Disusun Oleh :
P1908131
SAMARINDA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP RUANG ICU
A. Definisi ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan
staf khusus dan perlengkapan yang khusus, yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang
mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. ICU
menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsifungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat
dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.
ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan
khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan /
disfungsi satu organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih
ada harapan hidupnya (reversible). Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter
ICU yang memahami teknologi kedokteran, fisiologi, farmakologi dan kedokteran
konvensional dengan kolaborasi erat bersama perawat terdidik dan terlatih untuk
critical care. Pasien yang semula dirawat karena masalah bedah/trauma dapat berubah
menjadi problem medik dan sebaliknya. Adalah unit perawatan yang dikelola bertujuan
untuk merawat pasien sakit berat dan kritis yang mengancam nyawa dengan melibatkan
tenaga terlatih serta didukung oleh kelengkapan peralatan khusus.
Jadi ICU atau Intenssive Care Unit adalah ruang rawat inap di Rumah Sakit yang
dilengkapai dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat pasien yang yang
mengancam nyawa seperti pasien dengan sakit berat dan kritis oleh karena kegagalan
fungsi organ, bencana atau komplikasi yang memiliki harapan hidup.
Gambar 1 : Ruang ICU
B. Sejarah ICU
ICU mulai muncul dari ruang pulih sadar paska bedah pada tahun 1950. ICU modern
berkembang dengan mencakup penanganan respirasi dan jantung menunjang ffal
organ dan penanganan jantung koroner mulai tahun 1960. Pada tahun 1970, perhatian
terhadap ICU di Indonesia semakin besar (ICU pertama kali adalah RSCM Jakarta),
terutama dengan adanya penelitian tentang proses patofisiologi, hasil pengobatan
pasien kritis dan program pelatihan ICU. Dalam beberapa tahun terakhir, ICU mulai
menjadi spesialis tersendiri, baik untuk dokter maupun perawatnya.
C. Level ICU
1. Level I / Primer
Pada Rumah Sakit di daerah yang kecil (di Rumah Sakit Daerah dengan tipe C
dan D), ICU lebih tepat disebut sebagai unit ketergantungan tinggi (High
Dependency). Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif
segera untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan
mempunyai peran penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada
pasien medik dan bedah yang berisiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik
dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam. Di ICU level I
ini dilakukan observasi perawatan ketat dengan monitor EKG
Ciri – ciri ICU level I :
a. Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang gawat darurat dan
ruang perawatan lainnya.
b. Memiliki kebijaksanaan / kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan..
c. Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.
d. Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung paru
( A,B,C,D,E,F ).
e. Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap
saat.
f. Memiliki jumlah perawat yang cukup dengan sebagian besar terlatih.
g. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan lab. tertentu ( Hb, Ht, Elektrolit,
Gula darah dan Trombosit ) , Rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi.
2. Level II / Sekunder
ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang
selalu siap di tempat dan mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi,
patologi dan radiologi. Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan
(misalnya dialisis), monitor invasif (monitor tekanan intrakranial) dan
pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak perlu harus selalu ada. Pelayanan ICU
sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang mendukung peran
rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah,
pengelolaan trauma, bedah saraf, bedah vaskular dan lain-lainnya. ICU hendaknya
mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama dan melakukan
dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
Ciri – ciri ICU level II :
a. Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang
keperawatan lain
b. Memiliki kebijaksanaan, kriteria yang masuk, keluar serta rujukan.
c. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan
d. Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan Intensive Care atau
bila tidak tersedia, dokter spesialis anestesiologi yang bertanggungjawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP (A,
B, C, D, E, F).
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat =
1 : 1 untuk pasien ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk kasus-
kasus lainnya.
f. Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan / terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 tahun di ICU.
g. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanik beberapa lama dan dalam
batas tertentu melakukan pemantauan intensif dan usaha-usaha penunjang
hidup.
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik,
dan fisioterapi selama 24 jam.
i. Memiliki ruangan isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi.
3. Level III / Tertier
ICU Level III biasanya pada Ruamh Sakit tipe A yang memiliki semua aspek
yang dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.
Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan trainee, perawat spesialis,
profesional kesehatan lain, staf ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan
canggih tersedia dengan dukungan spesialis dari semua disiplin ilmu. Pelayanan
ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan pelayanan yang
tertinggi termasuk dukungan/bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dalam
jangka waktu yang tak terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis, pelayanan
dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskular invasif
dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan pelayanan
penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk
dikelola oleh spesialis intensive care.
Ciri – ciri ICU level III :
a. Memiliki ruang khusus, tersendiri di dalam rumah sakit
b. Memiliki kriteria penderita masuk, keluar serta rujukan.
c. Memiliki dokter spesialis yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan.
d. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi/konsultan Intensive Care atau dokter
ahli konsultan intensive care yang lain yang bertanggungjawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP ( A, B, C,
D, E, F ).
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat =
1 : 1 untuk pasien dgn ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk
kasus-kasus lainnya.
f. Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 tahun di ICU
g. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan / therapi intensif
baik invasif maupun non invasif.
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik,
dan fisioterapi selama 24 jam.
i. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik
dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
j. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
k. Memiliki staf tambahan yang lain : misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medis , tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
D. Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1. ICU Medik
2. ICU trauma/bedah
3. ICU umum
4. ICU pediatrik
5. ICU neonatus
6. ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien
yang sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya
berbentuk ICU umum, dengan pemisahan untuk CCU (Jantung),Unit dialisis dan
neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional
dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan
antara ICU Medik dan Bedah.
E. Tujuan ICU
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan
monitaring evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap
data yang didapat dan melakukan tindak lanjut.
3. Meningkatkan kualitas pasien dan mempertahankan kehidupan.
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.
5. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan
pasien.
F. Etik Di ICU
Etik dalam penanganan pasien riset, dan hubungan dengan kolega harus dilaksanakan
secara cermat. Etik di ICU perlu pertimbangan berbeda dengan etik di pelayanan
kesehatan atau bangsal lain. Terkadang muncul kontroversi etik dalam legalitas moral
di ICU, misalnya tentang euthanasia.
G. Prosedur Masuk ICU
Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter di luar ICU setelah berkonsultasi dengan
doketr ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat juga didahului secara lisan
(misalnya lewat telepon), terutama dalam keadaan mendesak, tetapi harus segera
diikuti dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang mengancam jiwa akan menjadi
tanggung jawab dokter pengirim. Transportasi ke ICU masih menjadi tanggungjawab
dokter pengirim, kecuali transportasi pasien masih perlu bantuan khusus dapat dibantu
oleh pihak ICU. Selama pengobatan di ICU, maka dimungkinkan untuk konsultasi
dengan berbagai spesialis di luar dokter pengirim atau dokter ICU bertindak sebagai
koordinatornya. Terhadap pasien atau keluarga pasien wajib diberikan penjelasan
tentang perlunya masuk ICU dengan segala konsekuensinya dengan menandatangani
informed concern.
H. Indikasi Masuk ICU
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktu
waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih
ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan
pengobatan intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial
yang memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU.
