Anda di halaman 1dari 33

Seri Hasil Riset UPAP

Technical Report
Volume 1/I/2019

Unit Pengembangan Alat Psikodiagnostika


Fakultas Psikologi UGM
Tahun 2019 ii
1

Peranan Tingkat Rasionalitas Individu Terhadap Performansi


Individu dalam Mengerjakan Tes Penilaian Situasi
(Situational Judgement Test)

Wita Ardhini Susilasari1, Wahyu Widhiarso2


1,2 Universitas Gadjah Mada
e-mail: wita.ardhini.s @mail.ugm.ac.id, 2wahyu_psy@ugm.ac.id
1

Abstract. Situational Judgment Test is a selection model that was popular among
industries and organizations but has not developed much in Indonesia. This study
aims to determine the correlation between the score rationality with individual
ability to get a high score on Situation Judgment Test. The study participants were
179 collage students in three cities (Yogyakarta, Surabaya and Makassar). This
study uses a Situation Judgment Test that measures performance in work and
Indonesian Rationality Tests to measure the level of rationality. The main analysis
used for hypothesis testing is Pearson Product Moment correlation. The software
program used to assist the analysis process is SPSS 22. The test results show that
the individual score on the rationality test does not correlate with the score in the
Situation Assessment Test with a value of (r = 0.098). The results of this correlation
indicate that individual performance in a Situation Judgment Test is not influenced
by the level of individual rationality.

Keywords : Situational Judgment Test, Rationality, Tes Rasional Indonesia

Abstrak. Tes Penilaian Situasi (Situational Judgment Test) merupakan model seleksi
yang sedang populer di kalangan industri dan organisasi namun belum banyak
berkembang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara skor rasionalitas dengan kemampuan individu dalam mendapatkan skor
tinggi Tes Penilaian Situasi (TPS). Partisipan penelitan ialah 179 mahasiswa di tiga
Kota (Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar). Penelitian ini menggunakan Tes
Penilaian Situasi yang mengukur performansi dalam bekerja dan Tes Rasional
Indonesia untuk mengukur tingkat rasionalitas. Analisis utama yang digunakan
untuk uji hipotesis ialah korelasi Product Moment Pearson. Program lunak yang
digunakan untuk membantu proses analisis ialah SPSS 22. Hasil tes menunjukkan
bahwa skor individu pada tes rasionalitas tidak berkorelasi dengan skor dalam
Tes Penilaian Situasi dengan nilai sebesar (r = 0,098). Hasil korelasi ini
menunjukkan bahwa performansi individu dalam Tes Penilaian Situasi tidak
dipengaruhi oleh tingkat rasionalitas individu.

Kata kunci : Tes Penilaian Situasi , Rasionalitas, Tes Rasional Indonesia


2

Peneliti di bidang psikologi telah banyak mengembangkan tes yang

mengukur kemampuan dan kepribadian seseorang. Skala yang populer di

kalangan peneliti dan praktisi adalah skala yang menggunakan format Likert.

Skala ini banyak dipakai dalam bentuk angket untuk keperluan riset maupun

praktis. Selain Likert, literatur yang relatif baru mengembangkan pengukuran

dengan format lain yang dinamakan dengan Tes Penilaian Situasi (TPS). Nama Tes

Penilaian Situasi diambil dari Situational Judgement Test (SJT). Berbeda dengan

skala dengan format Likert, TPS lebih populer dipakai terutama dalam bidang

industri dan organisasi. TPS digunakan sebagai metode seleksi personal pelamar

pekerjaan (Catano, Brochu, & Lamerson, 2012; M A McDaniel, Hartman, Whetzel,

& Grubb III, 2007; Whetzel & McDaniel, 2009) dan memprediksi performansi kerja

(McDaniel, Morgeson, Finnegan, Campion, & Braverman, 2001; Bledow & Frese,

2009). Kemampuan TPS untuk memprediksi performansi kerja dipengaruhi oleh

pengetahuan prosedural yang terlibat dalam butir-butir soal TPS. Dengan kata

lain, TPS dapat mengukur kapasitas pengetahuan prosedural individu terkait

dengan perilaku di berbagai situasi kerja. TPS berkaitan dengan perilaku di situasi

kerja secara langsung maka TPS dapat dipakai untuk memprediksi performansi

kerja (Lievens & Motowidlo, 2016).

