Anda di halaman 1dari 40

I'USAT REHABILIT'ASI KEMHAN

RUMAH SAKITdT.IIUYOTO

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RS. dr. SUYOTO

2018
F'TJSAT RB}IABILITI.SI KEMENTERIAN PERTAHANAN RI
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO

KI.]PUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT dT. SUYoTo PUSREHAB KEMHAN


Nomor : KEP/ 58 /XI tZDtStRSDS

TENTANG

PANDTiAN PRAKTIK KLINIS ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


DI RUMAH SAKIT dT. SUYoTo PUSREHAB KEMHAN

K]]PALA RUMAH SAKIT dT. SUYOTO PUSREHAB KEMHAN

Menimbang l. [iahwa Rumah Sakit dr. Suyoto selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan dan harapan masyarakat.

2 fiahwa dalam memberikan pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit. dr. Suyoto
Fusrehab Kemhan perlu adanya Panduan Praktik Klinis Anestesiologi Dan Terapi
I'rtensif RS dr. Suyoto Pusrehab Kemhan sebagai landasan bagi penyelenggaraan
pelayanan kepada pasien di RS dr. Suyoto pusrehab Kemhan.

3. Flahwa sehubungan dengan pertimbangan pada nomor I dan 2 di atas, perlu


nlenetapkan Keputusan Kepala Rumah Sakit tentang Panduan praktik Klinis
Anestesiologi Dan Terapi Intensif di RS dr. Suyoto pusrehab Kemhan

Mengingat l. t rndang-Undang Republik lndonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

2- [indang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

3. [indang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2OO4 tentang praktik


k-edokteran

4 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor l438Avlenkes/pER/tX/ 2010 tentang


S tandar Pelayanan Kedokteran.

5. Feraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 tahun 2017 tentang Akreditasi


Rumah
Sakit.
6. Pr:raturan Menteri Pertahanan Nomor I Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata
K;rja Rr"rmah sakit Kelas B dr. Suyoto Kementerian pertahanan.

7. Pt:raturan Menteri Pertahanan Nomor 3 tahun 2018 tentang Susunan dan Tata
K:rja .labatan Fungsional Tertentu dan .Iabatan Fungsional llmum Rumah Sakit
Kelas B clr. Suyoto Kementerian pertahanan.

MEMUTUSKAN

hleneiapkal KEPU USAN KEPAI-A RUMAH SAKIT dT. SUYoTo TENTANG


PANDUAN PRAKI'IK KLINIS ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENS]F
RUMAH SAKIT dT. SUYOTO PUSREHAB KEMHAN

K [:,S,,\'l'tJ Memberlakukan Panduan Praktik Klinis Anestesiologi dan T'erapr Intensif


Rurnah Sahit dr. Suyoto Pusrehab Kemhan

KEDI IA Apabila dikernudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalarn keputusan ini, maka
a kan d i ad.rkan pernbetulan sebagai mana mestinya.

KL,T'iit.,\ Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Nopernber 2018

Sakit dr. Suyoto

-
Sp.RM
Kr:lonel Ckm Nrp33439
DAFTAR ISI

i' Fanduan Praldk Klinis Manajemen Anastesi Pada Transurethral Resection Of The prostate
(TURP) atas indikasi BpH
2' Panduan Pral':tik Klinis Manajemen Anestesi Pada Lparatomi Eksplorasi atas indikasi
Peritonitis Drfuse ec Appendisitis perforasi
3' Panduan Pralctik linis Manajemen Anestesi pada Sectio Caesaria atas indikasi
Gavrat Janin
4' Panduan Pral*ik klinis Manajemen Anastesi pada Total Tiroidektomi
atas indikasi Struma
Noclusa Non Toksik
Panduan PralJik klinis Manajemen Anastesi pada Craniotomi Evakuasi
atas indikasi Epidural
Henratoma
6. Klinis Prosedur Anastesi pada Pasien Dengan Penyakit Liver (Hepatitis Akut)
Panduan Prai<tik

7. Panduan Praldk klinis Prosedur Anastesi Pada Pasien dengan Sirosis


Hepatis
8. Panduan Pral<tik klinis Prosedur Anastesi Pada Pasien Dengan Chronic
Kidney Disease
c1.
Panduan Pra;<tik klinis Prosedur Anastesi pada pasien Dengan ppoK

t0. Panduan Pra<tik Klinis Prosedur Anastesi Pada Pasien Dengan Asma Bronkhial
I1. Panduan Pral<tik Klinis prose<iur Anastesi pada pasien Dengan obesitas

12. Panduan Pral<tik Klinis Prosedur Anastesi Pacla Pasien Dengan Diabetes Melitus
13. Panduan Praktik Klinis prosedur Anastesi pada pasien Dengan Hipertiroid
14. Panduan Prai<tik Klinis Prosedur Anastesi pada pasien Dengan Hipotiroid

15. Panduan Pra'<tik Klinis Pelayanan Anestesi pada Laparaskopi


I
I

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO
Jl. RC. Veteran No.178
tsintaro 1 73884000

MANAJEMEN ITNESTESI PADA rRA'VSURETHRAL RESECT'ON OF THE PROSTATE


(TURPi ATAS INDIKASI BEN'GTV PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
Pengertian ( Definisi) Penatalaksanaan anestesi untuk memfasilitasi tindakan TURP ai
BPH (Kunjungan preoperatif H-2, H-1, tatalaksana intraoperatif, dan
pascaoperatil)

Anamnesis ldentifikasi pasien, nama, umur, alamat, dll


Masalah medis saat ini
Penyakit penyerta lain
Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini,
intoleransi/ alergi obat
Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokoU minum alkohol
Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tinjauan sistem organ keseluruhan (termasuk level aktivitas
fisik, sistem respirasi, kardiovaskular, gastrointestinal, renal,
hematologi, endokrin, musculoskeletal, psikiatrik, dermatologi)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik m eliputi Keadaa n u mum tanda vital jalan
nafas, kardi ovas ku la r, P?rt1-P3 ru system d igestif ekstremitas,
pe meriksaan neurolog is, genitourinari pem eri ksaan reg io lum bal
Kriteria Diagnosi:; Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

lndikasi Pembiusan Operasi Benign Prostat Hiperplasy

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratori um H b, Ht, Leukosit trom bosit, hem ostatis,
gula darah, fungsi ginjal, elektrolit, urinalisis
Radiologis: Rontgen thorak,
EKG
Tes fungsi paru
Konsultasi antar departemen jika diperlukan
Tata Laksana Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Anestesi spinal,
- Obat-obatan

Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
- Penilaian ulang status fisik anestesi
- Pindahkan pasien menuju kamar operasi dan tidurkan pasien di
meja operasi
- Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu

Pelaksanaan anestesi spinal:


- Pastikan lV line lancar
Posisikan pasien: Anestesi spinal dapat dilakukan dalam posisi
duduk atau lateral
ldentifikasi Tuffier's line
Sterilkan lokasi tusuka n denoan
vJv
menoounakan novidone indine
dan alkohol
lnsersikan jarum spinal di bawah L2
vv rlala-
lVlaSttkkan ohat aneStesi r{ennan kanr:natan O (-,1 na vq'qr'r qv
detik ciengan t.rg"tltodd; fi;'
Cabut jarum spinal dan tutup bekas suntikan dengan plester
Posisikan pasien supine. Nilai ketinggian - blokade dan
perubahan hemodinamik.
Jika ketinggian blokade yang diinginkan sudah tercapai,pasien
diposisikan
litotomi
Monitoring hemodinamik dan tanda sindroma TURP selama
operasi

Perawatan pascaoperasi
- Setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Monitoring hemodinamik dan regresi dari blokade spinal dengan
Bromage Score
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score )8 dan terjadi regresi blokade spinai

Edukasi Penjelasan tentang tindakan anestesi


{HospitaI Heatth l)romotion] Dokter anestesi yang merawat harus menjelaskan kepada
pasien/keluarga pasien tentang operasi yang akan dilakukan,
tindakan anestesi, risiko-risiko dan kemungkinan yang akan terjadi,
akibat tindakan anestesi dan pembedahan secara jelas dan
lengkap. Apabila pasien/keluarga sudah mengerti dan menyetujui
tlndakan anestesi yang akan dilakukan, pasien/keluarga pasien
harus menandatangani surat persetujuan tindakan anestesi,
disertai tandatangan saksi dari keluarga pasien dan dari pihak
perawat, serta tandatangan dokter yang memberi keterangan
Penjelasan tentang puasa pre anestesi
Penjelasan tentang kemungkinan transfusi
Penjelasan tentang rencana penatalaksanaan nyeri pascaoperasi

Prognosis Dubia

Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
PemelaaFl Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
$ndikator

li(epustakaan 1 lvlorgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Preoperative assesment,


premedication, and perioperative docummentation. ln Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, penyunting. Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-S. New york McGraw-HiU; 2013; 2gS-
307;937-974
2. Brown DL. spinal, epidural and caudal anesthesia. ln Miller RD.
Miller's Anesthesia 7"d philadelphia: Elseiver chruchill
l__ Livingstone; 2010; volume 1 ; 161 1-3g
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO
Jl. RC. V*teran No 178
Birtaro 7388'"69,

MANAJEMEN ANESTESi PADA LAPAROTOMI EKSPLORASI AI PERITONITIS DIFUSE


EC APPENDISITIS PERFORAST

,ii-----J:---,
t-(,rlst,rttdlt I
'iisii Fenatalaksanaan anestesi untuk memfasilitasi tindakan
laparotomy eksplorasi ai peritonitis difuse ec appendicitis perforasi
(Kunjungan preoperatif, tatalaksana intr.aoperatif, dan
pascaoperatif)

Anamnesis ldentifikasi pasien, nama, umur, alamat, dll


Masalah medis saat ini
Penyakit penyerta lain
Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini,
intoleransi/ alergi obat
Kebiasaani habituasi, seperti: merokoU minum alkohol
Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tinjauan sistem organ keseluruhan (termasuk level aktivitas
fisik, sistem respirasi, kardiovaskular, gastrointestinai, renal,
hematologi, endokrin, musculoskeletal, psikiatrik, dermatologi)
Ferneriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi : Keadaan umum, tanda vital, jalan
nafas, kardiovaskular, paru-paru, system digestif, ekstremitas,
pemeriksaan neurologis, genitourinary

Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang


Endikasi Pembiusan Peritonitis difuse ec appendicitis perforasi

Pecneriksaan Peri unjang Pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht,Leukosit, trombosit, faktor


koagulasi, fungsi ginjal, elektrolit, laktat
Rontgen thorak,
EKG
Konsultasi antar departemen jika diperlukan

