Anda di halaman 1dari 4

Apa kabar rekam medis 

elektronik?*
April 24, 2008 — anisfuad

Komputerisasi rekam medis sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 1994, MMR
UGM pernah mengadakan seminar bertajuk “Menuju komputerisasi rekam medis”. Saat ini, di
klinik yang khusus melayani para pegawai dan mahasiswa di UGM (GMC= Gadjah Mada Medical
Centre) dokternya tidak lagi menggunakan status rekam medis kertas. Mouse dan keyboard sudah
menggantikan pena untuk mencatat gejala, hasil observasi, diagnosis sampai dengan
pengobatan (lihat catatan Dani Iswara tentang CPOE di GMC). Namun, hingga kini hanya klinik
tersebut satu-satunya fasilitas kesehatan yang menggunakan rekam medis elektronik (RME) di
Jogja. Meski hanya untuk melayani pasien rawat jalan, itu sudah lumayan.

Pada dasarnya rekam medis elektronik adalah penggunaan metode elektronik untuk pengumpulan,
penyimpanan, pengolahan serta pengaksesan rekam medis pasien di rumah sakit yang telah
tersimpan dalam suatu sistem manajemen basis data multimedia yang menghimpun berbagai
sumber data medis. Dalam UU Praktik Kedokteran penjelasan pasal 46 ayat (1), yang dimaksud
dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pengertian yang sama juga digunakan pada Permenkes 269/2008. Jenis data rekam medis dapat
berupa teks (baik yang terstruktur maupun naratif), gambar digital (jika sudah menerapkan
radiologi digital), suara (misalnya suara jantung), video maupun yang berupa biosignal seperti
rekaman EKG.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa proses adopsi inovasi RME di Indonesia berjalan
lambat? Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana mempercepatnya?

Alasan klasik

Alasan klasik mengapa RME tidak berkembang dengan cepat adalah tidak adanya payung hukum
yang jelas. Seringkali muncul pertanyaan, bagaimana perlindungan rumah sakit jika terjadi
tuntutan kepada pasien. Bagaimana keabsahan dokumen elektronik? Jika terjadi kesalahan dalam
penulisan data medis pasien, apakah perangkat elektronik memiliki fasilitas log untuk tetap dapat
mencatat data yang telah dimasukkan sebelumnya dan tidak menghapus(delete) sehingga tetap
bisa dikenali siapa yang memasukkan data tersebut serta jenis data yang akan diganti? Aspek
regulasi dan legal memang tidak dapat menandingi kecepatan kemajuan teknologi informasi. Pada
penjelasan UU Praktek Kedokteran pasal 46 dimungkinkan rekam medis tersimpan dalam bentuk
elektronik. Tetapi petunjuk teknisnya hingga saat ini belum dikeluarkan oleh KKI (Konsil
Kedokteran Indonesia). KKI sudah mengeluarkan Manual Rekam Medis, tetapi itupun belum
menjelaskan secara rinci tentang rekam medis elektronik. Baru-baru ini, Depkes
mempublikasikan Permenkes no 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai
pengganti Permenkes 749a/Menkes/Per/XII/1989. Tetapi ini juga tidak memberikan penjabaran
secara rinci tentang rekam medis elektronik. Hanya disebutkan bahwa penyelenggaraan rekam
medis dengan menggunakan teknologi informasi diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri
(Pasal 2 ayat 2). Di sisi lain, masyarakat banyak berharap dengan UU ITE yang baru saja disahkan
oleh DPR untuk memberikan jaminan hukum terhadap transaksi elektronik. Tentu saja
mengharapkan UU ITE sebagai dasar pelaksanaan rekam medis elektronik tidak mencukupi.

Di beberapa negara bagian di AS, beberapa rumah sakit hanya mencetak rekam medis jika akan
dijadikan bukti hukum. Di Wan Fang Hospital, Taipei, meskipun sudah menerapkan rekam medis
elektronik, rumah sakit masih memiliki bagian rekam medis untuk menyimpan hasil printout setiap
data elektronik pasien yang harus ditandatangani oleh dokter.