Penggunaan Tes Penilaian Situasi sudah ada sejak tahun 1920-an yang

pertama kali digunakan untuk penilaian situasi sosial dalam George Washington

Social Intelligence Test. Pada perang dunia dua TPS digunakan untuk seleksi

pegawai militer hingga berkembang menjadi Tes Penilaian Situasi yang lebih

modern (McDaniel, Michael A; Morgeson, Frederick P; Finnegan, Elizabeth B;

Campion, Michael A; Braverman, 2001). Saat ini TPS digunakan pada berbagai

macam bidang. Pada bidang medis, TPS digunakan untuk menyeleksi dan

menempatkan pekerjaan terkait dengan bidang kedokteran. Kemampuan yang

diukur melalui TPS sangat bervariasi, misalnya komitmen profesionalisme,


3

kemampuan mengatasi tekanan, keterampilan komunikasi yang efektif,

keterampilan memahami pasien, dan bekerja dalam tim (Sharma, 2015). Hasil

penelitian menjelaskan bahwa TPS dapat dipakai untuk mengukur ketahanan

perawat kesehatan dalam perawatan paliatif . Penelitian ini berkaitan dengan

stresor yang mungkin muncul pada perawat kesehatan. Variabel yang terkait

dengan sikap karyawan tersebut adalah turnover, komitmen organisasi dan

kepuasan kerja. Hasilnya, TPS memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan

dan sikap karyawan. (Pangallo, Zibarras, & Patterson, 2016).

Pada bidang pendidikan, TPS dapat digunakan untuk pengukuran tingkat

pengetahuan strategi manajemen kelas pada calon guru sekolah dasar (Gold &

Holodynski, 2015). TPS juga dapat digunakan dalam seleksi perguruan tinggi

(Lievens & Sackett, 2012). Di sisi lain, TPS memiliki potensi untuk digunakan

dalam bidang penerbangan sebagai penilaian pengambilan keputusan

aeronautika oleh pilot penerbangan umum dan sebagai evaluasi pelatihan

(Hunter, 2003). Pada bidang organisasi manufaktur, TPS digunakan untuk

berbagai keperluan misalnya menggali karakteristik kepribadian, keterampilan

sosial, pengetahuan bekerja dalam tim, dan kinerja kontekstual (Morgeson,

Reider, & Campion, 2005)

Pengertian TPS

Tes Penilaian Situasional (TPS) disebut juga dengan Situational Judgment

Test (SJT). TPS adalah metode pengukuran yang mempresentasikan skenario atau

situasi yang berhubungan dengan pekerjaan dan kemungkinan respons terhadap

situasi yang dihadapi (Christian, Edwards, & Bradley, 2010; Lievens, Peeters, &

Schollaert, 2008; M A McDaniel et al., 2007; O’Connell, Hartman, McDaniel, Grubb,

& Lawrence, 2007; Oostrom, Köbis, Ronay, & Cremers, 2017; Whetzel & McDaniel,

2009). Situasi yang dimuat di dalam setiap butir soal biasanya terdiri dari

serangkaian dilema atau masalah pekerjaan (Christian et al., 2010; Oostrom et al.,
4

2017). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dilema adalah suatu kondisi

menyulitkan yang dialami oleh individu. Dilema munculnya oleh karena ada

sebuah masalah yang menawarkan kemungkinan yang sama-sama sulit untuk

diterima. Dilema juga dapat dimaknai sebagai situasi sulit yang mengharuskan

orang menentukan pilihan antara kemungkinan yang sama-sama tidak

menyenangkan atau tidak menguntungkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2018). Dilema dapat terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia termasuk di

dalamnya dilema di dalam situasi pekerjaan. Skenario atau dilema di dalam butir-

butir soal TPS berkaitan dengan penerapan pengetahuan (knowledge),

keterampilan (skill), kemampuan (abilities), dan karakteristik lain (other

characteristic) (Christian et al., 2010).

