Oleh :
SAMSURI
NIP 132 259 570
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan paper berjudul “Mengelola hutan
alam dengan luas 1000 ha, apakah mungkin?”
Dalam tulisan ini dijabarkan pengelolaan hutan produksi alam yang dilaksanakan di
Indonesia, pengelolaan hutan skala kecil dan kegiatan yang akan dilakukan terhadap hutan
alam dengan luasan sekitar 1000 ha.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan bagi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
V. PENUTUP 11
DAFTAR PUSTAKA 11
ii
DAFTAR TABEL
No Text Hal
iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan
hasil yang diharapkan. Data-data menunjukkan bahwa terjadi kerusakan hutan alam
rata-rata sebesar 2 juta ha/tahun (Forest Watch Indonesia, 2001). Ketidakberhasilan
pengelolaan hutan alam produksi telah mengakibatkan permasalahan besar yaitu
kehancuran sumberdaya hutan dan memiskinkan masyakat di dalam dan sekitar
hutan.
Hancurnya sumberdaya hutan, ditandai dengan terpecah-pecahnya areal hutan
dengan luasan yang tidak kompak. Pengelolaan hutan dengan skala luasan yang
sangat besar ternyata tidak menghasilkan pengelolaan hutan yang lestari. Dengan
kata lain apakah dengan luasan yang lebih kecil, pengelolaan hutan alam dapat
menghasilkan tegakan yang lestari ?
Sementara itu, berdasarkan pengalaman empiris masyarakat dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat dalam dan sekitar hutan telah memiliki
pengetahuan dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan dianggap sebagai rumah
sebagai tempat tinggal dan sumber bahan makanan bagi masyarakat. Dengan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat ini diharapkan dapat
diimplementasikan dalam pengelolaan hutan skala kecil.
Apakah dengan luasan 1000 ha (misalnya) dapat dilakukan sebuah kegiatan
manajemen hutan ? Apa yang dapat dilakukan terhadap hutan seluas ini ? Untuk
masa berapa tahunkah, pengelolaan hutan skala kecil layak ? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan kajian dan penelitian yang mendalam.
B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan pengelolaan hutan produksi alam yang dilaksanakan di Indonesia
2. Menjelaskan pengelolaan hutan skala kecil
3. Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan terhadap hutan alam dengan luasan
sekitar 1000 ha.
1
II. MANAJEMEN TEGAKAN HUTAN ALAM
Mengelola hutan adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
rangka memanfaatkan fungsi hutan dan isinya, dengan tetap menjaga agar manfaat
dan fungsi tersebut tetap melekat pada hutan yang bersangkutan (prinsip
kelestarian). Pada suatu era prinsip kelestarian hasil hanya menganut kelestarian
kayu saja (Suhendang, 2002), yaitu hutan dikelola hanya untuk menghasilkan dalam
jumlah yang sama setiap periode waktu tertentu.
Tetapi ternyata hutan tidak hanya menghasilkan kayu saja, sehingga prinsip
kelestarian menjadi berorientasi pada kelestarian manfaat ganda hutan, di mana
hutan selain menghasilkan kayu juga dipandang sebagai sumber air, habitat satwa
liar, makanan ternak, tempat rekreasi dan sumber hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Hal ini juga dikemukan oleh K Gan dan G Weinland tahun 1998, bahwa hutan
memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Fungsi
ekosistem hutan dapat dikategorikan ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu :
1. Fungsi regulator
Hutan berfungsi mengatur iklim, aliran air, perlindungan daerah aliran sungai,
pencegah erosi, memelihara keanekaragaman hayati, habitat sementara migrasi
satwa
2. Fungsi carrier
Hutan berfungsi sebagai tempat rekreasi, area budidaya, penyimpan karbon,
tanah adat, konservasi alam, dan habitat hidupan liar
3. Fungsi informasi
Hutan menyediakan informasi spritual dan religius, inspirasi budaya dan seni,
pendidikan, sejarah dan informasi ilmiah
4. Fungsi produksi
Hutan memproduksi kayu, produk non kayu, sumberdaya genetik
Manajemen hutan alam tidak bisa dipisahkan dari kegiatan mengelola tegakan hutan
alam. Tegakan hutan alam memiliki keanekaragaman tinggi dan struktur tegakan
yang berbeda dengan tegakan seumur. Distribusi kelas diameter tegakan hutan alam
mengikuti pola esponensial negatif, dimana semakin tinggi kelas diameter semakin
jumlah tegakan pada kelas diameter yang bersangkutan. Pengaturan hasil tegakan
harus berdasarkan pada karakteristik tegakan yang dikelola.
