Anda di halaman 1dari 15

49

BAB III
PERNIKAHAN MENURUT ADAT MINANGKABAU

3.1. Pengertian Pernikahan dan Tujuan Pernikahan


3.1.1. Pengertian Pernikahan
Pada dasarnya pola pernikahan adat Minangkabau menganut pola
eksogami, dalam artian pernikahan yang melarang terjadinya pernikahan
saudara kandung atau sedarah. Pernikahan di luar suku merupakan salah
satu syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk terjadinya sebuah pernikahan
di Minangkabau. Syarat pernikahan ini telah diatur dalam Undang-undang
adat Minangkabau pada bagian adat nan ampek yaitu pada bagian adat nan
babuhua mati (Hakimy, 2004: 103). Pada bagian ini semua ketentuan dan
adat-adat yang berlaku tidak dapat dirubah lagi.
Pernikahan dalam Minangkabau ialah suatu bentuk pernikahan yang
terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Artinya, Suatu bentuk pernikahan
yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang
dari ketentuan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat setempat (Hakimy, 2004: 103). Pernikahan juga merupakan
suatu tanggung jawab, antara lain menyangkut nafkah lahir dan bathin,
jaminan hidup, serta tanggung jawab pendidikan anak-anak yang akan
dilahirkan (Amir MS, 2011: 12-13).
Dalam redaksi lain pernikahan dalam adat Minangkabau menurut
Syafrudin Halimy Kamaluddin dalam bukunya “Adat Minangkabau Dalam
Perspektif Hukum Islam”, pernikahan ialah akad dan serangkaian acara yang
dilakukan oleh dua suku yang berlainan, sehingga seorang lelaki diakui
sebagai suami seorang perempuan dan menjadi urang sumando (semenda)
dalam suku perempuan itu, dengan hak dan kewajiban yang tertentu
(Kamaluddin, 2005: 53).
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun
pernikahan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Pernikahan
menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan,

49
50

antara maropulai dan anak daro, namun juga antara kedua keluarga.
Latarbelakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi dalam
pernikahan adalah kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari
masing-masing pihak. Pengenalan dan kedekatan untuk dapat mengenal
watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali guna
memperoleh keserasian atau keharmotan dalam pergaulan antara keluarga
kelak kemudian.
Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat walau tak pernah
diundangkan sangatlah berat, kadangkala jauh lebih berat dari pada
hukuman yang dijatuhkan di pengadilan agama. Hukuman yang tidak ketara
dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat
Minang. Oleh karena itu, dalam pernikahan, orang Minang selalu berusaha
memenuhi semua syarat pernikahan yang lazin di Minangkabau
(Kamaluddin, 2011 : 12-13).
3.1.2. Tujuan Pernikahan
Adapun tujuan pernikahan dalam adat Minangkabau dibagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Tujuan Utama Pernikahan Bagi Kedua Suku
Tujuan utama pernikahan bagi kedua suku ialah untuk melepaskan
kewajiban terhadap anak-kemenakan mereka yang telah patut
dinikahkan, guna untuk menjaga kehormatan keluarga dari
pandangan yang rendah, oleh karena dalam keluarga ada anak gadis
yang tak kunjung bersuami atau anak bujang yang kunjung beristri.
Disamping itu pernikahan juga bertujuan untuk mengokohkan
hubungan kekeluargaan antara kerabat, sahabat, atau berhubungan
semula pertalian dua keluarga yang telah putus, yang pertama
misalnya pernikahan antara anak dan kemenakan, dan yang kedua
51