Beberapa contoh kondisi pasien yang dapat dipakai sebagai indikasi masuk ke ICU
antara lain :
1. Ancaman / kegagalan sistem pernafasan : gagal nafas, impending gagal nafas.
2. Ancaman / kegagalan sistem hemodinamik : shock
3. Ancaman / kegagalan sistem syaraf pusat : stroke, penurunan kesadaran.
4. Overdosis obat, reaksi obat dan intoksikasi : depresi nafas
5. Infeksi berat : sepsis
Dalam menentukan tindakan kepada pasien harus memperhatikan tingkat prioritas
pasien sehingga penanganan yang diberikan sesuai dan tepat. Prioritas pasien
antara lain :
a. Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif
kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pascabedah
kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa
institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat
hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu)
umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.
b. Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien
ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun
intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat
menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit
dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami
pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi
yang diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.
c. Prioritas 3
Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-
masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan
atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien
dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru
terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga)
mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi
kardiopulmoner.
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk
masuk ICU, dan hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan
luar biasa, atas persetujuan kepala ICU. Lagi pula pasien-asien tersebut bila
perlu harus dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat
digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga):
1. Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death. Pasien-pasien seperti
itu dapat dimasukkan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi
hanya untuk tujuan menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu
donasi organ.
2. Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang
agresif dan hanya demi ”perawatan yang nyaman” saja. Ini tidak
menyingkirkan pasien dengan perintah ”DNR”. Sesungguhnya, pasien-
pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia
di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
3. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
4. Pasien yang secara fisiologis stasbil yang secara statistik risikonya rendah
untuk memerlukan terapi ICU. Contoh pasien kelompok ini antara lain,
pasien pascabedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa
komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concussion, atau payah jantung
kongestif ringan. Pasien-pasien semacam ini lebih disukai dimasukkan ke
suatu unit intermediet untuk terapi definitif dan atau observasi.
IBS
UGD ICU
Disusun Oleh :
P1908131
SAMARINDA
2020
LAPORAN PENADAHULUAN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
A. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi
dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi
kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini
mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih
banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan
menebal.Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat.Sebagai akibatnya,
ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan
bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ
lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).
B. Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh (Masjoer, Arif dkk 2001):
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis coroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung.Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam laktat).Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung.Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung
4. Peradangan dan penyakit myocardium degenerative
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain.
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung.Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak
mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif
konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme(mis : demam, tirotoksikosis ),
hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalita
elekttronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung
Grade gagal jantung menurut New york Heart Associaion, terbagi menjadi 4
kelainan fungsional :
1. NyHA Grade I timbul gejala sesak pada aktifitas fisik berat
2. NyHA Grade II timbul gejala sesak pada aktifitas fisik sedang
3. NyHA Grade III timbul gejala sesak pada aktifitas ringan
4. NyHA Grade IV timbul gejala sesak pada aktifitas sangat ringan/ istirahat
C. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat
dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac
output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV:
Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah
yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada
jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung);
(2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat
sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3)
Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang
akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan
tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi
peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua
atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan
meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema
sistemik.
Respon kompensasi terhadap out put kardiac yang tidak adekuat. Cardiac out put
yang tidak adekuat memicu beberapa respon kompensasi yang berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ- organ tubuh yang vital.
Respon awal adalah stimulus kepada saraf simpati yang menimbulkan dua
pengaruh utama :
1. Meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksi myocardium.
2. Vasokontriksi perifer
Vasokontriksi perifer menggeser arus darah arteri ke organ-organ yang kurang
vital, seperti kulit dan ginjal dan juga organ-organ yang lebih vital, seperti otak.Kontriksi
vena meningkatkan arus balik dari vena ke jantung.Peningkatan peregangan serabut otot
myocardium memungkinkan kontraktilitas.
Pada permulaan respon berdampak perbaikan terhadap cardiac out put, namun
selanjutnya meningkatkan kebutuhan oksigen untuk myocardium, meregangkan serabut-
serabut myocardium dibawah garis kemampuan kontraksi. Bila orang tidak berada dalam
status kekurangan cairan untuk memulai peningkatan volume ventrikel dapat
memperberat preload dan kegagalan komponen- komponen.
Jenis kompensasi yang kedua yaitu dengan mengaktivkan sistem renin
angiotensin yang akhirnya berdampak pada peningkatan preload maupun afterload pada
waktu jangka panjang dan seterusnya. Kompensasi yang ketiga yaitu dengan terjadinya
perubahan struktur micardium itu sendiri yang akhirnya lama- kelamaan miocrdium akan
menebal atau menjadi hipertropi untuk memperbaiki kontraksi namun ini berdampak
peningkatan kebutuhan oksigen untuk miocardium.
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat
terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap
dan bising akibat regurgitasi mitral Tanda dominan Meningkatnya volume intravaskuler.
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah
jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana
yang terjadi (Masjoer, Arif dkk 2001):
1. Gagal jantung kiri : kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru.Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru.
Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi : dispnea, ortopnea, batuk, mudah
lelah, takikardia, insomnia.
a. Dispnea dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi pada saat istirahat atau dicetuskan
oleh gerakan minimal atau sedang.
b. Ortopnea kesulitan bernafas saat berbaring, beberapa pasien hanya mengalami
ortopnea pada malam hari, hal ini terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk
lama dengan posisi kaki dan tangan di bawah, pergi berbaring ke tempat tidur.
Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun diekstremitas yang sebelumnya
berada di bawah mulai diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak
mampu mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya tekanan
dalam sirkulasi paru meningkat dan lebih lanjut, cairan berpindah ke alveoli.
c. Batuk yang berhubungan dengan ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif,
tetapi yang tersering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum
berbusa dalam jumlah yang banyak, yang kadang disertai bercak darah.
d. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernapas.
e. Insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.
2. Gagal jantung kanan : bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti
visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan
berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites, anoreksia, mual dan nokturia.
a. Edema dimulai pada kaki dan tumit juga secara bertahap bertambah ke tungkai,
paha dan akhirnya ke genetalia eksterna serta tubuh bagian bawah.
b. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga
abdomen, suatu kondisi yang dinamakan ascites. Pengumpulan cairan dalam
rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress
pernafasan.
c. Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
d. Nokturia terjadi karena perfusi renal yang didukung oleh posisi penderita pada
saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah
jantung membaik saat istirahat.
e. Kelemahan yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena
menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah
katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan (Smeltzer, 2002).
E. Diagnostik test
1. Urine
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria).
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikeloid, fosfat.
Sedimen : Kecoklatan menunjukkan adanya darah, HB, mioglobin,
porfirin.
Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Klirens kreatinin : Mungkin agak menurun.
Natrium : Lebih besar dari 40 mEg/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
Protein : Derajat tinggi protein uria (3 – 4) secara kuat menunjukkan
glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada.
2. Darah : BUN/kreatinin : meningkat, biasanya meningkat
dalam proporsi, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir mungkin rendah yaitu
5.
Hitung darah lengkap :
Ht : Menurun pada adanya anemia.
Hb : Biasanya kurang dari 7 – 8 g/dl
Sel darah merah : Waktu hidup menurun pada defesiensi eritropoetin seperti
azotemia.
AGD – PH penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7.2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mensekresi hidrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun, PCO2 menurun.
Natrium serum : Mungkin rendah bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis SDM). Pada tahap akhir perubahan EKG
mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEg atau lebih
besar.
Magnesium/fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun
Protein : Khususnya albumin : kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan/ penurunan sintetis karena
kurang asam amino essensial.