Tes Penilaian Situasi disajikan dengan format yang bermacam-macam,

beberapa diantaranya adalah tertulis (paper-pencil test) (Chan & Schmitt, 2002;

Christian et al., 2010), verbal (Christian et al., 2010), berbasis komputer (Christian

et al., 2010; Olson-buchanan et al., 1998; Weekley, Jeff A; Jones, 1997), dan berbasis

video (Chan & Schmitt, 1997; Weekley, Jeff A; Jones, 1997). Tes Penilaian Situasi

secara tertulis merupakan tes yang banyak digunakan saat ini meskipun TPS

berbasis video lebih menawarkan banyak keunggulan. TPS berbasis video terbukti

efektif digunakan pada minoritas terutama bagi yang memiliki kemampuan

linguistik lebih rendah (Chan & Schmitt, 1997). TPS berbasis video juga dapat

menyajikan informasi dalam jumlah besar dalam rentang waktu yang sama

(Sharma, 2015). Selain itu, penyajian dengan format video membuat responden

menerima informasi visual dan auditori serta lebih mengarah pada ketepatan

simulasi. Hal ini dikarenakan format video memberikan pandangan yang lebih

realistis tentang situasi sehingga responden merasakan bahwa dirinya dalam

sebuah situasi tersebut dan menjadi bagian dari situasi (Motowidlo, Dunnette, &

Carter, 1990). Namun demikian, belum banyak penelitian yang membandingkan


5

efektivitas antara TPS dengan format video dan tertulis sehingga penggunaan tes

dalam bentuk tertulis masih memiliki efektivitas dan popularitas yang tinggi.

Secara umum, TPS dikembangkan dengan beberapa tahapan. Motowidlo

et al (1990) menjelaskan pengembangan TPS dalam tiga tahapan. Pertama,

pengembangan diawali dengan melakukan analisis pekerjaan yang dimulai dari

peristiwa kritis situasi kerja dikumpulkan oleh para ahli di masing-masing bidang

atau berasal dari beberapa kasus dari arsip. Tujuan pengembangan TPS adalah

mengumpulkan peristiwa yang berhubungan dengan domain konten atau

konstruksi tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan (Bergman, Drasgow,

Donovan, Henning, & Juraska, 2006). Setelah peristiwa-peristiwa kritis terkumpul,

kemudian peristiwa tersebut dikelompokkan, dipilih yang mewakili situasi sesuai

dengan kriteria penilaian dan diedit menjadi batang panjang dan dalam format

yang sama

Tahap kedua dalam mengembangkan TPS adalah pembuatan opsi

respons. Tahap ini menghasilkan satu atau lebih respons untuk setiap situasi yang

telah dipersiapkan oleh pakar maupun responden yang tidak berpengalaman.

Respons dari pakar berguna untuk mengidentifikasi tanggapan terbaik dan

menghasilkan tanggapan yang kurang optimal. Responden yang kurang

berpengalaman berguna untuk menawarkan respons yang lebih efektif. Setelah

mengumpulkan alternatif respons, pengembang TPS mengedit semua alternatif

respons sehingga respons pada suatu item menjangkau berbagai keefektifan.

Tahap terakhir dalam pengembangan TPS adalah mengembangkan kunci

penyekoran. Metode pemberian skor pada TPS seringkali memiliki kesamaan

dengan format tes berbentuk pilihan ganda (Bergman et al., 2006) namun tetap

dibedakan dalam pendekatan penilaian rasional dan empiris. Akhir-akhir ini

berkembang penyekoran baru, yaitu penyekoran berbasis rasional. Pada model

oni skor dari respons dilakukan dengan menyerahkan keefektifan respons pada
6

para pakar untuk kemudian menentukan opsi terbaik dan terburuk. Opsi terbaik

dinilai sebagai jawaban yang benar dan opsi terburuk sebagai jawaban yang salah.

Penilaian empiris diberikan kepada sampel pilot besar untuk memilih alternatif

respons. Respons yang paling sering dipilih oleh individu memiliki kriteria tinggi

dan dinilai benar sedangkan opsi yang jarang dipilih memiliki kriteria rendah dan

dinilai rendah (Lievens et al., 2008).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Tes Penilaian

Situasi (TPS) adalah metode pengukuran yang menyajikan skenario atau situasi

yang berhubungan dengan dilema atau masalah dalam pekerjaan. Situasi dilema

atau masalah dalam pekerjaan memungkinkan responden untuk memilih respons

yang sesuai dengan keadaan dirinya. Respons yang dipilih nantinya akan menjadi

penilaian berdasarkan aspek dan indikator yang telah ditentukan sebelumnya.

TPS dapat disajikan dalam berbagai bentuk seperti tes tertulis, verbal, berbasis

komputer maupun berbasis video. Tahap pengembangan TPS dapat dilakukan

sesuai dengan kebutuhan, namun secara umum terdapat tiga tahap

pengembangan yaitu perencanaan situasi dilema, pembuatan opsi respons, dan

menentukan kunci penilaian.

