

Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam

vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi,

kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau

sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman

dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan

leukositosis.

a) Intervensi:

Menghentikan IV

Memberikan kompres hangat

Meninggikan ekstremitas

Memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan

b) Pencegahan:

Menghindarkan trauma pada vena pada saat IV dimasukkan

Mengobservasi area insersi tiap jam

Mengecek tambahan pengobatan untuk kompabilitas


6) Trombosis

Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran

infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,

pelekatan platelet.

a) Intervensi:

Menghentikan IV

Memberikan kompres hangat

Perhatikan terapi IV yang diberikan (terutama yang berhubungan

dengan infeksi, karena thrombus akan memberikan lingkungan yang

istimewa/baik untuk pertumbuhan bakteri)

b) Pencegahan:

Menggunakan tehnik yang tepat untuk mengurangi injuri pada vena

7) Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol

dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area

pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran

balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

a) Intervensi:

Bilas dengan injeksi cairan, jangan dipaksa jika tidak sukses

b) Pencegahan:

Pemeliharaan aliran IV

Minta pasien untuk menekuk sikunya ketika berjalan (mengurangi

risiko aliran darah balik)

Lakukan pembilasan segera setelah pemberian obat


8. Spasme vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar

vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme

vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin,

iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran

yang terlalu cepat.

Intervensi:

Berikan kompres hangat di sekitar area insersi

Turunkan kecepatan aliran

Pencegahan:

Apabila akan memasukkan darah (missal PRC), buat hangat terlebih

dahuilu.

9. Reaksi vasovagal

Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena,

dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah..

Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan

Intervensi:

Turunkan kepala tempat tidur

Anjurkan klien untuk nafas dalam

Cek tanda-tanda vital (vital sign)

Pencegahan:

Siapkan klien ketika akan mendapatkan terapi, sehingga bisa mengurangi kecemasan

yang dialami

Gunakan anestesi lokal untuk mengurangi nyeri (untuk klien yang tidak tahan
terhadap nyeri)

10. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament

Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot. Efek lambat

yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas. Kondisi ini disebabkan

oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf,

tendon dan ligament.

Intervensi:

Hentikan pemasangan infus

Pencegahan:

Hindarkan pengulangan insersi pada tempat yang sama

Hindarkan memberikan penekanan yang berlebihan ketika mencari lokasi vena

Komplikasi sistemik

1. Septikemia/bakteremia

Adanya susbtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat

mencetuskan reaksi demam dan septikemia. Perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh

secara mendadak segera setelah infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala,

peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, mual dan muntah, diare, demam dan

menggigil, malaise umum, dan jika parah bisa terjadi kollaps vaskuler. Penyebab

septikemi adalah kontaminasi pada produk IV, kelalaian tehnik aseptik. Septikemi

terutama terjadi pada klien yang mengalami penurunan imun.

Intervensi:

Monitor tanda vital

Lakukan kultur kateter IV, selang atau larutan yang dicurigai.

Berikan medikasi jika diresepkan


Pencegahan:

Gunakan tehnik steril pada saat pemasangan

Gantilah tempat insersi, dan cairan, sesuai ketentuan yang berlaku

2. Reaksi alergi

Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung dan mata berair, bronkospasme, wheezing,

urtikaria, edema pada area insersi, reaksi anafilaktik (kemerahan, cemas, dingin, gatal,

palpitasi, paresthesia, wheezing, kejang dan kardiak arrest). Kondisi ini bisa disebabkan

oleh allergen, misal karena medikasi.