misalnya pernikahan dengan keluarga ipar atau besan yang telah


putus karena kematian (Navis, 1986 : 210).
b. Bagi keluarga perempuan pernikahan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan, supaya anggota suku bertambah banyak. Sedangkan bagi
suku lelaki faktor mencari keturunan ini bukan tujuan utama karena
pernikahan anak laki-laki tidak akan menambah anggota suku
(Dirajo, 1919: 164).
c. Bagi keluarga pihak perempuan pernikahan bertujuan juga untuk
mendapat keuntungan, baik dari segi sokongan ekonomi, sosial
ataupun politik. Walaupun ada keluarga yang tidak mengharapkan
bantuan keuangan dari urang sumando, karena banyak memiliki
harta pusaka dan sebagainya, namun dalam masyarakat yang
materialistik sekarang mereka tentu suka mandapat urang sumando
yang kaya, sehingga mereka bisa mendapat bantuan keuangan bila
dalam kesempitan. Tenaga urang sumando juga berguna untuk
menggarap tanah pusako. Kalau urang sumando mereka dari
golongan cerdik pandai, berilmu, atau mempunyai jabatan tinggi, ia
bisa mengangkat kehormatan keluarga isterinya dimata orang, dan ia
bisa sebagai guru dan penyambung lidah keluarga mereka Hakimy,
1973: 212). Disamping itu urang sumando juga bisa bertindak
sebagai pembela keluarga isterinya dan sebagai penolong penghulu
dalam tugasnya terhadap sukunya.
3.2. Kedudukan Pernikahan dan Hikmah Pernikahan
3.2.1. Kedudukan Pernikahan
Pola berfikir dan tata sosial yang unik menjadikan pernikahan dalam
masyarakat sesuatu yang amat penting. Pernikahan menghubungkan setiap
suku dengan suku yang lain, dan oleh karena itu setiap suku mempunyai
sanak saudara dalam suku lain, baik dalam suatu nagari atau di luar nagari,
sehingga pertentangan antara suku dan sikap fanatik suku dapat dielakkan
(Navis, 1986: 167).
52

Setiap keluarga yang mempunyai anak perempuan, memandang


bahwa tugas mereka yang paling berat ialah mencarikan jodoh. Mereka akan
membuat persediaan sejak awal-awal untuk itu, seperti menyediakan kamar
tidur di rumah mereka untuk tempat anak mereka menerima suaminya nanti.
Bila kamar di rumah adat sudah penuh mamak tungganai dengan bantuan
mamak lain dan urang sumando mulai berusaha untuk membangun rumah
baru. Jika mamak dan ayah gagal menyediakan kamar baru sampai kepada
hari pernikahan gadis tersebut, ayah mesti merelakan kamar yang
dipakainya untuk anaknya, dan menjadi hak anak itu untuk selamanya
(Kamaluddin, 2005: 53).
Bila seorang gadis sudah patut untuk dinikahkan, seluruh sanak
saudara akan mengambil bahagian, sejak dari mencari jodoh, meminang, dan
mengadakan pesta pernikahannya. Penyelenggaraan itu adalah tanggung
jawab keluarga dan padanya terletak kehormatan keluarga (Navis, 1986:
210). Demikianlah gambaran betapa pentingnya pernikahan bagi keluarga
yang mempunyai anak perempuan di Minangkabau.
Pernikahan anak lelaki juga diperhatikan oleh keluarga, walaupun
tugas keluarga tidak seberat untuk anak perempuan. Keluarga membantu
supaya anak itu berhasil dari segi ekonomi dan mempunyai nama baik dalam
masyarakat. Bila di kampung ia tidak berhasil, keluarga akan mendorong
agar ia pergi merantau, untuk mencari kekayaan, pengalaman dan nama baik
(Navis, 1986: 216)
Bagi seorang lelaki di Minangkabau, pernikahan merupakan pintu
gerbang untuk masuk ke dunia orang dewasa. Selagi ia belum menikah,
bagaimanapun tinggi pangkat akademinya ia masih digolongkan anak muda
(kanak-kanak). Ia belum dapat dibawa berunding dalam urusan adat,
melainkan hanya untuk disuruh-suruh (Navis, 1986: 216).
53