2
Pengelolaan hutan alam yang tidak seumur berbeda dengan hutan seumur. Metode
pengaturan hasil untuk hutan tidak seumur pertama kali dikembangkan oleh Dr.
Dietrich Brandis dalam pengelolaan hutan Jati di Burma antara tahun 1850 - 1900,
yang hutannya terancam rusak akibat tingginya permintaan kayu jiati untuk
pembuatan kapal laut (Broenig, 1996).
Strategi regenerasi tegakan dimaksudkan untuk mendapatkan tegakan yang pada saat
akan dipanen pada periode berikutnya mampu mencapai tegakan normal.
Pembatasan diameter tegakan (misalnya minimal 30 – 35 cm) yang ditebang
dimaksudkan juga untuk memberikan ruang tumbuh bagi kanopi tegakan kodominan
sehingga akan menjadi pohon yang dapat ditebang pada periode berikutnya.
Penentuan interval waktu berhubungan dengan batas pemanenan per unit area
pemanenan. Interval pemanenan terpanjang dihubungkan dengan semakin besarnya
intensitas penebangan dari areal paling kecil secara proporsional. Jumlah
maksimum yang dapat dipanen merupakan produtivitas atau luas hutan dibagi
dengan interval waktu yang dipilih.
Tegakan yang dapat dipanen, harus memenuhi kriteria di antaranya (1) kayu harus
berasal dari lokasi yang telah ditentukan dan disepakati, (2) harus memenuhi
3
diameter minimal yang ditentukan, (3) kayu sudah masak tebang sehingga tidak
mungkin tumbuh lagi, (4) kayu sudah memenuhi batas diameter dan juga
merupakan kayu yang dihargai tinggi di pasaran pada saat menebang.
4
B. Kriteria Ekonomi
Sebuah unit pengelolaan hutan merupakan sebuah unit komersial pengelolaan hutan
yang bertujuan yang menghasilkan produk dan jasa yang darinya diperoleh
keuntungan ekonomi. Prinsip ekonomi ini ditentukan oleh kelestarian produk dan
jasa, sangat dekat dengan prinsip kelestarian hasil, yang merupakan inti dari
pengelolaan hutan tradisional. Kriteria ini menyatakan pentingnya konsep hutan
normal yaitu komposisi tegakan hutan yang mencapai kondisi ideal dalam umur dan
distibusi kelas diameter. Di tegakan hutan tidak seumur bentuk kurva J terbalik dapat
menggambarkan hubungan antara jumlah pohon dan kelas diameter tegakan (Meyer
et all , 1961).
Secara garis prinsip ini disusun dengan berlandaskan kepada beberapa sifat tegakan
persediaan, yaitu: a) jumlah pohon pada setiap kelas diameter, b) waktu yang
diperlukan oleh pohon-pohon dalam setiap kelas diameternya untuk mencapai kelas
diameter pohon yang dapat ditebang, dan c) besamya persen pengurangan jumlah
pohon dalam setiap kelas diameter karena mati atau ditebang sebelum mencapai kelas
diameter pohon yang dapat ditebang.