Evaluasi terhadap Tes Penilaian Situasi

Terdapat banyak alasan TPS menjadi pilihan dalam penilaian seleksi

personal. Pertama, TPS menunjukkan validitas di atas kemampuan kognitif dan

tes kepribadian, Terutama pada validitas kriteria terkait (Criterion-related) dan

validitas tambahan (Lievens et al., 2008). TPS memiliki dampak negatif (adverse

impact) yang rendah daripada tes kemampuan kognitif tradisional (Clevenger,

Pereira, Wiechmann, Schmitt, & Schmidt Harvey, 2001; Oostrom, de Vries, & de

Wit, 2018). TPS dengan instruksi kecenderungan perilaku atau kinerja

menunjukkan dampak negatif yang lebih randah dibandingkan dengan instruksi

pengetahuan berkaitan dengan ras. Hal ini dikarenakan TPS dengan


7

kecenderungan perilaku mengukur aspek non kognitif dan lebih mengarah pada

kinerja pekerjaan (Nguyen, Biderman, & McDaniel, 2005).

TPS direspons secara antusias karena berkaitan langsung dengan target

pekerjaan yang diterapkan. TPS mengukur konstruk yang telah terbukti, kuat atau

prediksi yang berguna pada kinerja pekerjaan. TPS berbasis video dianggap lebih

menguntungkan dan menghasilkan persepsi yang lebih positif daripada tes yang

tertulis. Hal ini dikarenakan tes berbasis video lebih modern, valid, dan

menyenangkan. Bentuk penyajian tes yang beragam memungkinkan untuk

menguji dalam jumlah besar, terutama tes yang berbasis internet (Lievens et al.,

2008).

Terlepas dari popularitasnya, TPS memiliki keterbatasan yang cenderung

berpura-pura, dapat dilatih dan dibina (Lievens et al., 2008). Terkait dengan

pendapat dapat dilatih dan dibina (coaching effect), popularitas TPS

memungkinkan munculnya bisnis pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan

hasil penilaian. Hal tersebut membuat hasil penilaian tidak lagi menggambarkan

tentang kemampuan sebenarnya dari responden (Peeters & Lievens, 2005).

Penelitian Peeters dan Leviens (2005) mendukung alasan TPS cenderung

berpura-pura dengan melakukan studi tentang kepura-puraan dalam TPS dan

menemukan bahwa kandidat dalam kondisi berpura-pura mencetak 0,89 SD lebih

tinggi daripada kandidat dalam kondisi jujur. Alasan lain yang menggambarkan

bahwa TPS cenderung berpura-pura adalah responden memiliki kecenderungan

untuk mengubah tanggapan terhadap situasi agar terlihat bagus dan memperoleh

penilaian tinggi sehingga dapat lolos dan diterima (Whetzel & McDaniel, 2009).

Penelitian Whetzel (2009) menunjukkan hasil yang beragam mengenai

kerentanan TPS terhadap respons tipuan atau bohong. Dalam penelitian tersebut

terdapat dua tema yang teridentifikasi. Pertama, setiap responden dapat berpura-

pura. Secara konsisten, responden yang diinstruksikan untuk berpura-pura dapat


8

dilakukan dan dapat mengubah urutan peringkat kandidat dalam situasi seleksi

berisiko tinggi. Kedua, kecenderungan berpura-pura dapat dikurangi dengan

menggunakan instruksi berbasis pengetahuan yang akan meminta jawaban benar

dan item pengukurannya lebih maksimal. Responden yang jujur maupun yang

berpura-pura sama-sama memiliki motivasi untuk memberi respons yang terbaik.

(Whetzel & McDaniel, 2009).

Salah satu kelemahan TPS yang sampai saat ini menjadi perhatian dari

para peneliti adalah potensi keterkaitannya yang besar dengan domain kognitif.

Paparan di atas menunjukkan TPS mirip dengan tes prestasi karena adanya faktor

pengetahuan prosedural yang sangat terkait dengan pengetahuan dan

pengalaman individu, serta konstruk yang sering kali diukur oleh TPS banyak

berkaitan domain kognitif (misalnya kemampuan berpikir kritis dsb.). Masalah ini

menjadi perhatian utama dalam penelitian ini sehingga penulis bertujuan untuk

mengidentifikasi keterkaitan antara kapasitas individu dalam dimensi kognitif

dengan performansinya dalam mengerjakan butir-butir soal TPS. Bagian berikut

akan membahas keterkaitan antara TPS dengan kemampuan kognitif.