3.2.2. Hikmah Pernikahan


Islam mengenjurkan nikah karena berpengaruh baik bagi prilakunya
sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia, adapun hikmah pernikahan
dalam Minangkabau ialah sebagai berikut:
a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan naluri seksual. Dengan menikah badan menjadi segar,
jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari pandangan yang haram.
b. Suami istri ikut memakmurkan bumi Tuhan dengan usaha saling
tolong menolong antar keduanya.
c. Suami istri hidup dengan bebas dalam pergaulan dan senggama yang
teratur sesudah merintis jalan yang sah.
d. Mengurangi maksiat mata maupun maksiat kelamin terhadap lawan
jenis.
e. Naluri keayahan dan keibuan akan tumbuh dan saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang merupakan sifat-sifat
baik yang dapat menyempurnakan sifat seseorang.
f. Dapat menyehatkan dan menenangkan fikiran serta dapat
meminimalkan akhlak dari zina. (Navis, 1986 : 218).
3.3. Syarat Pernikahan dan Larangan Pernikahan
3.3.1. Syarat Pernikahan
Sebagai salah satu ikatan yang suci dan sah dalam adat Minangkabau,
maka pernikahan yang dilaksanakan mesti mempunyai syarat-syarat.
Adapun syarat-syarat pernikahan Minangkabau menurut Amir MS dalam
bukunya berjudul “Perkawinan Adat Minangkabau” adalah sebagai berikut:
a. Kedua calon mempelai harus beragama Islam
b. Kedua calon tidak bertali darah
c. Calon suami sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat
menjamin kehidupan rumah tangga
54

d. Kedua calon dapat saling menghormati dan menghargai orang tua


dan keluarga kedua belah pihak (Amir MS, 2011: 12).
Pernikahan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat di atas dapat
dianggap sebagai pernikahan sumbang atau pernikahan yang tidak
memenuhi syarat menurut adat Minang. Disamping adanya syarat-syarat
yang mesti dipenuhi oleh kedua belah pihak, mesti ada tatakrama dan
upacara adat serta ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi, seperti tata
karma japui manjapuik, pinang maminang, batuka tando, akad nikah, baralek
gadang, jalang manjalan (Amir MS 2011: 13).
Ditambahkan juga oleh A.A Navis dengan judul buku “Tonggak Tuo
Budaya Minang”, beliau mengungkapkan yang dimaksud dengan syarat sah di
sini ialah syarat supaya pernikahan itu diakui oleh adat, dengan indikasi
kedua suami-isteri diperlakukan sesuai kedudukannya dalam adat, sama adat
sebagai semenda atau menantu. Syarat-syarat itu ialah:
a. Perkawinan itu mesti sah menurut hukum syarat’
b. Pernikahan itu mesti mendapat izin dari mamak atau panghulu suku,
baik bagi seorang perempuan atau pun lelaki (Halimy, 2005: 58)
c. Pernikahan itu mesti bukan pernikahan yang dianggap terlarang
atau perkawinan sumbang (Navis, 1986: 195-197)
d. Pernikahan itu mesti telah diselenggarakan menurut adat yang
berlaku pada nagari orang yang melakukan pernikahan (Navis, 1986:
195-197).
3.3.2. Larangan Pernikahan
Selain untuk memenuhi kebutuhan biologis dan perkembangan anak
cucu, pernikahan juga untuk mempererat dan memperluas hubungan
kekerabatan, oleh karena itu hukum pernikahan selain mempunyai larangan
juga mempunyai pantangan, pernikahan dapat dilakukan dengan sanksi
hukum. Pernikahan yang dilarang adalah pernikahan yang dilarang menurut
hukum pernikahan yang telah umum seperti menikahi ibu dan bapak, anak
adik dan kakak, mertua dan menantu, anak tiri dan ibu atau bapak tiri,
55

saudara kandung istri atau suami dan anak sauadara laki laki ayah (Navis
1986: 196).
Dalam adat Minangkabau tidak semua perempuan yang boleh
dinikahi, disamping larangan nikah yang telah digariskan oleh syara’, adat
Minangkabau juga mempunyai pantangan atau larangan nikah yang
tujuannya untuk menjaga keturunan sosial, pantangan atau larangan nikah
itu antara lain:
a. Menikahi perempuan satu persukuan
b. Menikahi janda penghulu dalam satu persukuan
c. Menikahi janda kawan yang seperguruan (Monografi Saniangbaka:
31)
3.4. Sanksi Pernikahan dan Tinjauan Umum Tentang Sumpah
3.4.1. Sanksi Pernikahan
a. Pengertian Sanksi
Hukum adat mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan yang bersifat pribadi dan norma-norma yang bersifat
publik yakni yang mengatur tentang hubungan antara pribadi dan
masyarakat hukum dan badan hukum publik. Ini berarti bahwa suatu
norma hukum yang bertujuan mengatur ketertiban hidup bersama
dan kepentingan yang bersangkut paut dengan masalah hidup
bersama (Hasan, 1988: 59).
Sanksi adat Minangkabau berfungsi sebagai menjaga
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, di samping itu juga
sanksi adat sebagai pengikat dan memberi rasa jera atas pelanggaran
hukum yang dibuat. Sanksi hukum adat tidak berbeda jauh
tujuannya dengan adat yang berlaku di masyarakat umum artinya
hukum adat yang memiliki tujuan yang universal, namun jenis
hukum dan bagaimana hukum itu dijalankan serta sanksi adat atas
pelanggaran hukum adat itu sendiri yang sesuai dengan budaya
masyarakat dalam memberlakukan peraturan adat tersebut.
56

