RUMAH SAKITdT.IIUYOTO
2018
F'TJSAT RB}IABILITI.SI KEMENTERIAN PERTAHANAN RI
RUMAH SAKIT dr. SUYOTO
TENTANG
Menimbang l. [iahwa Rumah Sakit dr. Suyoto selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan dan harapan masyarakat.
2 fiahwa dalam memberikan pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit. dr. Suyoto
Fusrehab Kemhan perlu adanya Panduan Praktik Klinis Anestesiologi Dan Terapi
I'rtensif RS dr. Suyoto Pusrehab Kemhan sebagai landasan bagi penyelenggaraan
pelayanan kepada pasien di RS dr. Suyoto pusrehab Kemhan.
7. Pt:raturan Menteri Pertahanan Nomor 3 tahun 2018 tentang Susunan dan Tata
K:rja .labatan Fungsional Tertentu dan .Iabatan Fungsional llmum Rumah Sakit
Kelas B clr. Suyoto Kementerian pertahanan.
MEMUTUSKAN
KEDI IA Apabila dikernudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalarn keputusan ini, maka
a kan d i ad.rkan pernbetulan sebagai mana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Nopernber 2018
-
Sp.RM
Kr:lonel Ckm Nrp33439
DAFTAR ISI
i' Fanduan Praldk Klinis Manajemen Anastesi Pada Transurethral Resection Of The prostate
(TURP) atas indikasi BpH
2' Panduan Pral':tik Klinis Manajemen Anestesi Pada Lparatomi Eksplorasi atas indikasi
Peritonitis Drfuse ec Appendisitis perforasi
3' Panduan Pralctik linis Manajemen Anestesi pada Sectio Caesaria atas indikasi
Gavrat Janin
4' Panduan Pral*ik klinis Manajemen Anastesi pada Total Tiroidektomi
atas indikasi Struma
Noclusa Non Toksik
Panduan PralJik klinis Manajemen Anastesi pada Craniotomi Evakuasi
atas indikasi Epidural
Henratoma
6. Klinis Prosedur Anastesi pada Pasien Dengan Penyakit Liver (Hepatitis Akut)
Panduan Prai<tik
t0. Panduan Pra<tik Klinis Prosedur Anastesi Pada Pasien Dengan Asma Bronkhial
I1. Panduan Pral<tik Klinis prose<iur Anastesi pada pasien Dengan obesitas
12. Panduan Pral<tik Klinis Prosedur Anastesi Pacla Pasien Dengan Diabetes Melitus
13. Panduan Praktik Klinis prosedur Anastesi pada pasien Dengan Hipertiroid
14. Panduan Prai<tik Klinis Prosedur Anastesi pada pasien Dengan Hipotiroid
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik m eliputi Keadaa n u mum tanda vital jalan
nafas, kardi ovas ku la r, P?rt1-P3 ru system d igestif ekstremitas,
pe meriksaan neurolog is, genitourinari pem eri ksaan reg io lum bal
Kriteria Diagnosi:; Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratori um H b, Ht, Leukosit trom bosit, hem ostatis,
gula darah, fungsi ginjal, elektrolit, urinalisis
Radiologis: Rontgen thorak,
EKG
Tes fungsi paru
Konsultasi antar departemen jika diperlukan
Tata Laksana Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Anestesi spinal,
- Obat-obatan
Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
- Penilaian ulang status fisik anestesi
- Pindahkan pasien menuju kamar operasi dan tidurkan pasien di
meja operasi
- Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu
Perawatan pascaoperasi
- Setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Monitoring hemodinamik dan regresi dari blokade spinal dengan
Bromage Score
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score )8 dan terjadi regresi blokade spinai
Prognosis Dubia
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
PemelaaFl Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
$ndikator
,ii-----J:---,
t-(,rlst,rttdlt I
'iisii Fenatalaksanaan anestesi untuk memfasilitasi tindakan
laparotomy eksplorasi ai peritonitis difuse ec appendicitis perforasi
(Kunjungan preoperatif, tatalaksana intr.aoperatif, dan
pascaoperatif)
Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Obat-obatan
Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
Penilaian r rlann etatr rc fi cilz
v.r. annola^;
q. rvar(;91
Perawatan pascaoperasi
- setelah operasiselesaipasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoring hemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8
Edukasi Penjelasan tentang rencana anestesi
(Hospital Health Promotion) Dokter anestesi yang merawat harus menjelaskan kepada
pasien/keluarga pasien tentang operasi yang akan dilakukan,
tindakan anestesi, risiko-risiko dan kemungkinan yang akan terjadi,
akibat tindakan anestesi dan pembedahan secara jelas dan
lengkap. Apabila pasien/keluarga sudah mengerti dan menyetujui
tindakan anestesi yang akan dilakukan, pasien/keluarga pasien
harus menandatangani surat persetujuan tindakan anestesi,
disertai tandatangan saksi dari keluarga pasien dan dari pihak
perawat, serta tandatangan dokter yang memberi keterangan
Penjelasan tentang puasa pre anestesi
Penjelasan tentang kemungkinan tranfusi
