Anda di halaman 1dari 116

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP DASAR ICU

Stase Keperawatan Gawat Darurat

Dosen Koordinator : Ns. Marina Kristi Layun, S.Kep., M. Kep


Dosen Pembimbing : Ns. Kiki Hardiansyah, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.KMB

Disusun Oleh :

WIDYA ASHARIANA ISTIQOMAH

P1908131

PROGRAM PROFESI NERS

INSTITUSI TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA HUSADA

SAMARINDA

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP RUANG ICU

A. Definisi ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan
staf khusus dan perlengkapan yang khusus, yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang
mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. ICU
menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsifungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat
dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.
ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan
khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan /
disfungsi satu organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih
ada harapan hidupnya (reversible). Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter
ICU yang memahami teknologi kedokteran, fisiologi, farmakologi dan kedokteran
konvensional dengan kolaborasi erat bersama perawat terdidik dan terlatih untuk
critical care. Pasien yang semula dirawat karena masalah bedah/trauma dapat berubah
menjadi problem medik dan sebaliknya. Adalah unit perawatan yang dikelola bertujuan
untuk merawat pasien sakit berat dan kritis yang mengancam nyawa dengan melibatkan
tenaga terlatih serta didukung oleh kelengkapan peralatan khusus.
Jadi ICU atau Intenssive Care Unit adalah ruang rawat inap di Rumah Sakit yang
dilengkapai dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat pasien yang yang
mengancam nyawa seperti pasien dengan sakit berat dan kritis oleh karena kegagalan
fungsi organ, bencana atau komplikasi yang memiliki harapan hidup.
Gambar 1 : Ruang ICU
B. Sejarah ICU
ICU mulai muncul dari ruang pulih sadar paska bedah pada tahun 1950. ICU modern
berkembang dengan mencakup penanganan respirasi dan jantung menunjang ffal
organ dan penanganan jantung koroner mulai tahun 1960. Pada tahun 1970, perhatian
terhadap ICU di Indonesia semakin besar (ICU pertama kali adalah RSCM Jakarta),
terutama dengan adanya penelitian tentang proses patofisiologi, hasil pengobatan
pasien kritis dan program pelatihan ICU. Dalam beberapa tahun terakhir, ICU mulai
menjadi spesialis tersendiri, baik untuk dokter maupun perawatnya.
C. Level ICU
1. Level I / Primer
Pada Rumah Sakit di daerah yang kecil (di Rumah Sakit Daerah dengan tipe C
dan D), ICU lebih tepat disebut sebagai unit ketergantungan tinggi (High
Dependency). Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif
segera untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan
mempunyai peran penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada
pasien medik dan bedah yang berisiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik
dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam. Di ICU level I
ini dilakukan observasi perawatan ketat dengan monitor EKG
Ciri – ciri ICU level I :
a. Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang gawat darurat dan
ruang perawatan lainnya.
b. Memiliki kebijaksanaan / kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan..
c. Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.
d. Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung paru
( A,B,C,D,E,F ).
e. Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap
saat.
f. Memiliki jumlah perawat yang cukup dengan sebagian besar terlatih.
g. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan lab. tertentu ( Hb, Ht, Elektrolit,
Gula darah dan Trombosit ) , Rontgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi.
2. Level II / Sekunder
ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang
selalu siap di tempat dan mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi,
patologi dan radiologi. Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan
(misalnya dialisis), monitor invasif (monitor tekanan intrakranial) dan
pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak perlu harus selalu ada. Pelayanan ICU
sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang mendukung peran
rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah,
pengelolaan trauma, bedah saraf, bedah vaskular dan lain-lainnya. ICU hendaknya
mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama dan melakukan
dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
Ciri – ciri ICU level II :
a. Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang
keperawatan lain
b. Memiliki kebijaksanaan, kriteria yang masuk, keluar serta rujukan.
c. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan
d. Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan Intensive Care atau
bila tidak tersedia, dokter spesialis anestesiologi yang bertanggungjawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP (A,
B, C, D, E, F).
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat =
1 : 1 untuk pasien ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk kasus-
kasus lainnya.
f. Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan / terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 tahun di ICU.
g. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanik beberapa lama dan dalam
batas tertentu melakukan pemantauan intensif dan usaha-usaha penunjang
hidup.
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik,
dan fisioterapi selama 24 jam.
i. Memiliki ruangan isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi.
3. Level III / Tertier
ICU Level III biasanya pada Ruamh Sakit tipe A yang memiliki semua aspek
yang dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.
Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan trainee, perawat spesialis,
profesional kesehatan lain, staf ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan
canggih tersedia dengan dukungan spesialis dari semua disiplin ilmu. Pelayanan
ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan pelayanan yang
tertinggi termasuk dukungan/bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dalam
jangka waktu yang tak terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis, pelayanan
dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskular invasif
dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan pelayanan
penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk
dikelola oleh spesialis intensive care.
Ciri – ciri ICU level III :
a. Memiliki ruang khusus, tersendiri di dalam rumah sakit
b. Memiliki kriteria penderita masuk, keluar serta rujukan.
c. Memiliki dokter spesialis yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan.
d. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi/konsultan Intensive Care atau dokter
ahli konsultan intensive care yang lain yang bertanggungjawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan RJP ( A, B, C,
D, E, F ).
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat =
1 : 1 untuk pasien dgn ventilator, renal replacement therapy dan 2 : 1 untuk
kasus-kasus lainnya.
f. Memiliki perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau minimal
berpengalaman kerja 3 tahun di ICU
g. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan / therapi intensif
baik invasif maupun non invasif.
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik,
dan fisioterapi selama 24 jam.
i. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik
dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
j. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
k. Memiliki staf tambahan yang lain : misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medis , tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
D. Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1. ICU Medik
2. ICU trauma/bedah
3. ICU umum
4. ICU pediatrik
5. ICU neonatus
6. ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien
yang sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya
berbentuk ICU umum, dengan pemisahan untuk CCU (Jantung),Unit dialisis dan
neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional
dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan
antara ICU Medik dan Bedah.

E. Tujuan ICU
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan
monitaring evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap
data yang didapat dan melakukan tindak lanjut.
3. Meningkatkan kualitas pasien dan mempertahankan kehidupan.
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.
5. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan
pasien.

F. Etik Di ICU
Etik dalam penanganan pasien riset, dan hubungan dengan kolega harus dilaksanakan
secara cermat. Etik di ICU perlu pertimbangan berbeda dengan etik di pelayanan
kesehatan atau bangsal lain. Terkadang muncul kontroversi etik dalam legalitas moral
di ICU, misalnya tentang euthanasia.
G. Prosedur Masuk ICU
Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter di luar ICU setelah berkonsultasi dengan
doketr ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat juga didahului secara lisan
(misalnya lewat telepon), terutama dalam keadaan mendesak, tetapi harus segera
diikuti dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang mengancam jiwa akan menjadi
tanggung jawab dokter pengirim. Transportasi ke ICU masih menjadi tanggungjawab
dokter pengirim, kecuali transportasi pasien masih perlu bantuan khusus dapat dibantu
oleh pihak ICU. Selama pengobatan di ICU, maka dimungkinkan untuk konsultasi
dengan berbagai spesialis di luar dokter pengirim atau dokter ICU bertindak sebagai
koordinatornya. Terhadap pasien atau keluarga pasien wajib diberikan penjelasan
tentang perlunya masuk ICU dengan segala konsekuensinya dengan menandatangani
informed concern.
H. Indikasi Masuk ICU
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktu
waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih
ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan
pengobatan intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial
yang memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU.
Beberapa contoh kondisi pasien yang dapat dipakai sebagai indikasi masuk ke ICU
antara lain :
1. Ancaman / kegagalan sistem pernafasan : gagal nafas, impending gagal nafas.
2. Ancaman / kegagalan sistem hemodinamik : shock
3. Ancaman / kegagalan sistem syaraf pusat : stroke, penurunan kesadaran.
4. Overdosis obat, reaksi obat dan intoksikasi : depresi nafas
5. Infeksi berat : sepsis
Dalam menentukan tindakan kepada pasien harus memperhatikan tingkat prioritas
pasien sehingga penanganan yang diberikan sesuai dan tepat. Prioritas pasien
antara lain :
a. Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif
kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pascabedah
kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa
institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat
hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu)
umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.
b. Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien
ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun
intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat
menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit
dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami
pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi
yang diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.
c. Prioritas 3
Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-
masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan
atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien
dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru
terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga)
mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi
kardiopulmoner.
Jenis pasien berikut umumnya tidak mempunyai kriteria yang sesuai untuk
masuk ICU, dan hanya dapat masuk dengan pertimbangan seperti pada keadaan
luar biasa, atas persetujuan kepala ICU. Lagi pula pasien-asien tersebut bila
perlu harus dikeluarkan dari ICU agar fasilitas yang terbatas tersebut dapat
digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga):
1. Pasien yang telah dipastikan mengalami brain death. Pasien-pasien seperti
itu dapat dimasukkan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi
hanya untuk tujuan menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu
donasi organ.
2. Pasien-pasien yang kompeten tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang
agresif dan hanya demi ”perawatan yang nyaman” saja. Ini tidak
menyingkirkan pasien dengan perintah ”DNR”. Sesungguhnya, pasien-
pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia
di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
3. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
4. Pasien yang secara fisiologis stasbil yang secara statistik risikonya rendah
untuk memerlukan terapi ICU. Contoh pasien kelompok ini antara lain,
pasien pascabedah vaskuler yang stabil, pasien diabetic ketoacidosis tanpa
komplikasi, keracunan obat tetapi sadar, concussion, atau payah jantung
kongestif ringan. Pasien-pasien semacam ini lebih disukai dimasukkan ke
suatu unit intermediet untuk terapi definitif dan atau observasi.

I. Alur Masuk Pasien Di ICU

Poliklinik / Rawat Inap


RS lain

IBS

UGD ICU

J. Kontraindikasi Masuk ICU


Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit yang sangat
menular, misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh
ada yang mempunyai riwayat penyakit menular.

K. Kriteria Keluar Dari ICU


Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :
1. Meninggal dunia
2. Tidak ada kegawatan yang menganca jiwa sehingga dirawat di ruang biasa atau
dapat pulang
3. Atas permintaan keluarga atau pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga atau pasien
harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri.
Berdasarkan Prioritasnya, indikasi pasien keluar antara lain :
a. Prioritas I : Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk
terapi intensif telah tidak ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan prognosis
jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi
intensif kontinu kecil. Contoh hal terakhir adalah pasien dengan tiga atau lebih
gagal sistem organ yang tidak berespons terhadap pengelolaan agresif.
b. Prioritas II : Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk
mendadak memerlukan terapi intensif telah berkurang.
c. Prioritas III : Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan
untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan
lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif
kontinu kecil. Contoh dari hal terakhir antara lain adalah pasien dengan
penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver terminal,
karsinoma yang telah menyebar luas dan lain-lainnya yang telah tidak
berespons terhadap terapi ICU untuk penyakit akutnya, yang prognosis jangka
pendeknya secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial
untuk memperbaiki prognosisnya). Dengan mempertimbangkan perawatannya
tetap berlanjut dan sering merupakan perawatan khusus setara pasien ICU,
pengaturan untuk perawatan non-ICU yang sesuai harus dilakukan sebelum
pengeluaran dari ICU.

L. Perlakuan Terhadap Pasien ICU


Pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang rawat inap biasa, karena pasien
ICU mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter. Di
ICU, pasien kritis atau kehilangan kesadaran atau mengalami kelumpuhan sehingga
segala sesuatu yang terjadi dalam diri pasien hanya dapat diketahui melalui
monitoring yang baik dan teratur. Perubahan yang terjadi harus dianalisa secara
cermat untuk mendapat tindakan yang cepat dan tepat.

M. Tujuan Akhir Pengobatan ICU


Hasil yang paling baik dari pengobatan di ICU adalah keberhasilan dalam
mengembalikan pasien pada aktifitas kehidupan sehari-hari seperti keadaan sebelum
pasien sakit, tanpa defek atau cacat.
N. Reaksi Pasien Dan Keluarga Pasien ICU
Reaksi pasien di ICU antara lain kecemasan, ketidakberdayaan, disorientasi dan
kesulitan komunikasi. Untuk meminimalkan reaksi negatif dari pasien ICU dapat
dilakukan beberapa hal, antara lain :
1. Memberikan penjelasan setiap akan melakukan tindakan
2. Memberikan sedasi atau analgesi bila perlu
3. Keluarga dapat diijinkan bertemu pasien untuk memberikan dukungan moral
4. Diberikan alat bantu semaksimal mungkin.
Keluarga pasien juga dapat mengalami hal serupa dengan pasien, antara lain
cemas sampai dengan insomnia. Untuk meminimalkan reaksi negatif keluarga
pasien dapat dilakukan beberapa hal, antara lain :
a. Dapat dibuatkan selebaran / pamflet tentang ICU
b. Penjelasan tentang kondisi terkini pasien
c. Keluarga pasien dapat diikutkan pada konferensi klinik bersama semua staf
dan perawat

O. Pengelolaan Pasien ICU


Pendekatan Pasien ICU :
a. Anamnesis
Seringkali pasien sebelum masuk ICU sudah mendapat tindakan pengobatan
sebelum diagnosis definitif ditegakkan.
b. Serah Terima Pasien
Untuk mengetahui riwayat tindakan pengobatan sebelumnya dan sebagai bentuk
aspek legal.
c. Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan fisik secara umum, penilaian neurologis, sistem pernafasan,
kardiovaskuler, gastro intestinal, ginjal dan cairan, anggota gerak, haematologi dan
posisi pasien. Walaupun keadaan stabil, pasien tetap harus dilakukan pemeriksaan
fisik :
a. ABC
b. Jalan nafas dan kepala
c. Sistem pernafasan
d. Sistem sirkulasi
e. Sistem gastrointestinal
f. Anggota gerak
g. Monitoring rutin
h. Intubasi dan Pengelolaan Trakhea
i. Cairan : Dehidrasi
j. Perdarahan Gastrointestinal
Stress ulcer dapat merupakan kompensasi dari penyakit akut.
k. Nutrisi
Utamakan pemberian nutrisi enteral :
 Usia Lanjut
 Cadangan fisiologis terbatas
 Peningkatan penyakit penyerta
 Riwayat pemakaian obat
 Riwayat perokok, alkoholisme, obat-obatan.
 Interaksi obat pada usia lanjut
d. Kajian hasil pemeriksaan Meliputi biokimia, hematologi, gas darah, monitoring
TTV, foto thorax, CT scan, efek pengobatan.
e. Identifikasi masalah dan strategi penanggulangannya
f. Informasi kepada keluarga