"[ata [*aksana Penatalaksanaan pre operatif :


- Pemberian cairan maintenance intravena sesuai berat badan
- Bila pasien dehidrasi, dilakukan rehidrasi
- Bila pasien nyeri, diberikan rescue analgetik

Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Obat-obatan

Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
Penilaian r rlann etatr rc fi cilz
v.r. annola^;
q. rvar(;91

Pindahkan pasien menuju kamar operasi dan baringkan pasien


di meja operasi
Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu

Pelaksanaan anestesi umum:


- Posisikan pasien terlentang dengan posisi head up,
- Tinggi kepala pasien setinggi kartilago xyphoid dokter anestesi.
- Letakkan kepala penderita dengan bagian oksipital diletakkan
di
atas bantal dengan tebal 10 cm.
- Posisi kepala dalarn satu garis antara telinga dengan sternum
(sniffing position)
Lakukar; preoksigeriasi dengarr oksigerr i00?ir selama kurang
lebih 3-5 inenit dengan menggunakan sungkup wajah.
- Berikan obat opioid intravena diikuti oleh hipnotik sedatif
- Pastikan pasien tertidur dengan mengecek reflek bulu mata
negatif.
Lakukan ventilasi tekanan positif dengan menggunakan bagging
clengan tekanan tidak melebihi 30 cm HzO.
Bila dada dapat menggembang dan pada saat merakukan
ventilasi tidak ada hambatan atau tahanan, berikan pelumpuh
otot.
Lakukan ventilasi hingga seluruh obat anestesi mencapai
onsetnya.
Pegang handle laringoskope dengan tangan sebelah kiri, tangan
sebelah kanan dapat memegang kepala pasien untuk extensi
atau membuka mulut dengan cara cross finger.
Masukan blade dari sudut kanan bibir , dorong hingga ke
oropharyng sambil menyisihkan lidah dari kanan ke kiri.
Telusuriterus hingga ujung blade menyentuh vattecula
Pastikan gigi dan bibir bebas
Kemudian angkat handle menjauh dari pasien sehingga terlihat
pita suara (vocal cord)
Persiapkan pipa endotrakheal ditangan kanan
Masukan pipa endotacheal ke dalam trakea
Setelah pipa endotracheal terpasang kembangkan balon
dengan menggunakan spuit, pastikan pipa endotrakheal tidak
begeser.
setelah balon mengembang pastikan paru kanan dan kiri
mengembang sama besar dengan menggunakan stetoskop.
setelah memastikan letak pipa endotracheal benar, plester pipa.
Sambungkan pipa endotracheal ke mesin anestesi
Setting mesin anestesi sesuaitarget yang diinginkan
Monitoring hemodinamik selama operasi
setelah operasi selesai, nilai kembali kondisi pasien dan
persiapkan untuk ekstubasi.

Perawatan pascaoperasi
- setelah operasiselesaipasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoring hemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8
Edukasi Penjelasan tentang rencana anestesi
(Hospital Health Promotion) Dokter anestesi yang merawat harus menjelaskan kepada
pasien/keluarga pasien tentang operasi yang akan dilakukan,
tindakan anestesi, risiko-risiko dan kemungkinan yang akan terjadi,
akibat tindakan anestesi dan pembedahan secara jelas dan
lengkap. Apabila pasien/keluarga sudah mengerti dan menyetujui
tindakan anestesi yang akan dilakukan, pasien/keluarga pasien
harus menandatangani surat persetujuan tindakan anestesi,
disertai tandatangan saksi dari keluarga pasien dan dari pihak
perawat, serta tandatangan dokter yang memberi keterangan
Penjelasan tentang puasa pre anestesi
Penjelasan tentang kemungkinan tranfusi
Penjelasan tentang rencana penatalaksanaan nyeri pascaoperasi

Prognosis Dubia

Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis SMF ANESTES! OLOGI DAN TERAPI INTENSIF

lndikator

Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway management.


Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. ClinicalAnesthesiology. 5ed
New York McGraw-Hill; 2013; 313-338
2. Kevin AM: open appendectomy. ln Anesthesiotogist's manualof
surgical procedures. Jaffe AR, Clifford AS, Brenda G. Sed
Wolters Kluwer Health; 201 4; 836-841
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKTT dr. SUyOTO
Jl. RC. Veteran No.'178
Bintaro 1 73884000

MANAJEMEN ANESTESI PADA SECTIO CAESARIA ATAS INDIKASI GAWAT JANIN


Pengerti an ( Definisi) a nestesi untu k m emfasil ita tindakan sectio
caesaria atas indikasi gawat janin (Kunlungan preoperatif,
tatalaksana intraoperatif, dan pascaoperatif)

Anamnesis ldentifikasi pasien, nama, umur, alamat, dil


Masalah medis saat ini
Penyakit penyerta lain
Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini,
intoleransi/ alergi obat
Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokok/ minum alkohol
Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tinjauan sistem organ keseluruhan (termasuk level aktivitas
fisik, sistem respirasi, kardiovaskular, gastrointestinal, renal,
hematologi, enciokrin, musculoskeletal, psikiatrik, der.matologi)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi : Keadaan umum, tanda vital, jalan
nafas, kardiovaskular, paru-paru, system digestif, ekstremitas,
pemeriksaan neurologis, genitourinari, pemeriksaan kesejahteraan
janin (CTG)
Kriteria Diagnosi,s Anamnesis , pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

lnc|ikasi Pernbiusan Sectio caesaria atas indikasi gawat janin

Pemeriksaan Perrunjang Pemeriksaan laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, trombosit, faktor


koagulasi
Tata Laksana Penatala ksanaan
Terapi Konservatif Resusitasi Janin:
- Pemberian suplementasi oksigen pada ibu
- Posisi ibu miring kiri
- Pemberian cairan maintenance intravena sesuai berat badan
Konsultasi Premedikasi metroklopramid 10 mg intravena dan ranitidine 50 mg
Lama perawatan intravena diberikan sebelum induksi

Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Obat-obatan

Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
I

t__
I - Penilaian ulang status fisik anestesi
l
Pindahka n nasien ment tit r krma. nnoreei r{an herinnktn n2eian
)

I
di meja operasi
I
Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu
I

Pelaksanaan anestesi umum:


- Posisikan pasien terlentang dengan posisi head up.
- Tinggi kepala pasien setinggi kartilago xyphoid dokter anestesi.
- Letakkan kepala penderita dengan bagian oksipital diletakkan di
atas bantal dengan tebal 10 crn.
- Posisi kepala dalam satu garis antara telinga dengan sternum
(sntiffing position)
- Lakukan preoksigenasi dengan oksigen 100o/o selama kurang
ieb!h 3-5 nrenit dengan menggunakan sungkup wajah.
- Operator melakukan drapping
- setelah drapping selesai, induksi anestesi dilakukan dengan
cara Rapid Sequence lnduction (RSl)
- Berikan propofol 2mg/kg BB dan rocuronium O,g-1,2 mg/kg BB.
setelah pasien tertidur dilakukan penekanan krikoid. Dilakukan
intubasi.
Kembangkan balon, pastikan pipa endotrakheal tidak begeser.
setelah balon mengembang pastikan paru kanan dan kiri
mengembang sama besar dengan menggunakan stetoskop.
setelah memastikan letak pipa endotracheal benar, plester pipa.
Sambungkan pipa endotracheal ke mesin anestesi
Setting mesin anestesi sesuaitarget yang diinginkan
Monitoring hemodinamik selama operasi
setelah bayi dan plasenta dilahirkan, diberikan oksitoksin 1o-1s
unit dalam 500 mlkristaloid
Setelah operasi selesai, nilai kembali kondisi pasien dan
persiapkan untuk ekstubasi.

Perawatan pascaoperasi
- setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoringhemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8

Edukasi Penjelasan tentang rencana anestesi


(Hospital Health Promotion) Dokter anestesi yang merawat harus menjelaskan kepada
pasien/keluarga pasien tentang operasi yang akan dilakukan,
tindakan anestesi, risiko-risiko dan kemungkinan yang akan terjadi,
akibat tindakan anestesi dan pembedahan secara jelas dan
lengkap. Apabila pasien/keluarga sudah mengerti dan menyetujui
tindakan anestesi yang akan dilakukan, pasien/keluarga pasien
harus menandatangani surat persetujuan tindakan anestesi,
disertaitandatangan saksi dari keluarga pasien dan dari pihak
perawat, serta tandatangan dokter yang memberi keterangan
Penjelasan tentang puasa pre anestesi
Penjelasan tentang kemungkinan tranfusi
Penjelasan tentang rencana penatalaksanaan nyeri pascaoperasi
i Frognos ts I Dubia

Tirrgkat Hvidens
Tingkat Rekomelrdasi
Penelaah Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

lndikator

Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikha il MS, Murray MJ. Ainruay management.


Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. ClinicalAnesthesiology.
S"dNew York McGraw-Hill: 2013: 91 3-338
2. Brendan C, Lee C: Caesarean section. ln Anesthesiologist's
manual of surgical procedures. Jaffe AR, Clifford AS, Brenda G.
5"d Wolters Kluwer Health; ZAfi; 1 300-1 31 B
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO
Jl. RC. Veteran No 178
Bintaro 1 73884000
MANAJEMEN ANESTESI PADA TOTAL TIROI DEKTOMI AI STRUMA NODUSA NON
TOKSIS
Pengertian ( Definisi) Penatalaksanaan inGstesi untuk memfasilitasi tindakan total
tiroidektomi atas indikasi struma nodusa non toksis (Kunjungan
preoperatif H-2, H-1, tatalaksana intraoperatif, dan pascaoperatif)

Amamnesis ldentifikasi pasien, nama, umur, alamat, dll


tvlasalah medis saat ini (riwayat OSA, tanda hipertiroid dan
hipotiroid)
Penyakit penyerta lain
Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini,
intoleransi/ alergi obat
Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokoU minum alkohol
Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tinjauan sistem organ keseluruhan (termasuk revel aktivitas
fisik, sistem respirasi, kardiovasku!ar, gastrointestinal, renal,
hematologi, endokrin, musculoskeletal, psikiatrik, dermatologi)

Ferneriksaan Fisjk Pemeriksaan fisi k meliputi Keadaan u mu m ta nda vita jalan


nafas kardiovaskular, paru-pa ru system d igestif ekstrem itas
pemeriksaa n neurolog iS, gen itouri na ry

Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fis ik, pemeriksaan penunjang

Indikasi Pembius;an Total tiroidektomi atas indikasi struma nodusa non toksis

Feuneri ksaan Per runjang Pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht,Leukosit, trombosit, faktor
koagulasi, fungsi ginjal, sidik tiroid,
Radiologi : Rontgen thorak dan soft tissue leher
Tes fungsi paru
EKG

Tata Laksana Persiapan alat:


- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasidan alat difficult airway
- obat-obatan anestesi, obat emergency, obat penatalaksanaan
thyroid storrr(cairan inius dingin, propil tiourasil, lugol)

Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
- Penilaian ulang status fisik anestesi
- Pindahkan pasien menuju kamar operasi dan baringkan pasien
di meja operasi
- Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu

Pelaksanaan anestesi umum:


- Posisikan pasien terlentang dengan posisi head up.
- Tinggi kepala pasien setinggi kartilago xyphoid doi<ter anestesi.
Letakkan kepala penderita dengan bagian oksipital diletakkan di
atas bantal an tebal 10 cm.
Posisi kenala rlal am satu garis antara telinga dengan sternurn
(sniffing position)
preoksigenasi dengan oksigen lOOo/o selama kurang
!-l[.r!q
lchih ?-q monit danaa^
ve' ryqr I *A^AA,,^^L^n o,,aal,,r^ r.,^i^h
I I t9t tgyul tclnat I aur avr\qy ,vaJclt r.
Berikan obat opioid'intraveni diikuti oleh nipnotif sedatif
Pastikan pasien tertidur dengan mengecek reflek bulu mata
negatif.
Lakukan ventilasi tekanan positif dengan menggunakan bagging
dengan tekanan tidak melebihi 30 cm HzO.
Bila dada dapat menggembang dan pada saat melakukan
ventilasi tidak ada hambatan atau tahanan, berikan pelumpuh
otot.
Lakukan ventilasi hingga seluruh obat anestesi mencapai
onsetnya.
Pegang handle laringoskope dengan tangan sebelah kiri, tangan
sebelah kanan dapat memegang kepala pasien untuk extensi
atau membuka mulut dengan cara cross finger.
Masukan blade dari sudut kanan bibir dorong hingga ke ,
oropharyng sambil menyisihkan lidah dari kanan ke kiri.
Telusuriterus hingga ujung blade menyentuh vallecula
Pastikan gigidan bibir bebas
Kemudian angkat handle menjauh dari pasien sehingga terlihat
pita suara (vocal cord)
Persiapkan pipa endotrakheal ditangan kanan
Masukan pipa endotacheal ke dalam trakea
Setelah pipa endotracheal terpasang kembangkan balon
dengan menggunakan spuit, pastikan pipa endotrikheal tidak
begeser.
Setelah balon mengembang pastikan paru kanan dan kiri
mengembang sama besar dengan menggunakan stetoskop.
Setelah memastikan letak pipa endotracheal benar, plestei pipa.
Sambungkan pipa endotracheal ke mesin anestesi
Setting mesin anestesi sesuaitarget yang diinginkan
Monitoring hemodinamik dan tanda styroid storm selama
operasi
Jika terjadi thyroid storm, tatalaksana dengan mengehentikan
tindakan operasi, lakukan hidrasi dan pendinginan dengan
menggunakan cairan infus yang dingin, PTU 250-500 mg tiap 6
jam secara oral atau melalui NGT, sodium iodide 1 gram dalam
12 jam dan lakukan koreksiterhadap faktor pencetus
Setelah operasi selesai, nilai kondisi pasien dan komplikasi
operasi dengan mengevaluasi tanda-tanda trakeomalasia dan
parese nervus laringeus recurrent dan nervus vagus.
persiapkan untuk ekstubasi.

Perawatan pascaoperasi
- Setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoringhemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8

Edukasi Penjelasan tentang rencana anestesi :


(Hospital Health Promotion) Dokter anestesi yang merawat harus menjelaskan kepada
pasien/kel uarga pasien tenta ng operas ya ng akan dilakukan,
tindakan anestesi, risiko-ris iko dan kemung ki na n yang aka n terjad i,
a kibat tindakan anestes da n pem beda h an secara jelas dan
leng kap. Apa bila pasie n/keluarga sudah mengerti da n menyetuju
tindaka n anestes ya ng akan dilakukan, pasienlkel uarga pasien
ha rus menandatangan SU rat persetuj uan tindakan anestesi
diserta ta saksi dari da n dari
t- +.idak le:ttcnt:cl Ci:rana dapat teriadi te:ubaha:: teka ;ian darali
yang cepat

tnduksi:
- Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid sequence induction
dengan penekanan krikoid pada pasien dengan riwayat mual,
muntah serta perdarahan gastrointestinal.
- Dosis obat induksi pada pasien sakit berau kritis harus
dikurangi, dapat diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1_2
mg/ kg, sedangkan pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabii dapat diberikan etomidat 0,2-0,4 mg/ kg.
- Respon hipertensiterhadap intubasi dapat ditumpulkan dengan
menggunakan opioid, beta bloker (esmolol), atau lidokain.
- Penggunann suksinilkotin sebagai pelumpuh otot masih dapat
ditolerir pada kadar kalium < S meq/L.
- Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan hiperkalemia
adalah rocuronium (0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg),
atrakurium (0,4 mg/kg),
- atau mivakurium (0,1s mg/kg). sebagai alternatif masih
mungkin untuk menggunakan vekuronium 0,.1 mg/ kg dengan
tetap mempeihatikan kemungkinan terjadinya efek obat yang
memanjang.

Pemeliharaan
ldealnya kita harus mampu mengontrol tekanan darah tanpa
mempengaruhi cardiac output.
Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang
metabolitnya tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang
telah ada, yaitu: isofluran dan desfluran.
Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan
fungsi ventrikel yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan kadar hb yang sangat rendah (<7 g/dL).
Hindari penggunaan meperidin, hal ini dikarenakan terjadinya
akumulasi metabolit aktif normeperidin yang dapat
mencetuskan terjadinya kejang. penggunaan morfin masih
memungkinkan dengan kemungkinan efek yang akan
memanjang.
Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari terjadinya
hiperkarbia karena pernafasan yang tidak adekuat dan dapat
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik yang akan
memperberat kondisi asidosis yang sudah ada, depresi
pernafasan, dan akan meningkatkan kadar potassium serum.
Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena akan
menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb dan akan
menurunkan aliran darah serebral.
Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan terlebih
dahulu tidak adanya gangguan koagulasi. Keadaan asidosis
dapat menurunkan ambang kejang yang berhubungan dengan
pemakaian anestesi lokal.

4. MANAJEIUIEN PASCAOPERASI
Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan monitoring
standar untuk mengevaluasi kesadaran, pernafasan,
hemodinamik, dan dieresis.
Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi
harus
t
r;:
rlinantar r
tarh adap kennungkinan terjaCini,a penui"unan
kesadarn dan hipoventilasi. Berikan nalokson jika terjadi efek
:
samping akibat pemakaian opioid.
Htndari penggunaan analgetik golongan NSAID yang dapat
memperburuk fungsi ginjal
Lakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi disritmia
akibat hiperkalemia.
Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien dengan
anemia dan perdarahan yang memerlukan transfuse.
Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat, asidosis berat
dan hemodinamik yang tidak stabil menendakan adanya
kegagalan organ dan merupakan indikasi untuk perawatan di
ruang intensif dan penilaian untuk perlu tidaknya ditakukan
hemodialisa pascaoperatif.

Edukasi Manajemen anestesi meliputi timdakan yang akan dilakukan,


{l'{ospital Flealth trromotion) indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang berhubungan
dengan penyakit pasien, pilihan alternatif teknik anestesi,
prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif

Prognosis dubia

Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Fenelaah Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
lndikator
Kepusta{<aan 1 Morga n a nd Mikha it 's C linical Anesthesiology t 5th edition Apr
22, 201 3 by John F Butterworth and David c. Mackey
i
I
2. Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
I

I
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michaelcahalan (Author), M. Ghristine stock
I

j
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, 2O1T
;
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall MD LLD
(honoris causa).
i

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKTT dr. SUyOTO
Jl. RC. Veteran Nc.178
Bintaro 73884000
ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK
(BRONK|TIS KRON|S DAN EMFTSEMA)

Fengertian { Definisi} Penya kit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada pa ru-paru
clengan kara kteristi k berupa ad anya ham batan terhadap
aliran
udara yang berkembang prog resif dan bersifat irreversible
Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif
kronis (obstruksi pada smalt airway), dan emfisema (pelebai.an
ruang udara dan destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas
paru, dan penutupan dari sma// airway).

Tuiuan Sebagai acuan dala m pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan PPOK yang akan menjalani tindakan pembedahan.

Ananrnesis Sebagian besar pasien dengan paru obstruktif


(PPOK) tidak bergejata. Gejata yang timbuldapat berupa
kombinasi
tanda dan gejala bronkitis kronis, emfisema, dan penyakit saturan
napas reaktif termasuk batuk, intoleransi latihan progresif, produksi
sputum, dan perubahan status mental, sesak napas. Batuk
produktif atau nyeri dada akut sering terjadi. Batuk
biasanya lebih
buruk di pagi hari dan menghasilkan sedikit sputum tidak berwarna.
Riwayat merokok.Mengi yang terdengar saat pasien sesak.