Persoalan lain adalah ketersediaan dana. Aspek finansial menjadi persoalan penting karena harus
menyiapkan infrastruktur (komputer, jaringan kabel maupun nir kabel, listrik, sistem
pengamanan, konsultan, pelatihan dan lain-lain). Rumah sakit biasanya memiliki anggaran
terbatas, apalagi untuk teknologi informasi.

Belum prioritas
Semua setuju bahwa bahwa sistem penagihan elektronik (computerized billing system) di rumah
sakit merupakan keharusan untuk menjamin manajemen keuangan rumah sakit yang cepat,
transparan dan bertanggung jawab. Dalam piramida sistem informasi rumah sakit, billing system
merupakan lapisan yang paling dasar alias sistem pengolahan transaksi. Jika billing system
merupakan contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan administratif dan
keuangan, maka RME adalah contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan medis.

Tidak ada kasir rumah sakit yang menolak pendapat bahwa komputer mampu memberikan
pelayanan penagihan lebih cepat dan efektif dibanding sistem manual. Sebaliknya, berapa banyak
dokter dan perawat yang percaya bahwa pekerjaan mereka akan menjadi lebih cepat, lebih mudah
dan lebih aman dengan adanya komputer?

Ada perawat yang menolak menggunakan komputer dengan alasan bahwa tugas utama mereka
adalah asuhan keperawatan sedangkan menggunakan komputer merupakan pekerjaan
administratif. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa jika generasi dokter yang sudah tua, kolot
dan gaptek berganti dengan dokter muda yang computer literate maka menerapkan RME menjadi
lebih mudah. Akan tetapi, sampai saat inipun masih ada mahasiswa kedokteran di AS yang
menolak ide penerapan RME.

Tantangan 
Dalam berbagai kesempatan, seringkali disebutkan bahwa tantangan utama pengembangan
sistem informasi di rumah sakit adalah aspek finansial. Hal ini dibuktikan bahwa di berbagai
negara, investasi teknologi informasi di rumah sakit rata-rata adalah 2,5% dari total anggaran
mereka. Padahal, di sektor lain, dapat mencapai tiga kali lipat. Faktor kedua adalah aspek legal
dan security. Masih banyak pihak yang mencurigai bahwa rekam medis elektronik tidak memiliki
payung legalitas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk menjamin agar data yang
tersimpan dapat melindungi aspek privacy, confidentiality maupun keamanan informasi secara
umum. Sebenarnya, teknologi informasi memberikan harapan baru, yaitu teknologi enkripsi
maupun berbagai penanda biometrik (sidik jari maupun pemindai retina) yang justru lebih
protektif daripada tandatangan biasa. Tantangan berikutnya adalah kesiapan pengguna, dalam hal
ini adalah tenaga medis. Pengalaman menunjukkan bahwa salah satu pionir pengembangan sistem
pakar (expert system) adalah dunia kedokteran. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa aplikasi
MYCIN (ditemukan pada awal 1970-an oleh Prof. Shortliffe, seorang ahli penyakit dalam dari
Stanford University) ternyata tidak banyak diterapkan di dunia medis. Sistem tersebut, yang
bertujuan membantu dokter dalam memberikan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis
bakterinya, ternyata dianggap lambat, menghambat pekerjaan dokter, dan seakan membodohi
dokter. Sistem pakar tersebut dianggap lebih cocok bagi mahasiswa kedokteran atau orang awam
yang sama sekali belum pernah mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memberikan
terapi kepada orang sakit.
Beberapa faktor di atas akan diperparah jika manajemen rumah sakit juga tidak memiliki visi dan
tujuan yang jelas mengenai pengembangan sistem informasi rumah sakit. Karena pengelolaan
teknologi informasi dianggap bukan sebagai core business di rumah sakit, rumah sakit tidak
memiliki strategi pengembangan sistem informasi serta strategi pengembangan teknologi
informasinya. Banyak rumah sakit di luar negeri sudah memiliki Chief Information Officer
(CIO) yang khusus mengelola pengembangan sistem /teknologi informasi rumah sakit.
Ketidakjelasan rumah sakit dalam pengelolaan teknologi informasi, akan berakibat pada tidak
jelasnya reward dan penghargaan kepada pekerja teknologi informasi. Mereka akan menjadi
pekerja yang dianggap setara dengan pekerjaan administratif. Sehingga yang dikhawatirkan
adalah sektor kesehatan akan dihindari oleh pekerja teknologi informasi yang unggul.