Penjelasan tentang rencana penatalaksanaan nyeri pascaoperasi
Prognosis Dubia
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis SMF ANESTES! OLOGI DAN TERAPI INTENSIF
lndikator
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi : Keadaan umum, tanda vital, jalan
nafas, kardiovaskular, paru-paru, system digestif, ekstremitas,
pemeriksaan neurologis, genitourinari, pemeriksaan kesejahteraan
janin (CTG)
Kriteria Diagnosi,s Anamnesis , pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Persiapan alat:
- Monitor
- Mesin anestesi
- lntubasi
- Obat-obatan
Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
I
t__
I - Penilaian ulang status fisik anestesi
l
Pindahka n nasien ment tit r krma. nnoreei r{an herinnktn n2eian
)
I
di meja operasi
I
Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu
I
Perawatan pascaoperasi
- setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoringhemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8
Tirrgkat Hvidens
Tingkat Rekomelrdasi
Penelaah Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
lndikator
Indikasi Pembius;an Total tiroidektomi atas indikasi struma nodusa non toksis
Feuneri ksaan Per runjang Pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht,Leukosit, trombosit, faktor
koagulasi, fungsi ginjal, sidik tiroid,
Radiologi : Rontgen thorak dan soft tissue leher
Tes fungsi paru
EKG
Persiapan pasien:
- Pemeriksaan identitas pasien dan kelengkapan rekam medis
(check in)
- Penilaian ulang status fisik anestesi
- Pindahkan pasien menuju kamar operasi dan baringkan pasien
di meja operasi
- Pasang monitor EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,suhu
Perawatan pascaoperasi
- Setelah operasiselesai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
- Berikan Oksigen 3 liter pe menit dengan nasal kanul
- Monitoringhemodinamik
- Pasien diberikan analgetik pascaoperasi dan penatalaksaaan
PONV
- Pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang perawatan
jika Aldrete Score >8
tnduksi:
- Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid sequence induction
dengan penekanan krikoid pada pasien dengan riwayat mual,
muntah serta perdarahan gastrointestinal.
- Dosis obat induksi pada pasien sakit berau kritis harus
dikurangi, dapat diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1_2
mg/ kg, sedangkan pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabii dapat diberikan etomidat 0,2-0,4 mg/ kg.
- Respon hipertensiterhadap intubasi dapat ditumpulkan dengan
menggunakan opioid, beta bloker (esmolol), atau lidokain.
- Penggunann suksinilkotin sebagai pelumpuh otot masih dapat
ditolerir pada kadar kalium < S meq/L.
- Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan hiperkalemia
adalah rocuronium (0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg),
atrakurium (0,4 mg/kg),
- atau mivakurium (0,1s mg/kg). sebagai alternatif masih
mungkin untuk menggunakan vekuronium 0,.1 mg/ kg dengan
tetap mempeihatikan kemungkinan terjadinya efek obat yang
memanjang.
Pemeliharaan
ldealnya kita harus mampu mengontrol tekanan darah tanpa
mempengaruhi cardiac output.
Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang
metabolitnya tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang
telah ada, yaitu: isofluran dan desfluran.
Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan
fungsi ventrikel yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan kadar hb yang sangat rendah (<7 g/dL).
Hindari penggunaan meperidin, hal ini dikarenakan terjadinya
akumulasi metabolit aktif normeperidin yang dapat
mencetuskan terjadinya kejang. penggunaan morfin masih
memungkinkan dengan kemungkinan efek yang akan
memanjang.
Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari terjadinya
hiperkarbia karena pernafasan yang tidak adekuat dan dapat
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik yang akan
memperberat kondisi asidosis yang sudah ada, depresi
pernafasan, dan akan meningkatkan kadar potassium serum.
Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena akan
menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb dan akan
menurunkan aliran darah serebral.
Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan terlebih
dahulu tidak adanya gangguan koagulasi. Keadaan asidosis
dapat menurunkan ambang kejang yang berhubungan dengan
pemakaian anestesi lokal.
4. MANAJEIUIEN PASCAOPERASI
Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan monitoring
standar untuk mengevaluasi kesadaran, pernafasan,
hemodinamik, dan dieresis.
Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi
harus
t
r;:
rlinantar r
tarh adap kennungkinan terjaCini,a penui"unan
kesadarn dan hipoventilasi. Berikan nalokson jika terjadi efek
:
samping akibat pemakaian opioid.
Htndari penggunaan analgetik golongan NSAID yang dapat
memperburuk fungsi ginjal
Lakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi disritmia
akibat hiperkalemia.
Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien dengan
anemia dan perdarahan yang memerlukan transfuse.
Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat, asidosis berat
dan hemodinamik yang tidak stabil menendakan adanya
kegagalan organ dan merupakan indikasi untuk perawatan di
ruang intensif dan penilaian untuk perlu tidaknya ditakukan
hemodialisa pascaoperatif.
Prognosis dubia
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Fenelaah Kritis SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
lndikator
Kepusta{<aan 1 Morga n a nd Mikha it 's C linical Anesthesiology t 5th edition Apr
22, 201 3 by John F Butterworth and David c. Mackey
i
I
2. Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
I
I
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michaelcahalan (Author), M. Ghristine stock
I
j
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, 2O1T
;
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall MD LLD
(honoris causa).
i
Fengertian { Definisi} Penya kit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada pa ru-paru
clengan kara kteristi k berupa ad anya ham batan terhadap
aliran
udara yang berkembang prog resif dan bersifat irreversible
Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif
kronis (obstruksi pada smalt airway), dan emfisema (pelebai.an
ruang udara dan destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas
paru, dan penutupan dari sma// airway).
::
I Tata Laksana 1. Manaiemen Preonaratif
- Pada operasi elektif pasien dengan ppOK harus optimal
terlebih dahulu (tidak ada sesak, wheezing, dan batuk, atau
ciengan sesal</ wheezing/ batuk minimal)
- Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia,
bronkospasme, mengurangi sekresi, dan bira ada infeksi
pada saluran nafas harus diberikan terapidengan antibiotic.
- Hentikan merokok serama 6-g minggu sebetum operasi
untuk mengurangi sekresi dan komprikasi pascabedah.
Paling tidak pasien yang tidak merokok selama 24 jam akan
meningkan Oxygen Carrying capacity.
Fisioterapi pernafasan preoperative dengan perkusi dan
drainase postural.
- Apabila didapatkan hipertensi pulmonar harus diterapi
dengan meningkatkan oksigenasi, dan apabila terdapat
corpulmonal dilakukan digitalisasi terutama bila terdapat
gagal jantung kanan
2. Manajemen lntraoperatif
- Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik
pilihan untuk mengurangi kemungkinan komprikasi
pascaoperasi.
- Pemberian sedasi pada pasien yang dirakukan regionar
anestesi diberikan secara incremental oleh karena pada
pasien ini (terutama geriatric) sangant sensitive terhadap
efek depresan dari obat0obat sedative.
- Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus
dilakukan preoksigenasi untuk mencegah terjadinya
desaturasi oksigen yang cepat.
- lnduksi harus ciirakukan dengan smooth. Refrek
bronkospasme dapat ditekan dengan memberikan
tambahan propofol (Z-2,5 mg/kg), ventilasi dengan volatile
2-3 MAc selama 5 menit, atau pemberian ridokain intravena
atau intratrakeal l-2 mg/ kg
Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang
bersifat histamine release (kurare, atrakurium, morfin,
meperidin), atau bila digunakan harus diberikan dengan
sangat perlahan.
Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan
adalah propofol, etomidat, dan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil pilihannya adalah ketamin
yang bersifat sebagai bronkodilator.
Halotan dan sevofluran merupakan ooat pilihan induksi
inhalasi yang paling smooth.Selama operasi harus
dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volume yang kecil-
sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari "air
trapping"
Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan
bullae dan hipertensi pulmanal.
Pengukuran kadar COz harus dilakukan sebelumnya
sebagai panduan dalam melakukan ventilasi selama
operasi.
Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth.
Ekstubasi pada saat anestesi dalam dapat menurunkan
resiko reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan terlebih
dahr rlr r ha hrva pei'nafasai'r
paSi€r r sudai, adeiiuai.
3. Manajemen Pascaoperasi
- lntubasi trakear dan ventirasi mekanik dipertimbangkan
untuk dilanjutkan pada operasi abdominar dan intratorakar
pada pasien yang sebelumnya (preoperative) didapatkan
hasil pemeriksaan pCOz > 50 mmHg dan FEVr/ FVC <
O,S.
