I. Pendahuluan
Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya memiliki
kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari bencana alam banjir,
kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di Jawa. Secara umum sungai-
sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic) mempunyai perbedaan slope dasar sungai
yang besar antara daerah hulu (upstream), tengah (middlestream) dan hilir (downstream)
sehingga curah hujan yang tinggi dan erosi di bagian hulu akan menyebabkan jumlah sedimen
yang masuk ke sungai sangat tinggi. Tingginya sedimen yang masuk akhirnya menimbulkan
masalah pendangkalan sungai terutama di daerah hilir yang relatif lebih landai dan rata, sehingga
sering terjadi banjir di dataran rendah. Sungai-sungai tersebut dikelompokkan menjadi 90
(sembilan puluh) Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang terdiri dari 73 SWS propinsi dan 17 SWS
pusat yang berlokasi dilintas propinsi.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan pengelolaan sungai, meliputi: (i)
ketidakjelasan peran dan batasan wewenang antara kabupaten, kota, propinsi, dan pusat dalam
penanganan, pengelolaan dan pembiayaan sungai; (ii) kecenderungan peningkatan potensi
konflik pemanfaatan air di daerah dan wilayah sungai; (iii) tidak terkendalinya penambangan
galian c (pasir) di badan sungai sehingga menurunkan fungsi bangunan pengambilan air; (iv)
sedimentasi tinggi akibat rusaknya daerah hulu/catchment area; (v) makin cepatnya penurunan
kapasitas pengaliran air sungai dan bangunan pengendali banjir; (vi) makin besarnya perbedaan
aliran dasar sungai pada musim hujan dan musim kemarau (Qmax-Qmin); (vii) makin
menurunnya kualitas air sungai, khususnya di daerah aliran tengah dan hilir; (viii) tidak
terkendalinya permukiman penduduk di daerah bantaran sungai sehingga meningkatkan risiko
banjir; (ix) belum memadainya database sungai.
Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (1996:103) adalah saluran dimana air
mengalir dengan muka air bebas. Pada saluran terbuka, misalnya sungai (saluran alam), variabel
aliran sangat tidak teratur terhadap ruang dan waktu. Variabel tersebut adalah tampang lintang
saluran, kekasaran, kemiringan dasar, belokan, debit aliran dan sebagainya.
Tipe aliran saluran terbuka menurut Triatmodjo (1996:104) adalah turbulen, karena
kecepatan aliran dan kekasaran dinding relatif besar. Aliran melalui saluran terbuka akan
turbulen apabila angka Reynolds Re > 1.000, dan laminer apabila Re < 500. Aliran melalui
saluran terbuka dianggap seragam (uniform) apabila berbagai variabel aliran seperti kedalaman,
tampang basah, kecepatan, dan debit pada setiap tampang saluran terbuka adalah konstan. Aliran
melalui saluran terbuka disebut tidak seragam atau berubah (non uniform flow atau varied flow),
apabila variabel aliran seperti kedalaman, tampang basah, kecepatan di sepanjang saluran tidak
konstan. Apabila perubahan aliran terjadi pada jarak yang pendek maka disebut aliran berubah
cepat, sedang apabila terjadi pada jarak yang panjang disebut aliran berubah tidak beraturan.
Aliran disebut mantap apabila variabel aliran di suatu titik seperti kedalaman dan kecepatan tidak
berubah terhadap waktu, dan apabila berubah terhadap waktu disebut aliran tidak mantap. Selain
itu aliran melalui saluran terbuka juga dapat dibedakan menjadi aliran sub kritis (mengalir) jika
Fr <1, dan super kritis (meluncur) jika Fr >1. Diantara kedua tipe tersebut aliran adalah kritis ( Fr
=1). Klasifikasi aliran menurut Chow (1996) dalam Gunawan (2006:9) dapat digolongkan
sebagai berikut :
Bentuk DAS akan berpengaruh pada banyaknya dan kecepatan aliran air berkaitan
dengan kemungkinan terjadinya variabilitas pada sifat-sifat tanah, kemiringan, topografi,
vegetasi serta sistem drainase yang ada. Secara umum bentuk DAS dapat di golongkan ke dalam
tiga bentuk (Sudarsono dan Takeda, 1980) yaitu: (i) sempit memanjang dengan sistem
percabangan sungai tersusun seperti bulu burung, (ii) melebar (membulat atau persegi empat)
dengan sistem percabangan akan terpusat pada tempat-tempat tertentu, dan (iii) segi tiga dengan
sistem percabangan sungai yang juga akan terpusat di dekat out-let. Pada DAS yang berbentuk
sempit memanjang, sedimen yang tinggi juga akan merusak sarana dan fasilitas irigasi dan
instalasi air minum yang ada. Sedimentasi juga akan mendangkalkan sungai dan waduk.