Osmolatitas serum : Lebih besar dari 285 Mosm/kg : sering sama dengan urine.
3. Prosedur diagnostik
KUB foto : Menunjukkan adanya ukuran ginjal/ureter/kandung
kemih dan adanya obstruksi (batu).
Pielogram retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
Ateriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, retensi.
Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.
Endoskopi ginjal, nefroskopi: Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal : keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam/basa.
Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : Dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi
F. Komplikasi
1. Syok Kardigenik
2. Episode Tromboemboli karena penbentukan bekuan vena karena stasis darah.
3. Efusi dan Tamponade Perikardium (Smeltzer & Bare, 2002)
G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah :
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat
farmakologi.
3. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi
antidiuretik, diit dan istirahat.
4. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tiroksikosis, miksedema, dan aritmia
digitalisasi
5. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi
O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas
Terapi Farmakologis :
1. Glikosida jantung.
2. Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan
tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresisidan mengurangi edema
3. Terapi diuretik.
4. Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air mlalui ginjal.Penggunaan hrs
hati – hati karena efek samping hiponatremia dan hypokalemia
5. Terapi vasodilator. Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi
tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan engisian
ventrikel kiri dapat dituruinkan
a. Dosis digitalis :
1) Digoksin oral digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam
dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
a) Digoksin iv 0,75 mg dalam 4 dosis selama 24 jam
b) Cedilanid> iv 1,2-1,6 mg selama 24 jam 2)
b. Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien
usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
1) Dosis penunjang digoksin untuk fiblilasi atrium 0,25 mg.
2) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang
berat :
H. Prognosis
Mortalitas I tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan
berkaitan dengan derajat keparahannya. Data Frimingham yang dikumpulkan sebelum
penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas I tahun rerata
sebesar 30% bila semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih
dari 60% pada NYHA kelas IV.
Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar
kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga
karena aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang
berkaitan dengan prognosis gagal jantung, yaitu :
a. Klinis : semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis,
semakin buruk prognosis.
b. Hemodinamik : Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi,
semakin buruk prognosis.
c. Biokimia : Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin,
vasopresin, dan peptida natriuretik plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk
d. Aritmia : Fokus Ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada
pengawasan EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Belum jelas
apakah aritmia ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk atau
apakah aritmia merupakan penyebab kematian.
c. Integritas ego
Gejala:stres, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan
kondisi klien.
Tanda: ansietas dan peka rangsang
d. Eliminasi
Gejala:perubahan pola berkemih (poliuria,nokturia, kesulitan berkemih/ infeksi nyeri
tekan abdomen, diare)
Tanda:urine encer, pucat, kuning, poliuria(dapat berkembang oligouria/ anuria jika
terjadi hipovolemia berat), urine berkabut, bau busuk/ infeksi, abdomen keras, adanya
asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif/ diare)
e. Makanan/cairan
Gejala:hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan
glukosa atau karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari atau
minggu
Tanda:kulit kering dan bersisik, turgor kulit jelek, kekakuan dan distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan
glukosa darah) halitosis atau bau manis, bau buah (nafas aseton)
f. Neurosensori
Gejala:pusing, sakit kepala, kesemutan,kebas atau kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/ koma (tahap lanjut), gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, reflek tendon dalam menurun, aktivitas
kejang (tahap lanjut dari ketoasidosis)
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas.
Tanda :Tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), perilaku melindungi
diri
h. Pernafasan
Gejala :
1. Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
2. Batuk dengan/tanpa sputum
3. Riwayat penyakit paru kronis
4. Menggunakan bantuan pernafasan, misal : oksigen atau medikasi
Tanda :
1. Pernafasan takipnea, nafas dangkal, pernafasan laboral, penggunaan otot aksesori
2. Pernafasan nasal faring
3. Batuk kering/ nyaring/ non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/
tanpa sputum
3. Tes Diagnostik
Adapun tes diagnostik (Safery, 2013) :
a. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen dada : pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan
redistrinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke
apeks),peningkatan tekanan vaskular pulmonal, kadang-kadang ditemukan
efusi pleura .
2) Elektrokardiografi : membantu menunjukan etiologi gagal jantung (infark,
iskemia, hipertrofi, dab lain-lain) dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS,
depresi ST, dan lain-lain.
b. Laboratorium
1) Kimia darah (termasuk ureum,kreatinin,glukosa,elektrolit), hemoglobin, tes
fungsi tiroid, tes fungsi hati dan lipid darah
2) Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria dan glukosaria
c. Ekokardiografi
d. Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur
jantung, katup dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40%
atau normal, kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid atau
regurgitasi trikuspid), hipertrofi ventrikel kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi
ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, temponade, atau perikarditis.
B. Pathway
C. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan frekuensi,
dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup
2. Pola Nafas tidak efektif b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal
3. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan,
asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
4. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan perifer
yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
5. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan natrium
oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal
6. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam
lingkungan social atau ketidakmampuan yang permanen.
D. Rencana asuhan keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Intervensi
o Keperawatan Hasil
1 Penurunan NOC NIC
curah jantung o Cardiac Pump Cardiac Care
b/d respon effectiveness o Evaluasi adanya nyeri dada
fisiologis otot o Circulation Status ( intensitas,lokasi, durasi)
jantung, o Vital Sign Status R:
peningkatan Kriteria Hasil: o Catat adanya disritmia jantung
frekuensi, o Tanda Vital dalam o Catat adanya tanda dan gejala
dilatasi, rentang normal penurunan cardiac putput
hipertrofi atau (Tekanan darah, o Monitor status kardiovaskuler
peningkatan isi Nadi, respirasi) o Monitor status pernafasan yang
sekuncup o Dapat menandakan gagal jantung
mentoleransi o Monitor abdomen sebagai
aktivitas, tidak ada indicator penurunan perfusi
kelelahan o Monitor balance cairan
o Tidak ada edema o Monitor adanya perubahan
paru, perifer, dan tekanan darah
tidak ada asites o Monitor respon pasien terhadap
o Tidak ada efek pengobatan antiaritmia
penurunan o Atur periode latihan dan istirahat
kesadaran untuk menghindari kelelahan
o Monitor toleransi aktivitas pasien
o Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
o Anjurkan untuk menurunkan
stress
o Vital Sign Monitoring
o Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
o Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
o Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
o Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
o Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
o Monitor kualitas dari nadi
o Monitor adanya pulsus
paradoksus dan pulsus alterans
o Monitor jumlah dan irama
jantung dan monitor bunyi
jantung
o Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
o Monitor suara paru, pola
pernapasan abnormal
o Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
o Monitor sianosis perifer
o Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
o Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E, Moorhouse, M.F., & Geissler, A.C. (1999). Rencana asuhan keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta.
EGC.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002).Buku ajar keperawatan medikal bedah.Vol 2.
Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK
Universitas Indonesia
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika
Safery,Ns Andra wijaya, S.Kep, 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa).Yogyakarta : Nuha Medika
Wilkinson J.M, dan Ahern N.R. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9, EGC ;
Jakarta.
A. Definisi
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi Secara
Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di
Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan
Ancaman Gagal Napas.
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terkumpulnya Cairan Ekstravaskuler Yang
Patologis Di Dalam Paru. (Soeparman;767).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
C. Patofisiologis
alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal
mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi
oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya
oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.