Ferneriksaa n Fisik Takipnoe


Penurunan saturasi oksigen
pada auskultasi didapatkan wheezing
retraksi intercostal
penurunan kesadaran

Kritenia 0iagnosiC kriteria diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang

Diagmos&s Bandirrg Asma


Asthma COPD overlap syndrome
Bronchitis
Chronic Cough
Gagaljantung
Emphysema

Perneriksaan Penunjang Analisa gas daiah


tes faal paru
pemeriksaan darah rutin
foto rontgen thoraks

::
I Tata Laksana 1. Manaiemen Preonaratif
- Pada operasi elektif pasien dengan ppOK harus optimal
terlebih dahulu (tidak ada sesak, wheezing, dan batuk, atau
ciengan sesal</ wheezing/ batuk minimal)
- Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia,
bronkospasme, mengurangi sekresi, dan bira ada infeksi
pada saluran nafas harus diberikan terapidengan antibiotic.
- Hentikan merokok serama 6-g minggu sebetum operasi
untuk mengurangi sekresi dan komprikasi pascabedah.
Paling tidak pasien yang tidak merokok selama 24 jam akan
meningkan Oxygen Carrying capacity.
Fisioterapi pernafasan preoperative dengan perkusi dan
drainase postural.
- Apabila didapatkan hipertensi pulmonar harus diterapi
dengan meningkatkan oksigenasi, dan apabila terdapat
corpulmonal dilakukan digitalisasi terutama bila terdapat
gagal jantung kanan

2. Manajemen lntraoperatif
- Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik
pilihan untuk mengurangi kemungkinan komprikasi
pascaoperasi.
- Pemberian sedasi pada pasien yang dirakukan regionar
anestesi diberikan secara incremental oleh karena pada
pasien ini (terutama geriatric) sangant sensitive terhadap
efek depresan dari obat0obat sedative.
- Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus
dilakukan preoksigenasi untuk mencegah terjadinya
desaturasi oksigen yang cepat.
- lnduksi harus ciirakukan dengan smooth. Refrek
bronkospasme dapat ditekan dengan memberikan
tambahan propofol (Z-2,5 mg/kg), ventilasi dengan volatile
2-3 MAc selama 5 menit, atau pemberian ridokain intravena
atau intratrakeal l-2 mg/ kg
Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang
bersifat histamine release (kurare, atrakurium, morfin,
meperidin), atau bila digunakan harus diberikan dengan
sangat perlahan.
Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan
adalah propofol, etomidat, dan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil pilihannya adalah ketamin
yang bersifat sebagai bronkodilator.
Halotan dan sevofluran merupakan ooat pilihan induksi
inhalasi yang paling smooth.Selama operasi harus
dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volume yang kecil-
sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari "air
trapping"
Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan
bullae dan hipertensi pulmanal.
Pengukuran kadar COz harus dilakukan sebelumnya
sebagai panduan dalam melakukan ventilasi selama
operasi.
Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth.
Ekstubasi pada saat anestesi dalam dapat menurunkan
resiko reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan terlebih
dahr rlr r ha hrva pei'nafasai'r
paSi€r r sudai, adeiiuai.
3. Manajemen Pascaoperasi
- lntubasi trakear dan ventirasi mekanik dipertimbangkan
untuk dilanjutkan pada operasi abdominar dan intratorakar
pada pasien yang sebelumnya (preoperative) didapatkan
hasil pemeriksaan pCOz > 50 mmHg dan FEVr/ FVC <
O,S.
- PaOz harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan paCOz
harus berada pada rentang yang mempertahankan pHa
7,35-7,45
- Lakukan maneuver untuk ekspansi vorume paru (bernafas
dalam, CPAP, spirometri insentif)
- Chest fisioterapi
Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxiai opioids,
blok interkostal, pCA)

Edukasi Manajemen anestesi mel iputi timdakan yang a ka n


{Hospital Health prornotion) dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan kom plikasi yang
berhubungan dengan penyakit pasien, piliha n alternatif
teknik anestesi, prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif

Frergnosis dubia

'?
ingB<at ,€videns
Tirrgkat Rekome rrdasi
Perrelaa*r Kritis SIUF ANESTESiOLOGI DAN TE RAPI INTENSIF

Indikator
Kepustakaan 1 Morgan and Mikhai I'S Clinical Anesthesiology 5th edition
Apr
22, 20 1 3 by John F Butterworth and David c. Mackey
2 Ha ndbook of Clin ical Anesthesia 7th Editi on Kindle Edition
by
Pa ul Ba rash (Author), Bruce F Cullen (Author), Robert
K.
Stoelting (Author), Michael Cahalan (Author) M Ch risti ne Stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May z, 2o1z
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschalr MD LLD
(honoris causa).
F
i I

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKTT dr. SUyOTO
Jl RC. Veteran N(,.178

PRO$EDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN ASMA


BRONKIAL
Pengertfra n ( Definisi) Asma merupakan penyakit kronis denga n karakteristik berupa
inflamasi dan h ipereaktifitas pada alan nafas (bronkus)
akibat
berbagai stim ul US ya ng mengakibatkan terjad inya
obstruksi aliran
udara ekspirasi yang reversibel.

Tuiuan Sebaga acuan dalam pelaksanaan tinda kan anestesi pada


pasien
dengan asma bronkia yang akan menjalani tindaka n pembedahan.

Anamnesis Pasien mengeluh sesak nafas disertai bunyi mengi ya


ng biasa nya
dicetuskan oleh sesuatu anta ra la in udara, debu,
stres, m aka nan
dan la in-lain. Gejala nonspesifik lainnya pada
bayi atau ana k keci
mu ngkin merupakan riwayat bronkitis beru la ng
bronchiolitis, ata u
pneumonia; batuk terus-menerus denga n pilek;
da n I atau croup
berulang atau dada berdera k

k Takipnoe
Penurunan saturasi oksigen
pada auskultasi didapatkan wheezing
retraksi intercostal

Kriteria Diagnosis kriteria diagnosis berdasarkan anam nesis, pemeriksaa


n fisik dan
pemeriksaan penunjang

Diag nosis Banding Bronkiektasis


Bronchiolitis
Penyakit paru obstruktif kronik (ppOK)
Gastroesophageal Reflux Disease
Gagaljantung
Benda asing dijalan nafas
Pediatrik Tracheomalacia
Sarkoidosis
lnfeksi Saluran pernapasan Atas
DisfungsiVokal Cord

Fe,rneriksaan Perrunjang Analisa gas darah


tes faal paru
pemeriksaan darah rutin
foto rontgen thoraks

Tata Laksana 1. MANAJE MEN PREOPE RATIF


Anamnesa yang harus dilakukan adalah tentang:
onset
terjadinya serangan, pencetus, riwayat dirawat
di rumah
sakit akibat asma, faktor alergi, batuk, sputum
(warna dan
karakteristiknya), terapi sebelumnya.
KcaClaan rran^ rh+',1.. : ..1^l.t'. ,l-r -,
, q. rV v}/tir
^^+;s^lI tAr ulltul\ \,Pt tdOr (,ter\itt duiltalt apabiia
dari pemeriksaan tidak didapatkan wheezing, batuk,
dan
sesak. Pada keadaan operasi emergensi harus diberikan
terapi yang agresif sebelumnya.\
Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme
atau daram kondisi kronik harus mendapatkan terapi
regimen bronkodilator yang optimal.Terapi yang
dapat
diberikan berupa p2-agonis dan glukokortikoid.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menirai
adanya
I air trapping (hiperinfrasi, diafragma datar, jantung
terrihat
i kecil, paru-paru hiperlusen).
I
I Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi
I
keaCaan klinis yang didapatkair.
Pemeriksaan AGD hanya dirakukan apabira
kita meragukan
I adekuasi ventilasi atau oksigenasi arterial.
sedasi preoperatif dapat diberikan terutama pacia pasien
I yang penyakitnya dipengaruhi oleh komponen
emosional.
I
Secara umum benzodiazepine memberikan
efek yang
I memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada pasien
i Hindari pemberian premedikasi dengan opioid, "rr".
I
antikolinergik, dan antagonis H-2. Antikorinergik
I
diberikan
i
apabila terdapat sekresi yang kentar atau
apabira akan
I
memakai ketamin sebagai obat induksi.
I
Hindari premedikasi dengan antagonis H_2
i karena akan
I
menyebabkan aktivitas H-1 rebih dominan
i
sehingga dapat
j
terladi bronkokonstriksi.
i

Terapi asma harus tetap diberikan sampai


menjeiang
operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka
panjang harus mendapatkan terapi supremen -
un-tuk
mengkompensasi supresi adrenal. Terapi suplemen
yang
dapat diberikan adarah hidrokortison 50-100 mg pada
saat
preoperatf atau dexamethasone 4 mg
Qa mg hidrokortison
setara dengan 0,7S mg
dexamethason) dan pada saat pascaoperasi
diberikan
hidrokortison 100 g
mg setiap jam selama 1-3 hari
berikutnya.
Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan
kristaroid untuk
menjaga hidrasi yang adekuat dan mengurangi
kekentalan
sekret.

2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Saat yang paling berbahaya pada pemberian
anestesi pada
pasien asma adarah pada saat akan
dirakukan tindakan
laringoskopi dan intubasi ETT pada jalan
nafas.
Pemilihan teknik anestesi umum dengan
memakai masker
atau regional anestesi akan mengatasi masalah
tetapi tetap tidak menghilangtan resito
di atas,
terjadinya serangan
bronkospame.
Target utama pada manajemen anestesi
umum adarah
induksi dan emergence yang smooth/
lancer.
Bronkospasme juga dapat dicetuskan
oleh stimulasi dalam
:

keadaan anestesi yang dangkal, nyeri,


emosional.
dan stress
.

Pastikan kedalaman anestesi telah tercapai sebelum


t
I dilakukan tindaka n: : larinaaclznni
l(1: l: iUUDr.UiJ: infr rhcci
il ilL-u-. .{a^
gq.. nlia. rl^
g..., rurdSi
E bedah.
B

E Hindari penggunaan obat-obatan yang menyebabkan


r
3
t
peiepasan histamine seperti: atrakurium, mivakurium,
E morfin, dan meperidin atau bila terpaksa digunakan berikan
E
dengan sangat pertahan.
t Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat induksi yang
E

relatif aman.
E

E
Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang
I
I mempunyai efek bronkodilator dan merupakan pilihan yang
baik pada pasien yang juga dalam keadaan hemodinamik
F

i
t!. yang tidak stabil. Jangan memberikan ketamin pada pasien
I
, elengan level teofilin yang tinggi karena lnteraksi kedua obat
i tersebut dapat memicu terjadinya kejang.
L
i Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat
i
ditumpulkan dengan sebelumnya memberikan tambahan
dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile 2-3
I mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v
1-2 mgi kg. Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau
i
i
glikopirolat 1 mg) dapat juga memblok reflek bronkospasme
i
kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.
Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi
inhalasi pada anak yang paling smooth. lsofluran dan
desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan
tetapitidak cocok ciigunakan untuk induksi inhalasi.
Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan
pasien asma karena mempunyai erer
ff#Hffi:i:r.rro, ]

Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai


maintenan anestesi, maka dosisnya harus ditingkatkan
secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada jalan
nafas.
Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin
dan B-agonis karena akan menyebabkan sensitisasi pada
jantung.
Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang
telah dihangatkan. Berikan tidal volume s 10 ml/ kg dengan
memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat
menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan
mencegah air trapping.
Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan
peak inspiratory pressure cian ekshalasi inkomplit.
Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan
tanda-tanda berpa wheezing, peningkatan peak pressure,
penurunan volume tidal ekshalasi, atau terdapat bentuk
peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.
Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme
intraoperatif adalah dengan mendalamkan anestesi dengan
meningkatkan konsentrasi volatile dan menghentikan
sementara tindakan operasi.
Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan meningkatkan
konsentrasi volatile maka harus disingkirkan kemungkinan-
]

kemungkinan lain sebelum memberikan obat,obatan yang


I

lebih spesifik.
Kemr rnoI kinan-klel.n ',nal-i^^.- .r*.-
uilYr\llldlr r^:..
adllt ydl19 vqPiar tlteltyg(,a DKAN
obstruksi jalan nafas, seperti: ETT yang tertekuk, sekret,
overinflasi balon, intubasi bronchial, edema paru,
emboli
paru, atau pneumotoraks.
Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan
B-agonis datam bentuk inhater atau metered dose metarui
jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan hidrokortison
i.v.
1,5-2 mglkg (dexamethasone) terutama pada pasien yang
sebelumnya telah mendapatkan terapi glukokortikoid.
Pemberian reversat pelemas otot dengan antikolinesterase
tidak akan menyebabkan bronkokonstriksi apabira disertai
dengan pemberian entikolinergik dengan dosis yang
tepat.
Lakukan ekstubasi darani (bila tidak ada kontraindikasi)
untuk mencegah terjadinya bronkokonstriksi saat pasien
bangun.
Untuk menumpurkan refrek jaran nafas saat ekstubasi
dapat
diberikan bolus ridokain 1,s-2 mgr kg atau dengan inius
kontinyu 1-2 mglmenit.

EdLrkaG Manajemen anestesi mel iputi timdakan ya ng akan


{Hospital Health promotion) dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan kompli kasi yang
berhubungan dengan penyakit pasien, pi lihan alternatif
teknik anestesi, prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif

Fretgnosis dubia

Eingkat iSvtdens
iRekomemdasi
r Fei14l666 Kritis SMF AN ESTESIOLOGI DAN TERAP] INTENSiF

f;ndikator

i
i
Kepulstakaan 1 Morg an and M ikhail's Clinical
5th edition Apr
22 201 3 by Joh n F Butterworth and David C. Mackey
2. Handbook of Clinical Anesthesia 7th Editio n, Kindle
Edition by
i Paul Barash (Author), Bruce F Cul len (Autho r) Robert K.
I

Stoelting (Author) Michael Cahalan (Author) M


:
Christine Stock
!

; (Author) Rafael Ortega (Author)


!
3 Stoelti ng's Anesthesia and Co-Existing Disease,
i May 2, 20 1 7
i by Roberta L Hines MD and Katherine Ma
rschall M D LLD
(honoris causa).
1

a
?,

E.
L
5.

B
E
E
E

I
G
E

I
i

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO
,Jl FlC. \/eteran Nc..178
Ei:rtaro
PIIOSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN OBESITAS

F**gertran { DefrnEsi} Overweighl dan obesitas dikl


massa tubuh (Body Mass lndexl BMI). overweight didefinisikan
apabita BMI > 24 kgl m2, obesitas bila BMI > 30, dan morbiri
ohesity bila BMI > 40. Resiko penyakit akan senrakin meningkat
dengan meningkatnya derajat obesitas.

Tlrirrtn*
Sebagai acuan dalam pelraksanaan tind akan anestesr pada pasien
dengan obesitas yang akan menjatani tindakan pembedahan.

Amamnesls Kelebihan lrerat badan

Femeriksaan Fisik

Kriterla Diagnosis Penilaian indeks massa tubuh (lMT) berdasarkan WHO

Derajat IMT (kg/m


1 (kelebihan berat badan) 25-29,9
2 (obesitas) 30-39,9
3 (obese berat atau morbid >40
obese)

Diagnosis akan berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang

Diagnos*s tsanding Mesomorphic body state


Edema anasarca

ElernenEk:saan Fer,unjang Tinggi badan


Berat badan
'flat,m
[-a$qsama 1 MANAJEMEN P TIF
Pasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi.
oleh karena itu pertimbangkan untuk diberikan premedikasi
dengan antagonis H2 dan metoklopramid.
Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat
menimbulkan depresi pernafasan harus dihindari pada
pasien yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia,
hiperkapnia, dan obstructive sleep apnoe.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid obesity harus
I difokuskan pada fungsi kardiopulmonal dengan didukung
I
perneriksaan penunjang foto toraks, EKG, AGD,
:.
i
dan tes
fungsi paru.
I
al
Tekanan darah harus diukur dengan manset yang
t
!
ll
berukuran tepat.
(
Perhatikan kemungkinan terdapatnya kesuritan
p
iaran nafas.
Dncion al,ra^i+'.
Jiesiit Li^^^.- .- .-.. .l J;l-1.. .l
I
Dlasai-,ya Sijiii
-..1:, ui-rii'ri. JiiaiiJKEr,
I
dikarenakan pergerakan sendi temporomandibula dan
atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas yang sempit,
dan pendeknya jarak antara mandibula dengan lemak di
sternum.

2" MANAJEMEN INTRAOPERATIF


- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai saat ini
tidak diketahui.
i
I
I
- Bila dilakukan anestesi umum, harus dipertimbangkan
l terdapatnya kesulitan ventilasi dengan masker dan intubasi
I

trakeal (timbunan lemak pada wajah dan pipi, leher pendek,


I
liCah besar, jaringan lunak palatai darr faring yang
I
j

l
berlebihan, dada yang besar).
i
Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya
aspirasi pulmonal.
Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi rnaka
sebaiknya intubasi dilakukan datam keadaan awake,
direkomendasikan dengan memakai bronkoskopi fiberoptik.
Pemakaian gas anestesi belum terbukti menyebabkan lama
bangun pada pasien meskipun pada operasi yang lama, hal
ini dikarenakan distribusi gas anestesi ke jaringan lemak
yang begitu lambat.
obat-obatan yang rarut daram remak (benzodiazepine,
opioid) diberikan dengan dasar berat badan aktual.
obat-obatan yang rarut daram air (nrisat; peremas otot)
diberikan dengan dosis berdasarkan berat badan idear
untuk menghindari kelebihan dosis.
Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen
inspirasi yang reratif tinggi untuk mencegah terjadinya
hipoksia, terutama bita pasien berada pada posisi litotomi,
trendelenburg, atau tengkurap.
Pemakaian abdominar pack yang diretakkan pada daerah
subdiafragma akan memperburuk ventirasi pasien oan
]

mengganggu venous return.


- Untuk meningkatkan oksigenasi dapat dirakukan dengan
memberikan pEEp saat ventitasi. Namun pemberian pEEp
pada pasien dengan morbid obesity dapat memperburuk
keadaan hipertensi purmonar bira didapatkan seberumnya.

3. MANAJEMEN PASGAOPERATTF
- Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.
-
:

Ekstubasiditakukan setelah tidak ada lagi efek dari pelemas


I
otot dan pasien sudah benar_benar bangun.
:.

I
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen
oksigen saat transportasi pasien ke ruang pemulihan.
i - Posisikan pasien setengah duduk (4s") untuk meningkatkan
i, ventilasi dan oksigenasi.
ts
* - Resiko terjadinya hipoksia dapat berrangsung serama
F beberapa hari pascaoperasi, oleh karenanya harus
tetap
B
B
x
dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di
ruangan/HCU.
I
I
II &idrllqasH Manajemen anestesi melipufi timdakan yang
t akan
{Flcrspitai l-lealth l:)romotion} dilakukan, indikasi tindakan, ris iko dan komplikasi
I yang
F
T herhr rhr tnfl2n rlenoan nanrraki{ nacia^ ailiha^
. al{^--
s.re, ^+;r
r rClttt
I
I tei<nik anestesi, prognosis.
I
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
I
Puasa pre operatit
Frognosis dubia

T'rrgkat Evidens
Tiirgkat Rekomenclasi
P+meiaah Kritis SMF ANESTESI OLOGI DAN TE RAPI INTENSIF
ndikatci
I

Ke'pustakaan 1 M org an and Mi khai I'S Clinical Anesthes iolog


v 5th ed ition Apr
22 20 1 3 by John F Butterworth a nd David c Mackey
2. H an dbook of Clinical Anesthesia 7th Edition,
Kindle Ed ition by
Paul Barash (Autho r) Bruce F C ullen (Author)
Robert K.
Stoelting (Author) M ichael Ca hala n (Author) M Christine
Stock
I (Author) Rafael Ortega (Author).
I

i
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May 2, 2017
I

1
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschail MD LLD
I
L_,_ (honoris causa).
!
I
t
I
I
r PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
I
TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKTT dr. SUyOTO
.ll. RC. Vcteran No 179
Bintaro 1 73884 000
,)ROSEI)I.'R ANESTESI
PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS

Pe l rgerti;rn ( Defir risi) Diabetes mel litus merupakan penyakit endokrin dimana
terjadi
gangguan metabolisme yang clisebabkan oreh
defisiens i insulin
absolut maupun relatif atau gangguan pada respclnsivitas
insulin
yang meninrburkan keadaan hipergrikemia
dan grukosuria

Tuj,l.aarn
Se bag at acua n dralam pelaksa naa n tindaka n anestesi pacia
pas ien
i
dengan diabetes yang akan me njala ni tindakan pem
i

I
bedahan
i
I /\namnes.iis Gejala klasik berupa pol iu ria pol idipsia, polifagia dan
pen urunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa lemah bada n, kesem
utan, gatal
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus
VU lvae pada wanita

Pet qeriks:aan Fisi i Dilakukan peng ukuran tinggi badan, berat badan,
dan lingkar
pinggang
- Pengukuran tekanan darah, menirai ada tidaknya hipotensi
' orthostatik, termasuk menilai ABr (Ankre brachial index),
untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah tepi
- Pemeriksaanfunduskopi
- Pemeriksaan jantung
- Evaluasi nadi, baik secara parpasi maupun dengan stetoskop
- Pemeriksaan kulit dan neurologis