P. Pengkajian Ulang Kinerja


Setiap ICU hendaknya membuat peraturan dan prosedur masuk dan keluar, standar
perawatan pasien, dan kriteria outcome yang spesifik. Kelengkapan ini hendaknya
dibuat oleh tim multidisipliner yang diwakili oleh dokter, perawat dan administrator
rumah sakit, dan hendaknya dikaji ulang dan diperbaiki seperlunya berdasarkan
keluaran pasien (outcome) dan pengukuran kinerja yang lain. Kepatuhan terhadap
ketentuan masuk dan keluar harus dipantau oleh tim multidisipliner, dan bila ada
penyimpanganpenyimpangan maka dilaporkan pada badan perbaikan kualitas rumah
sakit untuk ditindak lanjuti.
1. PRASARANA
a. Lokasi
Dianjurkan satu kompleks dengan kamar bedah dan kamar pulih sadar,
berdekatan atau mempunyai akses yang mudah ke Unit Gawat Darurat,
laboratorium, dan radiologi.
b. Desain
Standar ICU yang memadai ditentukan desain yang baik dan pengaturan ruang
yang adekuat.
Bangunan ICU:
1) Terisolasi
2) Mempunyai standar tertentu terhadap:
a) Bahaya api
b) Ventilasi
c) AC
d) Exhausts fan
e) Pipa air
f) Komunikasi
g) Bakteriologis
h) Kabel monitor
3) Lantai mudah dibersihkan, keras dan rata
4) Area Pasien:
a) Unit terbuka 12–16 m2/tempat tidur
b) Unit tertutup 16–20 m2/tempat tidur
c) Jarak antara tempat tidur: 2 m
d) Unit terbuka mempunyai 1 tempat cuci tangan setiap 2 tempat tidur
e) Unit tertutup 1 ruangan 1 tempat tidur dan 1 cuci tangan
Harus ada sejumlah outlet yang cukup sesuai dengan level ICU. ICU
tersier paling sedikit 3 outlet udara–tekan, dan 3 pompa hisap dan
minimum 16 stop kontak untuk tiap tempat tidur. Pencahayaan yang cukup
dan adekuat untuk observasi klinis dengan lampu TL day light 10 watt/m2.
Jendela dan akses tempat tidur menjamin kenyamanan pasien dan personil.
Desain dari unit juga memperhatikan privasi pasien.
5) Area Kerja, meliputi:
a) Ruang yang cukup untuk staf dan dapat menjaga kontak visual perawat
dengan pasien.
b) Ruang yang cukup untuk memonitor pasien, peralatan resusitasi dan
penyimpanan obat dan alat (termasuk lemari pendingin).
c) Ruang yang cukup untuk mesin X-Ray mobile dan mempunyai negatif
skop.
d) Ruang untuk telpon dan sistem komunikasi lain, komputer dan koleksi
data, juga tempat untuk penyimpanan alat tulis dan terdapat ruang yang
cukup untuk resepsionis dan petugas admistrasi.
6) Lingkungan
Mempunyai pendingin ruangan/AC yang dapat mengontrol suhu dan
kelembaban sesuai dengan luas ruangan. Suhu 22o–25o kelembaban 50–
70%.
7) Ruang Isolasi
Dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan tempat ganti pakaian sendiri.
8) Ruang Penyimpanan Peralatan dan Barang Bersih
Untuk menyimpan monitor, ventilator, pompa infus dan pompa syringe,
peralatan dialisis. Alat-alat sekali pakai, cairan, penggantung infus, troli,
penghangat darah, alat hisap, linen dan tempat penyimpanan barang dan
alat bersih.
9) Ruang Tempat Pembuangan Alat/Bahan Kotor
Ruang untuk membersihkan alat-alat, pemeriksaan urine, pengosongan dan
pembersihan pispot dan botol urine. Desain unit menjamin tidak ada
kontaminasi.
10) Ruang Perawat
Terdapat ruang terpisah yang dapat digunakan oleh perawat yang bertugas
dan pimpinannya.
11) Ruang Staf Dokter
Tempat kegiatan organisasi dan administrasi termasuk kantor kepala
bagian dan staf, dan kepustakaan.
12) Ruang Tunggu Keluarga Pasien
13) Laboratorium
Harus dipertimbangkan pada unit yang tidak mengandalkan pelayanan
terpusat.
2. PERALATAN
a. Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan fungsi ICU
dan harus sesuai dengan beban kerja ICU, disesuaikan dengan standar yang
berlaku.
b. Terdapat prosedur pemeriksaan berkala untuk keamanan alat.
c. Peralatan dasar meliputi:
1) Ventilator
2) Alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas
3) Alat hisap
4) Peralatan akses vaskular
5) Peralatan monitor invasif dan non-invasif
6) Defibrilitor dan alat pacu jantung
7) Alat pengatur suhu pasien
8) Peralatan drain thorax
9) Pompa infus dan pompa syringe
10) Peralatan portable untuk transportasi
11) Tempat tidur khusus
12) Lampu untuk tindakan
13) Continuous Renal Replacement Therapy
Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisis dan lain-lain) untuk prosedur
diagnostik dan atau terapi khusus hendaknya tersedia bila secara klinis ada
indikasi dan untuk mendukung fungsi ICU. Protokol dan pelatihan kerja untuk
staf medik dan paramedik perlu tersedia untuk penggunaan alat-alat termasuk
langkah-langkah untuk mengatasi
apabila terjadi malfungsi.
3. MONITORING PERALATAN
(Termasuk peralatan portable yang digunakan untuk transportasi pasien).
1) Tanda bahaya kegagalan pasokan gas.
2) Tanda bahaya kegagalan pasokan oksigen.
Alat yang secara otomatis teraktifasi untuk memonitor penurunan tekanan
pasokan oksigen, yang selalu terpasang di ventilator.
3) Pemantauan konsentrasi oksigen.
Diperlukan untuk mengukur konsentrasi oksigen yang dikeluarkan oleh
ventilator atau sistem pernafasan.
4) Tanda bahaya kegagalan ventilator atau diskonsentrasi sistem pernafasan.
Pada penggunaan ventilator otomatis, harus ada alat yang dapat segera
mendeteksi kegagalan sistem pernafasan atau ventilator secara terus menerus.
5) Volume dan tekanan ventilator.
Volume yang keluar dari ventilator harus dipantau. Tekanan jalan nafas dan
tekanan sirkuit pernafasan harus terpantau terus menerus dan dapat mendeteksi
tekanan yang berlebihan.
6) Suhu alat pelembab (humidifier).
Ada tanda bahaya bila terjadi peningkatan suhu udara inspirasi.
7) Elektrokardiograf.
Terpasang pada setiap pasien dan dipantau terus menerus.
8) Pulse oximetry.
Harus tersedia untuk setiap pasien di ICU.
9) Emboli udara.
Apabila pasien sedang menjalani hemodialisis, plasmapheresis, atau alat
perfusi, harus ada pemantauan untuk emboli udara.
10) Bila ada indikasi klinis harus tersedia peralatan untuk mengukur variabel
fisiologis lain seperti tekanan intra-arterial dan tekanan arteri pulmonalis,
curah jantung, tekanan inspirasi dan aliran jalan nafas, tekanan intrakranial,
suhu, transmisi neuromuskular, kadar CO2 ekspirasi.
LAPORAN PENDAHULUAN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)
PNEUMONIA
Stase Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Koordinator : Ns. Marina Kristi Layun, S.Kep., M. Kep
Dosen Pembimbing : Ns. Kiki Hardiansyah, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.KMB

Disusun Oleh :

WIDYA ASHARIANA ISTIQOMAH

P1908131

PROGRAM PROFESI NERS

INSTITUSI TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA HUSADA

SAMARINDA

2020
LAPORAN PENADAHULUAN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi
dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi
kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini
mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih
banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan
menebal.Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat.Sebagai akibatnya,
ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan
bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ
lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).

B. Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh (Masjoer, Arif dkk 2001):
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis coroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung.Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam laktat).Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung.Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung
4. Peradangan dan penyakit myocardium degenerative
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain.
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung.Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak
mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif
konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme(mis : demam, tirotoksikosis ),
hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalita
elekttronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung
Grade gagal jantung menurut New york Heart Associaion, terbagi menjadi 4
kelainan fungsional :
1. NyHA Grade I timbul gejala sesak pada aktifitas fisik berat
2. NyHA Grade II timbul gejala sesak pada aktifitas fisik sedang
3. NyHA Grade III timbul gejala sesak pada aktifitas ringan
4. NyHA Grade IV timbul gejala sesak pada aktifitas sangat ringan/ istirahat

C. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat
dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac
output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV:
Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah
yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada
jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung);
(2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat
sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3)
Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang
akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan
tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi
peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua
atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan
meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema
sistemik.
Respon kompensasi terhadap out put kardiac yang tidak adekuat. Cardiac out put
yang tidak adekuat memicu beberapa respon kompensasi yang berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ- organ tubuh yang vital.
Respon awal adalah stimulus kepada saraf simpati yang menimbulkan dua
pengaruh utama :
1. Meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksi myocardium.
2. Vasokontriksi perifer
Vasokontriksi perifer menggeser arus darah arteri ke organ-organ yang kurang
vital, seperti kulit dan ginjal dan juga organ-organ yang lebih vital, seperti otak.Kontriksi
vena meningkatkan arus balik dari vena ke jantung.Peningkatan peregangan serabut otot
myocardium memungkinkan kontraktilitas.
Pada permulaan respon berdampak perbaikan terhadap cardiac out put, namun
selanjutnya meningkatkan kebutuhan oksigen untuk myocardium, meregangkan serabut-
serabut myocardium dibawah garis kemampuan kontraksi. Bila orang tidak berada dalam
status kekurangan cairan untuk memulai peningkatan volume ventrikel dapat
memperberat preload dan kegagalan komponen- komponen.
Jenis kompensasi yang kedua yaitu dengan mengaktivkan sistem renin
angiotensin yang akhirnya berdampak pada peningkatan preload maupun afterload pada
waktu jangka panjang dan seterusnya. Kompensasi yang ketiga yaitu dengan terjadinya
perubahan struktur micardium itu sendiri yang akhirnya lama- kelamaan miocrdium akan
menebal atau menjadi hipertropi untuk memperbaiki kontraksi namun ini berdampak
peningkatan kebutuhan oksigen untuk miocardium.

D. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat
terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap
dan bising akibat regurgitasi mitral Tanda dominan Meningkatnya volume intravaskuler.
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah
jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana
yang terjadi (Masjoer, Arif dkk 2001):
1. Gagal jantung kiri : kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru.Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru.
Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi : dispnea, ortopnea, batuk, mudah
lelah, takikardia, insomnia.
a. Dispnea dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi pada saat istirahat atau dicetuskan
oleh gerakan minimal atau sedang.
b. Ortopnea kesulitan bernafas saat berbaring, beberapa pasien hanya mengalami
ortopnea pada malam hari, hal ini terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk
lama dengan posisi kaki dan tangan di bawah, pergi berbaring ke tempat tidur.
Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun diekstremitas yang sebelumnya
berada di bawah mulai diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak
mampu mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya tekanan
dalam sirkulasi paru meningkat dan lebih lanjut, cairan berpindah ke alveoli.
c. Batuk yang berhubungan dengan ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif,
tetapi yang tersering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum
berbusa dalam jumlah yang banyak, yang kadang disertai bercak darah.
d. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernapas.
e. Insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.

2.   Gagal jantung kanan : bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti
visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan
berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites, anoreksia, mual dan nokturia.
a. Edema dimulai pada kaki dan tumit juga secara bertahap bertambah ke tungkai,
paha dan akhirnya ke genetalia eksterna serta tubuh bagian bawah.
b. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga
abdomen, suatu kondisi yang dinamakan ascites. Pengumpulan cairan dalam
rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress
pernafasan.
c. Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
d. Nokturia terjadi karena perfusi renal yang didukung oleh posisi penderita pada
saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah
jantung membaik saat istirahat.
e. Kelemahan yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena
menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah
katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan (Smeltzer, 2002).
E. Diagnostik test
1. Urine
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria).
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikeloid, fosfat.
Sedimen : Kecoklatan menunjukkan adanya darah, HB, mioglobin,
porfirin.
Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Klirens kreatinin : Mungkin agak menurun.
Natrium : Lebih besar dari 40 mEg/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
Protein : Derajat tinggi protein uria (3 – 4) secara kuat menunjukkan
glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada.
2. Darah : BUN/kreatinin : meningkat, biasanya meningkat
dalam proporsi, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir mungkin rendah yaitu
5.
Hitung darah lengkap :
Ht : Menurun pada adanya anemia.
Hb : Biasanya kurang dari 7 – 8 g/dl
Sel darah merah : Waktu hidup menurun pada defesiensi eritropoetin seperti
azotemia.
AGD – PH penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7.2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mensekresi hidrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun, PCO2 menurun.
Natrium serum : Mungkin rendah bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis SDM). Pada tahap akhir perubahan EKG
mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEg atau lebih
besar.

Magnesium/fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun
Protein : Khususnya albumin : kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan/ penurunan sintetis karena
kurang asam amino essensial.
Osmolatitas serum : Lebih besar dari 285 Mosm/kg : sering sama dengan urine.
3. Prosedur diagnostik
KUB foto : Menunjukkan adanya ukuran ginjal/ureter/kandung
kemih dan adanya obstruksi (batu).
Pielogram retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
Ateriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, retensi.
Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.
Endoskopi ginjal, nefroskopi: Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal : keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam/basa.
Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : Dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi

F. Komplikasi
1. Syok Kardigenik
2. Episode Tromboemboli karena penbentukan bekuan vena karena stasis darah.
3. Efusi dan Tamponade Perikardium (Smeltzer & Bare, 2002)
G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah :
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat
farmakologi.
3. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi
antidiuretik, diit dan istirahat.
4. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tiroksikosis, miksedema, dan aritmia
digitalisasi
5. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi
O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas
Terapi Farmakologis :
1. Glikosida jantung.
2. Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan
tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresisidan mengurangi edema
3. Terapi diuretik.
4. Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air mlalui ginjal.Penggunaan hrs
hati – hati karena efek samping hiponatremia dan hypokalemia
5. Terapi vasodilator. Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi
tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan engisian
ventrikel kiri dapat dituruinkan
a. Dosis digitalis :
1) Digoksin oral digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam
dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
a) Digoksin iv 0,75 mg dalam 4 dosis selama 24 jam
b) Cedilanid> iv 1,2-1,6 mg selama 24 jam 2)

b. Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien
usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
1) Dosis penunjang digoksin untuk fiblilasi atrium 0,25 mg.
2) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang
berat :

a) Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan


b) Cedilanid> 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan

H. Prognosis
Mortalitas I tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan
berkaitan dengan derajat keparahannya. Data Frimingham yang dikumpulkan sebelum
penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas I tahun rerata
sebesar 30% bila semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih
dari 60% pada NYHA kelas IV.
Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar
kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga
karena aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang
berkaitan dengan prognosis gagal jantung, yaitu :
a. Klinis : semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis,
semakin buruk prognosis.
b. Hemodinamik : Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi,
semakin buruk prognosis.
c. Biokimia : Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin,
vasopresin, dan peptida natriuretik plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk
d. Aritmia : Fokus Ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada
pengawasan EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Belum jelas
apakah aritmia ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk atau
apakah aritmia merupakan penyebab kematian.