Intervensi :

Jika reaksi terjadi, segera hentikan infus

Pelihara jalan nafas

Berikan antihistamin steroid, antiinflamatori dan antipiretik jika diresepkan

Jika diresepkan berikan epinefrin

Jika diresepkan berikan kortison

Pencegahan:

Monitor pasien setiap 15 menit setelah mendapat terapi obat baru

Kaji riwayat alergi klien

3. Overload sirkulasi

Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang berlebihan akan

menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dipsnea berat, dan

sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang

membengkak. Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus larutan IV yang terlalu

cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini juga mungkin bisa terjadi pada

pasien dengan gangguan jantung yang disebut denga kelebihan beban sirkulasi.
Intervensi:

Tinggikan kepala tempat tidur

Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit sampai 1 jam sekali

Jika diperlukan berikan oksigen

Mengkaji bunyi nafas

Jika diresepkan berikan furosemid

Pencegahan:

Sering memantau tanda-tanda vital

Menggunakan pompa IV untuk menginfus

Melakukan pemantauan secara cermat terhadap semua infus

4. Embolisme udara

Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Manifestasi

klinis emboli udara adalah dipsnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah dan cepat,

hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.

Intervensi :

Klem atau hentikan infus

Membaringkan pasien miring ke kiri dalaam posisi Trendelenburg

Mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas

Memberikan oksigen

Pencegahan:

Pastikan sepanjang selang IV telah bebas dari udara, baru memulai menyambungkan

infus

Pastikan semua konektor tersambung dengan baik

Cara Pemilihan Daerah Infus


Banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses dan

potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini. Pertimbangan perawat dalam

memilih vena adalah sebagai berikut:

Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant

biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki)

Lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk

memelihara vena)

Type larutan yang akan diberikan

Kondisi vena klien

Kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi

Aktivitas pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran,

gelisah)

Terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk

digunakan)

Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun

vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak

memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien

sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.

Berikut ini adalah gambar tempat yang bisa dipasang infus:

Panduan singkat pemilihan vena:

Gunakan vena distal lengan untuk pilihan pertama

Jika memungkinkan pilih lengan non dominan

Pilih vena-vena di atas area fleksi

Gunakan vena kaki jika vena lengan tidak dapat diakses


Pilih vena yang mudah diraba, vena yang besar dan yang memungkinkan aliran cairan

adequat

Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari

pasien

Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang

direncanakan

Tips untuk vena yang sulit:

Pasien gemuk, tidak dapat mempalpasi atau melihat venabuat citra visual dari

anatomi vena, pilih kateter yang lebih panjang

Kulit dan vena mudah pecah, infiltrasi terjadi setelah penusukangunakan tekanan

torniket yang minimal

Vena bergerak ketika ditusukfiksasi vena menggunakan ibu jari ketika melakukan

penusukan

Pasien dalam keadaan syok atau mempunyai aliran balik vena minimal-biarkan

torniket terpasang untuk meningkatkan distensi vena, gunakan kateter no. 18 atau 16.

Hindari menggunakan vena berikut:

Vena pada area fleksi (misal:fossa ante cubiti)

Vena yang rusak karena insersi sebelumnya (misal karena flebitis, infiltrasi atau

sklerosis)

Vena yang nyeri palpasi

Vena yang tidak stabil, mudah bergerak ketika jarum dimasukkan

Vena yang mudah pecah

Vena yang berbelok-belok


Vena dorsal yang rapuh pada klien lansia dan pembuluh darah pada ekstremitas

dengan gangguan sirkulasi (misal pada mastektomi, graft dialysis atau paralysis)

Cara memunculkan vena:

Mengurut ekstremitas dari distal ke proksimal di bawah tempat pungsi vena yang

dituju

Minta klien menggenggam dan membuka genggaman secara bergantian

Ketuk ringan di atas vena

Gunakan torniket sedikitnya 5-15 cm di atas tempat yang akan diinsersi, kencangkan

torniket

Berikan kompres hangat pada ekstremitas selama beberapa menit (misal dengan

waslap hangat)

Cara Penghitungan Cairan Infus

Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah

yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah

hipervolemia dan hipovolemia. Dalam menentukan tetesan infus, perawat perlu

memperhatikan faktor tetesan yang akan digunakan. Faktor tetesan yang sering

digunakan adalah:

Mikrodrips (tetes mikro) : 60 tetes/ml (infuset mikro)

Makrodrips (tetes makro) : 10 tetes/ml, 15 tetes/ml, 20 tetes/ml (infuset

regular/makro)

Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan

dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus.

Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam

(ml/h) dan penghitungan tetes permenit.


Millimeter per jam

Contoh: 3000 ml diinfuskan dalam 24 jam, maka jumlah milliliter perjamnya adalah

sebagai berikut:

3000 / 24 = 125 ml/h

Tetes per menit

Contoh: 1000 ml dalam 8 jam, faktor tetesan 20

1000 x 20 / 8 x 60 = 41 tpm (tetes per menit)

Faktor yang mempengaruhi tetesan infus:

Posisi lengan

Posisi lengan klien terkadang bisa menurunkan aliran infus. Sedikit pronasi, supinasi,

ekstensi atau elevasi lengan dengan bantal dapat meningkatkan aliran.

Posisi dan kepatenan selang infus (aliran berbanding langsung dengan diameter

selang)

Aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan diameter besar, berlawanan dengan kanul

kecil.

Posisi botol infus

Menaikkan ketinggian wadah infus dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat

(aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan).

Larutan/cairan yang dialirkan (aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan)

Larutan intravena yang kental, seperti darah, membutuhkan kanula yang lebih besar

dibandingkan dengan air atau larutan salin.

Panjang selang (aliran berbanding terbalik dengan panjang selang)

Menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan aliran.

Hal-hal yang perlu diperhatikan


Sebelum pemberian obat

1. Pastikan bahwa obat sesuai dengan anjuran

2. Periksa larutan/cairan sebelum dimasukkan (masa kadaluarsa, keutuhan botol, ada

bagian yang bocor atau tidak)

3. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah rusak,

vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil

4. Gunakan jarum sesuai dengan kondisi vena klien

5. Larutkan obat sesuai indikasi, banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan

memerlukan pengenceran yang sesuai

6. Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar

7. Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik jika

dibilas terlebih dulu dengan cairan fisiologis (misal NaCl)

8. Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan

9. Kaji kepatenan jalan infus

10. Perhatikan waktu pemasangan infus, ganti tempat pemasangan jika ada tanda-tanda

infeksi

Respon pasien terhadap obat

1. Adakah efek mayor yang timbul (anafilaksis, respiratori distress, takikardia,

bradikardi, kejang)

2. Adakah efek samping minor (mual, pucat, kulit kemerahan atau bingung)

Pemeliharaan infus

Periksa area insersi

Periksa seluruh system IV (jumlah cairan, kecepatan aliran, integritas jalur, posisi

jalur halus, kondisi area insersi, kondisi proksimal vena sampai area insersi)
Kaji adanya komplikasi terapi IV

Kaji respon klien terhadap terapi

Lakukan perawatan pada daerah insersi (sesuai kebijakan institusi)

Persiapan Pasien

Jelaskan pada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan (meliputi proses pungsi

vena, informasi tentang lamanya infus dan pembatasan aktivitas)

Jika pasien akan menggunakan anestesi lokal pada area insersi, tanyakan adanya

alergi terhadap anestesi yang digunakan

Jika pasien tidak menggunakan anestesi, jelaskan bahwa nanti akan muncul nyeri

ketika jarum dimasukkan, tapi akan hilang ketika kateter sudah masuk.

Jelaskan bahwa cairan yang masuk awalnya akan terasa dingin, tapi sensasi itu hanya

akan terasa pada beberapa menit saja.

Jelaskan pada pasien bahwa jika ada keluhan/ketidaknyamanan selama pemasangan,

supaya menghubungi perawat.