3. Kriteria Sosial
Hutan merupakan sumberdaya alam yang menarik berbagai pihak. Masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan sangat bergantung pada hutan. Demikian juga
pengusaha kayu sangat bergantung pada kemampuan hutan dalam memproduksi
kayu. Lembaga Swadaya Masyarakat memberikan penguatan dan pendampingan
bagi masyarakat local dalam mendapatkan hak-haknya, sementara pihak lain seperti
perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian sangat menaruh perhatian terhadap
kelestarian hutan. Salah satu darinya tidak mempunyai hak istimewa dalam
mengelola hutan, tetapi harus secara bekerjasama melakukan pengelolaan hutan. Ini
adalah suatu pilihan bagi prinsip kelestarian social (Purnomo 2003).
5
IV. PENGELOLAAN HUTAN ALAM 1000 HEKTAR
Mengelola hutan berarti mengelola fungsi hutan, yang dikategorikan seperti di atas.
Purnomo, 2003 menyatakan pengelolaan hutan lestari mensyaratkan peningkatan dan
pemeliharaan fungsi hutan untuk memastikan hal yang sama akan dialami antar
generasi. Meningkatkan fungsi hutan melibatkan dua konsep terkait. Pertama
konsep hukum perdagangan – meningkatkan fungsi yang satu akan menurunkan
fungsi yang lain, sedangkan yang kedua konsep sinergi yaitu meningkatkan satu
fungsi dapat meningkatkan fungsi yang lain ). Pengelola harus mampu menjaga
keseimbangan fungsi hutan dalam aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Para pengelola atau manajer hutan dihadapkan pada kondisi hutan, dimana luasan
hutan tidak kompak lagi, sehingga perlu terobosan sistem pengelolaan hutan yang
lebih kecil. Jika para manajer dihadapkan atau diberikan hutan dengan luasan 1000
hektar, apa yang seharusnya mereka lakukan ?
Sebagai seorang rimbawan yang pertama harus dilakukan adalah mengenali kondisi
eksisting hutan yang dimilikinya. Selanjutnya melakukan beberapa analisis sebagai
berikut :
1. Menganalisis potensi hasi hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu
Potensi kayu dapat diperkirakan dengan melihat dokumen dari pengelola hutan
sebelumnya. Selain itu dapat juga diperoleh dari masyarakat yang mengambil
kayu untuk keperluan pembangunan rumah maupun kayu bakar. Penelitian yang
dilakukan Aswandi 2004 di Hutan Bekas HPH PT Kulim Company Riau
menemukan bahwa masyarakat ada secara terbatas menebang kayu untuk
keperluan sendiri seperti membangun rumah dan pembuatan perlengkapan rumah
tangga. Pohon-pohon yang ditebang pun umumnya memiliki nilai ekonomis
yang tinggi.
6
3. Menghitung kelayakan usaha dalam areal 1000 hektar
Dalam penelitiannya tahun 2004 Aswandi menyatakan bahwa luas unit
manajemen hutan skala kecil pada hutan alam produksi yang layak secara
finansial dan ekologis minimal 27 hektar. Dengan demikian terhadap areal
seluas 1000 hektar ini dapat dijadikan beberapa unit manajemen hutan skala
kecil yang didistribusikan kepada calon pengelola hutannya. Selanjutnya dalam
rangka koordinasi terutama pemasaran dan teknologi pengelolaan maka
pengelola hutan skala kecil (dalam 1000 hektar) dapat bergabung menjadi satu
wadah organisasi. Organisasi inilah yang akan menjadi perwakilan dari unit-unit
manajemen dengan pihak di luar, misalnya dalam hal permodalan, berurusan
dengan pemerintah, pemasaran hasil, dan berhubungan dengan unit
manajemen lain di luar gabungan ini.
4. Menentukan ukuran fisik jumlah kayu atau volume tegakan yang dapat dipanen
dan nilai finansialnya
Tahap awal dalam pengelolaan hutan adalah melakukan penataan areal kerja
yang menjadi konsesinya, sebagai dasar dalam perencanaan pengaturan hasil.