I
I

I
Pemeriksaan ini untuk menilai ada tidaknya kompriklasi yang
I
ditimbulkan akibat DM, bisa normar ataupun terdapat gangguan
I
I
Kri;:eria []iagnosir; Diagnosis ditegakkan melaluitiga cara
1. Keluhan klasik disertai pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 nrg/dl
2' Pemeriksaan grukosa prasma puasa > 126 mg/dl dengan
adanya keluhan klasik
3. Tes toleransiglukosa orat (TIGO) 140_199 mg/dl

llia1gnosis Bandiiig prediabetes

[]et*erikr;aan Per ur'rjang Glukosa plasma


l

I HbAlc
I
I

I *.__..
T'ata i..arisana
-l
1. MANA.IEMEN PRFOPFRATItr
I
Level Hemoglobin Ar" akan mernbantu untuk
mengidentifikasi pasien dengan resiko terbesar untuk
I
rerJadtnya htpergtikemia perioperatif sehingga akan
meningkatkan komplikasi dan memperbu ruk outcome.
Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik berhubungan
dengan kerusakan end-organ preoperative akibat
komplikasi DM. oreh karenanya tentukan gangguan target
organ preoperatif.
Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru,
kardiovaskular, dan system renal.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya
kemungkinan pembesaran janturrg, liongest! pernbulutr
darah paru, atau efusi pleura.
Lakukan pemeriksaan EKG. pada pasien ctiabetes terjadi
peningkatan abnormalitas pada ST-segmen dan gelombang
T. Lakukan evaruasi apakah terdapat tanda iskemia
myocardia! walaupun dari anamnesa tidak didapatkan
riwayat hal ini dikarenakan terdapat resiko terjadinya silent
myocardial ischemia/ infarct.
Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai SOo/o
kemungkinan untuk terjadinya neuropati otonom.
Tanda-tanda neuropati otonom adarah: hipertensi, painress
myocardial ischemia, hipotensi ortostatik, hilangnya
variabilitas denyut jantung (variabilitas denyut
lantung faoa
orang normal pada saat bernafas dalam/ 6x permenit
adalah lebih dari 10 denyuu menit), resting takikardia,
neurogenic bladder, tidak berkeringat, impotensi.
Neuropati otonom akan membatasi kemampuan
kompensasi jantung terhadap perubahan volume
intravascular dan merupakan factor predisposisi instabilitas
hemodinamik (hipotensi post induksi) dan dapat
menyebabkan kematian mendadak. lnsiden akan meningkat
dengan pemakaian ACE inhibitor. f

Neuropati otonom juga akan memperlambat pengosongan


lambung. Oleh karenanya berikan premedikasi dengan
antacid non partikulat dan metokropramid pada pasien
dengan tanda neuropati otonom.
Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan proteinuria dan
diikuti peningkatan serum kreatinin.
Perhatikan tanda-tanda limited-mobility joint syndrome yang
terjadi akibat glikosirasi protein jaringan pada keadaan
hiperglikemia kronik.Lakukan evaruasi rutin terhadap
gerakan sendi temporomandibular dan mobilitas servikal
untuk mengantisipasi kesulitan intubasi.
Penrakaian obat-obat anti hipergrikemik orar dapat terus
diberikan sampai hari operasi, KECUALT surfonyrurea dan
metformin yang memilikiwaktu paruh yang panjang.
sulfonilurea dan metformin harus dihentikan zA-4g jam
sebelum pembedahan, dan dapat diberikan lagi
pascaoperasi setelah pasien boleh minum dan
telah
dipa stikan fungsiginjal dan hati yang adekuat.
Pe rlu diperhatikan pula bahwa pada pasien
dengan
penurunan fungsi ginjal akan terjadi peman
fangan efek obat
antihi perglikemia oral dengan masa kerja yang
singkat.
I lVlanaicmen
')- - nrrla
a'''
darah nrannora{if
f . r Jy'v. q.t, ^a,.1-
p(ruq
naai^-
tJd>l(,r , J dt ty
mendapatkan terapi insulin dilakukan dengan memberikan
setengah dari dosis insulin (intermediate acting) yang
:1
seharusnya diberikan pada pagi hari menjelang operasi.
:
l..lntuk mengurangi kenrungkinan terjadinya hipoglikemia,
maka pemberian insulin dapat diberikan setelah dilakukan
i
pemasangan jalur intravena dengan pemberian
i
cairan
dekstrosa 5% (1,s mr/ kg/ jam) dan pemeriksaan kadar gura
I

darah pagi.

:
2" MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target utama dari pengeroraan gura darah adarah
mengnincar! keadaan hipoglikemia. Keadaaii
hiperglikerni
sendiri berhubungan dengan hiperosmoraritas, infeksi,
gangguan penyembuhan luka dan dapat memperburuk
fungsi neurologis.
- Hiperglikemia yang terjadi intraoperatif rJikoreksi dengan
memberikan regular insulin intravena dengan metode sliding
scale atau dengan infuse kontinyu.
- Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah dapat
mengkontrol kadar gula darah yang lebih presisi.
- lnfus insulin kontinyu dimurai dengan dosis 0,1 u/ kg/jam.
Penyesuaian dosis berikutnya mengikuti formura sebagai
berikut:
- Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dl)/1S0.
- Target kadar gura darah intraoperatif adarah 120-150 mg/
dL
Untuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia karena
perpindahan kalium kedalam intrasel akibat pemberian
insulin maka harus diberikan tambahan 20 mEq KCL untuk
setiap liter cairan.
Teknik manajemen gula darah perioperatif:
Pemberian Bolus lnfus Kontinyu
Preoperatif Ds!\/ (1,5 ml/ kg/ DsW {1mll kg/
jam) jam)
NPH insulin Regular insulin:
(setengah dosis Unit/jam= Glukosa
pagi) plasma/ 150
lntraoperatif Regular insulin preoperatif
(sliding scale)
Pascaoperatif Regular insulin = preoperatif
(sliding scale)

3. IIANAJEIIfIEN PASCAOPERATIF
- Monitoring gula darah harus dilanjutkan post operatif karena
terdapat variasi individual dari onset dan duration of action
dari insulin (regurar dan NpH), selain itu dapat terjado
progresi dari stress hiperglikemia saat periode pemutihan.
- Apabila durante operasi diberi banyak Ringer Lactate (RL)
gula darah biasanya akan naik z4-4gjam postoperatif
saat
hepar mengkonversi laktat menjadi glukosa.
I rar:kteristi? Car !:,ila'.,aibi!ltas dari i:su!::
t
I lnsulin type Onset Peak Duration
I action
Short acting Lispro 10-20 30-90 4-6 hr
Regular, min min 5-7 hr
Actrapid, 15-30 1-3 hr 12-16 hr
Velosulin min 4-6 hr
Semilente, 30-60
Semitard min
I
lntermediate Lente, 2-4 hr 8-1 0 18-24 hr
I

I
I
Lentard, hr
,
NPH,
MorrotarcJ
;
Long Acting Ultralente, 4-5 hr 8-12 25-36 hr
I

Ultratard, hr
PZI
I

Eetukasi Ma naj eme n a nestes


I

i
meli puti timdaka n ya ng aka n
i
{Hospital Health Promotion} dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang
I
I berhubungan dengan penyakit pasien, pilihan a Iternatif
i teknik anestesi, prognosis.
I
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
I
I

i Puasa pre operatif


!

$itrq'rosls Cubia
:

, Tingkat rEvidens
I
Iingkat itekomendasi
i

I r Fenelaair Kritis SIVIF ANESTESI OLOGI DAN TERAPI INTENSIF


I
,lni*lxatoi:

Kepustakaan 1. Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology, Sth edition Apr


22,2013 by John F. Butterworth and David C. Mackey
2. Handbook of Clinical Arresthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michaelcahalan (Author), M. christine stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May 2, 2017
by Roberta L" Hines MD and Katherine Marschall MD LLD
(henoris causa).
I i

I
E i
I

I
I PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
I

TATALAKSANA KASUS
I
I
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
I
i
RUMAH SAKIT dr. SUyOTO
.)i l!{t \ eteran Nr.llrg
r.)ir-i-i 7388 {(i00
I
PR.).SEDTIR ANESTESI PADA PASTEN DENGAN HIPERTIROID

Pengert,an ( Defrnisi) Hipertiroid merupaka n suatu keadaan disfungsi ke lenjar


tiroid
dengan produksi hormone triioclotironin (T3) dan atau tiroksin (r4)
yang berlebihan. Hormon tiroid menyebabkan peningkatan
metabolisnre karbohidrat dan lemak yang sangat berperanan
dalam
kecepata n pertumbuhan dan metabolism. peningkatan metabolism
akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi
co2 yang secara tidak langsung meningkatkan ventilasi se menit,
denyut jantung, kontraktilitas, dan produksi panas/energi

Tu.iuan Sebagai acuan dalam pelaksa naa n tinda ka n anestesi pad a pasien
I
denga n h ipertiroid yang a kan menjalan tindakan pem bedahan

iAn arnResis 1. Riwayat penyakit sekarang: apakah pasien merasakan


gejala sebagai berikut?
- lntoleransiterhadappanas
- Keringat berlebih
- Berat badan berkurang
" Nafsu makan meningkat
- Lelah
- Gemetar
- Diare
Kelemahan/ atrofi otot
2. Riwayat penyakit dahulu:
- Apakah pasien mengidap penyakit hipertiroid
sebelumnya?
3. Riwayat penyakit keluarga
- Adakah riwayat penyakit serupa/tiroid dalam
keluarga?

.Pelnerik.*aan Fis,k 1. Umum: Berat badan turun, keletihan, apatis, berkeringat


(intoleransi pa nas), dan tidak tahan panrAS
2. Kardiovaskuler: palpitasi, sessk nafas, angina, gagal
jantung, sinustakikardi, fibrirasi atrium(getaran), nadi
kolaps.
3. Neuromuskular: Gugup, gelisah, agitasi, tremor,
koreoatetosis, psikosis, keremahan otot, secara emosional
mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel dan terus
menerus merasa khawatir, serta tidak dapat duduk diam,
insomnia pada wanita terjadi amenorea (berhentinya
menstruasi)
4 Gastrointestinal: penderita mengalami peningkatan selera
makan dan konsumsi makanan, penurunan berat badan
yang progresif, kelelahan oto yang abnorrnal, perubahan
defekasi dengan konstipasi atau diare, serta muntah.
5 Reproduksi: Oligomenorea, infertilitas
6 Kulit: warna kulit penderita biasanva aoak kemarahan
r (flushinq) denqan warnah salmon vano khas dan eenderr rnn
terasa hangat, lunak serta basah. Namun demikian, pasien
yang berusia lanjut mungkin kulitnya agak kering, tangan
:
gerrretarFruritus, eritema Faimaris, mixseoema pretibial,
rambut tipis.
7. Struma: Difus dengan/tanpa bising, nodosa
8. Mata: lakrimasi meningkat, kemosis (edeme konjungtiva),
proptosis, ulserasi kornea, optalmoplegia, diplobia, edema
pupil, penglihatan kabur.