Tes Penilaian Situasional dan Tes Kapasitas Kognitif

Dalam perkembangannya, Tes Penilaian Situasi dikaitkan dengan

kemampuan kognitif. Beberapa penelitian menemukan bahwa TPS tidak

berkorelasi dengan kemampuan kognitif (Clevenger, Pereira, Wiechmann,

Schmitt, & Schmidt Harvey, 2001; Chan and Scmitt, 2002; Bobat, Caruth, &

Buitendach, 2012). Koczwara juga menambahkan bahwa TPS berfokus pada

berbagai atribut non-kognitif seperti empati, integritas, dan ketahanan yang

dihadirkan dalam skenario pekerjaan (Koczwara et al., 2012). Sejalan dengan hal

itu, Lievens dan Motowidlo berpendapat bahwa kepribadian dan kemampuan

kognitif tidak diukur secara langsung oleh TPS (Lievens & Motowidlo, 2016).
9

Penelitian yang dilakukan oleh Chan dan Schmitt (2002) melibatkan 160

pekerja Singapore Civil Service, hasilnya TPS tidak berkorelasi dengan kemampuan

kognitif (r = –.02) dan pengalaman kerja (r = –.10). TPS secara signifikan tetapi

berkorelasi lemah dengan ciri-ciri kepribadian Big Five (korelasi antara 0,19

hingga 0,29). Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Clevenger (2001) yang

menyatakan bahwa TPS tidak berkorelasi dengan kemampuan kognitif secara

substansial hasilnya lebih rendah dengan penelitian McDaniel (2001) yang

menyatakan berkorelasi dengan kemampuan kognitif. Hal ini dapat disebabkan

karena TPS dapat digunakan untuk mengukur konstruk yang berbeda dan

bervariasi tergantung jenis situasi yang menuntut penilaian dalam konteks kerja.

Ketika penilaian yang diperlukan dalam pekerjaan lebih bersifat kognitif (misal:

perencanaan, kemampuan organisasi, dan pemecahan masalah analitik) maka

skor TPS terhadap analisis pekerjaan tersebut memungkinkan berkorelasi lebih

tinggi dengan tes kemampuan kognitif daripada penilaian yang berkaitan dengan

interpersonal dan kepemimpinan. Namun apabila penilaian TPS lebih bersifat

interpersonal dan kepemimpinan maka korelasi dengan kepribadian

memungkinkan lebih tinggi dan korelasi dengan kemampuan kognitif akan lebih

kecil (Chan & Schmitt, 2002)

Peneltian Koczwara menyebutkan bahwa meta analisis menunjukkan TPS

memiliki korelasi rata-rata (r = 0,46) dengan kemampuan kognitif (Koczwara et al.,

2012). Penelitian sebelumnya dari McDaniel (2001) menyebutkan Sebuah tinjauan

dari 79 korelasi antara tes penilaian situasional dan kemampuan kognitif umum

yang melibatkan 16,984 orang mengindikasikan TPS berkorelasi dengan

kemampuan kognitif (p = ,46) (McDaniel, Morgeson, Finnegan, Campion, &

Braverman, 2001). TPS memiliki validitas tambahan yang moderat atas

kemampuan kognitif dan kepribadian (Lievens & Motowidlo, 2016; O’Connell et

al., 2007; Peeters & Lievens, 2005).


10

Melalui penelitiannya Lievens dan Motowidlo (2016) membenarkan

bahwa kemampuan kognitif dan kepribadian tidak diukur secara langsung oleh

TPS akan tetapi kemampuan kognitif dan kepribadian dikonseptualisasikan

sebagai anteseden dari kedua jenis pengetahuan prosedural ini yang diperoleh

selama bertahun-tahun (Lievens & Motowidlo, 2016). Hal ini sejalan dengan

penelitian Koczwara, meskipun TPS dirancang untuk mengukur ranah non

kognitif namun penelitian ini mengharapkan hubungan positif antara TPS dengan

kemampuan kognitif. Teori menunjukkan bahwa orang yang cerdas (memiliki

kemampuan kognitif yang baik) dapat belajar lebih cepat tentang sifat-sifat non

kognitif yang lebih efektif dalam situasi yang berhubungan dengan pekerjaan

seperti yang dijelaskan atau diukur oleh TPS (Koczwara et al., 2012).