- PaOz harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan paCOz
harus berada pada rentang yang mempertahankan pHa
7,35-7,45
- Lakukan maneuver untuk ekspansi vorume paru (bernafas
dalam, CPAP, spirometri insentif)
- Chest fisioterapi
Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxiai opioids,
blok interkostal, pCA)
Frergnosis dubia
'?
ingB<at ,€videns
Tirrgkat Rekome rrdasi
Perrelaa*r Kritis SIUF ANESTESiOLOGI DAN TE RAPI INTENSIF
Indikator
Kepustakaan 1 Morgan and Mikhai I'S Clinical Anesthesiology 5th edition
Apr
22, 20 1 3 by John F Butterworth and David c. Mackey
2 Ha ndbook of Clin ical Anesthesia 7th Editi on Kindle Edition
by
Pa ul Ba rash (Author), Bruce F Cullen (Author), Robert
K.
Stoelting (Author), Michael Cahalan (Author) M Ch risti ne Stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May z, 2o1z
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschalr MD LLD
(honoris causa).
F
i I
k Takipnoe
Penurunan saturasi oksigen
pada auskultasi didapatkan wheezing
retraksi intercostal
2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Saat yang paling berbahaya pada pemberian
anestesi pada
pasien asma adarah pada saat akan
dirakukan tindakan
laringoskopi dan intubasi ETT pada jalan
nafas.
Pemilihan teknik anestesi umum dengan
memakai masker
atau regional anestesi akan mengatasi masalah
tetapi tetap tidak menghilangtan resito
di atas,
terjadinya serangan
bronkospame.
Target utama pada manajemen anestesi
umum adarah
induksi dan emergence yang smooth/
lancer.
Bronkospasme juga dapat dicetuskan
oleh stimulasi dalam
:
relatif aman.
E
E
Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang
I
I mempunyai efek bronkodilator dan merupakan pilihan yang
baik pada pasien yang juga dalam keadaan hemodinamik
F
i
t!. yang tidak stabil. Jangan memberikan ketamin pada pasien
I
, elengan level teofilin yang tinggi karena lnteraksi kedua obat
i tersebut dapat memicu terjadinya kejang.
L
i Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat
i
ditumpulkan dengan sebelumnya memberikan tambahan
dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile 2-3
I mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v
1-2 mgi kg. Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau
i
i
glikopirolat 1 mg) dapat juga memblok reflek bronkospasme
i
kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.
Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi
inhalasi pada anak yang paling smooth. lsofluran dan
desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan
tetapitidak cocok ciigunakan untuk induksi inhalasi.
Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan
pasien asma karena mempunyai erer
ff#Hffi:i:r.rro, ]
lebih spesifik.
Kemr rnoI kinan-klel.n ',nal-i^^.- .r*.-
uilYr\llldlr r^:..
adllt ydl19 vqPiar tlteltyg(,a DKAN
obstruksi jalan nafas, seperti: ETT yang tertekuk, sekret,
overinflasi balon, intubasi bronchial, edema paru,
emboli
paru, atau pneumotoraks.
Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan
B-agonis datam bentuk inhater atau metered dose metarui
jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan hidrokortison
i.v.
1,5-2 mglkg (dexamethasone) terutama pada pasien yang
sebelumnya telah mendapatkan terapi glukokortikoid.
Pemberian reversat pelemas otot dengan antikolinesterase
tidak akan menyebabkan bronkokonstriksi apabira disertai
dengan pemberian entikolinergik dengan dosis yang
tepat.
Lakukan ekstubasi darani (bila tidak ada kontraindikasi)
untuk mencegah terjadinya bronkokonstriksi saat pasien
bangun.
Untuk menumpurkan refrek jaran nafas saat ekstubasi
dapat
diberikan bolus ridokain 1,s-2 mgr kg atau dengan inius
kontinyu 1-2 mglmenit.
Fretgnosis dubia
Eingkat iSvtdens
iRekomemdasi
r Fei14l666 Kritis SMF AN ESTESIOLOGI DAN TERAP] INTENSiF
f;ndikator
i
i
Kepulstakaan 1 Morg an and M ikhail's Clinical
5th edition Apr
22 201 3 by Joh n F Butterworth and David C. Mackey
2. Handbook of Clinical Anesthesia 7th Editio n, Kindle
Edition by
i Paul Barash (Author), Bruce F Cul len (Autho r) Robert K.
I
a
?,
E.
L
5.
B
E
E
E
I
G
E
I
i
Tlrirrtn*
Sebagai acuan dalam pelraksanaan tind akan anestesr pada pasien
dengan obesitas yang akan menjatani tindakan pembedahan.