Insidensi keseluruhan tahunan stroke atau tromboemboli pada gagal jantung


sebesar 2%. Faktor predisposisi antara lain adalah imobilitas, curah jantung rendah,
dilatasi ventrikel atau aneurisma. Resiko tahunan stroke pada penelitian gagal
jantung sekitar 1,5% pada gagal jantung ringan/sedang dan 4% pada yang berat,
dibandingkan dengan 0,5% pada kontrol.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan
1) Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
2) Palpitasi atau berdebar-debar.
3) Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak nafas saat
beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.
4) Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.
5) Letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan
6) Insomnia
7) Kaki bengkak dan berat badan bertambah
8) Jumlah urine menurun
9) Serangan timbul mendadak/ sering kambuh.
b. Riwayat penyakit: hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes
melitus, bedah jantung, dan disritmia.
c. Riwayat diet: intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol.
d. Riwayat pengobatan: toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung, steroid,
jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu.
e. Pola eliminasi orine: oliguria, nokturia.
f. Merokok: perokok, cara/ jumlah batang per hari, jangka waktu
g. Postur, kegelisahan, kecemasan
h. Faktor predisposisi dan presipitasi: obesitas, asma, atau COPD yang merupakan
faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan mempercepat perkembangan CH
2. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala :Keletihan, kelelahan terus sepanjang hari, Insomia, Nyeri dada dengan
aktivitas,Dispnea pada saat istirahat atau pada pengerahan tenaga .
Tanda :Gelisah, perubahna status mental : letargi, TTV perubahan pada aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala :
1. Riwayat hipertensi, MCI, episode gagal jantung kanan sebelunya
2. Penyakit katub jantung, bedah jantung, endokarditis, SLE, anemia, syok
septik, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen sabuk terlalu kuat (pada
gagal jantung kanan)
Tanda :
1. TD mungkin menurun (gagal pemompaan), normal GJK ringan/ kronis atau
tinggi (kelebihan volume cairan / peningkatan TD).
2. Tekanan nadi menunjukan peningkatan colume sekuncup.
3. Frekuensi jantung takikardia (gagal jantung kiri)
4. Irama jantung : sistemik, misalnya : fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel
prematur/ takikardi blok jantung.
5. Nadi apikal disritmia, misalnya : PMI mungkin menyebar dan berubah posisi
secara inferior kiri.
6. Bunyi jantung S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi S1 dan S2
mungkin lemah.
7. Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya katup atau
insufisien.
8. Nadi : nadi perifer berkurang, perubahan dalam kekuatan denyutan dapat
terjadi, nadi sentral mungkin kuat, misalnya : nadi jugularis coatis abdominal
terlihat .
9. Warna kulit : kebiruan, pucat, abu-abu, sianotik
10. Punggung kuku : pucat atau sianosik dengan pengisian kapiler lambat.
11. Hepar : pembesaran/ dapat teraba, reflek hepato jugularis.
12. Bunyi nafas : krekels ronchi
13. Edema : mungkin dependen, umum atau pitting, khususnya pada ekstremitas.

c. Integritas ego
Gejala:stres, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan
kondisi klien.
Tanda: ansietas dan peka rangsang
d. Eliminasi
Gejala:perubahan pola berkemih (poliuria,nokturia, kesulitan berkemih/ infeksi nyeri
tekan abdomen, diare)
Tanda:urine encer, pucat, kuning, poliuria(dapat berkembang oligouria/ anuria jika
terjadi hipovolemia berat), urine berkabut, bau busuk/ infeksi, abdomen keras, adanya
asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif/ diare)
e. Makanan/cairan
Gejala:hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan
glukosa atau karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari atau
minggu
Tanda:kulit kering dan bersisik, turgor kulit jelek, kekakuan dan distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan
glukosa darah) halitosis atau bau manis, bau buah (nafas aseton)
f. Neurosensori
Gejala:pusing, sakit kepala, kesemutan,kebas atau kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/ koma (tahap lanjut), gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, reflek tendon dalam menurun, aktivitas
kejang (tahap lanjut dari ketoasidosis)
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas.
Tanda :Tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), perilaku melindungi
diri
h. Pernafasan
Gejala :
1. Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
2. Batuk dengan/tanpa sputum
3. Riwayat penyakit paru kronis
4. Menggunakan bantuan pernafasan, misal : oksigen atau medikasi
Tanda :
1. Pernafasan takipnea, nafas dangkal, pernafasan laboral, penggunaan otot aksesori
2. Pernafasan nasal faring
3. Batuk kering/ nyaring/ non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/
tanpa sputum
3. Tes Diagnostik
Adapun tes diagnostik (Safery, 2013) :
a. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen dada : pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan
redistrinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke
apeks),peningkatan tekanan vaskular pulmonal, kadang-kadang ditemukan
efusi pleura .
2) Elektrokardiografi : membantu menunjukan etiologi gagal jantung (infark,
iskemia, hipertrofi, dab lain-lain) dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS,
depresi ST, dan lain-lain.
b. Laboratorium
1) Kimia darah (termasuk ureum,kreatinin,glukosa,elektrolit), hemoglobin, tes
fungsi tiroid, tes fungsi hati dan lipid darah
2) Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria dan glukosaria
c. Ekokardiografi
d. Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur
jantung, katup dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40%
atau normal, kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid atau
regurgitasi trikuspid), hipertrofi ventrikel kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi
ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, temponade, atau perikarditis.
B. Pathway
C. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan frekuensi,
dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup
2. Pola Nafas tidak efektif b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal
3. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan,
asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
4. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan perifer
yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
5. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan natrium
oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal
6. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam
lingkungan social atau ketidakmampuan yang permanen.
D.  Rencana asuhan keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Intervensi
o Keperawatan Hasil
1 Penurunan NOC NIC
curah jantung o Cardiac Pump Cardiac Care
b/d respon effectiveness o Evaluasi adanya nyeri dada
fisiologis otot o Circulation Status ( intensitas,lokasi, durasi)
jantung, o Vital Sign Status R:
peningkatan Kriteria Hasil: o Catat adanya disritmia jantung
frekuensi, o Tanda Vital dalam o Catat adanya tanda dan gejala
dilatasi, rentang normal penurunan cardiac putput
hipertrofi atau (Tekanan darah, o Monitor status kardiovaskuler
peningkatan isi Nadi, respirasi) o Monitor status pernafasan yang
sekuncup o Dapat menandakan gagal jantung
mentoleransi o Monitor abdomen sebagai
aktivitas, tidak ada indicator penurunan perfusi
kelelahan o Monitor balance cairan
o Tidak ada edema o Monitor adanya perubahan
paru, perifer, dan tekanan darah
tidak ada asites o Monitor respon pasien terhadap
o Tidak ada efek pengobatan antiaritmia
penurunan o Atur periode latihan dan istirahat
kesadaran untuk menghindari kelelahan
o Monitor toleransi aktivitas pasien
o Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
o Anjurkan untuk menurunkan
stress
o Vital Sign Monitoring
o Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
o Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
o Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
o Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
o Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
o Monitor kualitas dari nadi
o Monitor adanya pulsus
paradoksus dan pulsus alterans
o Monitor jumlah dan irama
jantung dan monitor bunyi
jantung
o Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
o Monitor suara paru, pola
pernapasan abnormal
o Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
o Monitor sianosis perifer
o Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
o Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

2 Pola Nafas tidak NOC : NIC


efektif o Respiratory status : o Posisikan pasien untuk
Ventilation memaksimalkan ventilasi
o Respiratory status : o Pasang mayo bila perlu
Airway patency o Lakukan fisioterapi dada jika
o Vital sign Status perlu
o Keluarkan sekret dengan batuk
Setelah dilakukan atau suction
tindakan keperawatan o Auskultasi suara nafas, catat
selama…. Pasien adanya suara tambahan
menunjukan keefektifan o Berikan bronkodilator
pola napas, dibuktikan o Berikan pelembab udara Kassa
dengan : basah NaCl Lembab
o Atur intake untuk cairan
Kriteria Hasil : mengoptimalkan keseimbangan.
o Mendemonstrasikan o Monitor respirasi dan status O2
batuk efektif dan suara o Bersihkan mulut, hidung dan
nafas yang bersih,
secret trakea
tidak ada sianosis dan
o Pertahankan jalan nafas yang
dyspneu (mampu
paten
mengeluarkan sputum,
o Observasi adanya tanda tanda
mampu bernafas
hipoventilasi
dengan mudah, tidak
o Monitor adanya kecemasan
ada pursed lips)
pasien terhadap oksigenasi
o Menunjukkan jalan
o Monitor vital sign
nafas yang paten (klien
o Informasikan pada pasien dan
tidak merasa tercekik,
keluarga tentang teknik relaksasi
irama nafas, frekuensi
untuk memperbaiki pola nafas
pernafasan dalam o Ajarkan bagaimana batuk secara
rentang normal, tidak efektif
ada suara nafas o Monitor pola nafas
abnormal)
o Tanda Tanda vital
dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi,
pernafasan)
3 Perfusi jaringan NOC : NIC :
tidak efektif b/d o Circulation status Peripheral Sensation Management
menurunnya o Tissue Prefusion : (Manajemen sensasi perifer)
curah jantung, cerebral o Monitor adanya daerah tertentu
hipoksemia Kriteria Hasil : yang hanya peka terhadap
jaringan, a.       mendemonstrasikan panas/dingin/tajam/tumpul
asidosis dan status sirkulasi o Monitor adanya paretese
kemungkinan o Tekanan systole o Instruksikan keluarga untuk
thrombus atau dandiastole dalam mengobservasi kulit jika ada lsi
emboli rentang yang atau laserasi
diharapkan o Gunakan sarun tangan untuk
o Tidak ada proteksi
ortostatikhipertensi o Batasi gerakan pada kepala, leher
o Tidak ada tanda tanda dan punggung
peningkatan tekanan o Monitor kemampuan BAB
intrakranial (tidak o Kolaborasi pemberian analgetik
lebih dari 15 mmHg) o Monitor adanya tromboplebitis
b.       mendemonstrasikan o Diskusikan menganai penyebab
kemampuan kognitif yang perubahan sensasi
ditandai dengan:
o berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
o menunjukkan
perhatian, konsentrasi
dan orientasi
o memproses informasi
o membuat keputusan
dengan benar
c.        menunjukkan
fungsi sensori motori
cranial yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik, tidak
ada gerakan gerakan
involunter
4 Gangguan NOC: NIC:
pertukaran gas Respiratory Status : Gas Airway Management
b/d kongesti exchange o Buka jalan nafas, guanakan
paru, hipertensi o Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust
pulmonal, ventilation bila perlu
penurunan o Vital Sign Status o Posisikan pasien untuk
perifer yang Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
mengakibatkan o  Mendemonstrasikan o Identifikasi pasien perlunya
asidosis laktat peningkatan ventilasi pemasangan alat jalan nafas
dan penurunan dan oksigenasi yang buatan
curah jantung adekuat o Pasang mayo bila perlu
o Memelihara kebersihan o Lakukan fisioterapi dada jika
paru paru dan bebas perlu
dari tanda tanda o Keluarkan sekret dengan batuk
distress pernafasan atau suction
o Mendemonstrasikan o Auskultasi suara nafas, catat
batuk efektif dan suara adanya suara tambahan
nafas yang bersih, o Lakukan suction pada mayo
tidak ada sianosis dan o Berika bronkodilator bial perlu
dyspneu (mampu o Barikan pelembab udara
mengeluarkan sputum,
o Atur intake untuk cairan
mampu bernafas
mengoptimalkan keseimbangan.
dengan mudah, tidak o Monitor respirasi dan status O2
ada pursed lips)
o Tanda tanda vital Respiratory Monitoring
dalam rentang normal o Monitor rata – rata, kedalaman,
irama dan usaha respirasi
o Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
o Monitor suara nafas, seperti
dengkur
o Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes, biot
o Catat lokasi trakea
o Monitor kelelahan otot
diagfragma ( gerakan paradoksis )
o Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan
o Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan napas
utama
o Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
AcidBase Managemen
o Monitro IV line
o Pertahankanjalan nafas paten
o Monitor AGD, tingkat elektrolit
o Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
o Monitor adanya tanda tanda gagal
nafas
o Monitor pola respirasi
o Lakukan terapi oksigen
o Monitor status neurologi
o -  Tingkatkan oral hygiene
5 Kelebihan NOC: NIC:
volume cairan o Electrolit and acid base Fluid management
b/d balance o Pertahankan catatan intake dan
berkurangnya o Fluid balance output yang akurat
curah jantung, Kriteria Hasil: o Pasang urin kateter jika diperlukan
retensi cairan o Terbebas dari edema, o Monitor hasil lAb yang sesuai
dan natrium efusi, anaskara dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
oleh ginjal, o Bunyi nafas bersih, osmolalitas urin  )
hipoperfusi ke tidak ada o Monitor status hemodinamik
jaringan perifer dyspneu/ortopneu termasuk CVP, MAP, PAP, dan
dan hipertensi o Terbebas dari distensi PCWP
pulmonal vena jugularis, reflek o Monitor vital sign
hepatojugular (+) o Monitor indikasi retensi /
o Memelihara tekanan kelebihan cairan (cracles, CVP ,
vena sentral, tekanan edema, distensi vena leher, asites)
kapiler paru, output o Kaji lokasi dan luas edema
jantung dan vital sign o Monitor masukan makanan / cairan
dalam batas normal dan hitung intake kalori harian
o Terbebas dari o Monitor status nutrisi
kelelahan, kecemasan o Berikan diuretik sesuai interuksi
atau kebingungan o Batasi masukan cairan pada
o Menjelaskanindikator keadaan hiponatrermi dilusi
kelebihan cairan dengan serum Na < 130 mEq/l
o Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
o Fluid Monitoring
o Tentukan riwayat jumlah dan tipe
intake cairan dan eliminaSi
o Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidak seimbangan
cairan (Hipertermia, terapi diuretik,
kelainan renal, gagal jantung,
diaporesis, disfungsi hati, dll )
o Monitor serum dan elektrolit urine
o Monitor serum dan osmilalitas
urine
o Monitor BP, HR, dan RR
o Monitor tekanan darah orthostatik
dan perubahan irama jantung
o Monitor parameter hemodinamik
infasif
o Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB
o -  Monitor tanda dan gejala dari
odema
6 Cemas b/d NOC : NIC :
penyakit kritis, o Anxiety control o Anxiety Reduction (penurunan
takut kematian o  Coping kecemasan)
atau kecacatan, o  Impulse control o Gunakan pendekatan yang
perubahan Kriteria Hasil : menenangkan
peran dalam o Klien mampu o Nyatakan dengan jelas harapan
lingkungan mengidentifikasi dan terhadap pelaku pasien
social atau mengungkapkan o Jelaskan semua prosedur dan apa
ketidakmampua gejala cemas yang dirasakan selama prosedur
n yang o Mengidentifikasi, o Pahami prespektif pasien terhdap
permanen. situasi stres
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik o Temani pasien untuk memberikan
untuk mengontol keamanan dan mengurangi takut
cemas o Berikan informasi faktual
o Vital sign dalam mengenai diagnosis, tindakan
batas normal prognosis
o Postur tubuh, ekspresi o Dorong keluarga untuk menemani
wajah, bahasa tubuh anak
dan tingkat aktivitas o Lakukan back / neck rub
menunjukkan o Dengarkan dengan penuh perhatian
berkurangnya o Identifikasi tingkat kecemasan
kecemasan o Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
o Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
o Instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi
o Barikan obat untuk mengurangi
kecemasan

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E, Moorhouse, M.F., & Geissler, A.C. (1999). Rencana asuhan keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta.
EGC.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002).Buku ajar keperawatan medikal bedah.Vol 2.
Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK
Universitas Indonesia
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika
Safery,Ns Andra wijaya, S.Kep, 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa).Yogyakarta : Nuha Medika
Wilkinson J.M, dan Ahern N.R. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9, EGC ;
Jakarta.
A. Definisi
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi Secara
Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di
Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan
Ancaman Gagal Napas.
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terkumpulnya Cairan Ekstravaskuler Yang
Patologis Di Dalam Paru. (Soeparman;767).

B. Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Edema paru kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih
berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi
beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).

c. Gangguan katup jantung


Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak
mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah
mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

2. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ards)
f. Neurogenik

C. Patofisiologis
alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal
mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi
oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya
oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.

D. Pathway

Gagal jantung
kanan/kongesti

Aliran balik darah paru terhambat

Peningkatan tekanan intra kapiler pulmonal

Peningkatan tekanan intra kapiler > tek. interstisial

Timbunan pada alveoli


Oedem paru

Distensi intra pulmonal

Pecahnya pembuluh darah paru


Intoleransi Bersihan jalan
aktivitas napas tidak efektif
Gangguan pertukaran gas

E. Manifestasi klinik
Alo dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi co. Keluhan pada
stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.

b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan
cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil,
terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek
bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat
dan tersengal.

c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara
berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas
yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata.

F. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan  non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung  Kiri Akut. Tetapi
dengan adanya faktor presipitasi, dapat  terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Kronik
1. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
2. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di
paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural
effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat
berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral
pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
a. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
b. Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
c. Takikardia dengan S3 gallop.
d. Murmur bila ada kelainan katup.
2. Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
3. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
d. Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-
tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan
sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan
pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua
bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan
pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang
normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal
tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
4. Gambaran Radiologi yang ditemukan :
a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
b. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
e. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)
5. Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner),
dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
6. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari
beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary
edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan
gagal jantung sebagai penyebabnya.
7. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)  adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-
Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).

H. Penatalaksanaan.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (90 – 100%) sampai 12 liter/menit bila perlu dengan masker NRBM.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
6. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
8. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
9. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
10. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
11. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
12. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian Primer
Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret.
2) Wheezing atau krekles.
3) Kepatenan jalan nafas.
Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
3) Ronchi, krekles.
4) Ekspansi dada tidak penuh.
5) Penggunaan otot bantu nafas.
Circulation
1) Nadi lemah, tidak teratur.
2) Capillary refill.
3) Takikardi.
4) TD meningkat / menurun.
5) Edema.
6) Gelisah.
7) Akral dingin.
8) Kulit pucat, sianosis.
9) Output urine menurun.

Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium :
keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak
sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan
rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak
dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan
(nyeri) dengan pengkajian PQRST.
Pengkajian Sekunder
a. AMPLE
1) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu
terjadinya penyakitnya.
2) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
3) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan
menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
4) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
5) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien
dengan kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
- Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen

Subyektif         : -

Obyektif          : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi


sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat,
kemerahan

b. Sistem Pulmonal

Subyektif         : sesak nafas, dada tertekan

Obyektif         : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk


(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot
bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor,
ronchii pada lapang paru,
c. Sistem Cardiovaskuler

Subyektif         : sakit dada

Obyektif          : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,


kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara
jantung tambahan

d. Sistem Neurosensori

Subyektif         : gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif          : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

e. Sistem Musculoskeletal

Subyektif         : lemah, cepat lelah

Obyektif          : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan


penggunaan otot aksesoris pernafasan

f. Sistem genitourinaria

Subyektif         : -

Obyektif          : produksi urine menurun,

g. Sistem digestif

Subyektif         : mual, kadang muntah

Obyektif          : konsistensi feses normal/diare

h. Pemeriksaan Penunjang  :
1) Hb                                : menurun/normal
2) Analisa Gas Darah      : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit                     : Natrium/kalsium menurun/normal

 Diagnosa yang mungkin muncul


1. Ketidakefektifan pola nafas  berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap 
pemasangan alat  bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
Intervensi

No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional


1 Ketidakefektifan pola nafas  Pola nafas kembali efektif setelah 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan dilakukan tindakan keperawatan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
keadaan tubuh yang lemah selama 3 × 24 jam, dengan kriteria kooperatif dalam memberikan
2. Atur posisi semi fowler
hasil: terapi
3. Observasi tanda dan gejala 2. Jalan nafas yang longgar dan
1. Tidak terjadi hipoksia atau sianosis tidak ada sumbatan proses
hipoksemia respirasi dapat berjalan dengan
2. Tidak sesak 4. Berikan terapi oksigenasi
lancar.
3. RR normal (16-20 × / menit) 5. Observasi tanda-tanda vital 3. Sianosis merupakan salah satu
4. Tidak terdapat kontraksi otot 6. Observasi timbulnya gagal tanda manifestasi
bantu nafas ketidakadekuatan suply O2 pada
nafas
5. Tidak terdapat sianosis jaringan tubuh perifer .
7. Kolaborasi dengan tim 4. Pemberian oksigen secara
medis dalam memberikan adequat dapat mensuplai dan
pengobatan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis merupakan
tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung
yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan tubuh dalam
proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan.

2 Gangguan pertukaran Gas Fungsi pertukaran gas dapat 1. Berikan HE pada pasien 7) Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan maksimal setelah dilakukan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
distensi kapiler pulmonar tindakan keperawatan selama 3 × kooperatif dalam memberikan
2. Atur posisi pasien semi
24 jam dengan kriteria hasil: terapi
fowler 8) Jalan nafas yang longgar dan
1. Tidak terjadi sianosis 3. Bantu pasien untuk tidak ada sumbatan proses
2. Tidak sesak respirasi dapat berjalan dengan
a. RR normal (16-20 × / melakukan reposisi secara
lancer
menit) sering 9) Posisi yang berbeda
b. BGA normal: 4. Berikan terapi oksigenasi menurunkan resiko perlukaan
1) partial pressure of akibat imobilisasi
5. Observasi tanda – tanda
oxygen (PaO2): 75- 10) Pemberian oksigen secara
100 mm Hg vital adequat dapat mensuplai dan
2) partial pressure of 6. Kolaborasi dengan tim memberikan cadangan oksigen,
carbon dioxide sehingga mencegah terjadinya
medis dalam memberikan
(PaCO2): 35-45 mm hipoksia
Hg pengobatan 11) Dyspneu, sianosis
3) oxygen content merupakan tanda terjadinya
(O2CT): 15-23% gangguan nafas disertai dengan
4) oxygen saturation kerja jantung yang menurun
(SaO2): 94-100% timbul takikardia dan capilary
5) bicarbonate (HCO3): refill time yang
22-26 mEq/liter memanjang/lama.
6) pH: 7.35-7.45 12) Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan

3 Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi setelah 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan area dilakukan tindakan keperawatan tentang kondisi yang membawa pasien lebih
invasi mikroorganisme selama 3 × 24 jam, dengan kriteria dialaminya kooperatif dalam memberikan
sekunder terhadap hasil: 2. Observasi tanda-tanda vital. terapi
pemasangan selang 3. Observasi daerah 2. Meningkatnya suhu tubuh dpat
endotrakeal 1. Pasien mampu mengurangi pemasangan selang dijadikan sebagai indicator
kontak dengan area endotrakheal terjadinya infeksi
pemasangan selang 4. Lakukan tehnik perawatan 3. Kebersihan area pemasangan
endotrakeal secara aseptik selang menjadi factor resiko
2. Suhu normal (36,5oC) 5. Kolaborasi dengan tim medis masuknya mikroorganisme
dalam memberikan 4. Meminimalkan organisme yang
pengobatan kontak dengan pasien dapat
menurunkan resiko terjadinya
infeksi
5. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Colquhaun, M. C, 2004. ABC of Resusitation 5th Edition. London: BMJ Publishing

Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp

Griffiths, M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ Publishing

Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher
LAPORAN PENDAHULUAN
PNEUMONIA

A. Definisi Penyakit
Pneumonia merupakan suatu peradangan alveoli atau pada parenchyma paru yang
terjadi pada anak (Suriadi, 2006). Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada
parenkim paru (Betz, 2002). Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Staf
FKUI, 2006). Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut bawah. Bila seseorang
menderita pneumonia, nanah dan cairan mengisi alveoli dalam paru yang mengganggu
penyerapan oksigen, dan membuat sulit bernapas (WHO, 2006). Pneumonia adalah
setiap penyakit radang paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Bahan
kimia atau agen lain bisa menyebabkan paru menjadi meradang. Suatu jenis pneumonia
yang terkait dengan influenza kadang-kadang berakibat fatal.
Pneumonia berpotensi fatal lainnya dapat dihasilkan dari makanan atau inhalasi
cair (pneumonia aspirasi). Hanya mempengaruhi beberapa pneumonia lobus paru
(pneumonia lobaris), namun ada juga yang menyebar lebih (bronkopneumonia). Nyeri
dada, sputum mukopurulen, dan meludah darah (hemoptisis) adalah tanda-tanda umum
dan gejala penyakit. Jika udara di paru digantikan oleh cairan dan puing-puing inflamasi,
jaringan paru kehilangan tekstur kenyal dan menjadi bengkak dan membesar
(konsolidasi). Konsolidasi berhubungan terutama dengan pneumonia bakteri, bukan
pneumonia virus.
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah jenis pneumonia erat terkait dengan
AIDS. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh jamur yang berada di
dalam atau pada kebanyakan orang (flora normal), tetapi tidak menyebabkan kerugian
selama individu tetap sehat. Ketika sistem kekebalan tubuh mulai gagal, organisme ini
menjadi menular (oportunistik). Diagnosis bergantung pada pemeriksaan biopsi jaringan
paru-paru atau pencucian bronkial (lavage) (Gylys & Wedding, 2009). Pneumonia adalah
suatu proses peradangan di mana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga
alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang
mengalami konsolidasi dan darah dialirkan ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi.
B. Etiologi
Etiologi pneumonia yaitu bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan
anatomis dari struktur paru yang terkena infeksi, pneumonia dibagi menjadi pneumonia
lobaris, pneumonia lobularis (bronkhopneumonia), dan pneumonia intersitialis
(bronkiolitis). Bronkhopneumonia merupakan penyakit radang paru yang biasanya
didahului dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas dan disertai dengan
panas tinggi. Keadaan yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh, yaitu aspirasi,
penyakit menahun, gizi kurang/malnutrisi energi protein (MEP), faktor patrogenik
seperti trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya bronkhopneumonia. Menurut WHO
diberbagai negara berkembang Streptococus pneumonia dan Hemophylus influenza
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah (Depkes, 2009)
Dari seluruh etiologi pneumonia, Streptococcus pneumonia adalah merupakan
etiologi tersering dari pneumonia bakteri dan yang paling banyak diselidiki
patogenesisnya. Jenis keparahan penyakit ini di pengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
umur, jenis kelamin, musim dalam tahun tersebut, dan kepadatan penduduk. Anak laki –
laki lebih sering terkena pneumonia dari pada anak perempuan (Prober, 2009)
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia
sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan
timbulnya.

Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai
penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini :
1. Bakteri
Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus
pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
2. Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh
virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang
merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
3. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran
burung.

4. Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien
yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.

C. Patofisologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai
usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan
penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah
yang paling berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit,
usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak organ paru.
Kerusakan jaringan paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang
dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada
pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru (tiga di paru kanan, dan dua di paru kiri) menjadi
terisi cairan. Dari jaringan paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Pneumonia adalah bagian dari penyakit infeksi pneumokokus invasif
yang merupakan sekelompok penyakit karena bakteri streptococcus pneumoniae. Kuman
pneumokokus dapat menyerang paru selaput otak, atau masuk ke pembuluh darah hingga
mampu menginfiltrasi organ lainnya. infeksi pneumokokus invasif bias berdampak pada
kecacatan permanen berupa ketulian, gangguan mental, kemunduran intelegensi,
kelumpuhan, dan gangguan saraf, hingga kematian.

D. Tanda dan Gejala


1. Pneumonia bakteri
Gejala awal :
- Rinitis ringan
- Anoreksia
- Gelisah
Berlanjut sampai :
- Demam
- Malaise
- Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )
- Ekspirasi bebunyi
- Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan
- Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
- Leukositosis
- Foto thorak pneumonia lobar
2. Pneumonia virus
Gejala awal :
- Batuk
- Rinitis
Berkembang sampai
- Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat
dan lesu
- Emfisema obstruktif
- Ronkhi basah
- Penurunan leukosit
3. Pneumonia mikoplasma
Gejala awal :
- Demam
- Mengigil
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Mialgia
Berkembang menjadi :
- Rinitis
- Sakit tenggorokan
- Batuk kering berdarah
- Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak
4. Data Fokus
1. Wawancara
a. Klien
Dilakukan dengan menanyakan identitas klien yaitu nama, tanggal lahir, usia,
berat badan, tinggi badan. Serta dengan menanyakan riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan sekarang, riwayat tumbuh kembang serta riwayat
sosial klien
b. Orang tua
mencakup nama, umur, alamat, pekerjaaan, riwayat kehamilan serta riwayat
kesehatan keluarga
c. Anamnese
Klien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak
nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, sering sekali tanpa demam dan batuk.
Anak kadang mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda- beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, reaksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
Gejala yang sering terlihat adalah tapikneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan
iritabel.
Pada pra-sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), tapikneu, dan dispneu yang ditandai reaksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok
umur, akan dijumpai adanya napas cuping hidung. Pada auskultasi, dapat terdengar
pernapasan menurun. Fine crackles (ronkhi basah halus) yang khas pada anak besar,
bisa juga ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada
perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine crackles
(ronkhi basah halus) didaerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri
dada, bila berat dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring kearah yang sakit
dengan kaki fleksi. Rasa sakit dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.
Pemeriksaan berfokus pada bagian thorak yang mana dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dan didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Inspeksi: Perlu diperhatikan adanya tahipne, dispne, sianosis sirkumoral,
pernapasan cuping hidung, distensis abdomen, batuk semula nonproduktif
menjadi produktif, serta nyeri dada saat menarik napas. Batasan takipnea pada
anak usia 2 bulan -12 bulan adalah 50 kali / menit atau lebih, sementara untuk
anak berusia 12 bulan – 5 tahun adalah 40 kali / menit atau lebih. Perlu
diperhatikan adanya tarikan dinding dada kedalam pada fase inspirasi. Pada
pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas.
b. Palpasi: Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membeasar,
fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin
mengalami peningkatan (tachichardia)
c. Perkusi: Suara redup pada sisi yang sakit
d. Auskultasi: Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga ke hidung / mulut bayi. Pada anak yang pneumonia akan
terdengar stridor. Sementara dengan stetoskop, akan terdengar suara nafas
berkurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa
resolusi. Pernapasan bronkial, egotomi, bronkofoni, kadang-kadang terdengar
bising gesek pleura.

3. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen thoraks proyeksi posterior - anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi
pleura. Pada bayi dan anak yang kecil gambaran radiologi sering kali tidak sesuai
dengan gambaran klinis. Tidak jarang secara klinis tidak ditemukan apa – apa tetapi
gambaran foto thoraks menunjukkan pneumonia berat. Foto thoraks tidak dapat
membedakan antara pneumonia bakteri dari pneumonia virus. Gambaran radiologis
yang klasik dapat dibedalan menjadi tiga macam yaitu ; konsolidasi lobar atau
segmental disertai adanya air bronchogram, biasanya disebabkan infeksi akibat
pneumococcus atau bakteri lain. Pneumonia intersitisial biasanya karena virus atau
Mycoplasma, gambaran berupa corakan bronchovaskular bertambah, peribronchal
cuffing dan overaeriation; bila berat terjadi pachyconsolidation karena atelektasis.
Gambaran pneumonia karena S aureus dan bakteri lain biasanya menunjukkan
gambaran bilateral yang diffus, corakan peribronchial yang bertambah, dan tampak
infiltrat halus sampai ke perifer.
Staphylococcus pneumonia juga sering dihubungkan dengan pneumatocelle dan
efusi pleural (empiema), sedangkan Mycoplasma akan memberi gambaran berupa
infiltrat retikular atau retikulonodular yang terlokalisir di satu lobus. Ketepatan
perkiraan etiologi dari gambaran foto thoraks masih dipertanyakan namun para ahli
sepakat adanya infiltrat alveolar menunjukan penyebab bakteri sehingga pasien perlu
diberi antibiotika. Hasil pemeriksaan leukosit > 15.000/μl dengan dominasi netrofil
sering didapatkan pada pneumonia bakteri, dapat pula karena penyebab non bakteri.
Laju endap darah (LED) dan C reaktif protein juga menunjukkan gambaran tidak
khas. Trombositopeni bisa didapatkan pada 90% penderita pneumonia dengan
empiema (Kittredge, 2000). Pemeriksaan sputum kurang berguna. Biakan darah
jarang positif pada 3 – 11% saja, tetapi untuk Pneumococcus dan H. Influienzae
kemungkinan positif 25 –95%. Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai
spesifitas dan sensitifitas rendah.

G. Analisa Data
No Diagnosa keperawatan
Data Patofisiologi
.
1. Data Subyektif : Infeksi oleh Bersihan jalan napas
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen tidak efektif
klien sulit bernapas ↓
- Klien mengatakan Respon antigen-antibody
napasnya sesak ↓
Data Obyektif: Pengaktifan kaskade
- Anak rewel, sering komplemen
menangis ↓
- Napas sesak Kemotaksis Netrofil dan
- Bunyi napas ronki Magrofah
- Anak menggunakan otot ↓
bantu napas Aktifasi proses fagositosis
- Ada pernapasan cuping oleh netrofil dan magrofah
hidung ↓
- batuk Penumpukan sekret eksudat
- rr: > 27x/i ↓
Bersihan jalan napas tidak
efektif
2. Data Subyektif : Infeksi oleh Pola napas tidak efektif
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen
klien sulit bernapas ↓
- Klien mengatakan Respon antigen-antibody
napasnya sesak ↓
Data Obyektif: Pengaktifan kaskade
- Anak rewel, sering komplemen
menangis ↓
- Napas sesak Kemotaksis Netrofil dan
- Bunyi napas abnormal Magrofah
ronki ↓
- Anak menggunakan otot Aktifasi proses fagositosis
bantu napas oleh netrofil dan magrofah
- Ada pernapasan cuping ↓
hidung Konsolidasi lekosit dan
- batuk fibrin dalam paru
- rr 0-2 bulan : >50 x/i ↓
- rr 2-12 bulan : >40 x/i Konsolidasi jaringan paru
- rr 1-5 tahun : >30 x/i ↓
- rr > 5 tahun : >25 x/i Komplience kemampuan
- pengembangan paru turun

Pola napas tidak efektif
3. Data Subyektif : Infeksi oleh Hipertermia b.d Proses
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen Infeksi
anaknya demam ↓
beberapa hari yang lalu Respon antigen-antibody
- Keluarga mengatakan ↓
anakknya mengigil Pengaktifan kaskade
Data Obyektif: komplemen
- Anak rewel, sering ↓
menangis Kemotaksis Netrofil dan
- Suhu tubuh > 38oC Magrofah
- Anak menggigil ↓
- Anak susah tidur Pelepasan pirogen endogen
- T: 110/70 ↓
- N: 116x/i Merangsang saraf vagus
- rr: 24x/i ↓
Penghantar sinyal sampai
SSP

Pembentukan prostaglandin
otak

Masuk ke hipotalamus
meningkatkan titik patokan
suhu (set point)

Hiperpireksia
4. Data Subyektif : Infeksi oleh Nyei Akut b.d proses
- Keluarga mengatakan mikroorganisme patogen Penyakit
anaknya rewel sejak ↓
beberapa hari yang lalu Produk toksik
- Keluarga mengatakan ↓
anakknya menangis Kerusakan sel dan jaringan
terus dan susah ↓
ditenangkan Pelepasan mediator nyeri
Data Obyektif: (histamin, bradikinin,
- Anak rewel, sering prostaglandin, serotonin,
menangis ion kalium, dll)
- Skala nyeri > 5 ↓
- Anak susah tidur Merangsang nosiseptor
- T: 110/70 (reseptor nyeri)
- N: 116x/i ↓
- rr: 24x/i Penghantar sinyal ke
medulla spinalis

Persepsi nyeri

Nyeri

H. Diagnosa keperawatan .
Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian
dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Pneumonia diantaranya :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif.
NOC : Status pernapasan: Ventilasi

NIC :
1) Penghisapan jalan napas
2) Fisioterapi dada
b. Pola napas tidak efektif
NOC : Status Pernapasan : Kepatenan Jalan Napas

NIC :
1) Managemen Jalan Napas
2) Terapi Oksigen

c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.


NOC : Termoregulasi

NIC :
1) Regulasi Temperatur
2) Pengobatan Deman
3) Managemen Cairan
d. Nyeri Akut berhubungan dengan proses penyakit
NOC : kontrol nyeri

NIC :
1) Managemen nyeri
2) Pemberian Analgetik
3) Monitor TTV
Diagnosa Keperawatan NANDA, Kriteria Hasil NOC dan Intervensi Keperawatan NIC

No. Diagnosa Keperawatan Kriteria Hsil Intervensi Keperawatan


NANDA NOC NIC
1. BERSIHAN JALAN NAPAS a. Status Pernapasan : Ventilasi a. Pengisapan Jalan Napas
TIDAK EFEKTIF  Frekuensi napas IER* Aktivitas :
Definisi : Ketidakmampuan  Irama napas IER  Tentukan kebutuhan untuk suction
membersihkan sekresi atau sumbatan  Kedalaman inspirasi mulut dan/atau trakea.
dari saluran pernapasan untuk  Pengembangan dada simetris  Auskultasi nafas sebelum dan sesudah
mempertahankan kebersihan jalan  Kenyamanan bernapas pengisapan.
napas  Keluaran sputum dari jalan napas  Memberitahukan kepada pasien dan
keluarga tentang pengisapan.
 Vokal adekuat
Batasan karakteristik :  Aspirasi nasoparing dengan tabung
 Pengeluaran udara
 Batuk tidak ada syringe atau bulb atau alat yang sesuai.
 Penggunaan otot aksesoris/tambahan  Sediakan pemberian obat yang sesuai.
 Bunyi napas
tidak ada  Gunakan tindakan pencegahan universal
tambahan
 Suara napas tambahan tidak ada : sarung tangan, pelindung mata, dan
 Perubahan
 Penarikan dada tidak ada masker yang sesuai.
dalam frekuensi napas
 Pengerutan bibir pada saat bernapas  Masukkan nasal airway untuk
 Perubahan
tidak ada memudahkan penyerapan nasotrakea.
dalam irama pernapasan
 Dispnea saat istirahat tidak ada  Ajarkan pasien untuk mengambil nafas
 Sianosis
 Dispnea dengan pengerahan tenaga dalam sebelum pengisapan nasotrakea
 Kesulitan
tidak ada/hilang dan menggunakan oksigen sebagai
bersuara
 Orthopnea tdak ada/hilang pelengkap, yang sesuai.
 Penurunan
bunyi napas  Napas pendek tidak ada/hilang  Hiperoksigen dengan 100% oksigen,
 Fremitus tidak ada/hilang menggunakan ventilator atau ventilator
 Dyspnea
 Suara perkusi tidak ada/hilang manual.
 Sputum terlalu  Menghirup udara kira-kira 1 sampai 1,5
banyak  Auskultasi suara napas, IER
Auskultasi vokalisasi, IER kali volume tidal menggunakan
 Batuk tidak ventilator mekanik, jika dibutuhkan.
efektif  Bronchopony IER
 Egophony IER  Gunakan peralatan yang steril untuk
 Orthopnea setiap prosedur suction trakea.
 Suara berbisik di dada, IER
 Kegelisahan  Volume tidal IER  Pilih kateter suction yang diameternya
 Mata terbelalak  Kapasitas vital IER 1,5 dari tuba endotrakea, tuba
( melihat) Hasil X ray dada IER trakeostomi, atau jalan nafas pasien.
Tes fungsi IER  Ajarkan pasien secara pelan-pelan,
Faktor yang berhubungan :  Lainnya) ambil nafas dalam selama memasukkan
1. Lingkungan kateter suction melalui rute nasotrakea.
 Perokok pasif  Biarkan pasien terhubung dengan
 Menghirup asap rokok ventilator selama suction, jika suction
 Merokok dekat trakea
 Adanya tahanan /  Gunakan tekanan terendah dari suction
hambatan dinding untuk mengeluarkan sekresi
( antara 8 sampai 100 mm Hg untuk
 Sekresi dalam bronkus
dewasa).
2. Hambatan Jalan Napas
 Amati status oksigenasi pasien ( tingakt
 Spasme jalan napas
SaO2 dan SvO2) dan status
 Mukus terlalu banyak hemodinamik (tingkat MAP dan irama
 Eksudat dalam alveoli jantung) segera sebelum, selama, dan
 Benda asing dalam jalan sesudah suction.
napas  Batasi waktu masing-masing suction
 Adanya jalan napas buatan trakea selama kebutuhan untuk
3. Fisiologi mengeluarkan sekresi dan perhatikan
 Alergi pada jalan napas respon pasien terhadap suction.
 Asma  Berikan kesempatan bernafas dan
 Penyakit obstruksi paru oksigen yang berlebih antara sebelum
kronik dan dan sesudah akhir suction.
 Hiperplasia dinding  Suction oropharing setelah trakea
bronkus selesai, jika dibutuhkan.
 Infeksi  Hentikan suction dan berikan suplai
 Disfungsi neuromuskular oksigen jika pasien mengalami
bradikardia, penambahan pada etcopy
ventricular, dan/atau desaturasi.
 Ubah teknik suction, sesuai respon
klinis pasien.
 catatan Jenis dan jumlah volume sekresi.
 Gunakan sekresi untuk kultur dan
sensitivitas tes,
 Ajarkan pasien dan/ atau keluarga
bagaimana menghisap jalan nafas,
dengan tepat

b. Batuk Efektif
Aktivitas :
 Monitor hasil tes fungsi paru, kapasitas
vital, kekuatan maksimal dari inspirasi
dan ekspirasi
 Kaji pasien untuk duduk dengan posisi
kepala sedikit fleksi, bahu dalam kondisi
rileks, dan lutu fleksi
 Dorong pasien untuk bernafas dalam
beberapa kali
 Dorong pasien nafas dalam, tahan
beberapa detik dan batukan dua sampai
tiga kali
 Ajarkan pasien untuk menghirup dalam,
tekukan kedepan dan ucapkan ”huff”
sebanyak 2-3 kali
 Ajarkan pasien menghirup dalam
beberapa waktu, lalu keluarkan pelan-
pelan lalu di akhiri dengan batuk
 Tingkatkan hidrasi sistemik.
2. KETIDAKEFEKTIFAN POLA  Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas a. Managemen Jalan Napas
NAPAS  Demam tidak ada Aktivitas :
Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi  Ansietas tidak ada  Buka jalan nafas dengan teknik
yang tidak menyediakan ventilasi  Sesak tidak ada mengangkat dagu atau dengan
yang adekuat.  Frekuensi napas IER* mendorong rahang sesuai keadaan
 Irama napas IER  Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Batasan Karakteristik ventilasi yang potensial
 Keluaran sputum dari jalan napas
- Napas dalam  Identifikasi masukan jalan nafas baik
 Tidak ada suara napas tambahan
- Perubahan gerakan dada yang aktual ataupun potensial
- Mengambil posisi tiga titik  Lainnya
 Masukkan jalan nafas/ nasofaringeal
- Bradipneu sesuai kebutuhan
- Penurunan tekanan ekspirasi  Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Penurunan tekanan inspirasi suction/pengisapan
- Penurunan ventilasi semenit  Dorong nafas dalam, pelan dan batuk
- Penurunan kapasitas vital
 Ajarkan bagaimana cara batuk efektif
- Dispneu
 Kaji keinsetifan spirometer
- Peningkatan diameter
anterior-posterior  Auskultasi bunyi nafas, catat adanya
- Napas cuping hidung ventilasi yang turun atau yang hilang
- Ortopneu dan catat adanya bunyi tambahan
- Fase ekspirasi yang lama  Lakukan pengisapan endotrakeal atau
- Pernapasan pursed-lip nasotrakeal
- Takipneu  Beri bronkodilator jika diperlukan
- Penggunaan otot-otot bantu  Ajarkan pasien tentang cara penggunaan
untuk bernapas inhaler
 Beri aerosol, pelembab/oksigen,
Faktor yang berhubungan ultrasonic humidifier jika diperlukan
- Ansietas  Atur intake cairan untuk
- Posisi tubuh mengoptimalkan keseimbangan cairan
- Deformitas tulang  Posisikan pasien untuk mengurangi
- Deformitas dinding dada dispnu
- Kerusakan kognitif  Monitor pernafasan dan status oksigen
- Kelelahan b. Terapi Oksigen
- Hiperventilasi\ Aktifitas:
- Sindrom hipoventilasi · Bersihkan mulut, hidung dan trakea dari
- Kerusakan muskuloskeletal sekret
- Imaturitas neurologis · Pertahankan kepatenan jalan napas
- Disfungsi neuromuskular · Atur peralatan oksigenasi
- Obesitas · Atur posisi pasien untuk
- Nyeri mengoptimalkan pernapasan
- Kerusakan persepsi · Berikan oksigen sesuai order, jika
- Kelelahan otot-otot respirasi diperlukan
- Cedera tulang belakang · Monitor kepatenan aliran oksigen
· Observasi adanya tanda-tanda terjadinya
hipoventilasi
· Monitor terjadinya tanda-tanda
keracunan oksigen
· Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
· Monitor saturasi oksigen
· Monitor pola napas pasien
· Pantau tanda=tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian terapi oksigen
· Amati adanya sianosis jaringan