Persiapan Alat

Larutan yang benar

Jarum yang sesuai (abbocath, wing needle/butterfly)

Set infus

Selang intravena

Alkohol dan swab pembersih yodiumpovidon

Torniket

Sarung tangan sekali pakai

Kasa atau balutan trasparan dan larutan atau salep yodiumpovidon

Plester
Handuk/pengalas tangan

Tiang penyangga IV

Bengkok (tempat pembuangan jarum)

Gunting

Contoh jarum infus/abbocath:

ONC (over the needle cannula)

Tujuan : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif

Manfaat : lebih nyaman bagi klien, ada tempat untuk mengecek aliran darah balik,

kerusakan pada vena lebih kecil.

Kerugian : lebih sulit dimasukkan daripada alat lain

Through the needle cannula

Tujuan : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif

Manfaat : kerusakan pada vena lebih kecil, lebih nyaman bagi klien, tersedia dalam

berbagai ukuran panjang.

Kerugian : biasanya untuk pasien lansia, menimbulkan kebocoran.

Wing needle:

Tujuan : terapi jangka pendek untuk pasien yang kooperatif, terapi untuk neonatus, anak

atau lansia dengan vena yang fragile dan sklerotik

Manfaat : meminimalkan nyeri ketika insersi, ideal untuk memasukkan obat

Kerugian : mudah menimbulakan infiltrasi , jika wing needle kaku yang digunakan

Contoh ukuran jarum:

nomor 16bedah mayor atau trauma

nomor 18darah dan produk darah, pemberian obat-obat yang kental

nomor 20digunakan pada kebanyakan pasien


nomor 22digunakan pada kebanyakan pasien, terutama anak-anak dan orangtua

nomor 24pasien pediatric atau neonatus

Semakin besar ukuran, semakin kecil caliber kateter.

Contoh gambar selang infus:

Gambar pemasangan torniket:

Contoh pungsi vena:

Contoh cara fiksasi infus:

Metode chevron Metode H Metode U

Contoh pemberian tanggal Contoh cara membersihkan tempat insersi:

Prosedur Kerja Pungsi/Pemasangan Infus

1. Baca status dan data klien untuk memastikan program terapi IV

2. Cek alat-alat yang akan digunakan

3. Cuci tangan

4. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya

5. Perkenalkan nama perawat

6. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien

7. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan

8. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya

9. Tanyakan keluhan klien saat ini

10. Jaga privasi klien

11. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien

12. Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman

13. Letakkan klien dalam posisi semifowler atau supine jika tidak memungkinkan (buat

klien senyaman mungkin)


14. Buka kemasan steril dengan meanggunakan tehnik steril

15. Periksa larutan dengan menggunakan lima benar dalam pemberian obat

16. Buka set infus, pertahankan sterilitas kedua ujungnya

17. Letakkan klem yang dapat digeser tepat di bawah ruang drip dan gerakkan klem

pada posisi off

18. Lepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan IV plastik tanpa

menyentuh ujung tempat masuknya alat set infuse

19. Tusukkan set infus ke dalam kantong atau botol cairan (untuk kantong, lepaskan

penutup protektor dari jarum insersi selang, jangan menyentuh jarumnya, dan tusukkan

jarum ke lubang kantong IV. Untuk botol, bersihkan stopper pada botol dengan

menggunakan antiseptik dan tusukkan jarum ke karet hitam stopper botol IV.

20. Gantungkan botol infus yang telah dihubungkan dengan set infus pada tempat yang

telah disediakan (pertahankan kesterilan set infus)