Peluang
Beratnya tantangan di atas tidak berarti tidak serta merta menutup peluang yang ada. Dari sisi
pengguna, sebenarnya dokter yang semakin computer literate dengan teknologi informasi juga
terus meningkat. Di Kanada, lima puluh persen dokter yang berusia di bawah 35 tahun sudah
menggunakan PDA. Mereka, sebagian besar memanfaatkannya untuk membaca referensi obat. Hal
ini ditunjang dengan munculnya berbagai situs yang menyediakan e-book dan referensi obat yang
dapat diinstall ke PDA. Salah satunya adalah epocrates (htttp://www.epocrates.com) yang
menyediakan drug reference gratis untuk palmtop. Lainnya, memanfaatkan PDA untuk
penjadwalan. Akan tetapi, baru sebagian kecil yang menggunakannya untuk manajemen pasien.
Hal ini terkait dengan masih terbatasnya fasilitas yang user friendly untuk entry data pasien
melalui PDA. Selain itu, sistem informasi rumah sakit juga harus menyediakan fasilitas untuk
sinkronisasi data dari/ke PDA. Oleh karena itu, saat ini aplikasi yang berkembang mengarah
kepada teknologi web yang menjanjikan portabilitas data yang lebih baik. Aplikasi ini juga
didukung oleh teknologi wireless yang memungkinkan dokter dapat melakukan entry data di
samping tempat tidur pasien secara langsung (computerized physician order entry)
Saat ini, penyedia aplikasi sistem informasi klinik sudah semakin banyak (khususnya di luar
negeri). Para vendor tersebut juga berkompetisi untuk menunjukkan keunggulannya masing-
masing. Vendor sistem informasi rumah sakit ada yang berangkat dari peranannya sebagai
penyedia alat-alat medis (medical devices), ada pula yang berbasis pengalaman sebagai
pengembangan sistem. Sehingga, ada yang memiliki keunggulan sebagai penyedia sistem
informasi laboratorium yang sekaligus menyediakan alat pemeriksaan laboratorium. Ada pula
vendor yang menawarkan perangkat keras radiologi digital sekaligus dengan software PACS
(picture archiving and communication systems) untuk mendukung sistem radiologi tanpa film
konvensional (filmless). Kecenderungan pemanfaatan teknologi elektronik ini juga akan berimbas
pada konsep paperless yang ditandai dengan meluruhnya peran kertas (menjadi elektronik)
sebagai media perekam medis. Upaya pengembangan sistem informasi klinis ini diharapkan dapat
mendongkrak mutu pelayanan (pencegahan kesalahan peresepan obat), produktivitas klinisi
(rekam medis dapat diakses secara cepat dan bersama-sama), serta mendorong efisiensi
(menghindari permintaan pemeriksaan laboratorium berulang dikarenakan kertas hasil
pemeriksaan sebelumnya tercecer).
Bagi rumah sakit yang berbudget terbatas, aplikasi yang bersifat open source pun sebenarnya
tersedia. Salah satu diantaranya adalah OpenVistA yang dikembangkan oleh Departement of
Veteran Affairs AS dan tersedia dengan harga US$ 25(dua puluh lima dolar). Akan tetapi, dibalik
peluang tersebut, sebenarnya masih banyak tantangan lain yang harus diselesaikan. Isu standar
pertukaran data, interoperabilitas (antara alat medis dengan komputer maupun perangkat
komunikasi) masih menjadi topik yang belum tuntas. Indonesia pun baru mengadopsi standar
diagnosis (ICD 10), sedangkan standar yang berkaitan aspek teknologi informasi tersebut masih
belum diadopsi. Oleh karena itu, memang benar pendapat salah satu pakar, teknologi informasi di
rumah sakit merupakan journey, bukan destination.