Femeriksaan Fisik
l
berlebihan, dada yang besar).
i
Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya
aspirasi pulmonal.
Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi rnaka
sebaiknya intubasi dilakukan datam keadaan awake,
direkomendasikan dengan memakai bronkoskopi fiberoptik.
Pemakaian gas anestesi belum terbukti menyebabkan lama
bangun pada pasien meskipun pada operasi yang lama, hal
ini dikarenakan distribusi gas anestesi ke jaringan lemak
yang begitu lambat.
obat-obatan yang rarut daram remak (benzodiazepine,
opioid) diberikan dengan dasar berat badan aktual.
obat-obatan yang rarut daram air (nrisat; peremas otot)
diberikan dengan dosis berdasarkan berat badan idear
untuk menghindari kelebihan dosis.
Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen
inspirasi yang reratif tinggi untuk mencegah terjadinya
hipoksia, terutama bita pasien berada pada posisi litotomi,
trendelenburg, atau tengkurap.
Pemakaian abdominar pack yang diretakkan pada daerah
subdiafragma akan memperburuk ventirasi pasien oan
]
3. MANAJEMEN PASGAOPERATTF
- Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.
-
:
I
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen
oksigen saat transportasi pasien ke ruang pemulihan.
i - Posisikan pasien setengah duduk (4s") untuk meningkatkan
i, ventilasi dan oksigenasi.
ts
* - Resiko terjadinya hipoksia dapat berrangsung serama
F beberapa hari pascaoperasi, oleh karenanya harus
tetap
B
B
x
dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di
ruangan/HCU.
I
I
II &idrllqasH Manajemen anestesi melipufi timdakan yang
t akan
{Flcrspitai l-lealth l:)romotion} dilakukan, indikasi tindakan, ris iko dan komplikasi
I yang
F
T herhr rhr tnfl2n rlenoan nanrraki{ nacia^ ailiha^
. al{^--
s.re, ^+;r
r rClttt
I
I tei<nik anestesi, prognosis.
I
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
I
Puasa pre operatit
Frognosis dubia
T'rrgkat Evidens
Tiirgkat Rekomenclasi
P+meiaah Kritis SMF ANESTESI OLOGI DAN TE RAPI INTENSIF
ndikatci
I
i
3. stoelting's Anesthesia and co-Existing Disease, May 2, 2017
I
1
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschail MD LLD
I
L_,_ (honoris causa).
!
I
t
I
I
r PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
I
TATALAKSANA KASUS
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKTT dr. SUyOTO
.ll. RC. Vcteran No 179
Bintaro 1 73884 000
,)ROSEI)I.'R ANESTESI
PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS
Pe l rgerti;rn ( Defir risi) Diabetes mel litus merupakan penyakit endokrin dimana
terjadi
gangguan metabolisme yang clisebabkan oreh
defisiens i insulin
absolut maupun relatif atau gangguan pada respclnsivitas
insulin
yang meninrburkan keadaan hipergrikemia
dan grukosuria
Tuj,l.aarn
Se bag at acua n dralam pelaksa naa n tindaka n anestesi pacia
pas ien
i
dengan diabetes yang akan me njala ni tindakan pem
i
I
bedahan
i
I /\namnes.iis Gejala klasik berupa pol iu ria pol idipsia, polifagia dan
pen urunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa lemah bada n, kesem
utan, gatal
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus
VU lvae pada wanita
Pet qeriks:aan Fisi i Dilakukan peng ukuran tinggi badan, berat badan,
dan lingkar
pinggang
- Pengukuran tekanan darah, menirai ada tidaknya hipotensi
' orthostatik, termasuk menilai ABr (Ankre brachial index),
untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah tepi
- Pemeriksaanfunduskopi
- Pemeriksaan jantung
- Evaluasi nadi, baik secara parpasi maupun dengan stetoskop
- Pemeriksaan kulit dan neurologis
I
I
I
Pemeriksaan ini untuk menilai ada tidaknya kompriklasi yang
I
ditimbulkan akibat DM, bisa normar ataupun terdapat gangguan
I
I
Kri;:eria []iagnosir; Diagnosis ditegakkan melaluitiga cara
1. Keluhan klasik disertai pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 nrg/dl
2' Pemeriksaan grukosa prasma puasa > 126 mg/dl dengan
adanya keluhan klasik
3. Tes toleransiglukosa orat (TIGO) 140_199 mg/dl
I HbAlc
I
I
I *.__..