3. HIPERTERMIA b. termoregulasi a. pengobatan demam


Definisi :suhu tubuh meningkat  Temperatur kulit IER* aktivitas :
melebihi batas normal  Temperatur tubuh WNL*  Pantau suhu berkali-kali jika diperlukan
 Tidak adanya sakit kepala  Pantau kehilangan cairan yang tidak
Batasan karakteristik:  Tidak adanya ngilu pada otot sadar
- konvulsi  Tidak adanya iritabilitas  Adakan pemantauan suhu secara
- kulit memerah  Tidak adanya perasaan mengantuk berkelanjutan, jika diperlukan
- peningkatan suhu tubuh diatas  Tidak adanya perubahan warna kulit  Pantau warna kulit dan suhu
normal  Tidak adanya kejang pada otot  Pantau tekanan darah, nadi dan
- kejang  Adanya tonjolan buli roma ketika pernafasan, jika diperlukan
- takikardi dingin  Pantau untuk penurunan tingkat
- takipnea  Berkeringat ketika panas kesadaran
- diraba hangat  Menggigil ketika dingin  Pantau aktivitas berlebihan
 Angka denyutan IER  Pantau kadar WBC, Hgb dan Hct
Faktor yang berhubungan :  Pantau intake dan output
 Angka pernapasan IER
- anestesi
 Kecukupan hidrasi  Pantau adanya abnormalitas elektrolit
- penurunan keringat
 Melaporkan kenyamanan tingkat  Oantau ketidakseimbangan asam basa
- dehidrasi
- terpapar lingkungan yang panas  Pantau adanay irama jantung
panas  Lainnya ____________(tetapkan)  Atur pengobatan dengan anti piretik,
- pakaian yang tidak layak jika diperlukan
- peningkatan metabolisme  Tutup pasien dengan selimut, jika hanya
- penyakit diperlukan
- pengobatan  Atur spon mandi suam-suam, jika
- trauma diperlukan
- aktivitas yang berlebihan  Anjurkan peningkatkan asupan cairan
oral, jika diperlukan
 Atur cairan IV, jika diperlukan
 Gunakan kantong es yang ditutup
dengan handuk pada lipatan paha dan
ketiak
 Tingkatkan sirkulasi udara dengan
menggunakan kipas angin
 Anjurkan atau atur kebersihan oral, jika
diperlukan
 Berikan pengobatan yang tepat untuk
mencegah atau mengontrol gemetaran
 Atur oksigen, jika diperlukan
 Tempatkan pasien pada bagian
hipotermia, jika diperlukan
 Pantau selalu suhu untuk mencegah
indikasi hipotermia

b. Regulasi Temperatur
Aktivitas :
 Monitor temperatur tiap 2 hari
 Monitr temperatur BBL hingga stabil
 Selalu sediakan alat untuk memonitr
suhu inti
 Monitor tekanan darah, nadi dan
respirasi
 Monitor warna kulit dan temperatur
 Monitor dan laporkan tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia
 Pantau asupan nutrisi dan cairan yang
adekuat
 Bedung BBl langsung estela lahir untuk
mencegah kehilangna panas
 Jaga kehangatan suhu tubuh BBL
 Pakaikan stockinette cap untuk
emncegah kehilangan panas BBL
 Ajarkan pasien cara ntuk mencegah
kelebihan dan strok panas
 Tempatkan BBL dalam ruangan isolasi
atau dibawah penghangat bila perlu
 Diskusikan pentingnya termoregulasi
dan kemungkinan efek negatif dari
dingin yang berlebihan
 Ajarkan pasien, terutama pasien lansia,
cara mencegah hypotermi jira
terexpose udara ddingin
 Ajarkan indikasi dari keletihan dan
penatalaksanaan emergency yang tepat
 Ajarkan indikasi dari hypotermia dan
penatalaksanaan emergency yang tepat
 Guakan matras panas dan kantong
hangat untuk mengatur perubahan
suhu tubuh
 Atur temperatur lingkungan sesuai
kebutuhan pasien
 Beri obat yang tepat untuk mencegah
atu kontrol menggigil
 Atur pemberian obat anti piretik
 Gunakan matras dingin dan mandi air
hangat untuk mengatur perubahan
temperatur.

4. NYERI AKUT a. Kontrol Nyeri a. Managemen Nyeri


Defenisi:  Menilai factor penyebab Aktivitas :
Pengalaman emosional dan sensori  Recognize lamanya Nyeri · Lakukan penilaian nyeri secara
yang tidak menyenangkan yang  Gunakan ukuran pencegahan komprehensif dimulai dari lokasi,
muncul dari kerusakan jaringan  Penggunaan mengurangi nyeri dengan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
secara aktual dan potensial atau non analgesic intensitas dan penyebab.
menunjukkan adanya kerusakan  Penggunaan analgesic yang tepat · Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal,
(Assosiation for Study of Pain) :  Gunakan tanda –tanda vital memantau terutama untuk pasien yang tidak bisa
serangan mendadak atau perlahan dari perawatan mengkomunikasikannya secara efektif
intensitas ringan sampai berat yang · Pastikan pasien mendapatkan perawatan
 Laporkan tanda / gejala nyeri pada
diantisipasi atau diprediksi durasi dengan analgesic
tenaga kesehatan professional
nyeri kurang dari 6 bulan.
 Gunkan sumber yang tersedia · Gunakan komunikasi yang terapeutik
Batasan Karakteristik:  Menilai gejala dari nyeri agar pasien dapat menyatakan
 Melaporkan nyeri secara  Gunakan catatan nyeri pengalamannya terhadap nyeri serta
verbal dan nonverbal  Laporkan bila nyeri terkontrol dukungan dalam merespon nyeri
 Menunjukkan kerusakan · Pertimbangkan pengaruh budaya
 Posisi untuk mengurangi nyeri terhadap respon nyeri
 Gerakan untuk melindungi · Tentukan dampak nyeri terhadap
 Tingkah laku berhati-hati kehidupan sehari-hari (tidur, nafsu
 Muka topeng makan, aktivitas, kesadaran, mood,
 Gangguan tidur (mata sayu, hubungan sosial, performance kerja dan
tampak capek, sulit atau melakukan tanggung jawab sehari-hari)
gerakan kacau, menyeringai) · Evaluasi pengalaman pasien atau
 Fokus pada diri sendiri keluarga terhadap nyeri kronik atau
 Fokus menyempit (penurunan yang mengakibatkan cacat
persepsi waktu, kerusakan · Evaluasi bersama pasien dan tenaga
proses berfikir, penurunan kesehatan lainnya dalam menilai
interaksi dengan orang dan efektifitas pengontrolan nyeri yang
lingkungan ) pernah dilakukan
 Tingkah laku distraksi (jalan- · Bantu pasien dan keluarga mencari dan
jalan, menemui orang lain, menyediakan dukungan.
aktifitas berulang) · Gunakan metoda penilaian yang
 Respon otonom (diaporesis, berkembang untuk memonitor
perubaha tekanan darah, perubahan nyeri serta mengidentifikasi
perubahan nafas, nadi dilatasi faktor aktual dan potensial dalam
pupil) mempercepat penyembuhan
 Perubahan otonom dalam · Pilihlah variasi dari ukuran pengobatan
tonus otot (dalam rentang (farmakologis, nonfarmakologis, dan
lemah ke kaku) hubungan atar pribadi) untuk
 Tingkah laku ekspresif mengurangi nyeri
(gelisah, merintih, menangis, · Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri
waspada, iritabel, nafas ketika memilih metoda mengurangi
nyeri
panjang, mengeluh) · Menyediakan analgesic yang dibutuhkan
 Perubahan dalam nafsu makan dalam mengatasi nyeri
· Menggunakan Patient-Controlled
Faktor yang berhubungan : Analgesia (PCA)
 Agen cedera (biologi, · Gunakan cara mengontrol nyeri sebelum
psikologi, kimia, fisika) menjadi menyakitkan (puncak nyeri)
· Pengobatan sebelum beraktivitas untuk
meningkatkan partisipasi , tapi evaluasi
resiko pemberian obat penenang
· Pastikan pretreatmen strategi analgesi
dan/ non-farmakologi sebelum prosedur
nyeri hebat
· Kaji tingkat ketidaknyamanan bersama
pasien, catat perubahan dalam catatan
medis dan informasikan kepada tenaga
kesehatan yang lain
· Evaluasi efektifitas metoda yang
digunakan dalam mengontrol nyeri
secara berkelanjutan
· Modifikasi metode kontrol nyeri sesuai
dengan respon pasien
· Anjurkan untuk istirahat/tidur yang
adekuat untuk mengurangi nyeri

b. Pemberian Analgetik
Aktifitas:
· Menentukan lokasi , karakteristik, mutu,
dan intensitas nyeri sebelum mengobati
pasien
· Periksa order/pesanan medis untuk obat,
dosis, dan frekuensi yang ditentukan
analgesik
· Cek riwayat alergi obat
· Mengevaluasi kemampuan pasien dalam
pemilihan obat penghilang sakit, rute,
dan dosis, serta melibatkan pasien dalam
pemilihan tersebut
· Utamakan pemberian secara IV
dibanding IM sebagai lokasi
penyuntikan, jika mungkin
· Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian obat narkotik dengan dosis
pertama atau jika ada catatan luar biasa.
· Cek pemberian analgesik selama 24 jam
untuk mencegah terjadinya puncak nyeri
tanpa rasa sakit, terutama dengan nyeri
yang menjengkelkan
· Menginformasikan individu yang
mendapatkan analgesik narkotika,bahwa
pasien akan merasa mengantuk hingga 2
sampai 3 hari kemudian kembali normal
· Dokumentasikan respon pasien tentang
analgesik, catat efek yang merugikan
· Mengevaluasi dan mendokumentasikan
tingkat pemberian obat penenang pada
pasien yang menerima opioids
· Mengajari tentang penggunaan
analgesik, strategi ke menurunkan efek
samping, dan harapan untuk keterlibatan
dalam membuat keputusan dalam
manajemen nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

A.Gylys B, Wedding ME. (2009). Medical Terminology Systems A Body System Approach.
Philadelpia: F.A. Davis Company.
Behram, Kleigman, Alvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Betz, Sowden. (2002) Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC
Bukchech, Gloria, et al (2012). Nursing International Classification. Lowa : Mosby
Carpenito. (2008). Ilmu Keperawatan Anak Edisi 3. Jakarta :EGC
Depkes. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Laporan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Publishing.
Jhonson, Marion. (2012). Outcome project Nursing Clasification NOC. St Louis Missouri :
Mosby
Kittredge M.(2000) The Respiratory System. Philadelphia: Chelsea House Publishers.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit: Edisi 2. Jakarta: EGC.
Riyadi S, Suharsono. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Gosyen
Staf Pengajar FKUI. (2006) Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta: Infomedika
Suriadi, Rita. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swada
WHO, UNICEF (2006). Pneumonia: The forgotten killer of children. Geneva: WHO Press
Wiley, NANDA International. (2012). Nursing Diagnostig : Defenition and Clasification
2012-2014. Jakarta : ECG
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN
KRITIS PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN STIKES WHS

Nama Mahasiswa/NPM : Widya Ashariana Istiqomah / P1908131

Tempat Praktek : ICU

Tanggal / Jam : 14 Oktober 2020

BIODATA PASIEN
Pendidikan : SMA
Pekerjaaan : Karyawan Swasta
Status Pernikahan : Menikah
No RM : XXXXXX
Diagnosa Medis : CKD ON HD, CHF, ALO, ARDS, DM, ULKUS PEDIS
DEXTRA
Tanggal Masuk RS : 14 Oktober 2020
Alamat : Balikpapan

BIODATA PENANGGUNG JAWAB

Nama : Ny M

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Hubungan dengan Klien : Istri

Alamat : Balikpapan
I. ANAMESA (PENGKAJIAN AWAL)

1. Keluhan Utama : Sesak.


2. Riwayat Kesehatan/Pengobatan Perawatan Sekarang : Klien sesak napas mulai
tadi malam sebelum masuk rumah sakit, nyeru ulu hati, kedua kaki bengkak ada
luka di kaki kanan. Masuk rumah sakit di ruang ICU tanggal 14 Oktober 2020 jam
13.00 dengan terintubasi.
3. Riwayat Kesehatan/Pengobatan Perawatan Sebelumnya : HT, DM, CKD ON HD
seminggu 1x sabtu.
4. Riwayat Pembedahan : Tidak ada
5. Pengobatan Terakhir :
6. Riwayat Penyakit Keluarga (Genogram Keluarga) :

Keterangan :
: Meninggal

: Laki-laki

: Perempuan

: Klien

II. PENGKAJIAN PRIMER


1. Airway :
Terintubasi on ventilator, produksi sylm (+) frooty sputum, terpasang OPA

2. Breathing :
Gerakan dada
Irama Nafas : Cepat
Pola Nafas : Teratur Tidak Teratur
Retraksi otot dada : Ada N/A
Sesak Nafas : Ada RR : 34 x/mnt Saturasi : 84%
Keluhan Lain : Ronchi

3. Circulation
Nadi : Teraba 66 x/menit
Sianosis : Ya
CRT : > 2 detik
Pendarahan : Ya Tidak ada
Tekanan Darah : 144/97 mmHg

Suhu : 36.5 oC

4. Disability
Kesadaran tersedasi E : 2, M : 5, V : 1, Pupil isokor reaksi cahaya +/+
5. Fluid (Cairan dan Elektrolit)
Intake :
Output :
Balance Cairan :
III. PEMERIKSAAN FISIK SPESIFIK WITH BODY SISTEM (SECONDARY
SURVEY)
KU Pasien :

TD : 144/97 mmHg Nadi : 66 x/menit RR 34 x/menit Suhu 36,5 o C

1. Rasa Nyaman (Nyeri)

Tidak ada nyeri Nyeri kronis Nyeri akut


Skala nyeri Lokasi :
Lokasi : Nyeri ulu hati
Durasi Frekuensi :
Karateristik :
Nyeri hilang, bila :
Minum obat Mendengar music
Istirahat Berubah posisi/tidur
Lain-lain sebutkan

Diberitahukan ke dokter:

Ya, pukul Tidak

Keluhan Lain . . . . .

2. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi) : Klien sesak napas terpasang intubasi, RR :


34x/m, saturasi 84 % dengan ventilator mode PCV RR 25, PC 18 Tv 6 CC/KGBB,
PEEP 10, I:E 1;2 Fio2 80%, ronchi +/+, Wheezing -/-
3. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi) : akral dingin, lembab, Sianosis (+) TD
144/97 mmHg, HR 66 x/mnt, S: 36,5ºC.
4. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik) : Kesadaran tersedasi E2M5V1, Pupil isokor
Reaksi cahaya +/+
5. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Urin/Genitourinaria)
6. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
7. B 6 : Bone & Skin (Tulang – Otot – Integumen) : Tidak ada pergerakan, tirah baring
dan pasien koma, kulit kering dan turgor kulit tidak elastis. Tonus otot ekstremitas atas
dan bawah 0.
IV. PEMERIKSAAN LANJUTAN
1. Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
2. Resiko decubitus tidak terdapat luka Ya, jelaskan

(BERDASARKAN SKALA NORTON)


PENILAIAN 4 3 2 1
Kondisi Fisik Baik Sedang √ Buruk Sangat Buruk
Status Mental Sadar Apatis Bingung Stupor √
Aktifitas Jalan Sendiri Jalan Dengan Kursi Roda Di tempat tidur √
Bantuan
Mobilitas Bebas Agak Terbatas Sangat Terbatas Tidak Mampu
Bergerak Bergerak √
Inkontinensia Kontinen Kadang-kadang Selalu Inkontinensia
Inkontinensia Inkontinensia Urin dan Alvi
Urin
SKOR
TOTAL SKOR 6
Keterangan :

16-20 : Risiko rendah terjadi decubitus

12-16 : Risiko sedang terjadi decubitus

12 : Risiko tinggi terjadi dekubitus

3. Riwayat Psikososial
Status Psikologi : Tenang
Status Mental : Pasien Koma
Status sosial
a. Hubungan pasien dengan anggota keluarga : Baik
b. Kerabat terdekat yang dapat dihubungi :
Nama : Ny. M
Hubungan : Istri
Telepon : 08xxxxxxxxxx
Pekerjaan pasien : Karyawan Swasta
4. Status Gizi
SKRINING GIZI (berdasarkan (MST/Malnutrition Screening Tool) Untuk Pasien
dewasa
Antropometri : BB . . . . kg TB : . . . . . . cm LILA : . . . . . cm
(bila skor ≥ 2 dilakukan pengkajian lanjut oleh dietisien)
Parameter

No Kriteria Skor
1. Apakah pasien mengalami penurunan BB yang tidak diinginkan
dalam
a. Tidak ada penurunan
b. Tidak yakin/tidak tahu
c. Jika Ya, berapa penurunan berat badan tersebut
1 – 5 Kg
6 – 10 Kg
11 – 15 Kg
2. Apakah asupan makanan berkurang karena tidak nafsu makan
a. Ya
b. Tidak
Total Skor

3. Pasien dengan kondisi khusus Ya


(pasien dengan penurunan imunitas, hemodialisa kronis, geriatric,
kemotherapi, intensive care, perinatal care, luka bakar, transpalantasi
sumsum tulang, DM, penurunan fungsi ginjal berat, sirosis hepatis, CLB,
penyakit keganasan, pneumonia berat, stroke, bedah digestif)
Sudah dibaca/diketahui oleh dietisien (diisii oleh dietisien) Ya paraf
5. Skrining Status Fungsional
Aktivitas dan mobilisasi : (lampirkan formulir pengkajian status fungsinal Barthel
Index)
Perlu bantuan, sebutkan : Klien ketergantungan total
Ketergantungan total, dilaporkan ke dokter ( Ya, pukul 10.00)
6. Kebutuhan Khusus
Lanjut Usia Pasien kemotherapi/radiasi Ketergantungan obat
Sakit terminal Daya imun rendah Korban kekerasan/terlantar
Penyakit menular Kelainan emosional Lainnya, Jelaskan
7. Kebutuhan Edukasi (dikaji pada pasien dan atau keluarga)
Kebutuhan pembelajaran pasien (pilih topic pembelajaran pada kotak yang
tersedia)
Obat-obatan Perawatan luka
Manajemen nyeri Diet dan nutrisi
Lain- lain
8. Perencanaan Pulang (dilengkapi dalam waktu 48 jam pertama pasien masuk ruang
rawat)
a. Pasien tinggal dengan siapa? Istri dan anak
b. Dimana letak kamar pasien di rumah? Lantai dasar
c. Bagaimana kondisi rumah pasien ?
Penerangan lampu terang
Kamar tidur jauh dengan kamar mandi
WC jongkok
d. Bagaimana perawatan kebutuhan dasar pasien ? Dibantu penuh
e. Apakah pasien memerlukan alat bantu khusus? Ya, sebutkan Tidak
f. Apa makanan pasien? Diet, sebutkan makanan yang bersifat lembek/lunak
seperti bubur sari.
g. Apakah perlu dirujuk ke komunitas tertentu? Tidak Ya, sebutkan . . . .

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Rontgen dll)

a. RONTGEN :
Cor : Membesara
Pulmo :Tampak perselubungan paracardial kanan kiri. Sinus phernicocostalis
kanan kiri tajam. Tulak-tulang tampak normal
Kesan :
Cardiomegali
Pneumonia sedang curiga viral
b. Laboratorium :
 Hematologi :
 Hemoglobin : 9.7
 Leukosit : 26.38
 Eritrosit : 3.69
 Hematokrit : 29.7
 Trombosit : 288
 Indeks Eritrosit :
 MCV : 80.5
 MCH : 26.3
 MCHC : 32.7
 Hitung jenis leukosit :
 Neutrofil : 89.8
 Limfosit : 7.2
 NLR : 12.48
 Kimia Darah :
 Ureum Darah : 150
 Kreatinin Darah : 4.49
 GFR (CKD-EPI, 2009) : 14
 Analisa Gas Darah :
 Ph : 7.220
 PO2 : 41.0
 HCO3 : 17.6
 Base Excess : -10,1
 CO2 Total : 18.9
 Saturasi O2 : 64.0
VI. TERAPI YANG DIDAPAT

 Furosemid 20 mg/jam
 Morphina 1 mg/jam
 Injeksi Ceftazidime 2 x 1 gr, Injeksi Omeprazole 1 x 40 mg ,
 inj Metronidazole 3 x 5oomg
 Sucralfat 3x 1C
 Asam folat 3 x 1
 Caco3 3 x 1
 Micardis 1 x 40 mg
 Silostazol 2 x 50 mg
PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL

(BERDASARKAN PENILAIAN BARTHEL INDEX)

NILAI SKOR
SAAT MGG MGG MGG MGG SAAT
SEBELU
MASU I II III DI IV DI PULAN
M SAKIT
Tidak K RS RS RS G

1 Mengendalikan 0 terkendali/teratur
rangsang defekasi Kadang-kadang 1 1 1 1 1 1 1
BAB 1

2 Madiri
Tak 0 0 0 0 0 0 0
2 Mengendalikan 0 terkendali/paka
rangsang i kateter
Kadang-kadang
1
berkemih (BAK)
2 Madiri
Membersihkan diri Butuh 0 0 0 0 0 0 0
(cuci muka, sisir
3 rambut, sikat gigi) 0 pertolongan
1 orang lain
Mandiri
Tergantung 0 0 0 0 0 0 0
Penggunaan 0 pertolongan
orangpertolongan
Perlu lain
4 jamban, masuk
dan keluar pada
(memakai celana, beberapa
membersihkan, kegiatan
dapat
menyiram)
2 Mandiri
0 Tidak mampu 0 0 0 0 0 0 0
Perlu ditolong

5 Makan 1 memoton
2 g makanan
Mandiri
Perlu banyak 1 1 1 1 1 1 1
1 bantuan
untuk bisa
Berubah sikap dari duduk (2
6 2
berbaring ke duduk Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
0 Tidak mampu 0 0 0 0 0 0 0
Bisa
7 Berpindah/berjalan
1 (pindah)denga
n kursi roda
Berjalan dengan
2

3 Mandiri
NILAI SKOR
NO FUNGSI SKOR URAIAN G PULAN
SAAT MGG MGG III MGG G
SEBELU MASU I II DI IV
M SAKIT K RS DI RS DI RS RS DI RS
Tergantung orang 0 0 0 0 0 0 0
0
lain
8 Memakai baju
1 Sebagian dibantu

2 Mandiri

0 Tidak Mampu

1 pertolongan
9 Naik turun tangga 2 Mandiri
Tergantung orang 0 0 0 0 0 0 0
0
10 Mandi lain

1 Mandiri
TOTAL SKOR 2
NAMA & TANGAN PERAWAT
Keterangan :

20 : Mandiri 5 – 8 : Ketergantungan berat

12 – 19 : Keterhantungan ringan 0 – 4 : Ketergantungan total

9 – 11 : Ketergantungan sedang
A. Analisa Data

No Data Etiologi Diagnosa


.
1. Ds : - Sekresi yang tertahan. Bersihan jalan napas tidak
Do: efektif.
1. Produksi slym (+)
frooty sputum.
2. Sesak nafas.
3. RR : 34 x/m.
4. Bunyi suara napas
tambahan ronchi+/
+.
2. Ds : - Membran alveolus-kapiler Gangguan pertukaran gas.
Do : RR :
1. 34 x/m.
2. Saturasi oksigen
84%.
3. Bunyi suara napas
tambahan ronchi +/
+.
4. Ph arteri menurun
(7.220)
5. PO2 menurun (41.0
mmHg).
3. Ds : - Hambatan upaya napas Pola napas tidak efektif.
Do :
1. Ventilator mode
PCV RR 25, PC 18
TV 6 CC/KGBB,
PEEP 10, I:E 1;2
FiO2 80%,
2. RR 34 x/m
3. Saturasi 84%
4. Ds : - Penurunan mobilitas Risiko gangguan integritas
Do : kulit/jaringan.
1. Pasien memiliki
riwayat Diabetes
Mellitus.
2. Kedua kaki
bengkak dan ada
luka di kaki kanan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.
4. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas.

C. Intervensi Keperawatan

No SDKI SLKI SIKI


.
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
berhubungan dengan sekresi yang Tindakan :
tertahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor pola napas (frekensi,
1x24 jam diharapkan bersihan jalan napas kedalaman, usaha naps)
pasien dapat membaik dengan kriteria hasil 2. Monitor bunyi napas tambahan
Definisi : Ketidakmampuan
sebagai berikut : (ronkhi).
membersihkan sekret atau obstruksi jalan
1. Produksi sputum (3) 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
napas untuk mempertahankan jalan napas
2. Dispnea (4) aroma).
tetap paten.
3. Frekuensi napas (4)
4. Pola napas (4)
Keterangan :
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat
2. Gangguan pertukaran gas Pertukaran Gas Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan perubahan Tindakan :
membran alveolus-kapiler. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor frekuensi, irama,
1x24 jam diharapkan membran alveolus- kedalaman, dan upaya napas.
Definis : Kelebihan atau kekurangan kapiler dapat membaik dengan kriteria hasil 2. Monitor pola napas (seperti,
oksigen dan/atau eliminasi sebagai berikut : bradipnea, takipnea,
karbondioksida pada membrane alveolus- 1. Dispnea (4) hiperventilasi, kussmaul).
kapiler. 2. Bunyi napas tambahan (3) 3. Monitor adanya sumbantan jalan
3. PCO2 (4) napas.
4. PO2 (4) 4. Askultasi bunyi napas.
5. Ph arteri (4) 5. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru.
Keterangan : 6. Monitor saturasi oksigen
1. Menurun 7. Monitor AGD.
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat
3. Pola napas tidak efektif berhubungan Pola Napas Terapi Oksigen
dengan hambatan upaya napas. Tindakan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor kecepatan aliran oksigen.
Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi 1x24 jam diharapkan pola napas pasien 2. Monitor posisi alat terapi oksigen.
yang tidak memberikan ventilasi adekuat. dapat membaik dengan kriteria hasil sebagai 3. Monitor aliran oksigen secara
berikut : periodikdan pastikan fraksi yang
1. Dispnea (4) diberikan cukup.
2. Penggunaan otot bantu napas (4) 4. Monitor tanda-tanda hipoventilasi.
5. Monitor integritas mukosa hidung
Keterangan : akibat pemasangan oksigen.
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat
4. Risiko gangguan integritas Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Integritas Kulit
kulit/jaringan berhubungan dengan Tindakan :
penurunan mobilitas. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi penyebabgangguan
1x24 jam diharapkan kulit dan jaringan integritas kulit (mis. Perubahan
Definisi : Berisiko mengalami kerusakan pasien dapat membaik dengan kriteria hasil sirkulasi, perubahan status nutrisi,
kulit (dermis dan/atau epidermis) atau sebagai berikut : penurunan kelembaban,
jaringan (membran mukosa, kornea, 1. Kerusakan jaringan (4) penurunan mobilitas).
fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, 2. Kerusakan lapisan kulit (4) 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
kapsul sendi dan/atau ligamen). baring.
Keterangan : 3. Lakukan pemijatan pada area
1. Menurun penonjolan tulang, jika perlu.
2. Cukup menurun 4. Gunakan produk berbahan
3. Sedang petrolium atau minyak pada kulit
4. Cukup meningkat kering.
5. Meningkat 5. Gunakanproduk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitif.
6. Hindari produksi berbahan dasar
alkohol pada kulit kering.
ANALISIS JURNAL

A. Deskripsi Topik Jurnal


Judul : Pijat Kaki Efektif Menurunkan Foot Oedema pada Penderita
Congestive Heart Failure (CHF)
Tahun : 2019
Nama Author : Engkartini, Kasron.
Penerbit : Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2

B. Tabel Summary

No Judul Jurnal Terkait Pembahasan Hasil Metode


.
1. Engkartini, Kasron. Hasil analisis menunjukan Metode penelitian
PIJAT KAKI EFEKTIF bahwa terdapat perbedaan menggunakan
MENURUNKAN FOOT yang bermakna lingkar quasi-experiment
OEDEMA PADA oedema pada kaki kanan dengan pendekatan
PENDERITA setelah hari kedua dan pre-post test
CONGESTIVE HEART ketiga dengan p-value without control
FAILURE (CHF). <0,001. Kesimpulan group. Responden
Jurnal Ilmu Keperawatan penelitian adalah terdapat penelitian adalah
Medial Bedah 2 (1), Mei perbedaan lingkar oedema pasien CHF yang
2019, 1-54. angkle, instep, dan MP- mengalami oedema
ISSN 2338-2058 (print), joint pada hari kedua dan kaki, pemilihan
ISSN 2621-2986 (online). ketiga setelah pemijatan responden
kaki pada pasien CHF menggunakan non-
yang mengalami oedema probability
kaki. Perlu penelitian sampling dengan
lanjutan untuk metode accidental
penatalaksanaan oedema sampling.
kaki pada pasien CHF
yang mengalami oedema
kaki.
C. Tinjauan Pustaka
1. Pijat Kaki
Pijat adalah sentuhan secara sistematis yang memanipulasi jaringan lunak dari
tubuh untuk meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan (Patient, 2010).
Berdasarkan penelitian bahwa keuntungan utama pemijatan adalah meningkatkan
relaksasi, meningkatkan aliran darah, meningkatkan penyembuhan otot,
mengurangi spasme otot, dan menurunkan kecemasan (Bayrakci Tunay,
Akbayrak, Bakar, Kayihan, & Ergun, 2010; Be, Into, & Hospitals, 2013; Gazillo
& Middlemas, 2001; Ragsdale, n.d.).
Pijat kaki adalah gerakan sederhana yang berirama memijat kulit bagian
telapak kaki untuk menstimulasi aliran getah bening ke sistem sirkulasi darah,
dengan serangkain tekhnik, metode dan alat pijat tertentu (Çoban & Şirin, 2010;
Hulme, Waterman, & Hillier, 1999; Shimizu, 2009).
Hasil Survei awal yang dilakukan di RSUD Cilacap pada tahun 2013 (Januari-
Nopember) diketahui jumlah kasus CHF yaitu pada pasien usia 30-60 tahun
sebanyak 62 pasien (29,41%) dan usia lebih dari 60 tahun sebanyak 125 (70,59%)
(Rekam Medis RSUDC, 2013). Penyebab CHF sebagian besar adalah diabetes,
hipertensi dan penyakit arteri koronaria. Gejala yang muncul pada pasien CHF
adalah sesak nafas, kelelahan, kelemahan, pusing dan oedema kaki. Pada pasien
CHF yang mengalami oedema kaki di RSUD Cilacap belum dilakukan
penatalaksanaan untuk mengurangi gejala oedema kaki tersebut. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui pengaruh pijat kaki terhadap penurunan oedema kaki pada
pasien CHF.