Kapasitas tampung sungai dan waduk akan berkurang dan kemampuan transportasi sungai juga
terhambat.
Gerusan yang terjadi pada suatu sungai terlepas dari ada dan tidaknya bangunan sungai
selalu berkaitan dengan peristiwa transpor sedimen. Transpor sedimen merupakan suatu
peristiwa terangkutnya material dasar sungai yang terbawa aliran sungai. Kironoto (1997) dalam
Mira (2004:13), menyebutkan bahwa akibat adanya aliran air timbul gaya-gaya aliran yang
bekerja pada material sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk
menggerakkan/ menyeret material sedimen. Untuk material sedimen kasar (pasir dan batuan /
granuler), gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut tergantung dari besar butiran sedimen.
Untuk material sedimen halus yang mengandung fraksi lanau (silt) atau lempung (clay) yang
cenderung bersifat kohesif, gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut lebih disebabkan
kohesi daripada berat material (butiran) sedimen.
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut,
sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967).
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang
khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain 1. tempat bertemunya arus sungai
dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada
sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada
biotanya. 2. pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. perubahan yang terjadi
akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis
dengan lingkungan sekelilingnya. 4. tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada
pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah
estuaria tersebut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai sumber zat
hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia
habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung
dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau
tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan
estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan
budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004).
Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung di wilayah
pesisir, seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang pemanfaatan sumberdaya tersebut
justru menurunkan atau merusak potensi yang ada. Hal ini karena aktifitas-aktifitas tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir,
melalui perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya buangan baik dari
pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini mungkin tidak mempengaruhi
tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir di atas, namun kemungkinan akan
mempengaruhi biota penyusun lainnya. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh
terhadap kehidupan tumbuhan bakau (mangrove), akan tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan
ikan dan udang-udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut (Bryan, 1976).
VI. Fluvial
Proses fluvial terdiri dari gerakan sedimen dan erosi atau endapan di sungai. Erosi oleh
air bergerak terjadi dalam dua cara. Pertama, gerakan air di ranjang ini memiliki efek (Hal ini
disebut sebagai tindakan hidrolik). Kedua, sedimen diangkut di sungai itu memakai tempat tidur
(Abrasion) dan fragmen sendiri tanah turun menjadi lebih kecil dan lebih bundar (Gesekan).
Sedimen diangkut baik sebagai bedload (The kasar fragmen yang bergerak dekat dengan
tempat tidur) dan beban yang ditangguhkan (Finer fragmen dibawa dalam air). Ada juga sebuah
komponen dibawa sebagai bahan dibubarkan.
Untuk setiap ukuran butir ada kecepatan tertentu di mana butir mulai bergerak, yang
disebut Entrainment kecepatan. Namun butir akan terus diangkut bahkan jika kecepatan turun di
bawah kecepatan entrainment akibat berkurangnya (atau dihapus) gesekan antara butir dan
sungai tempat tidur. Akhirnya akan jatuh kecepatan cukup rendah untuk butir yang akan
didepositkan. Hal ini diperlihatkan oleh Kurva hjulstrom. Sebuah sungai terus mengambil dan
menjatuhkan partikel padat batu dan tanah dari tempat tidur di seluruh panjangnya. Mana aliran
sungai cepat, lebih partikel mengambil daripada menjatuhkan. Mana aliran sungai lambat, lebih
partikel yang dijatuhkan daripada mengambil. Daerah di mana lebih partikel yang dijatuhkan
disebut dataran aluvial atau banjir, dan partikel menjatuhkan disebut aluvium.