T'ata i..arisana
-l
1. MANA.IEMEN PRFOPFRATItr
I
Level Hemoglobin Ar" akan mernbantu untuk
mengidentifikasi pasien dengan resiko terbesar untuk
I
rerJadtnya htpergtikemia perioperatif sehingga akan
meningkatkan komplikasi dan memperbu ruk outcome.
Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik berhubungan
dengan kerusakan end-organ preoperative akibat
komplikasi DM. oreh karenanya tentukan gangguan target
organ preoperatif.
Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru,
kardiovaskular, dan system renal.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya
kemungkinan pembesaran janturrg, liongest! pernbulutr
darah paru, atau efusi pleura.
Lakukan pemeriksaan EKG. pada pasien ctiabetes terjadi
peningkatan abnormalitas pada ST-segmen dan gelombang
T. Lakukan evaruasi apakah terdapat tanda iskemia
myocardia! walaupun dari anamnesa tidak didapatkan
riwayat hal ini dikarenakan terdapat resiko terjadinya silent
myocardial ischemia/ infarct.
Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai SOo/o
kemungkinan untuk terjadinya neuropati otonom.
Tanda-tanda neuropati otonom adarah: hipertensi, painress
myocardial ischemia, hipotensi ortostatik, hilangnya
variabilitas denyut jantung (variabilitas denyut
lantung faoa
orang normal pada saat bernafas dalam/ 6x permenit
adalah lebih dari 10 denyuu menit), resting takikardia,
neurogenic bladder, tidak berkeringat, impotensi.
Neuropati otonom akan membatasi kemampuan
kompensasi jantung terhadap perubahan volume
intravascular dan merupakan factor predisposisi instabilitas
hemodinamik (hipotensi post induksi) dan dapat
menyebabkan kematian mendadak. lnsiden akan meningkat
dengan pemakaian ACE inhibitor. f
darah pagi.
:
2" MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target utama dari pengeroraan gura darah adarah
mengnincar! keadaan hipoglikemia. Keadaaii
hiperglikerni
sendiri berhubungan dengan hiperosmoraritas, infeksi,
gangguan penyembuhan luka dan dapat memperburuk
fungsi neurologis.
- Hiperglikemia yang terjadi intraoperatif rJikoreksi dengan
memberikan regular insulin intravena dengan metode sliding
scale atau dengan infuse kontinyu.
- Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah dapat
mengkontrol kadar gula darah yang lebih presisi.
- lnfus insulin kontinyu dimurai dengan dosis 0,1 u/ kg/jam.
Penyesuaian dosis berikutnya mengikuti formura sebagai
berikut:
- Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dl)/1S0.
- Target kadar gura darah intraoperatif adarah 120-150 mg/
dL
Untuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia karena
perpindahan kalium kedalam intrasel akibat pemberian
insulin maka harus diberikan tambahan 20 mEq KCL untuk
setiap liter cairan.
Teknik manajemen gula darah perioperatif:
Pemberian Bolus lnfus Kontinyu
Preoperatif Ds!\/ (1,5 ml/ kg/ DsW {1mll kg/
jam) jam)
NPH insulin Regular insulin:
(setengah dosis Unit/jam= Glukosa
pagi) plasma/ 150
lntraoperatif Regular insulin preoperatif
(sliding scale)
Pascaoperatif Regular insulin = preoperatif
(sliding scale)
3. IIANAJEIIfIEN PASCAOPERATIF
- Monitoring gula darah harus dilanjutkan post operatif karena
terdapat variasi individual dari onset dan duration of action
dari insulin (regurar dan NpH), selain itu dapat terjado
progresi dari stress hiperglikemia saat periode pemutihan.
- Apabila durante operasi diberi banyak Ringer Lactate (RL)
gula darah biasanya akan naik z4-4gjam postoperatif
saat
hepar mengkonversi laktat menjadi glukosa.
I rar:kteristi? Car !:,ila'.,aibi!ltas dari i:su!::
t
I lnsulin type Onset Peak Duration
I action
Short acting Lispro 10-20 30-90 4-6 hr
Regular, min min 5-7 hr
Actrapid, 15-30 1-3 hr 12-16 hr
Velosulin min 4-6 hr
Semilente, 30-60
Semitard min
I
lntermediate Lente, 2-4 hr 8-1 0 18-24 hr
I
I
I
Lentard, hr
,
NPH,
MorrotarcJ
;
Long Acting Ultralente, 4-5 hr 8-12 25-36 hr
I
Ultratard, hr
PZI
I
i
meli puti timdaka n ya ng aka n
i
{Hospital Health Promotion} dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang
I
I berhubungan dengan penyakit pasien, pilihan a Iternatif
i teknik anestesi, prognosis.