Krlterla 0lagnosis Kriteria diagnosis berdasarkan anamnesis, penteriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

Diagno,sis Banding 1. Toxic Nodular Goiter


2. Goiter Diffuse Toxic
3. Thyroid Papillary Carcinoma
4. Macro and Micro Pituitary Adenonra
5. Penyakit Grave's

!)elnerikrraan Per unjang 1. Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4),
TSH, dan TRH.
2. Serum TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
3. FreeT4 (tiroksin)
4. FreeT3(triiodotironin)
5. Ultrasound untuk memastikan pembesaran kelenjar tiroid
6. Kadar lentak serum
7. Pemeriksaan Glukosa darah
Tai;m l-aksana 1" MANAJEMEN PREOPERATIF
Semua prosedur operasi elektif harus ditunda sampai
gejalagejala klinis terjadi perbaikan dan pasien harus
dalam keadaan eutiroid dengan terapi medikamentosa.
I

Pada pemeriksaan preoperatif harus dipastikan keadaan


eutiroid dengan tes fungsi tiroid (T3-T4-TSH) yang normal
dan direkomendasikan laju nadi dalam keadaan istirahat
<100 x/menit.
Terapi antitiroid dan antagonis F tetap diteruskan sampai
saat pagi menjelang operasi.
Pada keadaan emergensi pasien dapat dioptirnalisasi dalam
waktu kurang dari 1 jam dengan mengkontrol keadaan
sirkulasi yang hiperdinamik menggunakan infus esmolol
secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/kg/menit atau
dengan propanolol dengan target laju nadi <100x/ menit.
Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi jalan
nafas bagian atas.
Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah dengan obat
golongan benzodiazepine.
Hinclari obat antikolinergik sebagi premedikasi.

2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat
memberikan keuntungan yang sangat besar karena dapat
memblokade system saraf simpatis/stress response.
- Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-obatan
induksi yang mempunyai efek minimal terhada p
I- lt.arCio,:as?.u!a:'. Tiopert:l :e:'-.:palt Jran , -;l:L--
Fr.r, .e..
..--^.
J o. ry
I. -r- .f
rgr l/dtA
karena mempunyai efek antitiroid pada dosis besar.
Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan obat-obatan
yang dapat menstimulasi system saraf simpatis karena
dapat menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan
darah.
Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah tercapai
sebelum melakukan laringoskopi/ intubasi atau saat
stimulasi pembedahan untuk menghindari terjadinyaq
takikardia, hipertensi, dan aritmia ventrikel.
Pastikan pasien dalam keadaan normovorum seberum
induksi karena pasien-pasien hipertiroid biasanya dalam
keaCaan hlpovolemik kronis iJengai-r sirkuasi yang
cenderung mengalami vasodilatasi.
Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan isofluran,
desfluran, atau sevofluran dengan N2O.
Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan
anestetik.
Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi kardiovaskular
dan suhu tubuh untuk mengetahui tanda-tanda badai
tiroid/thyroid storm.
Lindungi mata pasien serama operasi dengan baik, karena
keadaan eksoptarmrs akan meningkatkan resiko terjadinya
abrasi dan ulkus kornea.

3. KRISIS TIROID/ THYROTD STORM dan


PENATALAKSANAANNYA
Krisis tiroid merupaka keadaan emergensi medikar yang
menrerlukan manajemen dan monitoring yang agresif.
Tanda dari krisis tiroid adalah munculnya gejala_gejala
hipertiroid secara tibatiba akibat pelepasan hormon T3 dan
T4 secara mendadak.
Tanda{anda yang cJidapatkan berupa: takikardia,
hipertermia, agitasi/delirium/ koma, kelemahan oto sketetal,
gagal jantung kongestif, dehidrasi, syok.
Krisis tiroid dapat terjadi pada periode intraoperatif akan
tetapi paling sering terjadi pada saat 6-24 jam pascaoperasi.
Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperatif sangat mirip
dengan malignant hyperthermia, yang membedakannya
adalah pada malignant hyperthermia terjadi rigiditas otot,
peningkatan kreatinin l.:inase, dan asidosis respiratoriU
metabolik yang berat.
Penatalaksanaan krisis tiroid adalah dengan hidrasi dan
pendinginan dengan menggunakan cairan infus yang dingin,
infus kontinyu esmolol atau propanolol (dosis incremental
dimulai dengan 0,5 mg sampai laju nadi < 100/ menit), pTU
(250-500 mg tiap 6 janr secara oral atau melalui NGT),
sodium ioclide (19 dalam 12 jam), dan lakukan koreksi
terhadap faktor pencetus.
Pemberian kortisol 100-200 mg tiap g
jam
direkomendasikan untuk mencegah timbulnya komplikasi
akibat supresi kelenjar aclrenal.

4. MAJEMEN PASCAOPERATIF
Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis tiroid paling
tirlalr selama 24 iam hal ini rlika ranakan lzr;elg !i11if 9rlr lV
f^elinn
sering terjadi pada periode 6-24jam pascaoperasi.
Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi
rrroroeKtomt suototal, yattu:
1. Kerusakan neryus laryngeus recurrent; bira uniraterar
ditandai dengan paralisis pita suara. dan suara
serak, bilateral ditandai dengan paralisis pita suara,
afonia dan stridor (obstruksijalan nafas). Fungsi pita
suara dapat segera dinilai dengan laringoskopi
segera setelah dilakukan ekstubasi dalam.
Kegagalan 1 atau kedua pita suara untuk bergerak
memerlukan tindakan intubasi untuk membebaskan
jalan nafas"
1)-. Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher;
keadaan ini menimbulkan hematom yang dapat
menimbulkan gangguan jalan nafas akibat kompresi
pada trakeal. Tindakan yang dilakukan adalah
dengan sesegera mungkin membuka kembali luka
insisi untk evakuasi bekuan darah.
3. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah diperlukan
tindakan intubasi.
4, Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid
yang tidak sengaja terangkat. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut yang
terjadi dalam 12-72 jam.
5. Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak sengaja
saat dilakukannya eksplorasi pada daerah leher.
Segera lakukan pemasangan CTTuntuk
mengatasinya.
fri. Hipotiroidpermanen.

[€drrk*lsi I Manajemen anestesi meliputi timdakan yang akan


I

i Fli.,sprita, l{ealtlt i )rornotijor!} dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang
berhubungan dengan penyakit pasien, pilihan alternatif
teknik anestesi, prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif

Prt:gnosis

Ting-xii}*ioens
'f inrgkat ttekomerrdasi
t*_*_.-.-_*
Perrelaa[,r Kritis SMF ANESTESIOLOGl DAN TERAPI INTENSIF

rnriikato,

:KeirrrstaL{aan 1 Morgan and Mikhail's Clinical Anesthes iology, Sth edition Apr
22,2013 by John F. Butterworth and David C. Mackey.
2. Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michael cahalan (Author), M. christine stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, 2017
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall IvlD LLD
(honoris causa).
PANEUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
-,'-,&;' ;tl: 'I'ATALT\KSANA KASUS
, ,u.,'a ' ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUyOTO
,ll f{C Vtteran No 17B
Llir'i;* i"r: 1 73881 000

FR,J$EDLIR AhIESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPOTIROID


g7erti,,**r ( Befinisi) Hipotiroid merupakan d isfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan
penurunan produksi hormone tiroid 13 dan atau T4. Hipotiroid
dapat disebabkan primer oleh penyakit autoimun, tiroidektomi,
pennakaian iodine radioaktif, medikasi dengan antitiroid, defisiensi
icdine, atau sekunder akibat kegagaian hypothalamic-pituitary axis.

Tulxaxr Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan hipotiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan

Anamncssis 1. Riwayat penyakit sekarang: apakah pasien merasakan


gejala sebagai berikut?
lntoleransi terdhadap dingin
Keringat berkurang
Berat badan bertambah
Kehilangan raba rasa pada anggota gerak
Sulit buang air besar/konstipasi
Kulit kering
Kulit kasar
Mata sembap
Pergerakan lambat
Suara serak
Pendengaran terganggu

2" Riwayat penyakit dahutu:


- Apakah pasien mengidap penyakit hipotiroid sebetumnya?
- Apakah ada riwayat hiperkolesterolemia
- Apakah pernah menjalani terapi radioiodine (untuk
tirotoksikosis)
- Apakah memiliki riwayat kerainan endokri/autoirnun rain?
3. Riwayat penggunaan obat
- Apakah pasien menggunakan tiroksin?
- Apakah pasien menggunakan amiodaron?
4. Riwayat penyakit keluarga
- Adakah riwayat penyakit serupa/tiroicJ dalam ke!uarga?

[]*rmerikxsaan Fisik I Apakah ditemukan struma?


2 Apakah pasien mengalami:
- Bicara lambat?
- Rambut kasar?
- Gerak letargik?
- Edema wajah?
- Bradikardia?
- Suara serak?
- CarpalTunnel Syndrome?
Anemia?
Kerontokan rambut di kulit kepala atau alis?
Efusi peilkardia/pleura?
tciema perifer'/
Reflex relaksasi yang lambat?

l(riteria []iag nosi,,; Kriteria diagnosis berdasarkan anamnesir s, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang

[]iagnos:s tsandi:rg a Penyakit Addison


e Penyakit tiroid akibat keharnilan
a Chronic Fatigue Syndrome (CFS)
a Chronic Megacolon
a Konstipasi
a De Quervain Thyroiditis
a Euthyroid Sick Syndrome
a Familial Hypercholesterolemia
a Goiter
a Hypoalbuminemia
o lllness Anxiety Disorder (formerly Hypochondriasis)
a Hypopituitarism (Panhypopituitarism)
a Hypothermia
a lleus
a Epstein-Barr Virus (EBV) rnfectious Mononucreosis
(Mono)
a Syndrome of lnappropriate Antidiuretic Hormone
Secretion

[)erneri ksiaan Fer unjang Thyroid-stimulating hormone (TSH)