21. Isi selang infus dengan cairan, pastikan tidak ada udara dalam selang (terlebih dulu

lakukan pengisian pada ruang tetesan/the drip chamber). Setelah selang terisi, klem

dioffkan dan penutup ujung selang infus ditutup

22. Beri label pada IV dengan nama pasien, obat tambahan, kecepatan pemberian.

23. Pasang perlak kecil/pengalas di bawah lengan/tangan yang akan diinsersi

24. Kenakan sarung tangan sekali pakai

25. Identifikasi aksesibilitas vena untuk pemasangan kateter IV atau jarum

26. Posisikan tangan yang akan diinsersi lebih rendah dari jantung, pasang torniket

mengitari lengan, di atas fossa antekubital atau 10-15 cm di atas tempat insersi yang

dipilih (jangan memasang torniket terlalu keras untuk menghindari adanya cidera atau

memar pada kulit). Pastikan torniket bisa menghambat aliran IV. Periksa nadi distal.
27. Pilih vena yang berdilatasi baik, dimulai dari bagian distal, minta klien untuk

mengepal dan membuka tangan (apabila belum menemukan vena yang cocok, lepaskan

dulu torniket, dan ulangi lagi setelah beberapa menit).

28. Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi, dengan gerakan sirkuler dari

tempat insersi ke daerah luar dengan larutan yodiumpovidon, biarkan sampai kering.

(klien yang alergi terhadap yodium, gunakan alkohol 70 % selama 30 detik)

29. Lakukan pungsi vena, fiksasi vena dengan menempatkan ibu jari tangan yang tidak

memegang alat infus di atas vena dengan cara meregangkan kulit. Lakukan penusukan

dengan sudut 20-30, tusuk perlahan dengan pasti

30. Jika tampak aliran darah balik, mengindikasikan jarum telah masuk vena.

31. Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan tarik jarum sedikit lalu teruskan plastik IV

kateter ke dalam vena

32. Stabilkan kateter IV dengan satu tangan dan lepaskan torniket dengan tangan yang

lain

33. Tekan dengan jari ujung plastik IV karteter, lalu tarik jarum infus keluar

34. Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus dengan gerakan cepat,

jangan menyentuh titik masuk selang infus

35. Buka klem untuk memulai aliran infus sampai cairan mengalir lancar

36. Fiksasi sambungan kateter infus (apabila sekitar area insersi kotor, bersihkan

terlebih dulu)

37. Oleskan dengan salep betadin di atas area penusukan, kemudian tutup dengan kasa

steril, pasang plester

38. Atur tetesan infus sesuai ketentuan

39. Beri label pada temapt pungsi vena dengan tanggal, ukuran kateter, panjang kateter,
dan inisial perawat.

40. Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan

41. Cuci tangan

42. Berikan reinforcement positif

43. Buat kontrak pertemuan selanjutnya

44. Akhiri kegiatan dengan baik

45. Observasi klien setiap jam untuk menentukan respon terhadap terapi cairan (jumlah

cairan benar sesuai program yang ditetapkan, kecepatan aliran benar, kepatenan vena,

tidak terdapat infiltrasi, flebitis atau inflamasi)

46. Dokumentasikan di catatan perawatan (tipe cairan, tempat insersi, kecepatanaliran,

ukuran dan tipe kateter atau jarum, waktu infus dimulai, respon terhadap cairan IV,

jumlah yang diinfuskan, integritas serta kepatenan sistem IV.

PERAWATAN INFUS

A. Definisi

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan mengganti balutan/plester

pada area insersi infus. Frekuensi penggantian balutan ditentukan oleh kebijakan

institusi. Dulu penggantian balutan dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah dikurangi

menjadi setiap 48 sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan dengan penggantian daerah

pemasangan IV (Gardner, 1996)

B. Tujuan

Mempertahankan tehnik steril

Mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah

Pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi

Memantau area insersi


C. Indikasi

Pasien yang dipasang infus lebih dari satu hari

Balutan infus basah atau kotor

D. Persiapan pasien

1. Jelaskan pada pasien tujuan dari penggantian balutan

2. Jelaskan akibat apabila balutan tidak diganti

E. Persiapan alat

1. Kasa steril

2. Larutan atau salep yodiumpovidin

3. Pinset

4. Kapas alkohol

5. Plester

6. Sarung tangan sekali pakai

7. Bengkok

8. Perlak kecil atau pengalas

9. Gunting

F. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Kaji area insersi saat mengganti balutan