Bahkan sungai kecil membuat endapan aluvial, tetapi di dataran banjir dan delta-delta
sungai yang besar besar, secara geologis-endapan aluvial yang signifikan ditemukan.
Jumlah materi yang dibawa oleh sungai besar sangat besar. Nama-nama dari banyak
sungai yang berasal dari warna bahwa masalah yang diangkut memberikan air. Sebagai contoh,
Huang He di Cina adalah secara harfiah diterjemahkan “Sungai Kuning”, dan Sungai Mississippi
di Amerika Serikat juga disebut Big Muddy. Diperkirakan bahwa setiap tahunnya Sungai
Mississippi membawa 406 juta ton endapan ke laut,Huang Dia 796 juta ton, dan Sungai Po di
Italia 67 juta ton.
Data yang diperlukan dalam penyusunan Karakteristik DAS diambil dari data yang telah
ada (data sekunder) dan dilengkapi data yang dirasa masih kurang dalam rangka mendukung
analisis pemahaman dan pengetahuan mengenai Karakteristik DAS yang diteliti. Data data yang
diperlukan dalam rangka penyusunan Karakteristik DAS terdiri dari :
Morphologi DAS yang meliputi :
a. Bentuk DAS.
b. Relief/ topografi/ land form.
c. Bentuk drainase ( drainage pettern ).
b. Curah Hujan.
c. Erosi.
d. Kandungan lumpur.
Geologi :
a. Jenis batuan induk yang dominan.
b. Jenis mineral batuan dan mineral
c. Penyebaran jenis batuan dan mineral
Tanah :
a. Jenis Tanah.
b. Asosiasi tanah.
c. Sifat fisik dan kimia tanah.
Penutupan lahan :
a. Penutupan lahan masa lalu ( > 5 tahun )
b. Penutupan lahan saat ini ( < 5 tahun )
Morphometri : Lebar L/P, Luas( DAS, genangan/ sawah/ rawa/ danau menentukan volume
sedimen yang mengalir ke outlet), sistem drainase/ kerapatan alur sungai, kelerengan DAS hulu
– tengah – hilir (m/Km)
Landform System/ Unit Geologi/ Rock : Aluvial/ plain/ hills/ mountain/ lahar
Land Cover : Kawasan hutan, luar kawasan hutan ( pertanian, perkebunan, industri, perladangan
berpindah, pemukiman/ perkotaan/ pedesaan, penggunaan lainnya).
Kelembagaan : Instansi yang ada, kelompok tani, Instansi lain yang terkait.
Tata Air : Tinggi muka air sungai, debit aliran sungai, kandungan lumpur/ sedimen.
Karakteristik dan variabel Daerah Aliran Sungai meliputi beberapa variabel yang dapat
diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta dan dari data penginderaan jauh.
Data meteorologi/ klimatologi diperoleh dari data sekunder. Disamping itu diperlukan
pengamatan dan pengukuran di lapangan bagi data yang membutuhkan ketelitian geometris yang
tinggi. Seyhan (1977) menyatakan bahwa karakteristik DAS dikelompokkan menjadi 2 (dua)
katagori yaitu :
1. Faktor lahan (Ground Factors) yang meliputi topografi, tanah, geologi dan
geomorphologi.
2. Vegetasi dan penggunaan lahan.
Topografi atau bentuk lahan mempunyai korelasi langsung terhadap aliran permukaan
(runoff ) dan aliran air bumi, semakin tinggi kelerengan akan berpengaruh terhadap semakin
besarnya aliran permukaan (runoff) dan aliran air bumi. Tanah, geologi dan geomorphologi dari
suatu DAS, berfungsi sebagai faktor kontrol terhadap besar kecilnya infiltrasi, kapasitas penahan
air dan aliran air bumi, sedangkan vegetasi dan penggunaan lahan berfungsi sebagai penghambat,
penyimpan dan pengatur aliran permukaan dan infiltrasi. Menurut Seyhan (1977) sistem Daerah
Aliran Sungai (watershed) dapat diamati melalui 3 (tiga) tahapan utama yaitu :
1. Sistem Input ( precipitation).
2. Sistem struktur kerja dalam DAS ( operation of the watershed )
3. Sistem output ( runoff )
Avery (1975) dan Seyhan (1977) menyatakan bahwa karakteristik fisik (physical characteristic)
dari suatu Daerah Aliran Sungai ( DAS ) terdiri dari :
1. Luas ( Area )
Luas DAS dapat diukur pada potret udara, peta topografi atau dengan peta – peta
planimetri yang telah didelineasi batas batas yang akan diukur luasnya, dengan menggunakan
planimeter atau dot grid atau dengan fasilitas komputer GIS.