D. Pathway
Gagal jantung
kanan/kongesti
E. Manifestasi klinik
Alo dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi co. Keluhan pada
stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan
cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil,
terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek
bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat
dan tersengal.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara
berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas
yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata.
F. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi
dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Kronik
1. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
2. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di
paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural
effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat
berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral
pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
a. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
b. Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
c. Takikardia dengan S3 gallop.
d. Murmur bila ada kelainan katup.
2. Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
3. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
d. Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-
tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan
sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan
pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua
bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan
pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang
normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal
tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
4. Gambaran Radiologi yang ditemukan :
a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
b. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
e. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)
5. Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner),
dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
6. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari
beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary
edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan
gagal jantung sebagai penyebabnya.
7. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-
Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).
H. Penatalaksanaan.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (90 – 100%) sampai 12 liter/menit bila perlu dengan masker NRBM.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
6. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
8. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
9. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
10. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
11. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
12. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret.
2) Wheezing atau krekles.
3) Kepatenan jalan nafas.
Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
3) Ronchi, krekles.
4) Ekspansi dada tidak penuh.
5) Penggunaan otot bantu nafas.
Circulation
1) Nadi lemah, tidak teratur.
2) Capillary refill.
3) Takikardi.
4) TD meningkat / menurun.
5) Edema.
6) Gelisah.
7) Akral dingin.
8) Kulit pucat, sianosis.
9) Output urine menurun.
Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium :
keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak
sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan
rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak
dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan
(nyeri) dengan pengkajian PQRST.
Pengkajian Sekunder
a. AMPLE
1) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu
terjadinya penyakitnya.
2) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
3) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan
menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
4) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
5) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien
dengan kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
- Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen
Subyektif : -
b. Sistem Pulmonal
d. Sistem Neurosensori
e. Sistem Musculoskeletal
f. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
g. Sistem digestif
h. Pemeriksaan Penunjang :
1) Hb : menurun/normal
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
2 Gangguan pertukaran Gas Fungsi pertukaran gas dapat 1. Berikan HE pada pasien 7) Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan maksimal setelah dilakukan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
distensi kapiler pulmonar tindakan keperawatan selama 3 × kooperatif dalam memberikan
2. Atur posisi pasien semi
24 jam dengan kriteria hasil: terapi
fowler 8) Jalan nafas yang longgar dan
1. Tidak terjadi sianosis 3. Bantu pasien untuk tidak ada sumbatan proses
2. Tidak sesak respirasi dapat berjalan dengan
a. RR normal (16-20 × / melakukan reposisi secara
lancer
menit) sering 9) Posisi yang berbeda
b. BGA normal: 4. Berikan terapi oksigenasi menurunkan resiko perlukaan
1) partial pressure of akibat imobilisasi
5. Observasi tanda – tanda
oxygen (PaO2): 75- 10) Pemberian oksigen secara
100 mm Hg vital adequat dapat mensuplai dan
2) partial pressure of 6. Kolaborasi dengan tim memberikan cadangan oksigen,
carbon dioxide sehingga mencegah terjadinya
medis dalam memberikan
(PaCO2): 35-45 mm hipoksia
Hg pengobatan 11) Dyspneu, sianosis
3) oxygen content merupakan tanda terjadinya
(O2CT): 15-23% gangguan nafas disertai dengan
4) oxygen saturation kerja jantung yang menurun
(SaO2): 94-100% timbul takikardia dan capilary
5) bicarbonate (HCO3): refill time yang
22-26 mEq/liter memanjang/lama.
6) pH: 7.35-7.45 12) Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
3 Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi setelah 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan area dilakukan tindakan keperawatan tentang kondisi yang membawa pasien lebih
invasi mikroorganisme selama 3 × 24 jam, dengan kriteria dialaminya kooperatif dalam memberikan
sekunder terhadap hasil: 2. Observasi tanda-tanda vital. terapi
pemasangan selang 3. Observasi daerah 2. Meningkatnya suhu tubuh dpat
endotrakeal 1. Pasien mampu mengurangi pemasangan selang dijadikan sebagai indicator
kontak dengan area endotrakheal terjadinya infeksi
pemasangan selang 4. Lakukan tehnik perawatan 3. Kebersihan area pemasangan
endotrakeal secara aseptik selang menjadi factor resiko
2. Suhu normal (36,5oC) 5. Kolaborasi dengan tim medis masuknya mikroorganisme
dalam memberikan 4. Meminimalkan organisme yang
pengobatan kontak dengan pasien dapat
menurunkan resiko terjadinya
infeksi
5. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher
LAPORAN PENDAHULUAN
PNEUMONIA
A. Definisi Penyakit
Pneumonia merupakan suatu peradangan alveoli atau pada parenchyma paru yang
terjadi pada anak (Suriadi, 2006). Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada
parenkim paru (Betz, 2002). Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Staf
FKUI, 2006). Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut bawah. Bila seseorang
menderita pneumonia, nanah dan cairan mengisi alveoli dalam paru yang mengganggu
penyerapan oksigen, dan membuat sulit bernapas (WHO, 2006). Pneumonia adalah
setiap penyakit radang paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Bahan
kimia atau agen lain bisa menyebabkan paru menjadi meradang. Suatu jenis pneumonia
yang terkait dengan influenza kadang-kadang berakibat fatal.
Pneumonia berpotensi fatal lainnya dapat dihasilkan dari makanan atau inhalasi
cair (pneumonia aspirasi). Hanya mempengaruhi beberapa pneumonia lobus paru
(pneumonia lobaris), namun ada juga yang menyebar lebih (bronkopneumonia). Nyeri
dada, sputum mukopurulen, dan meludah darah (hemoptisis) adalah tanda-tanda umum
dan gejala penyakit. Jika udara di paru digantikan oleh cairan dan puing-puing inflamasi,
jaringan paru kehilangan tekstur kenyal dan menjadi bengkak dan membesar
(konsolidasi). Konsolidasi berhubungan terutama dengan pneumonia bakteri, bukan
pneumonia virus.
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah jenis pneumonia erat terkait dengan
AIDS. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh jamur yang berada di
dalam atau pada kebanyakan orang (flora normal), tetapi tidak menyebabkan kerugian
selama individu tetap sehat. Ketika sistem kekebalan tubuh mulai gagal, organisme ini
menjadi menular (oportunistik). Diagnosis bergantung pada pemeriksaan biopsi jaringan
paru-paru atau pencucian bronkial (lavage) (Gylys & Wedding, 2009). Pneumonia adalah
suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga
alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang
mengalami konsolidasi dan darah dialirkan ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi.
B. Etiologi
Etiologi pneumonia yaitu bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan
anatomis dari struktur paru yang terkena infeksi, pneumonia dibagi menjadi pneumonia
lobaris, pneumonia lobularis (bronkhopneumonia), dan pneumonia intersitialis
(bronkiolitis). Bronkhopneumonia merupakan penyakit radang paru yang biasanya
didahului dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas dan disertai dengan
panas tinggi. Keadaan yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh, yaitu aspirasi,
penyakit menahun, gizi kurang/malnutrisi energi protein (MEP), faktor patrogenik
seperti trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya bronkhopneumonia. Menurut WHO
diberbagai negara berkembang Streptococus pneumonia dan Hemophylus influenza
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah (Depkes, 2009)
Dari seluruh etiologi pneumonia, Streptococcus pneumonia adalah merupakan
etiologi tersering dari pneumonia bakteri dan yang paling banyak diselidiki
patogenesisnya. Jenis keparahan penyakit ini di pengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
umur, jenis kelamin, musim dalam tahun tersebut, dan kepadatan penduduk. Anak laki –
laki lebih sering terkena pneumonia dari pada anak perempuan (Prober, 2009)
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia
sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan
timbulnya.
Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai
penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini :
1. Bakteri
Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus
pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
2. Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh
virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang
merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
3. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran
burung.
4. Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien
yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.
C. Patofisologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai
usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan
penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah
yang paling berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit,
usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak organ paru.
Kerusakan jaringan paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang
dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada
pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru (tiga di paru kanan, dan dua di paru kiri) menjadi
terisi cairan. Dari jaringan paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Pneumonia adalah bagian dari penyakit infeksi pneumokokus invasif
yang merupakan sekelompok penyakit karena bakteri streptococcus pneumoniae. Kuman
pneumokokus dapat menyerang paru selaput otak, atau masuk ke pembuluh darah hingga
mampu menginfiltrasi organ lainnya. infeksi pneumokokus invasif bias berdampak pada
kecacatan permanen berupa ketulian, gangguan mental, kemunduran intelegensi,
kelumpuhan, dan gangguan saraf, hingga kematian.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda- beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, reaksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
Gejala yang sering terlihat adalah tapikneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan
iritabel.
Pada pra-sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), tapikneu, dan dispneu yang ditandai reaksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok
umur, akan dijumpai adanya napas cuping hidung. Pada auskultasi, dapat terdengar
pernapasan menurun. Fine crackles (ronkhi basah halus) yang khas pada anak besar,
bisa juga ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada
perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine crackles
(ronkhi basah halus) didaerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri
dada, bila berat dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring kearah yang sakit
dengan kaki fleksi. Rasa sakit dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.
Pemeriksaan berfokus pada bagian thorak yang mana dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dan didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Inspeksi: Perlu diperhatikan adanya tahipne, dispne, sianosis sirkumoral,
pernapasan cuping hidung, distensis abdomen, batuk semula nonproduktif
menjadi produktif, serta nyeri dada saat menarik napas. Batasan takipnea pada
anak usia 2 bulan -12 bulan adalah 50 kali / menit atau lebih, sementara untuk
anak berusia 12 bulan – 5 tahun adalah 40 kali / menit atau lebih. Perlu
diperhatikan adanya tarikan dinding dada kedalam pada fase inspirasi. Pada
pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas.
b. Palpasi: Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membeasar,
fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin
mengalami peningkatan (tachichardia)
c. Perkusi: Suara redup pada sisi yang sakit
d. Auskultasi: Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga ke hidung / mulut bayi. Pada anak yang pneumonia akan
terdengar stridor. Sementara dengan stetoskop, akan terdengar suara nafas
berkurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa
resolusi. Pernapasan bronkial, egotomi, bronkofoni, kadang-kadang terdengar
bising gesek pleura.
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen thoraks proyeksi posterior - anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi
pleura. Pada bayi dan anak yang kecil gambaran radiologi sering kali tidak sesuai
dengan gambaran klinis. Tidak jarang secara klinis tidak ditemukan apa – apa tetapi
gambaran foto thoraks menunjukkan pneumonia berat. Foto thoraks tidak dapat
membedakan antara pneumonia bakteri dari pneumonia virus. Gambaran radiologis
yang klasik dapat dibedalan menjadi tiga macam yaitu ; konsolidasi lobar atau
segmental disertai adanya air bronchogram, biasanya disebabkan infeksi akibat
pneumococcus atau bakteri lain. Pneumonia intersitisial biasanya karena virus atau
Mycoplasma, gambaran berupa corakan bronchovaskular bertambah, peribronchal
cuffing dan overaeriation; bila berat terjadi pachyconsolidation karena atelektasis.
Gambaran pneumonia karena S aureus dan bakteri lain biasanya menunjukkan
gambaran bilateral yang diffus, corakan peribronchial yang bertambah, dan tampak
infiltrat halus sampai ke perifer.
Staphylococcus pneumonia juga sering dihubungkan dengan pneumatocelle dan
efusi pleural (empiema), sedangkan Mycoplasma akan memberi gambaran berupa
infiltrat retikular atau retikulonodular yang terlokalisir di satu lobus. Ketepatan
perkiraan etiologi dari gambaran foto thoraks masih dipertanyakan namun para ahli
sepakat adanya infiltrat alveolar menunjukan penyebab bakteri sehingga pasien perlu
diberi antibiotika. Hasil pemeriksaan leukosit > 15.000/μl dengan dominasi netrofil
sering didapatkan pada pneumonia bakteri, dapat pula karena penyebab non bakteri.
Laju endap darah (LED) dan C reaktif protein juga menunjukkan gambaran tidak
khas. Trombositopeni bisa didapatkan pada 90% penderita pneumonia dengan
empiema (Kittredge, 2000). Pemeriksaan sputum kurang berguna. Biakan darah
jarang positif pada 3 – 11% saja, tetapi untuk Pneumococcus dan H. Influienzae
kemungkinan positif 25 –95%. Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai
spesifitas dan sensitifitas rendah.
G. Analisa Data
No Diagnosa keperawatan
Data Patofisiologi
.
1. Data Subyektif : Infeksi oleh Bersihan jalan napas
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen tidak efektif
klien sulit bernapas ↓
- Klien mengatakan Respon antigen-antibody
napasnya sesak ↓
Data Obyektif: Pengaktifan kaskade
- Anak rewel, sering komplemen
menangis ↓
- Napas sesak Kemotaksis Netrofil dan
- Bunyi napas ronki Magrofah
- Anak menggunakan otot ↓
bantu napas Aktifasi proses fagositosis
- Ada pernapasan cuping oleh netrofil dan magrofah
hidung ↓
- batuk Penumpukan sekret eksudat
- rr: > 27x/i ↓
Bersihan jalan napas tidak
efektif
2. Data Subyektif : Infeksi oleh Pola napas tidak efektif
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen
klien sulit bernapas ↓
- Klien mengatakan Respon antigen-antibody
napasnya sesak ↓
Data Obyektif: Pengaktifan kaskade
- Anak rewel, sering komplemen
menangis ↓
- Napas sesak Kemotaksis Netrofil dan
- Bunyi napas abnormal Magrofah
ronki ↓
- Anak menggunakan otot Aktifasi proses fagositosis
bantu napas oleh netrofil dan magrofah
- Ada pernapasan cuping ↓
hidung Konsolidasi lekosit dan
- batuk fibrin dalam paru
- rr 0-2 bulan : >50 x/i ↓
- rr 2-12 bulan : >40 x/i Konsolidasi jaringan paru
- rr 1-5 tahun : >30 x/i ↓
- rr > 5 tahun : >25 x/i Komplience kemampuan
- pengembangan paru turun
↓
Pola napas tidak efektif
3. Data Subyektif : Infeksi oleh Hipertermia b.d Proses
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen Infeksi
anaknya demam ↓
beberapa hari yang lalu Respon antigen-antibody
- Keluarga mengatakan ↓
anakknya mengigil Pengaktifan kaskade
Data Obyektif: komplemen
- Anak rewel, sering ↓
menangis Kemotaksis Netrofil dan
- Suhu tubuh > 38oC Magrofah
- Anak menggigil ↓
- Anak susah tidur Pelepasan pirogen endogen
- T: 110/70 ↓
- N: 116x/i Merangsang saraf vagus
- rr: 24x/i ↓
Penghantar sinyal sampai
SSP
↓
Pembentukan prostaglandin
otak
↓
Masuk ke hipotalamus
meningkatkan titik patokan
suhu (set point)
↓
Hiperpireksia
4. Data Subyektif : Infeksi oleh Nyei Akut b.d proses
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen Penyakit
anaknya rewel sejak ↓
beberapa hari yang lalu Produk toksik
- Keluarga mengatakan ↓
anakknya menangis Kerusakan sel dan jaringan
terus dan susah ↓
ditenangkan Pelepasan mediator nyeri
Data Obyektif: (histamin, bradikinin,
- Anak rewel, sering prostaglandin, serotonin,
menangis ion kalium, dll)
- Skala nyeri > 5 ↓
- Anak susah tidur Merangsang nosiseptor
- T: 110/70 (reseptor nyeri)