I
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
I
I
$itrq'rosls Cubia
:
, Tingkat rEvidens
I
Iingkat itekomendasi
i
I
E i
I
I
I PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
I
TATALAKSANA KASUS
I
I
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
I
i
RUMAH SAKIT dr. SUyOTO
.)i l!{t \ eteran Nr.llrg
r.)ir-i-i 7388 {(i00
I
PR.).SEDTIR ANESTESI PADA PASTEN DENGAN HIPERTIROID
Tu.iuan Sebagai acuan dalam pelaksa naa n tinda ka n anestesi pad a pasien
I
denga n h ipertiroid yang a kan menjalan tindakan pem bedahan
!)elnerikrraan Per unjang 1. Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4),
TSH, dan TRH.
2. Serum TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
3. FreeT4 (tiroksin)
4. FreeT3(triiodotironin)
5. Ultrasound untuk memastikan pembesaran kelenjar tiroid
6. Kadar lentak serum
7. Pemeriksaan Glukosa darah
Tai;m l-aksana 1" MANAJEMEN PREOPERATIF
Semua prosedur operasi elektif harus ditunda sampai
gejalagejala klinis terjadi perbaikan dan pasien harus
dalam keadaan eutiroid dengan terapi medikamentosa.
I
2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat
memberikan keuntungan yang sangat besar karena dapat
memblokade system saraf simpatis/stress response.
- Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-obatan
induksi yang mempunyai efek minimal terhada p
I- lt.arCio,:as?.u!a:'. Tiopert:l :e:'-.:palt Jran , -;l:L--
Fr.r, .e..
..--^.
J o. ry
I. -r- .f
rgr l/dtA
karena mempunyai efek antitiroid pada dosis besar.
Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan obat-obatan
yang dapat menstimulasi system saraf simpatis karena
dapat menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan
darah.
Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah tercapai
sebelum melakukan laringoskopi/ intubasi atau saat
stimulasi pembedahan untuk menghindari terjadinyaq
takikardia, hipertensi, dan aritmia ventrikel.
Pastikan pasien dalam keadaan normovorum seberum
induksi karena pasien-pasien hipertiroid biasanya dalam
keaCaan hlpovolemik kronis iJengai-r sirkuasi yang
cenderung mengalami vasodilatasi.
Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan isofluran,
desfluran, atau sevofluran dengan N2O.
Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan
anestetik.
Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi kardiovaskular
dan suhu tubuh untuk mengetahui tanda-tanda badai
tiroid/thyroid storm.
Lindungi mata pasien serama operasi dengan baik, karena
keadaan eksoptarmrs akan meningkatkan resiko terjadinya
abrasi dan ulkus kornea.
4. MAJEMEN PASCAOPERATIF
Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis tiroid paling
tirlalr selama 24 iam hal ini rlika ranakan lzr;elg !i11if 9rlr lV
f^elinn
sering terjadi pada periode 6-24jam pascaoperasi.
Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi
rrroroeKtomt suototal, yattu:
1. Kerusakan neryus laryngeus recurrent; bira uniraterar
ditandai dengan paralisis pita suara. dan suara
serak, bilateral ditandai dengan paralisis pita suara,
afonia dan stridor (obstruksijalan nafas). Fungsi pita
suara dapat segera dinilai dengan laringoskopi
segera setelah dilakukan ekstubasi dalam.
Kegagalan 1 atau kedua pita suara untuk bergerak
memerlukan tindakan intubasi untuk membebaskan
jalan nafas"
1)-. Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher;
keadaan ini menimbulkan hematom yang dapat
menimbulkan gangguan jalan nafas akibat kompresi
pada trakeal. Tindakan yang dilakukan adalah
dengan sesegera mungkin membuka kembali luka
insisi untk evakuasi bekuan darah.
3. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah diperlukan
tindakan intubasi.
4, Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid
yang tidak sengaja terangkat. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut yang
terjadi dalam 12-72 jam.
5. Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak sengaja
saat dilakukannya eksplorasi pada daerah leher.
Segera lakukan pemasangan CTTuntuk
mengatasinya.
fri. Hipotiroidpermanen.
i Fli.,sprita, l{ealtlt i )rornotijor!} dilakukan, indikasi tindakan, risiko dan komplikasi yang
berhubungan dengan penyakit pasien, pilihan alternatif
teknik anestesi, prognosis.