b. Fungsi Sanksi
Fungsi dari hukuman, ada dua yaitu:
1) Menyadarkan pelaku perilaku menyimpang sehingga tidak
melakukan perilaku menyimpang lagi.
2) Memberikan contoh kepada pihak yang tidak melakukan
perilaku menyimpang, bahwa bila mereka melakukan perilaku
menyimpang akan mendapatkan hukuman
c. Tujuan Sanksi
Tujuan sanksi adalah untuk menciptakan ketertiban,
ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagaiaan dalam
tata kehidupan bermasyarakat. Selain itu sanksi juga bertujuan
untuk menjaga dan mencegah agar setimpa orang tidak dapat
menjadi hakim terhadap dirinya sendiri. (http: //artonang.
Blogspot.co.id/2016/01/pengertian-ciri-tujuan-sumpah, 08 mei
2017, 13.30).
d. Jenis-Jenis Sanksi
Adapun jenis sanksi adat Minangkabau bagi orang yang
melakukan pelanggaran dalam pernikahan ialah sebagai berikut:
1) Pembatalan pernikahan,
2) Pengasingan dari masyarakat,
3) Mengusir mereka dari kampung,
4) Mengucilkan mereka dari pergaulan dan adat,
5) Sanksi yang tersirat seperti sumpah yang selalu melekat dan
berdampak buruk pada diri pelaku (Hasan, 1988: 62).
Sanksi terhadap aturan adat disebut dengan delik adat (adat
rechtie) atau pidana adat yang subtansinya tidak seragam pada tiap-
tiap jorong/ nagari. Delik adat ini muncul sebab akibat dari
tersinggungnya perasaan seseorang atau sekelompok orang oleh
tindakan oknum tertentu sehingga menimbulkan rasa malu dan
merenggangkan sifat hubungan sosial. Di Minangkabau sanksi
57

tersebut beraneka ragam tergantung kepada musyawah dari pemuka


adat disuatu wilayah.. Secara umum, ahli hukum adat seperti Ter
Haar tidak merinci bentuk-bentuk pembayaran pelanggaran sanksi
adat, karena masing-masing wilayah tidak sama menerapkan
sanksinya. Umumnya diserahkan kepada pemuka adat untuk
menjatuhkan sanksi, seperti permintaan maaf dan lain sebagainya.
Menurut adat Minangkabau, sanksi bagi pelaku perkawinan pantang,
atau kawin sesuku serta perkawinan sumbang tidak sampai kepada
membubarkan perkawinan karena masyarakat menyadari bahwa
perkawinan seperti itu tidak dilarang oleh agama Islam. Tetapi
ketiganya atas kesepakatan pemuka adat dibuang sepanjang adat.
Dibuang sepanjang adat ini yang berbentuk “ buang sirih “ dalam arti
pelakunya tidak dibawa sehilir semudik dalam pergaulan
masyarakat atau dikucilkan selama kesalahannya belum di tebusi.
Ada pula yang disuruh pergi meninggalkan kampung untuk
menghindari rasa malu dalam fitnah masyarakat sebagai sanksi
sosial.
3.4.2. Tinjauan Umum Tentang Sumpah
Bersumpah adalah mengucapkan seperti janji atau ikrar dengan
kesungguhan untuk menguatkan pernyataan yang dibuat oleh seseorang.
Sumpah tentu memiliki derajat yang tinggi atau tidak main-main. Sumpah
tentu memiliki konsekuensi dan dampak pada yang mengucapkannya. Untuk
itu, sumpah tidak bisa diucapkan main-main, apalagi jika membawa nama
Agama, Allah, dan Rasulullah. Al-Yamin (sumpah) menurut istilah adalah
menegaskan suatu hukum atau perkara yang menyebutkan zat yang mulia
dengan cara tertentu (Kamal, 2006: 471).
a. Hukum sumpah menurut Imam Mazhab ialah dibawah ini:
Sumpah dalam Islam dibahas oleh para ulama atau Imam besar.
Mereka memiliki pendapat masing-masing mengenai bersumpah
dalam Islam. Hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
58