- N: 116x/i ↓
- rr: 24x/i Penghantar sinyal ke
medulla spinalis
↓
Persepsi nyeri
↓
Nyeri
H. Diagnosa keperawatan .
Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian
dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Pneumonia diantaranya :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif.
NOC : Status pernapasan: Ventilasi
NIC :
1) Penghisapan jalan napas
2) Fisioterapi dada
b. Pola napas tidak efektif
NOC : Status Pernapasan : Kepatenan Jalan Napas
NIC :
1) Managemen Jalan Napas
2) Terapi Oksigen
NIC :
1) Regulasi Temperatur
2) Pengobatan Deman
3) Managemen Cairan
d. Nyeri Akut berhubungan dengan proses penyakit
NOC : kontrol nyeri
NIC :
1) Managemen nyeri
2) Pemberian Analgetik
3) Monitor TTV
Diagnosa Keperawatan NANDA, Kriteria Hasil NOC dan Intervensi Keperawatan NIC
b. Batuk Efektif
Aktivitas :
Monitor hasil tes fungsi paru, kapasitas
vital, kekuatan maksimal dari inspirasi
dan ekspirasi
Kaji pasien untuk duduk dengan posisi
kepala sedikit fleksi, bahu dalam kondisi
rileks, dan lutu fleksi
Dorong pasien untuk bernafas dalam
beberapa kali
Dorong pasien nafas dalam, tahan
beberapa detik dan batukan dua sampai
tiga kali
Ajarkan pasien untuk menghirup dalam,
tekukan kedepan dan ucapkan ”huff”
sebanyak 2-3 kali
Ajarkan pasien menghirup dalam
beberapa waktu, lalu keluarkan pelan-
pelan lalu di akhiri dengan batuk
Tingkatkan hidrasi sistemik.
2. KETIDAKEFEKTIFAN POLA Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas a. Managemen Jalan Napas
NAPAS Demam tidak ada Aktivitas :
Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi Ansietas tidak ada Buka jalan nafas dengan teknik
yang tidak menyediakan ventilasi Sesak tidak ada mengangkat dagu atau dengan
yang adekuat. Frekuensi napas IER* mendorong rahang sesuai keadaan
Irama napas IER Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Batasan Karakteristik ventilasi yang potensial
Keluaran sputum dari jalan napas
- Napas dalam Identifikasi masukan jalan nafas baik
Tidak ada suara napas tambahan
- Perubahan gerakan dada yang aktual ataupun potensial
- Mengambil posisi tiga titik Lainnya
Masukkan jalan nafas/ nasofaringeal
- Bradipneu sesuai kebutuhan
- Penurunan tekanan ekspirasi Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Penurunan tekanan inspirasi suction/pengisapan
- Penurunan ventilasi semenit Dorong nafas dalam, pelan dan batuk
- Penurunan kapasitas vital
Ajarkan bagaimana cara batuk efektif
- Dispneu
Kaji keinsetifan spirometer
- Peningkatan diameter
anterior-posterior Auskultasi bunyi nafas, catat adanya
- Napas cuping hidung ventilasi yang turun atau yang hilang
- Ortopneu dan catat adanya bunyi tambahan
- Fase ekspirasi yang lama Lakukan pengisapan endotrakeal atau
- Pernapasan pursed-lip nasotrakeal
- Takipneu Beri bronkodilator jika diperlukan
- Penggunaan otot-otot bantu Ajarkan pasien tentang cara penggunaan
untuk bernapas inhaler
Beri aerosol, pelembab/oksigen,
Faktor yang berhubungan ultrasonic humidifier jika diperlukan
- Ansietas Atur intake cairan untuk
- Posisi tubuh mengoptimalkan keseimbangan cairan
- Deformitas tulang Posisikan pasien untuk mengurangi
- Deformitas dinding dada dispnu
- Kerusakan kognitif Monitor pernafasan dan status oksigen
- Kelelahan b. Terapi Oksigen
- Hiperventilasi\ Aktifitas:
- Sindrom hipoventilasi · Bersihkan mulut, hidung dan trakea dari
- Kerusakan muskuloskeletal sekret
- Imaturitas neurologis · Pertahankan kepatenan jalan napas
- Disfungsi neuromuskular · Atur peralatan oksigenasi
- Obesitas · Atur posisi pasien untuk
- Nyeri mengoptimalkan pernapasan
- Kerusakan persepsi · Berikan oksigen sesuai order, jika
- Kelelahan otot-otot respirasi diperlukan
- Cedera tulang belakang · Monitor kepatenan aliran oksigen
· Observasi adanya tanda-tanda terjadinya
hipoventilasi
· Monitor terjadinya tanda-tanda
keracunan oksigen
· Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
· Monitor saturasi oksigen
· Monitor pola napas pasien
· Pantau tanda=tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian terapi oksigen
· Amati adanya sianosis jaringan
b. Regulasi Temperatur
Aktivitas :
Monitor temperatur tiap 2 hari
Monitr temperatur BBL hingga stabil
Selalu sediakan alat untuk memonitr
suhu inti
Monitor tekanan darah, nadi dan
respirasi
Monitor warna kulit dan temperatur
Monitor dan laporkan tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia
Pantau asupan nutrisi dan cairan yang
adekuat
Bedung BBl langsung estela lahir untuk
mencegah kehilangna panas
Jaga kehangatan suhu tubuh BBL
Pakaikan stockinette cap untuk
emncegah kehilangan panas BBL
Ajarkan pasien cara ntuk mencegah
kelebihan dan strok panas
Tempatkan BBL dalam ruangan isolasi
atau dibawah penghangat bila perlu
Diskusikan pentingnya termoregulasi
dan kemungkinan efek negatif dari
dingin yang berlebihan
Ajarkan pasien, terutama pasien lansia,
cara mencegah hypotermi jira
terexpose udara ddingin
Ajarkan indikasi dari keletihan dan
penatalaksanaan emergency yang tepat
Ajarkan indikasi dari hypotermia dan
penatalaksanaan emergency yang tepat
Guakan matras panas dan kantong
hangat untuk mengatur perubahan
suhu tubuh
Atur temperatur lingkungan sesuai
kebutuhan pasien
Beri obat yang tepat untuk mencegah
atu kontrol menggigil
Atur pemberian obat anti piretik
Gunakan matras dingin dan mandi air
hangat untuk mengatur perubahan
temperatur.
b. Pemberian Analgetik
Aktifitas:
· Menentukan lokasi , karakteristik, mutu,
dan intensitas nyeri sebelum mengobati
pasien
· Periksa order/pesanan medis untuk obat,
dosis, dan frekuensi yang ditentukan
analgesik
· Cek riwayat alergi obat
· Mengevaluasi kemampuan pasien dalam
pemilihan obat penghilang sakit, rute,
dan dosis, serta melibatkan pasien dalam
pemilihan tersebut
· Utamakan pemberian secara IV
dibanding IM sebagai lokasi
penyuntikan, jika mungkin
· Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian obat narkotik dengan dosis
pertama atau jika ada catatan luar biasa.