2. Bentuk ( Shape )
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman puncak
discharge banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit untuk dinyatakan secara kuantitatif.
Dengan membandingkan konfigurasi basin, dapat dibuat suatu indeks yang didasarkan pada
derajat kekasaran atau circularity dari DAS.
3. Lereng ( Slope )
Kecepatan dan tenaga erosif dari overland flow sangat dipengaruhi oleh tingkat
kelerengan lapangan. Untuk mengukur lereng dapat dilakukan dengan menggunakan alat Abney
Level atau clinometer. Pada potret udara pengukuran lereng dapat dilakukan dengan
menggunakan slope meter atau dengan mencari beda tinggi dengan paralaks meter.
- Contorted.
Bentuk pola aliran pada sebagian besar sungai sungai di Indonesia adalah dendritik dengan
kondisi yang berbeda beda menurut batuannya.
Batuan limestone dan shale teranyam bertopografi solusional dapat memiliki pola aliran
dendritik. Pada topografi dengan lereng seragam, pola aliran yang terbentuk adalah dendritik
medium, sedang pada topografi berteras kecil, pola lairan dendritik yang terbentuk adalah
dendritik halus.
9. Evapotranspirasi
Disamping karakteristik DAS yang telah disebutkan diatas, faktor lain yang juga penting
adalah cuaca dan iklim. Karakteristik ini meliputi curah hujan (presipitasi) dan unsur cuaca yang
lain (temperatur udara, kelembaban relatif, angin, evaporasi dan jumlah penyinaran matahari).
X. Eko-Hidraulik
Sejarah ekohirdolik tidak terlepas dari eksplotasi sungai, ekspolitasi itu antara lain
• Koreksi sungai (Rver correction)
• Transpotasi sungai (WaterWay)
• Bangunan tenaga air (Hydropower Plant
Sungai termasuk salah satu wilayah keairan , sungai bisa dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu sungai kecil, menegah dan sungai besar. Secara ekologi sungai terbagi menjadi wilyah
keairan diam atau wilayah keairan dinamis. Wilayah keairan diam misalnya danau dimana
pendukung ekosistem merupakan ekosistem yang tertutup. Sedangkan wilayah keairan mengalir
merupakan suatu ekosistem yang terbuka dengan factor dominan adalah wilayah air, dari hulu
hingga hilir.
Sungai dapat terbagi menjadi beberapa bagian dan dapat diklasifikasikan dengan
menggunakan zona memenjang sungai. Zona memanjang pada umumnya diawali dengan kali
kecil dari mata air didaerah pegunungan , kemudian sungai menengaha di daerah peralihan
antara pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sunngai besar pada dataran rendah
sampai daerah pantai. Dari literature pada umumnya diketemukan 3 zona sungai yaitu bagian
hulu ‘upstrem’ , bagian tengah ‘midle-strem’ dan bagian hilir ‘downsteram’ dari hilir kehulu
dapat dailihat perubahan kemiringan seperti tampak pada gambar potongan memanjang sungai
juga dapat terbagi menjadi zona melintang dimana dpat dibedakan menjadi 3 yaitu zona akuatik ,
zona amphibi, dan zona teras sungai.
Seluruh komponen yang membentuk sungai memiliki skala perubahan waktu dan ruang
yang berbeda tergantung kekuatan ekologinya dan fisik-hidrauliknya masing-masing. Perubahan
skala ruang waktu menurut kern sangatlah penting guna memahami perubahan alami yang biasa
terjadi pada sungai dan perubahan yang terjadi karena suatu aktifitas tertentu di sungai. Sebagai
contoh adalah jika suatu sungai diluruskan maka dampak dari aktifitas ini akan berpengaruh
terhadap seluruh komponen sungai sungai tersebut. Hal ini yang nantinya akan dibahas lebih
lanjut pada bahasan tentang ekohidraulik. Selain itu sungai juga akan terpengaruh pada struktur
dasar sungai yang mempengaruhi pembentukan sungai itu sendiri.
