melainkan juga memberikan kepada kita Yesus sebagai suatu “model” kesempurnaan yang
diminta-Nya dari kita. Di mata Allah, kesempurnaan itu berkaitan dengan keterbukaan
seseorang untuk menerima kasih-Nya dan kemauan orang itu untuk mensyeringkan kasih
dan belas kasih-Nya dengan siapa saja yang dijumpainya. Dapatkah kita sampai melupakan
pembuktian cintakasih paling besar yang diberikan oleh Yesus selagi Dia memanggul salib-
Nya menuju bukit Kalvari dan kemudian mendoakan para musuh-Nya dari atas kayu salib
itu? Selagi tergantung di kayu salib, Yesus bahkan memohon kepada Bapa di surga untuk
mengampuni mereka yang telah menyalibkan diri-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34) Panggilan untuk menjadi
sempurna dapat kelihatan tidak mungkin apabila kita hanya mengandalkan kemampuan
atau kekuatan kita sendiri sebagai manusia. Allah ingin agar kita mengetahui bahwa oleh
kuat-kuasa Roh Kudus sajalah kita dapat menjadi cerminan Yesus, Putera Allah yang
sempurna. Selagi Roh Kudus masuk ke dalam hati kita masing-masing, maka kita pun akan
“dipaksa” untuk mempraktekkan belarasa, pengampunan dan cintakasih, jadi tidak hanya
sebatas ucapan kata-kata. Kita hanya perlu memohon kepada Tuhan Allah untuk diberikan
rahmat ini. Kita hanya perlu bertobat apabila kita jatuh ke dalam dosa dan gagal mengasihi.
Kita hanya perlu berseru kepada Roh Kudus guna memohon pertolongan-Nya pada saat kita
melihat ketidakmampuan diri kita untuk menjadi sempurna seturut panggilan Bapa. Kita
harus percaya bahwa Allah Tritunggal Mahakudus senantiasa memberikan segala sesuatu
yang kita butuhkan.
12
13
26
Bertahun-tahun lalu saya pernah bertanya kepada seorang pria muda yang sudah bertunangan,
“Bagaimana engkau tahu bahwa kau mencintainya?” Pertanyaan tersebut begitu sarat makna,
dan dimaksudkan untuk membantu pria itu menyadari maksud hatinya dalam melangkah
menuju ke jenjang pernikahan. Setelah memikirkannya sejenak, ia pun menjawab, “Aku tahu
aku mencintai-nya, karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk membuatnya
bahagia.” Kami lalu membahas makna dari jawabannya itu, serta harga penyangkalan diri
yang harus dibayar ketika seseorang senantiasa rindu mengusahakan yang terbaik bagi orang
lain dan mengesampingkan kepentingan dirinya. Kasih sejati memang berkaitan erat dengan
kerelaan berkorban.
Pandangan tersebut selaras dengan pelajaran yang terkandung dalam Alkitab. Dalam Kitab
Suci kita mendapati sejumlah kata dalam bahasa Yunani untuk kasih, tetapi bentuk
tertingginya adalah kasih agape—kasih yang didasari dan didorong oleh sikap rela berkorban.
Kasih itu tampak paling nyata dalam kasih yang telah ditunjukkan oleh Bapa kita di surga
dalam diri Kristus. Kita semua sungguh berharga di mata-Nya. Paulus menyatakan, “Allah
menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita
masih berdosa” (Rm. 5:8). Bila pengorbanan menjadi ukuran sejati dari kasih, maka tidak ada
pemberian yang lebih berharga daripada Yesus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yoh. 3:16).
Penderitaan dan hal-hal yang tidak mengenakkan diibaratkan orang yang
sedang sakit bersalin dan menantikan bayinya segera lahir; harus ada
perjuangan dan ketekunan dalam menanti sesuatu yang kita harapkan itu,
sebab jika kita tekun iman kita akan kuat dan tidak mudah diombang-
ambingkan oleh keadaan apa pun, sehingga pengharapan kita di dalam
Tuhan tidak mengecewakan. Seringkali ketika pergumulan terasa berat dan
sepertinya tidak ada jalan keluar kita mulai membuat perhitungan dengan
Tuhan. Kita berkata, "Aku sudah mengikut Tuhan selama bertahun-tahun;
aku sudah terlibat dalam pelayanan dan banyak berkorban harta untuk
membantu pekerjaan Tuhan, tapi mengapa Tuhan seakan tidak adil padaku?"
Setiap kita pasti selalu berharap bahwa perjalanan hidup kita baik-baik saja
tanpa hambatan yang merintangi. Demikian pun Tuhan selalu ingin kita
menjadi kuat seperti rajawali, yang meskipun harus melewati badai tetap
mampu terbang tinggi.
Saat ini, kenyataan itu adalah bagaikan janji Tuhan yang kita hayati sebagai
pengharapan, seperti halnya janji Allah kepada Abraham (Kej. 15:5-12.17-18). Abraham
dikuatkan menghadapi pencobaan dan tantangan karena hidup dalam pengharapan
akan janji Allah itu. Pada proses pertobatan Prapaskah ini, sering kali kita harus
menyangkal keinginan dan berbagai nafsu kita, serta menjalani ketidaknyamanan hidup.
Pengharapan akan janji kebahagiaan dan kemuliaan dari Tuhan itu bisa menjadi sumber
kekuatan bagi kita agar tidak kehilangan iman, harapan, dan kasih kendati mengalami
berbagai tantangan dan kesulitan hidup.
Iman kepada Yesus Kristus mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang
sebaliknya tidak akan kita lakukan. Iman yang memotivasi kita untuk
bertindak memberi kita lebih banyak akses pada kuasa-Nya.
Kita juga meningkatkan kuasa Juruselamat dalam kehidupan kita ketika
kita membuat perjanjian-perjanjian kudus dan mematuhi perjanjian-
perjanjian tersebut. Perjanjian-perjanjian kita mengikat kita kepada-Nya
dan memberi kita kuasa keallahan. Sebagai murid yang setia, kita bertobat
dan mengikuti-Nya ke dalam air pembaptisan. Kita berjalan di sepanjang
jalan perjanjian untuk menerima tata cara-tata cara penting lainnya. 17 Dan
kita bersyukur bahwa rencana Allah menyediakan berkat-berkat tersebut
untuk diberikan kepada leluhur yang telah meninggal tanpa kesempatan
untuk mendapatkannya selama kehidupan fana mereka. 18Injil Yesus
Kristus dipenuhi dengan kuasa-Nya, yang tersedia bagi setiap putri atau
putra Allah yang dengan tulus mencarinya. Ini adalah kesaksian saya
bahwa ketika kita memperoleh kuasa-Nya ke dalam kehidupan kita, maka
Dia dan kita akan bersukacita.24
Sebagai salah satu saksi khusus-Nya, saya menyatakan bahwa Allah
hidup! Yesus adalah Kristus! Gereja-Nya telah dipulihkan ke bumi! Nabi
Allah di bumi saat ini adalah Presiden Thomas S. Monson, yang saya
dukung dengan segenap hati saya. Saya bersaksi mengenai hal ini, dengan
ungkapan kasih dan berkat saya kepada Anda masing-masing, dalam
nama kudus Yesus Kristus, amin.