Rasionalitas sebagai Representasi Kapasitas Kognitif Individu

Rasionalitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diambil dari kata

rasionalitas yang memiliki arti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis,

menurut pikiran yang sehat dan cocok dengan akal. (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2018). Pengertian ini menunjukkan bahwa rasionalitas adalah segala

tindakan maupun pikiran yang didapatkan melalui pertimbangan yang logis dan

sesuai dengan aturan yang ada. Rasionalitas adalah fitur dari proses pengambilan

keputusan yang bertujuan untuk mengatasi situasi tertentu (Paris, 2013).

Rasionalitas adalah keadaan mental, proses, dan pemikiran yang membantu

mencapai tujuan (Baron, 2008; Kohler & Harvey, 2004). Selain mengacu pada

tujuan, rasionalitas juga mengacu pada norma atau nilai-nilai (Marki, 2009).

Rasionalitas terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek instrumental dan

aspek epistemik (Stanovich, 2010). Rasional instrumental merupakan bentuk

teknis dari rasionalitas yang menggambarkan optimalisasi pemenuhan tujuan

individu. Rasionalitas instrumental seringkali disebut dengan rasionalitas praktis.

Rasionalitas instrumental merupakan tindakan yang memaksimalkan kepuasan


11

tujuan (Stanovich, 2010). Rasionalitas instrumental menjadikan tujuan sebagai

gagasan utama dan kepercayaan serta kesimpulan sebagai gagasan sekunder.

Dalam pencapaian tujuan, rasional instrumental memerlukan sarana atau cara

optimal (Alexander & Alexander, 2000). Hal ini menggambarkan bahwa agar

tindakan seseorang rasional tindakan yang dilakukan harus menjadi cara terbaik

untuk mencapai tujuan (Manktelow, 2004)

Berbeda dengan rasionalitas instrumental, rasional epistemik lebih

mengarah pada bentuk teoritis. Rasional epistemik merupakan aspek yang

menyangkut tentang kepercayaan dan nilai kebenaran. Rasionalitas epistemik

sering disebut dengan istilah rasionalitas teoritis atau rasionalitas bukti

(Stanovich, 2010). Rasional epistemik merupakan rasionalitas yang berdasarkan

pada keyakinan pada hal yang benar (Manktelow, 2004; Stanovich, 2010).

Keyakinan pada hal yang benar tersebut relevan untuk mengingat preferensi

seseorang dalam menentukan tujuan (Kohler & Harvey, 2004). Pada rasional

epistemik melibatkan pencarian dan bukti-bukti yang kuat untuk membangun

keyakinan yang benar.

Pada penerapannya di kehidupan, kolaborasi antara rasional instrumental

dan rasional epistemik sama-sama aspek penting yang diperlukan untuk

mencapai tujuan. Rasional epistemik dengan keyakinan pada kebenaran yang

disertai dengan bukti-bukti akan menjadi dasar dari pemikiran dan tindakan.

Kemudian aspek rasional instrumental akan diwujudkan menjadi cara dan sarana

optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam perkembanganya, Rasionalitas menjadi kajian pada beberapa ilmu

diantaranya, ekonomi, psikologi dan filsafat. Pada perspektif ekonomi lebih

mengarah pada rasionalitas substantif atau rasional hasil yang menilai rasionalitas

tindakan dari hasil atau keluaran. Dalam perspektif psikologi lebih mengarah

pada rasionalitas prosedural yang menilai rasionalitas tindakan dari proses


12

pertimbangan dan pengambilan keputusan (Hidayat, 2016). Oleh sebab itu,

rasionalitas menjadi representasi dari kemampuan kognitif sebagai bagian dari

tahapan berpikir dalam pengambilan keputusan (Edwards, 1954). Rasionalitas

juga dianggap sebagai tulang punggung dari planning (Adjei-poku, 2018).

Tomer (2008) menjelaskan beberapa karakteristik dari individu rasional.

Pertama, seseorang yang rasional dapat merefleksikan nilai-nilai dan tujuan-

tujuan pribadi. Kedua, seseorang yang rasional berusaha menentukan sesuatu

yang benar-benar baik untuk diri sendiri. Ketiga, pribadi rasional

mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Keempat, pribadi rasional juga

mempertimbangkan moralitas. Terakhir, pribadi rasional mempertimbangkan

kebahagiaan yang sesungguhnya.