Fungsi sungai sebagai saluran eko-drainase (suatu usaha membuang /mengalirkan air
kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya
masalah kesehatan dan banjir di sungai yang terkait, maryono,2001). Selain itu juga bisa sebagi
saluran irigasi dan sebagi fungsi ekologi dimana sebagai tempat hidupnya flora dan fauna.
Dengan pengetahuan itu perlu diterapkan konsep yang menyentuh semua fungsi sungai di atas
maka salah satunya dengan konsep eko-hidrolik dimana konsep ini mempertahankan kondisi
sungai tersebut semaksimal mungkin masih seperti semula. Dalam konsep eko-hidraulik tidak
ada satu factor apapun yang tidak penting. Maka diperlukan banyak data pendukung seperti data
social, fisik hidraulik , ekologi.
Konsep hidraulik murni hanya memperhatikan dua unsure yaitu aliran air dan aliran
sedimen, sedangkan pada konsep eko-hidraulik disamping dua itu juga memperhatikan pula
komponen vegetasi.
a) Komponen hidraulik
Meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Yang dominan misalnya
debit aliran, kecepatan aliran, tinggi permukaan, tekanan air, turbulensi makro, distribusi
kecepatan mikro pada lokasi tertentu dan lai-lain.dalam konsep eko hidraulik aliran bukan hanya
berhububungan energy potensial tapi juga dengan flora dan fauna di sekiar sungai. Dan yang
penting juga adalah mata air disekitar sungai
b) Komponen sedimen dan morfologi sungai
semua sedimen yang ada disungai termasuk sedimen organic dan anorganik
c) Komponen ekologi
segala komponen biotic yang hidup di sungai (flora dan fauna )
d) Komponen sosial
persepsi masyarakat yang ada disekitar bantaran sungai terhadap komponen-komponen di atas
4. pemeliharaan sungai dengan konsep eko-hidraulik dan penanggulangan banjir dalam konsep
eko-hidrolik penangulangan banjir secara berbais DAS. Sehingga penangulangan banjir dapat
dilakukan dengan cara konsevasi terlebih dahulu terhadap sungai itu sendiri.
Geometri dari alur sungai tergantung pada fenomena hidrologi, geologi, dan sedimentasi
di DAS. Bentuk tipikal alur sungai adalah hasil dari proses alamiah yang panjang yang
dilakukan oleh interaksi yang kompleks dari beberapa variabel sehingga menghasilkan planform
sungai yang kita lihat sekarang ini. Variabel yang dimaksud adalah waktu, geologi, iklim, tipe
dan kepadatan vegetasi, catatan panjang debit dan angkutan sedimen di sungai, geometri
bantaran sungai, debit rata-rata, karakteristik aliran (kedalaman, kecepatan, turbulensi, dsb). Jika
variabel-variabel tersebut berada dalam kondisi relatif konstan maka sungai akan membentuk
planform yang relatif konstan pula atau mengalami kondisi yang disebut equilibrium condition.
Pada kondisi ini sungai tetap mengalami perubahan bentuk yang dinamis (quasi-quilibrium)
namun perubahan tersebut tidak ekstrim dan sangat lambat. Dalam tinjauan skala waktu geologi
yang panjang, morfologi sungai difokuskan pada evolusi landscape yang dipengaruhi oleh iklim,
base level (formasi batuan di dasar sungai), dan stabilitas tektonik.