T4 (thyroxine)
'li"aL
;,; I..Ak *i;lrna 1" MANAJE MEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan keadaan
hipotiroid berat (T4 < 1 mg/ dl) atau koma myxedema harus
ditunda.
Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mgl dL) atau koma
myxedema yang akan nrenjalani operasi emergensi harus
mendapatkan terapi dengan hormone tiroid terlebih dahulu
sebelum operasi.
Keadaan preoperatif yang ideal adalah pasien dalam
keadaan eutiroid, tetapi keadaan hipotiroid ringan-sedang
bukan merupakan kontraindikasi absolute untuk oiiakukan
operasi.
Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat
hipotiroid.
Berikan terapi pengganti hormon tiroi<l urrtuk mencapai
keadaan eutiroid pada saat operasi.
Berikan korlisol suplemen sebagai medikasi preoperatif.
Pada keadaan hipotiroicl pasien sangat sensitif terhadap
obat-obatan sedasi yang dapat menimbulkan depresi jalan
nafas dan pada kearjaan ini mereka tidak mampu
mengkompensasi hipoksia dengan meningkatkan ventilasi
semenit. Biasanya pada pasien hipotiroid ticlak memerlukan
sedasi preoperatif.
I Rerikan nremedikasi
l'
rlc ng?n antannnis hict3rning l{ ? da::
I
metoklopramid karena p;ada pasien ini terjadi perlambatan
pengosongan lambung.
- Pasren yang mendapatkan terapi tiroid harus tetap diberikan
sampai saat pagi menjelang operasi.
2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- obat pilihan untuk induksi adalah dengan ketamin, hal ini
dikarenakan pasien dengan hipotiroid sangat rentan
terhadap efek hipotensi dari obat anestesi akibat dari
penurunan cardiac output, reflek baroreseptor yang
tidak
responsif, dan penurunan volume intravaskular.
- Evaluasi semua permasarahan yang mungkin ada akibat
hinntiroid
"l- _' _ /nnin. nn
.tv.v, R\

- Pada keadaan hipotensi yang refrakter pertimbangkan


kemungkinan terjadinya insufisiensi adrenar dan gagar
jantung kongestif.
" Kemungkinan terdapat kesulitan intibasi dikarenakan ridah
yang besar.
- Pemeliharaan anestesi crapat diberikan inhatasi, N2o, dan
bila diperlukan diberikan opioid kerya singkat,
benzodiazepine, atau kel.amin.
- Lakukan pemantauan terhadap kemungkinan depresi
kardiovaskurar dan hipotermi (naikkan temperatu kama
operasi, pakai serimut penghangat, berikan cairan infus
yang hangat).
a MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Proses pemulihan dari anestesi umum dapat menjadi
lambat akibat keadaan hipotermi, depresi nafas, atau
metabolism obat yang lambat. pada keadaan irri sering kali
terjadi memanjangnya ventirasi mekanik yang diberikan.
- Pasien harus tetap terintubasi sampai bangun
normotermi. - dan
]

Pilihan obat untuk manajemen nyeri adarah obat gorongan


non-opioid (misal ketorolak) dikarenakan pasien sensitif
terhadap efek depresi nafas dari obat yang diberikan
ildr:rkasi
li{+",siti;iF$a F{ealth irromotlon}
Prcrgmos js
'fingkat !:vEdens
Tlmgkat i{ekomer.rdasi
Penelaah Kritis SMF ANESTESIOT OGI DAN TERAPI INTENSIF

: inriikateei

1l{r;;trrn*(;tri166p 1. Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology, Sth edition Apr


22,2013 by John F. Butterworth and David C Mackey
?. Handbook of Clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Brur:e F. Cullen (Author), Robert K.
Stoelting (Author), Michael Cahalan (Author), M. Christine Stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May 2, zoll
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschail MD LLD
(honoris causa).
i
I

PANNLJAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


I
TATALAKSf\NA KASiiS
ANESTE$IOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dT. SUYOTO
.Jl f{f:. Vs.rterun No.178
,qirtiirq_(!?-l U

,PEfl-AYANAN ANESTES! PADA LAPARASKOPI

$,er:ger8i;*m { Defir lisi} Anestesi pada laparaskopi adala h pemberi an tindakan anestesi
pada prosedur minnimally invasive yang menggunakan endoskopi
melalui akses rongga peritoneal dengan menggunakan gas (co2)
untuk menciptakan ruang antara dinding abdomen dan viscera.

-l'uluaa"r
i
Sebaga acuan dalam memberikan tindakan anestesi pada
prosedur laparaskopi

/rtfi,;,{ffilmgf;ES 1 Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang


menderita
2. Riwayat pemakaian obat yang telah atau sedang digunakan
yang mungkin
berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya;
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik,
antibiotika golongan aminoglikosida, digitalis, diuretika,
transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin oksidase
dan bronkodilator.
3" Riwayat operasi/anestesia terdahulu, seperti: apakah pasien
mengalami
komplikasi anestesia.
4. Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman
keras (alkohol),
pernakai obat-obatan terlarang (sedatif dan narrkotik).
5. Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain.

$lermerikrsaam Fisf k Sesuai dengan penyakit yang mendasari ti ndakan laparaskopi

it rrilerr-cffi [ tlagnosi * Sesuai dengan penyakit yang mendasari tindakan laparaskopi

lls". g8rr?ffisig, Baeldirig Sesua i dengan penyakit yang mendasaritindakan laparaskopi


lserxlerik,*aam Fer unjang Sesuai dengan penyakit yang mendasari tindakan laparaskopi

Yaa* fi-aksqffia PERSIAPAhI PRA.BEDAH:


- Lakukan kunjungan pre-operatif (lihat pedoman pelayanan
dasar anestesi/ kunjungan preoperative H-2 dan l"l-1)
- Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah pemeriksaan
darah rutin, urinalisis, factor koagulasi, elekrolit, fungsi ginjal.
Pemeriksaan EKG, foto toraks dan Tes fungsi paru (sesuai
indikasi)
- lnformed consent tentang prosedur anestesi yang akan
dilakukan, keuntungan dan kerugian yang mungkin terjadi, dan
pasien harus diberitahukan bahwa selalu terdapat kemungkinan
prosedur operasi dirubah menjadi operasi terbuka apabila
selama operasi terdapat indikasi untuk dilakuka prosedur
F oembedahan terbuka. I

r Sebelurrr menyetujui untuk dilakukan tindakan laparoskopi,


harus di analisa bahwa pasien tidak merupakan kontra indikasi
ui rtuk riiiakukar r iaparoskopi.
Kontra indikasi laparoskopi atau sebaiknya dihindari pada
keadaan:
3 Koagulopati
a Hernia diafragmatika
o Penyakit kardiovaskular berat
I a Penyakit paru berat
It a Peningkatan tekanan intracranial
I a Gangguan fungsi ginjal
f n:--"--,-_,
i
l.(iwdyat uperasi besar aiiru periengketan
I
sebelumnya
I
Morbid obesity
r
Sickle cell disease
h
Peritonitis
I
I
I
Massa intra abdomen yang besar
Shock hipovolemik
I Pasien dengan VP shunt
t
Pasien menolak
Peralatan monitoring yang dibutuhkan: EKG, NlBp, pulse
t oksimeti"i, kapnograf.
Persiapan alat dan obat (lihat pedoman persiapan Sebelum
i
Tindakan Anestesi).
i
I

i TEKNIK Ah$ESTESI
I
!
E
E
t
- Teknik anestesi yang menjatli pilihan pada taparoskopi adalah
teknik anestesi umum rlengan intubasi menggunakan
I endotracheal cuff dengan balon, dan dilakukan ventilasi control
t
dengan tekanan positif.
t
- Hampir semua kombinasi obat anestesi (hipnotik, analgetik, dan
relaksan) dapat diberikan, tetapi gas Halotan sebaiknya
i
I
t dihindari karena dapat menyebabkan aritmia dengan adanya
hiperkarbia.
I
I
- Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kondisi masing-
masing pasien.
I - Gas N20 dapat diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari
i 50o/o
I

i
- Setelah dilakukan induksi dan intubasi dilakukan pemasangan
NGT dan kateter urin untuk dekompresi.
.' Pada saat insersi Veress needle dan kanula pasien diposisikan
trendelenburg
I
- Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan prosedur operasi
yang akan dijalani.
I
- Perhatikan tandatanda vital pasien pada saat dilakukan
I
insuflasi gas co2 terhadap kemungkinan vagal reflek akibat
I
peregangan peritoneum
- Apabila terjadivagal reflek berikan obat vagolitik
- Tekanan intra abdominal saat insuflasi dibatasi tidak lebih dari
15 mmHg untuk mengurangi perubahan fisiologi akibat
pneumoperitoneum
- Durante operasi dilakukan monitoring terhadap tekanan darah,
laju nadi, saturasi, diuresis, E:KG, dan end tidar co2. Disamping
monitoring mekanik harus dilakukan pula monitoring visual dan
l--- laftit cfenoan-me-nlf al
r,lrarna r<r,rit ti trnnr kr rlit nanillanr
tt
rt:.(i ill
edema pada konjungtriva dan kornea akibat posisi, emfisema
sub kutan pada dada.
Femeriksaan ini harus oiiaruran secara perrodik karena selama
laparoskopi dapat terjadi perubahan yang mendadak.
Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi dan perpindahan
cairan yang besar ke ruang ketiga, sehingga pemberian cairan
pengganti dibatasi dengan pemberian RL 2,S_4 ml/kgbb/jam
ditambah dengan cairan mairrtenan.
$elanra operasi harus dipantau tanda-tancia adanya komplikasi
emboli dan pneumotoraks.
Berikan profilaksis terhadap PONV.
Dokter anestesi harus memutuskan untuk dilakr.rkan konversi
tindakan laparoskopi menjadi laparotomi apabila durante
operasi terjadi perdarahan yang sulit untuk di ertasi, perforasi
organ, prosedur yang telah berlangsung terlalu lama, keadaan
pasien yang memburuk, dan adanya penyakit lain yang tidak
diperkirakan sebelumnya.

EdrrkasI Manajemen anestesi meliputi timdakan yang akan


(Hospitai Health []romotion] dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang
berhubungan dengan penyakit pasien, pilihan alternatif
teknik anestesi, prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif
Pr+,ginr}s,,$

rHr',gkat l,ivideirs

it ngkat frtekomer dasc


Pelteiaal Kritis SMF ANESTES IOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

lndikatsr

KeDLsstakaan 1. Morgan and Mikhai I's Clinical Anesthesiology , Sth edition Apr
22,2013 by John F. Butterworth and David C. Mackey.
2" Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michael cahalan (Author), M. christine stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, ZOll
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall MD LLD
I

l (honoris causa).
.-..-_L___

Anda mungkin juga menyukai