· Cek pemberian analgesik selama 24 jam
untuk mencegah terjadinya puncak nyeri
tanpa rasa sakit, terutama dengan nyeri
yang menjengkelkan
· Menginformasikan individu yang
mendapatkan analgesik narkotika,bahwa
pasien akan merasa mengantuk hingga 2
sampai 3 hari kemudian kembali normal
· Dokumentasikan respon pasien tentang
analgesik, catat efek yang merugikan
· Mengevaluasi dan mendokumentasikan
tingkat pemberian obat penenang pada
pasien yang menerima opioids
· Mengajari tentang penggunaan
analgesik, strategi ke menurunkan efek
samping, dan harapan untuk keterlibatan
dalam membuat keputusan dalam
manajemen nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
A.Gylys B, Wedding ME. (2009). Medical Terminology Systems A Body System Approach.
Philadelpia: F.A. Davis Company.
Behram, Kleigman, Alvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Betz, Sowden. (2002) Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC
Bukchech, Gloria, et al (2012). Nursing International Classification. Lowa : Mosby
Carpenito. (2008). Ilmu Keperawatan Anak Edisi 3. Jakarta :EGC
Depkes. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Laporan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Publishing.
Jhonson, Marion. (2012). Outcome project Nursing Clasification NOC. St Louis Missouri :
Mosby
Kittredge M.(2000) The Respiratory System. Philadelphia: Chelsea House Publishers.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit: Edisi 2. Jakarta: EGC.
Riyadi S, Suharsono. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Gosyen
Staf Pengajar FKUI. (2006) Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta: Infomedika
Suriadi, Rita. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swada
WHO, UNICEF (2006). Pneumonia: The forgotten killer of children. Geneva: WHO Press
Wiley, NANDA International. (2012). Nursing Diagnostig : Defenition and Clasification
2012-2014. Jakarta : ECG
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN
KRITIS PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN STIKES WHS
BIODATA PASIEN
Pendidikan : SMA
Pekerjaaan : Karyawan Swasta
Status Pernikahan : Menikah
No RM : XXXXXX
Diagnosa Medis : CKD ON HD, CHF, ALO, ARDS, DM, ULKUS PEDIS
DEXTRA
Tanggal Masuk RS : 14 Oktober 2020
Alamat : Balikpapan
Nama : Ny M
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Balikpapan
I. ANAMESA (PENGKAJIAN AWAL)
Keterangan :
: Meninggal
: Laki-laki
: Perempuan
: Klien
2. Breathing :
Gerakan dada
Irama Nafas : Cepat
Pola Nafas : Teratur Tidak Teratur
Retraksi otot dada : Ada N/A
Sesak Nafas : Ada RR : 34 x/mnt Saturasi : 84%
Keluhan Lain : Ronchi
3. Circulation
Nadi : Teraba 66 x/menit
Sianosis : Ya
CRT : > 2 detik
Pendarahan : Ya Tidak ada
Tekanan Darah : 144/97 mmHg
Suhu : 36.5 oC
4. Disability
Kesadaran tersedasi E : 2, M : 5, V : 1, Pupil isokor reaksi cahaya +/+
5. Fluid (Cairan dan Elektrolit)
Intake :
Output :
Balance Cairan :
III. PEMERIKSAAN FISIK SPESIFIK WITH BODY SISTEM (SECONDARY
SURVEY)
KU Pasien :
Diberitahukan ke dokter:
Keluhan Lain . . . . .
3. Riwayat Psikososial
Status Psikologi : Tenang
Status Mental : Pasien Koma
Status sosial
a. Hubungan pasien dengan anggota keluarga : Baik
b. Kerabat terdekat yang dapat dihubungi :
Nama : Ny. M
Hubungan : Istri
Telepon : 08xxxxxxxxxx
Pekerjaan pasien : Karyawan Swasta
4. Status Gizi
SKRINING GIZI (berdasarkan (MST/Malnutrition Screening Tool) Untuk Pasien
dewasa
Antropometri : BB . . . . kg TB : . . . . . . cm LILA : . . . . . cm
(bila skor ≥ 2 dilakukan pengkajian lanjut oleh dietisien)
Parameter
No Kriteria Skor
1. Apakah pasien mengalami penurunan BB yang tidak diinginkan
dalam
a. Tidak ada penurunan
b. Tidak yakin/tidak tahu
c. Jika Ya, berapa penurunan berat badan tersebut
1 – 5 Kg
6 – 10 Kg
11 – 15 Kg
2. Apakah asupan makanan berkurang karena tidak nafsu makan
a. Ya
b. Tidak
Total Skor
a. RONTGEN :
Cor : Membesara
Pulmo :Tampak perselubungan paracardial kanan kiri. Sinus phernicocostalis
kanan kiri tajam. Tulak-tulang tampak normal
Kesan :
Cardiomegali
Pneumonia sedang curiga viral
b. Laboratorium :
Hematologi :
Hemoglobin : 9.7
Leukosit : 26.38
Eritrosit : 3.69
Hematokrit : 29.7
Trombosit : 288
Indeks Eritrosit :
MCV : 80.5
MCH : 26.3
MCHC : 32.7
Hitung jenis leukosit :
Neutrofil : 89.8
Limfosit : 7.2
NLR : 12.48
Kimia Darah :
Ureum Darah : 150
Kreatinin Darah : 4.49
GFR (CKD-EPI, 2009) : 14
Analisa Gas Darah :
Ph : 7.220
PO2 : 41.0
HCO3 : 17.6
Base Excess : -10,1
CO2 Total : 18.9
Saturasi O2 : 64.0
VI. TERAPI YANG DIDAPAT
Furosemid 20 mg/jam
Morphina 1 mg/jam
Injeksi Ceftazidime 2 x 1 gr, Injeksi Omeprazole 1 x 40 mg ,
inj Metronidazole 3 x 5oomg
Sucralfat 3x 1C
Asam folat 3 x 1
Caco3 3 x 1
Micardis 1 x 40 mg
Silostazol 2 x 50 mg
PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL
NILAI SKOR
SAAT MGG MGG MGG MGG SAAT
SEBELU
MASU I II III DI IV DI PULAN
M SAKIT
Tidak K RS RS RS G
1 Mengendalikan 0 terkendali/teratur
rangsang defekasi Kadang-kadang 1 1 1 1 1 1 1
BAB 1
2 Madiri
Tak 0 0 0 0 0 0 0
2 Mengendalikan 0 terkendali/paka
rangsang i kateter
Kadang-kadang
1
berkemih (BAK)
2 Madiri
Membersihkan diri Butuh 0 0 0 0 0 0 0
(cuci muka, sisir
3 rambut, sikat gigi) 0 pertolongan
1 orang lain
Mandiri
Tergantung 0 0 0 0 0 0 0
Penggunaan 0 pertolongan
orangpertolongan
Perlu lain
4 jamban, masuk
dan keluar pada
(memakai celana, beberapa
membersihkan, kegiatan
dapat
menyiram)
2 Mandiri
0 Tidak mampu 0 0 0 0 0 0 0
Perlu ditolong
5 Makan 1 memoton
2 g makanan
Mandiri
Perlu banyak 1 1 1 1 1 1 1
1 bantuan
untuk bisa
Berubah sikap dari duduk (2
6 2
berbaring ke duduk Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
0 Tidak mampu 0 0 0 0 0 0 0
Bisa
7 Berpindah/berjalan
1 (pindah)denga
n kursi roda
Berjalan dengan
2
3 Mandiri
NILAI SKOR
NO FUNGSI SKOR URAIAN G PULAN
SAAT MGG MGG III MGG G
SEBELU MASU I II DI IV
M SAKIT K RS DI RS DI RS RS DI RS
Tergantung orang 0 0 0 0 0 0 0
0
lain
8 Memakai baju
1 Sebagian dibantu
2 Mandiri
0 Tidak Mampu
1 pertolongan
9 Naik turun tangga 2 Mandiri
Tergantung orang 0 0 0 0 0 0 0
0
10 Mandi lain
1 Mandiri
TOTAL SKOR 2
NAMA & TANGAN PERAWAT
Keterangan :
9 – 11 : Ketergantungan sedang
A. Analisa Data
C. Intervensi Keperawatan
B. Tabel Summary
A. Pengertian
Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan nafas dengan memakai
kateter penghisap melalui nasotrakeal tube (NTT), orotracheal tube (OTT), traceostomy
tube (TT) pada saluran pernafasan bagian atas. Bertujuan untuk membebaskan jalan nafas,
mengurangi retensi sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi paru.