Perubahan karakteristik DAS Sesayap akibat pembukaan lahan yang terus menerus
belakangan ini mengakibatkan kondisi morfologi sungai tidak stabil. Distribusi angkutan
sedimen sangat bervariasi dalam ukuran waktu dan ruang. Debit, pola aliran, angkutan sedimen,
kecepatan arus dapat berubah dalam waktu yang singkat dan sungai secara reaktif mengalami
perubahan planform. Hingga kini belum ada catatan yang merekam riwayat perubahan planform
Sungai Sesayap, namun dari besarnya angkutan sedimen, proses sedimentasi dan erosi yang
cukup intensif di floodplain dan tebing sungai terutama di ruas Sungai Malinau, dapat dikatakan
planform Sungai Sesayap akan terus berubah secara dinamis hingga ditemukan suatu kondisi
quasi-equilibrium yang baru. Fenomena ini dapat terlihat jika ada rekaman planform sungai
dalam waktu 10 hingga 100 tahun (dalam skala waktu menengah). Jika tinjauan dilakukan
dalam skala waktu yang lebih singkat lagi, maka dapat dilihat perubahan topografi dasar sungai
(bed topography) yang tersusun dari formasi seperti ripple, dan dune yang ditentukan oleh variasi
debit harian dan karakteristik partikel sedimen. Mengingat usia guna infrastruktur sungai, maka
tinjauan morfologi sungai dalam rentang waktu menengah dan singkat lebih relevan untuk
ditinjau.
Yang menjadi titik tekan dalam meninjau planform sungai ini adalah :
- Profil memanjang alur sungai (longitudinal profile)
- Karakteristik meander sungai :
Tipe sungai (straight, meandering, braided)
Kelengkungan
Radius tikungan
Frekuensi terbentuknya tikungan di sepanjang sungai
Secara umum alur sungai semakin ke hilir semakin melebar. Semakin ke hilir kapasitas
sungai semakin bertambah untuk mengalirkan debit dari anak-anak sungai dan catchment area di
hilir. Pada pengamatan dengan sounding yang dilakukan pada tanggal 23 Juli 2007 diketahui
lebar Sungai Sesayap di Tanjung Lapang adalah sekitar 170 meter, di sekitar Jembatan Malinau
sebesar 215 m dan di depan intake lama PDAM kota sebesar 225 meter.
Pertambahan lebar sungai yang signifikan terjadi di sekitar jalan Seluwing (sedikit ke
hulu sebelum muara Sungai Sembuak). Kedua tebing sungai sebelah kiri dan kanan mengalami
erosi. Fenomena tersebut dapat disebabkan oleh masuknya debit tambahan dari Sungai Sembuak
sehingga badan Sungai Sesayap melebar untuk menambah kapasitas sungai. Selain hal tersebut,
interaksi gaya hidraulik dan proses erosi-sedimentasi di sungai juga sebagai salah satu penyebab.
Arus sekunder atau helical flow menggerus dasar tebing sehingga stabilitas lereng
terganggu, kemudian terjadi keruntuhan tebing. Produk runtuhan tebing di dorong oleh helical
flow ke arah tengah sungai dan terdeposisi di tengah sungai bersama-sama dengan hasil
angkutan sedimen dari hulu. Sedimentasi di tengah bentang ini dapat disebabkan oleh landainya
slope dasar sungai di sekitar Malinau atau dapat pula karena lokasinya yang dekat dari muara
sungai Sembuak . Hasil sedimentasi ini membentuk diamond bar.
Ruas Tanjung Lapang adalah bagian dari kurvatur tikungan beradius cukup besar, di
lokasi ini aliran sudah mencapai kondisi axi-simetris dimana arah dan magnitud aliran dan
angkutan sedimen telah konstan baik ditinjau melintang maupun memanjang sungai. Helical
flow tidak terjadi lagi (decay), dan gerusan yang terjadi secara setempat di tebing sebelah kanan
lebih disebabkan properties tanah.
Bagian hulu sungai selalu ditandai dengan kecepatan aliran yang tinggi, endapan sedimen
berukuran besar di dasar dan tepi sungai dan kemiringan dasar saluran (slope) yang besar.
Tingginya kecepatan di bagian hulu tidak terlepas dari bentuk planform sungai yang cenderung
lurus sehingga resistensi sungai terhadap arus cukup rendah. Selain itu kemiringan/ slope dasar
sungai yang curam juga menyebabkan kecepatan aliran tinggi.