Dengan demikian, seandainya dihadapkan pada hutan dengan luas 1000 hektar;
maka areal ini dapat dianggap sebagai blok. Blok 1000 ha ini dapat dibagi-bagi
lagi menjadi beberapa kompartemen, misalnya 10 kompartemen dengan luasan
100 ha. Selanjutnya dari tiap kompartemen dapat dibagi lagi menjadi sub
kompartemen dengan luasan misalnya 10 ha, yang terdiri dari petak-petak kerja
berukuran misalnya 10 hektar. Dalam petak kerja inilah akan diterapkan
perlakuan-perlakuan manajemen.
7
Pengelolaan hutan secara ekonomis tidak dapat dilepaskan dari tujuan untuk
mendapatkan keuntungan dari usaha pengelolaan hutan yang dilakukan. Selain
mendapatkan hasil dari panen kayu maupun hasil hutan bukan kayu, pengelola
hutan memiliki kewajiban di antaranya adalah membayar iuran provisi
sumberdaya hutan dan dana reboisasi serta iuran pemegang hak pemanfataan
hutan. Berikut ini ditampilkan beberapa perbandingan nilai bersih penebangan
pada berbagai siklus tebang pada metode penebangan dengan siklus tetap, antara
pengelolaan hutan yang dikenakan iuran dan tanpa dikenakan iuran pada luas
areal produktif 3500 ha. .
Jika menggunakan metode pengaturan hasil adaptif maka akan diperoleh hasil
seperti Tabel 2. Pada jangka waktu penebangan 14 tahun memberikan hasil bersih
yang paling besar, sedangkan dengan sistem TPTI memberikan hasil yang terkecil.
8
hasil konvensional memberikan hasil yang lebih besar, tetapi akan menjadi kecil
jika didistribusikan kepada masyarakat. Oleh karenanya pengelolaan hutan skala
kecil tidak boleh hanya mengandalkan hasil kayu saja tetapi juga harus
mengikutsertakan hasil hutan bukan kayu. Pemanenan kayu harus adaptif
terhadap harga yaitu kayu baru dipanen ketika harga jual kayu memang tinggi
dengan mempertimbangkan ketersediaan tegakan sehingga mencerminkan
pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Konsekuensinya tidak setiap tahun
pengelola hutan skala kecil dapat memanen kayu.
Pengembangan sistem pengaturan hasil melibatkan pemilihan siklus penebangan
(a) pembangunan kriteria kondisi spesies-spesies masak tebang, (b)
menyesuaikan kriteria dengan spesies tertentu, (d) membuat kriteria seleksi
pohon.
Masyarakat juga mengumpulkan dan menebang kayu untuk membangun rumah dan
keperlian desanya. Mereka mendapatkan penghasilan dari hutan dan ladang padinya.
Pemerintah daerah dimana wilayah hutan berada, juga memperoleh pendapatan (income)
dari hutan dari kegiatan pemanenan kayu.
Melihat adanya beberapa pelaku dalam pengelolaan hutan dengan masing-masing peran
dan kepentingannya, maka pengelolaan secar kolaborasi merupakan alternative yang
daoat diterapkan. Pengelolaan hutan dengan kolaborasi secara sederhana didefinisikan
sebagai pembagian tanggung jawab dan hasil atau manfaat yang dapat diambil dari hutan.
Hasil studi yang dilakukan Purnomo et all 2003 mendapatkan gambaran kriteria dan
syarat dari sebuah kolaborasi pengelolaan hutan seperti pada Tablel 3 di bawah ini.