Berdasarkan karakteristik di atas dapat menjadi ditarik beberapa

keterkaitan antara rasionalitas dengan performansi individu dalam mengerjakan

Tes Penilaian Situasi. Pertama, pribadi rasional dapat merefleksikan nilai-nilai dan

tujuannya sehingga dalam pengerjaan TPS pribadi rasional akan berusaha untuk

memenuhi skor yang tinggi sebagai upaya untuk mencapai tujuannya. Dalam

pemilihan opsi-opsi jawaban, pribadi rasional akan memperhatikan nilai yang

sesuai dengan prinsip atau sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kedua, pribadi rasional mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang

dan yang baik untuk dirinya. Hal ini sejalan dengan (Hastie & Dawes, 2010) yang

menyebutkan bahwa pribadi rasional alternatif tindakannya diambil berdasarkan

pertimbangan terhadap konsekuensi dan hasil. Implikasi dalam mengerjakan TPS,

maka pribadi yang memiliki rasionalitas baik akan mengerjakan tes dengan

menimbang manfaat dari alternatif jawaban yang ditawarkan untuk membuat

keputusan. Pribadi rasionalitas akan memilih opsi jawaban dengan menggali

bukti-bukti (Choi, 2001), mempertimbangkan manfaat (Gigerenzer, 2007), dan

sesuai situasi (Baron, 2008).


13

Ketiga, pribadi rasional melakukan tindakan dengan mempertimbangkan

moralitas. Meskipun gagasan utama rasionalitas adalah tujuan akan tetapi dalam

pengambilan keputusan tetap mempertimbangkan moralitas. Tindakan yang

mempertimbangkan moralitas biasanya disebut dengan normatif, normatif adalah

berpegang teguh pada norma atau menurut norma atau kaidah yang berlaku

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2018). Normatif bisa juga diartikan sesuai dengan

nilai yang ada di masyarakat. Implikasinya orang rasional akan mengerjakan Tes

Penilaian Situasi dengan memilih opsi jawaban yang sesuai dengan aturan dan

nilai yang ada dan menghindari opsi jawaban yang tidak sesuai dengan norma.

Pribadi rasional cenderung menghindari alasan yang “konyol” (Lagueux, 2003).

Oleh karena itu, pada pengerjaan Tes Penilaian Situasi pribadi rasional akan

berhati-hati dan memberikan jawaban terbaik.

Keempat, keterkaitan antara rasionalitas dengan performansi menjawab

soal TPS dapat dilandasi oleh karakteristik orang yang rasional dalam memiliki

sifat untuk bersifat pragmatis (Brewer, 2005). Pragmatis artinya bersifat praktis

dan berguna untuk umum atau bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan

kegunaan atau kemanfaatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2018). Pragmatis

dalam menjawab soal artinya memiliki opsi-opsi yang memiliki keuntungan atau

memiliki nilai yang sesuai dengan prinsip atau kebutuhan mereka. Implikasinya

adalah performansi individu rasional dalam mengerjakan Tes Penilaian Situasi

akan memilih opsi jawaban yang sesuai dengan nilai yang diyakini dan

memberikan keuntungan.

Keterkaitan antara skor individu yang didapatkan dari TPS dan tes

rasionalitas akan semakin terlihat jika situasi penyelenggaraan tes adalah situasi

seleksi kerja. Pada situasi ini individu menghadapi situasi yang kompetitif

sehingga mereka harus mengerahkan kemampuannya agar mendapatkan skor

yang tinggi. Rasionalitas individu dalam mengerjakan soal akan diuji dalam

bentuk pengerjaan soal TPS yang berisi situasi-situasi yang dilematik. Individu
14

yang memiliki rasionalitas yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk

mendapatkan skor yang tinggi pada pada TPS. Penyebabnya adalah opsi-opsi

jawaban yang rasional pada TPS biasanya adalah kunci jawaban. Hal ini

dikarenakan kunci jawaban adalah perilaku yang paling tepat, efektif dan rasional

untuk dipilih ketika individu menghadapi situasi permasahan yang diberikan.

Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa kemampuan kognitif

bersinggungan dengan kemampuan dalam mengerjakan Tes Penilaian Situasi

baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penelitian ini ingin

mengetahui hubungan antara skor rasionalitas yang diukur dengan

menggunakan Tes Rasionalitas Individu dengan kemampuan individu dalam

mendapatkan skor tinggi Tes Penilaian Situasi. Berdasarkan hal di atas, penelitian

ini mengajukan hipotesis bahwa skor rasionalitas dan skor individu pada Tes

Penilaian Situasi memiliki hubungan yang positif. Maka semakin tinggi skor Tes

Rasionalitas maka akan semakin tinggi pula skor Tes Penilaian Situasi.