Mempercepat adopsi RME

Untuk mendorong minat dan adopsi RME, manfaat dan potensinya harus terus menerus
disosialisasikan. Sebagai contoh, RME mampu menyimpan data pasien dalam jumlah yang besar
hanya menggunakan perangkat komputer yang bisa dijinjing. Selain itu, rekam medis elektronik
dapat memberikan peringatan jika dokter salah memberikan obat atau ada reaksi antar obat.
Dalam konteks ini, sosialisasi RME harus menjadi bagian penting dalam kampanye gerakan
keselamatan pasien (patient safety). Ada pula yang menunjukkan kelebihan rekam medis
elektronik dalam menyimpan data medis multimedia yang dapat diakses kapan saja dan dimana
saja. Meskipun belum ada rekam medis elektronik yang benar-benar sempurna, secara teknologi
sebenarnya sudah dalam fase mature.

Kegiatan sosialisasi tidak dapat berdiri sendiri. Sosialisasi RME harus dilakukan secara terus
menerus dan memerlukan inisiatif tingkat nasional. Jika pemerintah serius menjadikan RME
sebagai kunci untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, maka harus ada tim yang secara
serius merumuskan arah pengembangan RME. Lembaga ini harus berada di luar Ditjen Yanmed
Depkes, tetapi bertanggung jawab ke direktorat tersebut. Dengan demikian dia tidak akan
terbebani dengan kegiatan rutin (misalnya mengurusi pelaporan rutin rumah sakit). Mengingat
sebagian besar rumah sakit di Indonesia memiliki masalah klasik keterbatasan dana, tim tersebut
dapat merumuskan model standar perangkat lunak RME yang bersifat public domain. Perangkat
lunak tersebut harus mengikuti kaidah-kaidah standar informatika untuk RME (mulai dari ICD,
HL7, LOINC dan berbagai standar lainnya)

Selain membuat perumusan di tingkat teknis, lembaga tersebut juga semestinya merancang
payung hukum yang memberi jaminan keabsahan informasi rekam medis dalam bentuk elektronik.
Hal lain yang harus dipertimbangkan tentu saja menyangkut aspek keamanan, kerahasiaan dan
privacy informasi medis. Model RME tersebut harus tertuang ke dalam buku putih yang akan
menjadi pegangan bagi setiap stakeholder yang terlibat dalam pengembangan RME di Indonesia.

Menjadikan RME sebagai bagian dari kebutuhan dokter merupakan bagian dari proses difusi
inovasi. Di setiap generasi, akan selalu ada early adopters yang akan menjadi pionir dalam
mengadopsi perkembangan terkini. Dia pulalah yang akan menjadi role model bagi sesama
sejawat. Dalam berbagai literatur mengenai keberhasilan adopsi RME, aspek clinical leadership ini
sering mengemuka.

Akhirnya kunci yang paling menentukan apakah RME akan diadopsi atau tidak terletak pada ada
tidaknya kebutuhan, bukan teknologinya, baik menurut dokter maupun manajemen rumah sakit.
Selama dokter merasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik seperti saat ini, maka proses
adopsi akan berjalan lambat. Selama pihak manajemen juga tidak memiliki persepsi yang positif
dan menganggap kebutuhan informasi di tingkat manajemen hanya berkisar mengenai BOR, LOS,
TOI maka RME hanya akan menjadi wacana.

3310024207910001

Anda mungkin juga menyukai