9
Tabel 3. Kriteria dan Syarat dalam Kolaborasi Pengelolaan Hutan
Kriteria masyarakat Kriteria pengusaha (Inhutani)
Dekat dengan sungai Jauh dari jaringan jalan
Layak secara komersial Masyarakat membayar ke pengusaha
Dekat dengan pemukiman Pemanenan secara tradisional
- Panen hanya pohon ukuran sedang
Sumber : Purnomo et all, 2003
Dengan demikian dari contoh luas hutan alam 1000 ha dapat diperoleh dengan melakukan
kolaborasi dengan pemegang konsesi, koperasi atau dinasi kehutanan, dengan criteria dan
syarat seperti Tabel 3. Keberadaan pemegang konsesi (pengusaha skala besar) tetap
diperlukan, karena kehadirannya menjamin kontinuitas aliran pendapatan dari penjualan
kayu bagi pemilik hutan melalui pembelian hasil pengelolaan hutan skala kecil; juga
membantu dalam pemeliharaan infrastruktur di daerah-daerah terpencil. Selain itu juga
dapat berperan dalam mengawali pembentukan kerjasama antara pemilik hutan skala
kecil (Hyttinen, 2002).
Kolaborasi antara pemegang hak pengusahaan hutan dengan masyarakat terlihat layak
sebagai alternative dalam pengelolaan hutan lestari, utamanya untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat tanpa menurunkan kualitas hutan. Kolaborasi ini harus lebih
menekankan dan mengkhususkan pada tujuan untuk mendapatkan “outcome” yang lebih
baik dari pengelolaan hutan. Meskipun demikian kolaborasi ini tentu saja akan berbeda
dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Masing-masing unit manajemen memiliki perbedaan
pengaturan kolaborasi (Purnomo, 2003)
Jika masa pemanfaatan yang diberikan kepada masyarakat berkisar 100 tahun, maka
areal seluas 100 hektar dapat dibagi ke dalam compartemen seluas 10 ha. Berdasarkan
hasil simulasi DIPSIM oleh Kleine M dan Hinrichs A tahun 2002 menunjukkan bahwa
tegakan bekas penebangan akan dapat mengembalikan dirinya ke bentuk semula
(sebelum penebangan) dalam jangka waktu 80 tahun, sebagai tegakan persediaan sebelum
penebangan rotasi berikutnya. Tegakan persediaan pohon pohon komersial diameter
setinggi dada 10 cm dan 50 cm meningkat selama periode 80 tahun dari saat ini 179
m3/ha dan 72 m3/ha menjadi 350+ m3/ha dan 165 m3/ha. Dengan demikian masa ijin
pemanfaatan hutan skala kecil oleh masyarakat selama 80 tahun, dapat menjamin
kelestarian hutan.
10
V. PENUTUP
Masyarakat lokal memiliki kebutuhan jangka pendek, sedangkan masyarakat luas
umumnya memiliki kebutuhan jangka panjang. Untuk mencapai keberhasilan pencapaian
tujuan, maka pengelolaan hutan bersama memerlukan masukan dan peranan dari
keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
FWI/GWI. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch
Indonesia dan Washington DC : Global Forest Watch
Hyttinen P. 2002. Small Scale Forestry and Sustainable Rural Development IUFRO
Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16
Kleine M and Hinrichs A. 2002. The DIPSIM Model and Aplication For Sustainable
Forest Management in Tropical Forest Di dalam : Ismail et al editor. Proceeding
of The Malaysia-ITTO Internasional Workshop on Growth and Yield of
Managed Tropical Forest. Peninsular Malaysia. Desember 2002. Darul Ehsan
Selangor. Cepat Cetak Sdn Bhd. hlm 102 – 121
Meyer et all. 1961. Forest Management Second Edition. The Ronald Press Company.
New York.
Purnomo, H. et all. 2003. Multi Agent Simulation of Alternative Scenarios of
Collaborative Forest Management. Journal of Small Scale Forest Economics,
Management and Policy, 2(2) : 277-292, 2003
Purnomo, H. 2003. A Modeling Approach To Collaborative Forest Management.
Desertasi Pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak
Diterbitkan.
11
Seydack, AHW. 2000. Theory and Practice of Yield Regulation System for Sustainable
Management of Tropical and Sub Tropical Moist Natural Forest. Di dalam
Gadow,K.V. et all editor. Sustainable Forest Management. Kluwer
Academic Publisher 2000. Dordrecht : Boston London. Hlm 207 - 317
12