1) Pendapat Imam Malik


Imam Malik berpendapat bahwa bersumpah hukumnya adalah
jaiz. Dalam hal yang dimaksudkan untuk menekankan kepada
masalah agama atau mendorong untuk melaksanakan sesuatu
yang lebih maka dianjurkan untuk melakukan sumpah. Jika
sumpah dilakukan dengan hukum mubah, maka melanggarnya
pun mubah namun tetap harus membayar denda kecuali jika
pelanggaran dari sumpah itu menjadi lebih baik.
2) Pendapat Imam Hambali
Imam Hambali memiliki pendapat bahwa hukum bersumpah
sangat bergantung kepada kondisi yang melingkupinya.
Bersumpah bisa wajib, haram, makruh, sunnah atau mubah.
Bersumpah dalam kondisi yang mengarah kepada kewajiban
maka hukumnya wajib. Sedangkan jika bersumpah dalam hal-
hal yang sudah jelas diharamkan agama, maka hukumnya
adalah haram, dan seterusnya.
3) Pendapat Imam Syafii
Imam Syafii memiliki pendapat bahwa bersumpah adalah
makruh. Sumpah menjadi sunnah, wajib, haram, dan mubah
tergantung kepada keadaannya. Apabila sumpah
diorientasikan pada sumpah yang memberikan bekasan
maksiat maka wajib untuk ditinggalkan, namun jika hal
tersebut justru untuk ditinggalkan (hal maksiat) maka wajib
untuk bersumpah.
4) Pendapat Imam Hanafi
Imam Hanafi berpendapat bahwa bersumpah adalah bersifat
jaiz atau lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah.
Untuk itu seorang muslim hendaknya tidak bersumpah untuk
melakukan sesuatu yang main-main atau hanya sekedar urusan
sepele saja (Baidan, 2005: 56).
59

b. Macam-macam sumpah
Menurut mazha Hanafi sumpah itu ada tiga macam (Baidan,
2005: 58) , yaitu;
1) Al-yamin al-laghw, yaitu sumpah yang diucapkan tanpa ada niat
untuk bersumpah. Pelanggaran atas sumpah ini tidak berdosa
dan tidak wajib membayar kafarat. Contohnya sumpah yang
menggunakan nama Allah dalam kalimat sumpahnya, tetapi
tidak dimaksudkan atau diniatkan untuk bersumpah. Seperti
seseorang mengucapkan “demi Allah, aku akan datang tepat
waktu”. Orang yang mengucapkan perkataan itu tidak
bermaksud untuk bersumpah, tetapi semata-mata agar orang
yang mendengar ucapannya itu mempercayai. Sumpah semacam
ini tidak dihukum dan tidak diwajibkan membayar kafarat.
2) Al-yamin al-mu’akkidah, yaitu sumpah yang diniatkan untuk
bersumpah. Sumpah semacam ini wajib dilaksanakan. Jika
dilanggar harus membayar kafarat. Seperti ucapan seseorang
“demi Allah aku akan benar-benar menepati janji yang telah aku
janjikan dahulu”
3) Al-yamin al-gamus, yaitu sumpah palsu yang mengakibatkan
hak-hak seseorang tak terlindungi atau sumpah yang fasik atau
khianat. Sumpah semacam ini termasuk dose besar.
c. Syarat sumpah dalam Islam
Di dalam Islam, bersumpah bukanlah ucapan yang main-main,
untuk itu, sumpah harus dengan kesungguhan dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Orang yang bersumpah haruslah menepati apa
yang menjadi sumpahnya sedangkan pelanggarannya adalah
tanggung jawab dunia akhirat.
Berikut adalah syarat-syarat bersumpah dalam Islam yang
harus dipenuhi oleh seorang muslim, yaitu:
60