Perlahan-lahan bar mulai tumbuh seiring dengan mengendapnya sedimen yang terangkut
dari hulu. Setelah ukuran bar cukup besar, aliran terdefleksi ke sisi yang lain dari sungai dengan
vektor kecepatan yang terkonsentrasi sehingga kapasitas angkut sedimen menjadi tinggi di sisi
tersebut dan mengakibatkan gerusan di sisi tersebut.
Kecepatan arus yang terkonsentrasi ke arah tebing mengakibatkan gaya sentrifugal (Fc)
yang kemudian mengangkat elevasi muka air. Naiknya elevasi muka air dalam arah melintang.
Pertambahan elevasi muka air menimbulkan gaya hidrostatis (Fp) yang berlawanan arah dengan
Fc. Di permukaan sungai nilai Fc lebih besar dari Fp sehingga arus mengalir searah Fc ke arah
luar, sedangkan di bagian bawah ( semakin mendekati dasar sungai nilai Fp semakin besar), Fp
lebih besar dari Fc sehingga aliran di bagian bawah bergerak ke arah dalam. Mekanisme ini
menghasilkan helical flow.
Helical flow mulai menggerus dasar tebing luar sehingga stabilitas tebing luar terganggu,
kemudian terjadi keruntuhan dan gerusan terhadap tebing luar menghasilkan planform cekungan
(concave bank). Hasil gerusan tebing terangkut ke bagian hilir cekungan dan mengendap
membentuk formasi bar yang baru tepat di ujung hilir cekungan. Adanya bar tersebut
mengakibatkan vektor kecepatan kembali terdefleksi ke arah tebing yang lain. Kemudian
mekanisme yang sama terulang lagi hingga terbentuk cekungan baru dan bar baru kemudian alur
sungai mulai tampak berkelok.
Akibat gerusan terus menerus, cekungan bermigrasi dalam arah lateral dan produk
gerusannya mengendap di sisi yang lain (lateral migration of bend) sehingga mempertegas
kelengkungan meander sungai.
Geometri tikungan dicirikan oleh radius, amplitudo, dan panjang gelombang tikungan
(valley wavelength). Kelengkungan (sinuosity) adalah jarak antara dua titik diukur mengikuti
alur sungai (Ls) dibagi dengan jarak lurus antara kedua titik tersebut (Lv). Sinuosity = Ls/Lv.
Gambar 14.1. Planform Sungai Sesayap di sekitar Malinau yang cenderung membentuk meander. Tampak terjadi
pelebaran sungai di Seluwing akibat gerusan di kedua tebing. Di bagian hilir tampak formasi mid-channel bar yang
merupakan deposisi sedimen ukuran kerikil yang terbawa dari hulu. Sungai Sembuak (anak sungai Sesayap) yang
bermuara di Malinau seberang turut memberikan sumbangan sedimen dan debit ke dalam Sungai Sesayap.
Gambar 14.2. Planform Sungai Sesayap di sekitar Tanjung Lapang, lebar sungai 170m. Pengukuran pada
penampang E-E menunjukkan kedalaman maksimum adalah 4 m di tebing sebelah kiri. (tercatat tanggal 23 Juli
2007)
Gambar 14.4. Prediksi Morfologi Sungai Sesayap di sekitar Seluwing diperkirakan terdapat pertumbuhan diamond
bar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997. Kreteria Kesesuaian Tanah dan Iklim Tanaman Pertanian, Biro Perencanaan
Departemen Pertanian, Jakarta.
Barret, E. C., and L.F. Curtis, 1992. Introduction to Enviromental Remote Sensing, Chapman
and Hall, London.
Dirgahayu, dkk, 1997. Penggunaan Data Radar dan Optik untuk Memprediksi Kelengasan
Lahan, Riset Terpilih, Lapan, Jakarta.
Jayadinata, J.T., 1986, Tata Guna Tanah dan Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah,
ITB, Bandung.
Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer, 1990. Remote Sensing and Image Interpretation, Gajah Mada
University Press, Yogjakarta.
http://jokolegona.staff.tsipil.ugm.ac.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Kuin
http://mayong.staff.ugm.ac.id/site/?page_id=111
http://djokolegono.staff.tsipil.ugm.ac.id/files/2008/06/ts-s1.pdf