Kaji adanya tanda-tanda komplikasi

Pertahankan tehnik steril ketika mengganti balutan

Prosedur Kerja Perawatan Infus

1. Identifikasi data klien

2. Kaji kebutuhan perawatan infus

3. Siapkan peralatan (kasa steril, larutan atau salep yodiumpovidin, pinset, kapas
alkohol, plester, sarung tangan sekali pakai, bengkok, pengalas/perlak kecil, gunting)

4. Cuci tangan

5. Jaga privasi klien

6. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya

7. Perkenalkan nama perawat

8. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan

9. Berikan kesempatan klien untuk bertanya

10. Tanyakan keluhan klien

11. Dekatkan alat-alat ke samping klien

12. Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman

13. Posisikan klien senyaman mungkin

14. Letakkan pengalas/perlak kecil di bawah tangan

15. Pakai sarung tangan sekali pakai

16. Lepaskan balutan trasparan searah dengan arah pertumbuhan rambut klien atau

lepaskan plester dan kasa balutan yang lama selapis demi selapis. Untuk kedua balutan

trasparan dan balutan kasa, biarkan plester memfiksasi jarum IV atau kateter tetap di

tempat.

17. Hentikan infus jika terjadi flebitis, infiltrasi, bekuan, atau ada instruksi dokter untuk

melepas

18. Apabila infus mengalir dengan baik, lepaskan plester yang memfiksasi jarum dan

kateter. Stabilkan jarum dengan satu tangan

19. Gunakan pinset dan kasa untuk membersihkan dan mengangkat sisa plester

20. Bersihkan tempat insersi dengan gerakan memutar dari dalam kearah luar dengan

menggunakan yodiumpovidon.
21. Pasang plester untuk fiksasi

22. Oleskan salep atau yodiumpovidon.di tempat insersi infus

23. Letakkan kasa kecil diatas salep/ yodiumpovidon.

24. Tutup kasa dengan plester

25. Tulis tanggal dan waktu penggantian balutan

26. Bereskan alat-alat yang telah digunakan

27. Lepas sarung tangan dan cuci tangan

28. Kaji kembali fungsi dan kepatenan infus

29. Kaji respon klien

30. Berikan renforcement positif

31. Buat kontrak pertemuan selanjutnya

32. Akhiri kegiatan dengan baik

33. Dokumentasikan waktu penggantian balutan, tipe balutan, kepatenan sistem IV,

kondisi daerah vena, respon klien.

Daftar Pustaka

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan

Praktik. Vol 2. Jakarta: EGC

Rocca, et.al. 1998. Seri Pedoman Praktis: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC

Kozier, et al. 1995. Fundamental Of Nursing: Concepts, process and practice 5th

edition. California : Addison- Wesley

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Penatalaksanaan Pasien Di

Intensif Care Unit. Jakarta: Sagung Seto

Hudak, et.,al. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Vol. 1. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Jakarta:
EGC

Laboratorium Ketrampilan Keperawatan PSIK FK UGM. 2002. SKILLS LAB:

Pendidikan Ketrampilan Keperawatan. Yogyakarta: PSIK FK UGM

Baranoski, S., et.al.2004. Nursing Prosedures. 4th edition. USA: Lippincoth William &

Wilkins

Potter & Perry. 2005. Buku Saku: Ketrampilan & Prosedur Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC

Price, et.al. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta:

EGC

Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius

FK UI

Nurachmah, dkk. 2000. Buku Saku: Prosedur Keperawata Medikal Bedah. Jakarta:

EGC

Weinstein, S. 2001. Buku Saku: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC

Hidayat, A, dkk. 2005. Buku Saku: Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC

Swearingen, P. et al. 2001. Seri Pedoman Praktis: Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan

Asam Basa.

Anda mungkin juga menyukai