1) Bersumpah dengan nama Allah Swt


“Barang siapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah
atas nama Allah atau (jika tidak) maka diamlah” (HR
Bukhari)

Dalam hadist tersebut, dijelaskan bahwa untuk


bersumpah maka harus dengan menyebut nama Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban kita sejatinya
adalah dengan Allah Swt bukan pada apapun selain Allah.
Selain itu, bersumpah pada selain Allah tentu hal yang
diharamkan, karena tentunya mendekati kepada
kemusyirikan. Syirik Dalam Islam adalah dosa yang berat
dan sulit untuk diampuni jika tidak Taubatan Nasuha , Shalat
Taubat, dan Cara Taubat Nasuha Menurut Islam.
Bersumpah pada Allah menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban apa yang kita sebutkan bukan hanya di
dunia, melainkan kelak di akhirat langsung pada Allah SWT.
Sedangkan pada selain Allah, dikhawatirkan atau berpotensi
pada penyelewengan akidah.
2) Sumpah dengan Salah Satu dari Nama-Nama Allah

Sumpah yang baik adalah yang menyebutkan nama


Allah di dalamnya. Nama Allah yang terdapat dalam Al-
Quran ada 99 Nama Sifat dan Nama Allah. Untuk itu, salah
satunya dapat disebutkan dalam sumpah yang dilakukan,
sebagaimana dalam hadist berikut. Menyebut nama Allah
sebagai bentuk sumpah kita adalah sumpah kesungguhan
yang disampaikan benar-benar dari hati dan
pertanggungjawaban yang dalam.
“Aku berlindung dengan Kemuliaan Kamu, yang tidak
ada Tuhan melainkan Kamu yang tidak mati manakala
jin dan manusia akan mati” (HR Bukhari).
61

3) Sumpah dengan Salah Satu Sifat Allah


Selain itu, sumpah yang baik adalah dengan
menyebutkan pula sifat-sifat Allah. Sebagaimana contohnya
dalam hadist berikut ini.
“Daripada Ibn ‘Umar (radhiallahu ‘anhuma), dia
berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersumpah dengan berkata: “Tidak! Demi yang
membolak-balikkan hati” (HR Bukhari)
Contoh lain dalam penyebutan sifat Allah adalah dalam
hadist berikut ini:
“Demi yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya,
tidaklah seorang jua dari umat ini yang mendengar
tentang aku, baik Yahudi mahupun Nasrani, kemudian
dia mati tanpa beriman kepada apa yang aku diutus
dengannya (Islam) melainkan dia menjadi dari
kalangan ahli neraka” (HR Bukhari)

4) Isi Sumpah Jelas dan Tegas


Isi sumpah haruslah jelas dan tegas. Hal ini untuk
meyakinkan dan memastikan apakah sumpah tersebut dapat
berjalan nantinya dengan benar dan konsisten. Isi sumpah
yang ambigu dan tidak dapat dipahami isinya, tentu menjadi
sumpah yang tidak sungguh-sungguh dan akan mudah untuk
dilanggar.
Sumpah yang ambigu, nantinya akan berpotensi untuk
menjadi penyelewengan makna atau bias tafsir sehingga
akan berefek pada tidak jelasnya tujuan yang hendak dicapai
dari sumpah tersebut. Misalnya “Saya bersumpah tidak akan
melakukan hal itu lagi”. Hal itu yang dimaksud dalam isi
sumpah di atas harus diperjelas dan diucapkan dengan tegas
merujuk pada perilaku apa dan seperti apa.
62

d. Pelanggaran Sumpah

       

       

        

          

        

     


“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang
miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya).

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jika ada


yang melanggar sumpah maka harus melakukan sebagaimana apa
yang disampaikan dalam Ayat di atas. Hal ini dapat dirangkum dalam
poin-poin berikut ini:
1) Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan
yang biasa dimakan sehari-hari atau bersama keluarga
2) Memberi pakaian pada orang miskin
3) Memerdekakakan seorang budak/hamba
63

4) Jika tidak dapat dilakukan hal-hal diatas, maka hendak untuk


berpuasa selama tiga hari.

Anda mungkin juga menyukai