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Puasa pre operatif
Prt:gnosis
Ting-xii}*ioens
'f inrgkat ttekomerrdasi
t*_*_.-.-_*
Perrelaa[,r Kritis SMF ANESTESIOLOGl DAN TERAPI INTENSIF
rnriikato,
:KeirrrstaL{aan 1 Morgan and Mikhail's Clinical Anesthes iology, Sth edition Apr
22,2013 by John F. Butterworth and David C. Mackey.
2. Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michael cahalan (Author), M. christine stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, 2017
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall IvlD LLD
(honoris causa).
PANEUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
-,'-,&;' ;tl: 'I'ATALT\KSANA KASUS
, ,u.,'a ' ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT dr. SUyOTO
,ll f{C Vtteran No 17B
Llir'i;* i"r: 1 73881 000
l(riteria []iag nosi,,; Kriteria diagnosis berdasarkan anamnesir s, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
: inriikateei
$,er:ger8i;*m { Defir lisi} Anestesi pada laparaskopi adala h pemberi an tindakan anestesi
pada prosedur minnimally invasive yang menggunakan endoskopi
melalui akses rongga peritoneal dengan menggunakan gas (co2)
untuk menciptakan ruang antara dinding abdomen dan viscera.
-l'uluaa"r
i
Sebaga acuan dalam memberikan tindakan anestesi pada
prosedur laparaskopi
i TEKNIK Ah$ESTESI
I
!
E
E
t
- Teknik anestesi yang menjatli pilihan pada taparoskopi adalah
teknik anestesi umum rlengan intubasi menggunakan
I endotracheal cuff dengan balon, dan dilakukan ventilasi control
t
dengan tekanan positif.
t
- Hampir semua kombinasi obat anestesi (hipnotik, analgetik, dan
relaksan) dapat diberikan, tetapi gas Halotan sebaiknya
i
I
t dihindari karena dapat menyebabkan aritmia dengan adanya
hiperkarbia.
I
I
- Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kondisi masing-
masing pasien.
I - Gas N20 dapat diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari
i 50o/o
I
i
- Setelah dilakukan induksi dan intubasi dilakukan pemasangan
NGT dan kateter urin untuk dekompresi.
.' Pada saat insersi Veress needle dan kanula pasien diposisikan
trendelenburg
I
- Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan prosedur operasi
yang akan dijalani.
I
- Perhatikan tandatanda vital pasien pada saat dilakukan
I
insuflasi gas co2 terhadap kemungkinan vagal reflek akibat
I
peregangan peritoneum
- Apabila terjadivagal reflek berikan obat vagolitik
- Tekanan intra abdominal saat insuflasi dibatasi tidak lebih dari
15 mmHg untuk mengurangi perubahan fisiologi akibat
pneumoperitoneum
- Durante operasi dilakukan monitoring terhadap tekanan darah,
laju nadi, saturasi, diuresis, E:KG, dan end tidar co2. Disamping
monitoring mekanik harus dilakukan pula monitoring visual dan
l--- laftit cfenoan-me-nlf al
r,lrarna r<r,rit ti trnnr kr rlit nanillanr
tt
rt:.(i ill
edema pada konjungtriva dan kornea akibat posisi, emfisema
sub kutan pada dada.
Femeriksaan ini harus oiiaruran secara perrodik karena selama
laparoskopi dapat terjadi perubahan yang mendadak.
Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi dan perpindahan
cairan yang besar ke ruang ketiga, sehingga pemberian cairan
pengganti dibatasi dengan pemberian RL 2,S_4 ml/kgbb/jam
ditambah dengan cairan mairrtenan.
$elanra operasi harus dipantau tanda-tancia adanya komplikasi
emboli dan pneumotoraks.
Berikan profilaksis terhadap PONV.
Dokter anestesi harus memutuskan untuk dilakr.rkan konversi
tindakan laparoskopi menjadi laparotomi apabila durante
operasi terjadi perdarahan yang sulit untuk di ertasi, perforasi
organ, prosedur yang telah berlangsung terlalu lama, keadaan
pasien yang memburuk, dan adanya penyakit lain yang tidak
diperkirakan sebelumnya.
rHr',gkat l,ivideirs
lndikatsr
KeDLsstakaan 1. Morgan and Mikhai I's Clinical Anesthesiology , Sth edition Apr
22,2013 by John F. Butterworth and David C. Mackey.
2" Handbook of clinical Anesthesia 7th Edition, Kindle Edition by
Paul Barash (Author), Bruce F. Cullen (Author), Robert K.
stoelting (Author), Michael cahalan (Author), M. christine stock
(Author), Rafael Ortega (Author).
3. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, May 2, ZOll
by Roberta L. Hines MD and Katherine Marschall MD LLD
I
l (honoris causa).
.-..-_L___