Prosedur ini di kontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan yang dapat
menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat penghisapan melalui trakea gangguan
perdarahan, edema laring, varises esophagus, perdarahan gaster, infark miokard (Elly,
2000).
Closed suction adalah kanul dengan sistem tertutup yang selalu terhubung dengan
sirkuit ventilator dan penggunaannya tidak perlu membuka konektor sehingga aliran udara
yang masuk tidak terinterupsi.
B. Indikasi
1. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance)
a. Pasien tidak mampu batuk efektif
b. Di duga terjadi aspirasi
2. Membersihkan jalan napas (bronchial toilet) bila ditemukan :
a. Pada asukultasi terdapat suara napas yang kasar, atau terdapat suara napas tambahan.
b. Di duga terdapat sekresi mucus di dalam sel napas.
c. Klinis menunjukkan adanya peningkatan beban kerja sistem pernapasan.
3. Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium.
4. Sebelum dilakukan tindakan radiologis ulang untuk evaluasi.
5. Mengetahui kepatenan dari pipa indotrakeal.
D. Kontraindikasi
1. Hipoksia
2. Trauma jaringan
3. Meningkatkan risiko infeksi
4. Stimuli vagal (menurunkan heart rate) dan bronkospasme
E. Standar Alat
1. Set penghisap sekresi atau suction portable lengkap dan siap pakai.
2. Kateter penghisap steril dengan ukuran 20 untuk dewasa.
3. Pinset steril atau sarung tangan steril.
4. Cuff inflator atau spuit 10 cc.
5. Jelly pelumas.
6. Pengalas atau handuk.
7. Kom berisi cairan untuk membilas kateter.
8. Ambubag atau air viva dan selang oksigen.
9. Aquadest.
10. Spuit 5 cc.
F. Standar Pasien
G. Prosedur
H. Komplikasi
I. Evaluasi
1. Lepaskan ventilator pada klien lalu beri oksigen melalui ambubag sebanyak 4-5 kali
disesuaikan dengan volume tidal pasien.
2. Lumasi ujung kateter dengan jelly dan masukkan kateter suction ke dalam jalan napas
buatan tanpa melakukan penghisapan.
3. Batasi waktu suction 10-15 detik dan hentikan proses suction apabila denyut pasien
meningkat sampai 40 kali per menit.
4. Ventilasikan pasien dengan ambubag setelah suction tiap periodenya.
5. Jika sekresi sangat pekat, maka dicairkan dengan memasukkan aquades 3-5 cc ke
dalam jalan napas buatan.
6. Bilas kateter di antara setiap pelaksanaan suction.
K. Gambar-Gambar Terkait
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengertian.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
E. Macam-macam Ventilator.
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
F. Mode-Mode Ventilator.
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan ventilator
tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung dari mode yang
kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini
diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau
bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke
pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa
menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha
nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi),
tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi
pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV
(Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
G. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah menandakan
adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm
tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing
tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm
jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-organ lainpun menurun seperti hepar,
ginjal dengan segala akibatnya. Akibat tekanan positif di rongga thorax darah yang
kembali dari otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena
akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan
tekanan tinggi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi.
M. Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan bila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
Napas Spontan
- diafragma dan otot intercostalis berkontraksi rongga dada mengembang terjadi
tekanan (-) aliran udara masuk ke paru dan berhenti pada akhir inspirasi
- fase ekspirasi berjalan secara pasif
Pernapasan dengan ventilasi mekanik
- udara masuk ke dalam paru karena ditiup, sehingga tekanan rongga thorax (+)
- pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif
- ekspirasi berjalan pasif.
Pada Kardiovaskuler
- Akibat dari tekanan posistif pada rongga thorax darah yang kembali ke jantung
terhambat venous return menurun maka cardiac out put menurun.
- Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat
tekanan (+) sehingga darah berkurang cardiac out put menurun.
- Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi ex oksigenasi.
Pada organ Lain
- Akibat cardiac out put menurun perfusi ke organ lainpun akan menurun seperti,
hepar, ginjal, otak dan segala akibatnya.
- Akibat tekanan (+) di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat TIK
meningkat.
TERAPI OXIGEN
Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat hipoksia atau
hiperkabinya serta keadaan penderita.
Pontiopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk menentukan tindakan
selanjutnya (lihat tabel)
2. OKSIGENASI
- A - aDO2 100%
O2 mmHg 50 - 200
- PaO2 mmHg 200 - 350 > 350
100 - 75
3. VENTILASI (Air) 200 - 70 < 70
- VD / VT
( O2 Mask) ( O2 Mask )
- PaCO2
0,3 - 0,4
5 - 60 60
DAFTAR PUSTAKA
Kartikawati, Dewi. 2015. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Salemba Medika
Kristan. 2018. Ragkuman Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Bitread
Digital Publishing
Kurniati, Amelia., Yanny Trisyani & Siwi Ikaristi Maria Theresia. 2018. Keperawatan
Gawat Darurat dan Bencana Sheehy, Edisi Indonesia 1. Cengkareng: Elsevier
Mubarak, Wahit., Nurul Chayatin & Joko Susanto. 2015. Standar Asuhan
Keperawatan&Prosedur Tetap Dalam Praktik Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika
Ningsih, Dewi. 2017. Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat Pada Kasus Trauma. Jakarta:
Salemba Medika
Purnawan, Saryono. 2014. Mengelola Pasien Dengan Ventilator Mekanik. Jakarta: Rekatama