2. Congestive Heart Failure (CHF)


Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan otot jantung
memompakan sejumlah darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. CHF
adalah sebuah kondisi dari kardiovaskuler dimana jantung tidak bisa memompa
darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dari jaringan tubuh
(Desai, Lewis, Li, & Solomon, 2012). Beberapa faktor resiko gagal jantung adalah
kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, perubahan pola diet, kelebihan berat
badan, hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, usia, jenis kelamin dan keturunan.
Berdasarkan penelitian diketahui penyebab utama CHF adalah hipertensi dan
penyakit arteri koronaria (Savage et al., 1998). CHF merupakan tahap akhir dari
seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan
mortalitas pasien jantung. Berdasarkan data World Health Organisations (WHO)
risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal
jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat
(World Health Organization (WHO), 2015).
Penyakit CHF meningkat sesuai dengan perkembangan usia, prevalensi CHF
di dunia sekitar 1% pada orang yang berusia 50-59 tahun, 10% pada usia lebih
dari 65 tahun, dan 50% pada usia lebih dari 85 tahun. (Collier et al., 2011). Pada
negara berkembang prevalensi CHF sekitar 1- 2% dari populasi dewasa.
Prevalensi meningkat lebih dari 10% pada usia lebih dari 70 tahun (Murberg &
Bru, 2001).
Prevalensi CHF di Indonesia adalah 0,13%, tertinggi di Yogyakarta 0,25%,
disusul Jawa Timur 0,19%, dan ketiga di Jawa Tengah 0,18%. Berdasarkan jenis
kelamin kejadian CHF pada laki-laki adalah 0,1% dan perempuan 0,2%.
Berdasarkan usia pasien kejadian CHF pada usia 15- 34 tahun adalah 0,07%, usia
35-54 tahun 0,28%, 55-74 tahun 0,87%, lebih dari 75 tahun 0,41%. (Dinas
Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Gejala penyakit CHF yang biasa muncul adalah extertional dyspnoea,
orthopnoea, paroxysmal nocturnal dyspnoea, batuk kering, kelelahan dan
kelemahan, pusing atau palpitasi. Gejala penyakit CHF yang berkaitan dengan
retensi cairan adalah nyeri epigastrik, distensi abdomen, ascites, oedema sakral
dan oedema peripheral (Panel et al., 2011).
OPEN DAN CLOSE SUCTION

A. Pengertian

Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan nafas dengan memakai
kateter penghisap melalui nasotrakeal tube (NTT), orotracheal tube (OTT), traceostomy
tube (TT) pada saluran pernafasan bagian atas. Bertujuan untuk membebaskan jalan nafas,
mengurangi retensi sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi paru.
Prosedur ini di kontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan yang dapat
menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat penghisapan melalui trakea gangguan
perdarahan, edema laring, varises esophagus, perdarahan gaster, infark miokard (Elly,
2000).

Closed suction adalah kanul dengan sistem tertutup yang selalu terhubung dengan
sirkuit ventilator dan penggunaannya tidak perlu membuka konektor sehingga aliran udara
yang masuk tidak terinterupsi.

Suction endotrakeal merupakan komponen dari terapi kebersihan bronkial dan


ventilasi mekanis dan melibatkan aspirasi mekanis sekresi paru dari pasien dengan saluran
udara buatan ditempat. Sebagai pasien mempunyai permasalahan di pernafasan yang
memerlukan bantuan ventilator mekanik dan pemasangan ETT (Endo Trakeal Tube)
masuk sampai percabangan bronkus pada saluran nafas. Pasien yang terpasang ETT (Endo
Trakeal Tube) dan ventilator maka respon tubuh pasien untuk mengeluarkan benda asing
adalah mengeluarkan secret dimana perlu ada tindakan suction.

B. Indikasi
1. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance)
a. Pasien tidak mampu batuk efektif
b. Di duga terjadi aspirasi
2. Membersihkan jalan napas (bronchial toilet) bila ditemukan :
a. Pada asukultasi terdapat suara napas yang kasar, atau terdapat suara napas tambahan.
b. Di duga terdapat sekresi mucus di dalam sel napas.
c. Klinis menunjukkan adanya peningkatan beban kerja sistem pernapasan.
3. Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium.
4. Sebelum dilakukan tindakan radiologis ulang untuk evaluasi.
5. Mengetahui kepatenan dari pipa indotrakeal.
D. Kontraindikasi

1. Hipoksia
2. Trauma jaringan
3. Meningkatkan risiko infeksi
4. Stimuli vagal (menurunkan heart rate) dan bronkospasme

E. Standar Alat

1. Set penghisap sekresi atau suction portable lengkap dan siap pakai.
2. Kateter penghisap steril dengan ukuran 20 untuk dewasa.
3. Pinset steril atau sarung tangan steril.
4. Cuff inflator atau spuit 10 cc.
5. Jelly pelumas.
6. Pengalas atau handuk.
7. Kom berisi cairan untuk membilas kateter.
8. Ambubag atau air viva dan selang oksigen.
9. Aquadest.
10. Spuit 5 cc.

F. Standar Pasien

1. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan.


2. Posisi pasien diatur sesuai dengan kebutuhan.

G. Prosedur

1. Cuci tangan sebelum tindakan.


2. Pilih tipe tekanan penghisap yang tepat untuk pasien. Misalnya tekanan 110-150 mmHg
untuk dewasa, 95-110 mmHg untuk anak-anak, dan 50-95 untuk bayi.
3. Sebelum dilakukan tindakan suction :
a. Memutar tombol oksigen menjadi 100%.
b. Menggunakan air viva dengan memompa 4-5 kali dengan konsentrasi oksigen 15
liter.
c. Melepaskan hubungan ventilator dengan EET.
4. Menghidupkan mesin penghisap.
5. Menyambung selang suction dengan kateter steril kemudian perlahan-lahan
dimasukkan ke dalam selang pernafasan melalui ETT.
6. Membuka lubang pada pangkal kateter penghisap pada saat kateter dimasukkan ke
ETT.
7. Menarik kateter penghisap kira-kira 2 cm pada saat ada rangsangan batuk untuk
mencegah trauma pada carina.
8. Menutup lubang melipat pangkal, kateter penghisap, kemudian suction kateter ditarik
dengan gerakan memutar.
9. Mengobservasi hemodinamik pasien.
10. Memberikan oksigen setelah satu kali penghisapan dengn cara baging.
11. Bila melakukan suction lagi, beri kesempatan pasien bernafas 3-7 kali.
12. Masukkan aquades sebanyak 3-5 cc untuk mengencerkan sekret.
13. Melakukan baging.
14. Mengempiskan cuff pada penghisapan sekresi terkahir saat kateter berada dalam ETT,
sehingga sekret yang lengket disekitar cuff dapat terhisap.
15. Mengisi kembali cuff dengan udara menggunkan cuff inflator setelah ventilator
dipasang kembali.
16. Membilas kateter penghisap sampai bersih.
17. Mengobservasi dan mencatat.
a. Tensi, nadi dan pernapasan
b. Hipoksia
c. Tanda perdarahan, warna, bau, dan konsentrasi.
d. Disritmia.

H. Komplikasi

1. Hipoksia atau hipoksemia


2. Kerusakan mukosa bronkial atau trakeal
3. Cardiac arrest
4. Arithmia
5. Atelectasis
6. Bronkokonstriksi atau bronkospasme
7. Infeksi
8. Perdarahan dari paru
9. Peningkatan tekanan intra kranial
10. Hipotensi
11. Hipertensi

I. Evaluasi

1. Meningkatnya suara napas.


2. Menurunnya Peak Inspiratory Pressure, menurunnya keegangan saluran pernapasan,
meningkatnya dinamik compliance paru, meningkatnya tidal volume.
3. Adanya peningkatan dari nilai arterial blood gas, atau saturasi oksigen yang bisa
dipantau dengan pulse oxymeter, dan hilangnya sekret pulmonal.

J. Hal-hal yang perlu diperhatikan

1. Lepaskan ventilator pada klien lalu beri oksigen melalui ambubag sebanyak 4-5 kali
disesuaikan dengan volume tidal pasien.
2. Lumasi ujung kateter dengan jelly dan masukkan kateter suction ke dalam jalan napas
buatan tanpa melakukan penghisapan.
3. Batasi waktu suction 10-15 detik dan hentikan proses suction apabila denyut pasien
meningkat sampai 40 kali per menit.
4. Ventilasikan pasien dengan ambubag setelah suction tiap periodenya.
5. Jika sekresi sangat pekat, maka dicairkan dengan memasukkan aquades 3-5 cc ke
dalam jalan napas buatan.
6. Bilas kateter di antara setiap pelaksanaan suction.
K. Gambar-Gambar Terkait
DAFTAR PUSTAKA

Potter,P.A.dan Perry,A.G.(1997). Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan


praktik. (Edisi IV). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price,S.A.(2003). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (Edisi VI).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
KONSEP DASAR VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR)

A. Pengertian.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.

B. Indikasi Pemasangan Ventilator


1. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.
3. Post Trepanasi dengan black out.
4. Respiratory Arrest.

C. Penyebab Gagal Napas


1. Penyebab sentral
a. Trauma kepala : Contusio cerebri.
b. Radang otak : Encepalitis.
c. Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak.
d. Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi.
2. Penyebab perifer
a. Kelaian Neuromuskuler:
1) Guillian Bare symdrom
2) Tetanus
3) Trauma servikal.
4) Obat pelemas otot.
b. Kelainan jalan napas.
1) Obstruksi jalan napas.
2) Asma broncheal.
c. Kelainan di paru.
1) Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak.
1) Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan jantung.
1) Kegagalan jantung kiri.

D. Kriteria Pemasangan Ventilator


Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik (ventilator) bila
:

1. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.


2. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
3. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
4. AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
5. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

E. Macam-macam Ventilator.
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:

1. Volume Cycled Ventilator.


Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan
volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap
memberikan volume tidal yang konsisten.

2. Pressure Cycled Ventilator


Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah
ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan
pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara
yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil,
penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.

3. Time Cycled Ventilator


Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu ekspirasi
atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan
kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2

F. Mode-Mode Ventilator.
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan ventilator
tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung dari mode yang
kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini
diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau
bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke
pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa
menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha
nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi),
tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi
pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV
(Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)

2. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten


Mandatory Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas
pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi
yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi
sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator
generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan
mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada
pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih
memerlukan bantuan.

3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport


Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih
bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada
mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu
untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan.

4. CPAP : Continous Positive Air Pressure.


Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien
yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.

Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

G. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah menandakan
adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm
tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing
tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm
jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.

H. Pelembaban dan suhu.


Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme
pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus
digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang dialirkan dari
ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur
kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu
udara dapat ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada
trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan
sekresi menjadi kental sehingga sulit dilakukan penghisapan.

I. Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik


Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis
berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara
masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam
rongga thorax paling positif.

J. Efek Ventilasi mekanik


Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke jantung terhambat,
venous return menurun, maka cardiac output juga menurun. Bila kondisi penurunan
respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan usia lanjut), maka bisa
mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi
microvaskuler akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang,
akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan
oksigenasi. Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 ml/kg BB dan
tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah
jantung) tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.

Efek pada organ lain:

Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-organ lainpun menurun seperti hepar,
ginjal dengan segala akibatnya. Akibat tekanan positif di rongga thorax darah yang
kembali dari otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.

K. Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)


Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila perawatannya tidak
tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:

1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena
akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan
tekanan tinggi.

3. Pada sistem saraf pusat


a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat dari
hiperventilasi.

b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi.

c. Peningkatan tekanan intra kranial


d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi

L. Prosedur Pemberian Ventilator


Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator untuk
memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan awal adalah
sebagai berikut:

1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%


2. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
3. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
4. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
5. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi: 0-5
Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan untuk mencegah
atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi dan perubahan
pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditujunkan oleh hasil analisa gas
darah (Blood Gas)
.

M. Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan bila
memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB


 Volume tidal 4-5 ml/kg BB
 Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
 Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit.

FISIOLOGI PERNAPASAN VENTILASI MEKANIK

 Napas Spontan
- diafragma dan otot intercostalis berkontraksi  rongga dada mengembang terjadi
tekanan (-)  aliran udara masuk ke paru dan berhenti pada akhir inspirasi
- fase ekspirasi berjalan secara pasif
 Pernapasan dengan ventilasi mekanik
- udara masuk ke dalam paru karena ditiup, sehingga tekanan rongga thorax (+)
- pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif
- ekspirasi berjalan pasif.

EFEK VENTILASI MEKANIK

 Pada Kardiovaskuler
- Akibat dari tekanan posistif pada rongga thorax  darah yang kembali ke jantung
terhambat  venous return menurun maka cardiac out put menurun.
- Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat
tekanan (+)  sehingga darah berkurang  cardiac out put menurun.
- Bila tekanan terlalu tinggi  bisa terjadi ex oksigenasi.
 Pada organ Lain
- Akibat cardiac out put menurun  perfusi ke organ lainpun akan menurun seperti,
hepar, ginjal, otak dan segala akibatnya.
- Akibat tekanan (+) di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat  TIK
meningkat.

TERAPI OXIGEN

Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat hipoksia atau
hiperkabinya serta keadaan penderita.

Pontiopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk menentukan tindakan
selanjutnya (lihat tabel)

PARAMETER ACCAPTABL FISIOTERAP INTUBASI


E RANGE I DADA, TRACHEOS
(TIDAK TERAPI TOMI
PERLU OKSIGEN, VENTILASI
TERAPI MONITORIN MEKANIK.
KHUSUS) G KETAT
1. MEKANIK
- Frekwensi nafas
12 - 25 25 - 35 > 35
- Vital capacity
70 - 30
(ml/kg) 30 - 15 < 15
- Inspiratori force,
CmH2O 100 - 50
50 - 25 < 25

2. OKSIGENASI
- A - aDO2 100%
O2 mmHg 50 - 200
- PaO2 mmHg 200 - 350 > 350

100 - 75
3. VENTILASI (Air) 200 - 70 < 70
- VD / VT
( O2 Mask) ( O2 Mask )
- PaCO2
0,3 - 0,4

35 - 45 0,4 - 0,6 0,6

5 - 60 60
DAFTAR PUSTAKA

Kartikawati, Dewi. 2015. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Salemba Medika 
Kristan. 2018. Ragkuman Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Bitread
Digital Publishing
Kurniati, Amelia., Yanny Trisyani & Siwi Ikaristi Maria Theresia. 2018. Keperawatan
Gawat Darurat dan Bencana Sheehy, Edisi Indonesia 1.  Cengkareng: Elsevier 
Mubarak, Wahit., Nurul Chayatin & Joko Susanto. 2015. Standar Asuhan
Keperawatan&Prosedur Tetap Dalam Praktik Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika 
Ningsih, Dewi. 2017. Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat Pada Kasus Trauma. Jakarta:
Salemba Medika
Purnawan, Saryono. 2014. Mengelola Pasien Dengan Ventilator Mekanik. Jakarta: Rekatama

Anda mungkin juga menyukai