METODE
Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Partisipan tes diundang

melalui informasi di media sosial. Partisipan mengisi data diri dan kesediaan

hadir pada waktu yang telah ditentukan pada laman web. Pada saat tes

berlangsung, instruktur tes memberikan instruksi yang sudah dimodifikasi.

Modifikasi dilakukan dengan memberikan instruksi agar partisipan

membayangkan situasi tes saat itu adalah proses seleksi untuk mendapatkan

pekerjaan yang diinginkan. Tujuan dari modifikasi instruksi ini agar para

partisipan memberikan jawaban terbaik dan mengerahkan kemampuan secara

maksimal. Untuk meningkatkan motivasi partisipan memperoleh skor yang


15

tinggi, penyelenggara tes memberikan hadiah sebesar Rp. 500.000 bagi partisipan

yang mendapatkan skor tertinggi.

Partisipan

Partisipan dari penelitian ini adalah mahasiswa aktif kuliah berjumlah 179

orang dari tiga kota (Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar) dengan jumlah 135

orang (75%) adalah perempuan dan 44 orang (25%) adalah laki-laki. Pengambilan

sampel dilakukan dengan membuka pendaftaran di laman web Unit

Pengembangan Alat Psikodiagnostika (UPAP). Masing-masing partisipan sama-

sama mengerjakan Tes Rasionalitas Indonesia dan Situational Judgment Test. Data

skor Tes TPS ini merupakan data sekunder yang didapatkan dari Unit

Pengembangan Alat Psikodiagnostika (UPAP) Fakultas Psikologi Universitas

Gadjah Mada.

Instrumen Penelitian

TPS adalah tes yang sedang dikembangkan oleh Unit Pengembangan Alat

Psikodiagnostika yang digunakan untuk mengeksplorasi model pengukuran

kepribadian. TPS terdiri dari 30 butir soal yang mengukur lima dimensi yaitu

hospitality, profesionalism, enterprenurship, sikap terhadap informasi teknologi (IT)

dan networking. Butir soal pada tes ini disajikan dalam sebuah pernyataan tentang

situasi tertentu dengan lima kategori respons. Partisipan diminta untuk memilih

kesesuaian respons pernyataan dengan kondisi mereka. Pilihan respons bertanda

positif untuk opsi pilihan “paling mungkin dilakukan” dan respons bertanda negatif

untuk opsi pilihan “tidak mungkin dilakukan”.


16

Contoh butir soal pada tes ini adalah “Anda mendapatkan tugas untuk

menemani klien penting yang sedang berkunjung ke perusahaan Anda. Klien tersebut

datang ke perusahaan untuk melihat prospek kerja sama lebih lanjut. Saat menemani klien

tersebut Anda menyaksikannya memaki-maki resepsionis yang sebelumnya salah

memberikan informasi mengenai ruang pertemuan. Apa yang Anda lakukan ketika

menemui situasi tersebut?”

Pilihan respons

Paling
Paling
Respons Tidak
Efektif
Efektif
Saya Menegur resepsionis atas kesalahannya di hadapan
klien dengan cara yang halus
Saya menegur resepsionis atas kesalahannya setelah klien
meninggalkan kantor

Saya memarahi resepsionis setelah klien meninggalkan


kantor
Saya menyuruh rekan kerja resepsionis tersebut untuk
menegurnya
Saya langsung memarahi resepsionis saat itu juga

Metode penyekoran skala Tes Penilaian Situasi diperoleh menggunakan

enam jenis penyekoran yaitu, Raw consensus, summed consensus, most likely and less

likely discrepancy, dichotomous consensus, mode consensus, dan proportion consensus.

Penyekoran hasil administrasi Tes Penilaian Situasi lebih rumit karena TPS tidak

memiliki jawaban yang benar secara objektif (De Leng et al., 2017). Pada penelitian

ini dichotomous consensus yang digunakan untuk penyekoran Tes Penilaian Situasi.

Skor pada butir soal dihitung dengan dichotomous consensus yang memisahkan

responden menjadi 2 kelompok berdasarkan posisi respons terhadap mean dari

total jawaban seluruh peserta. Jika pada sebuah butir soal memiliki mean 3 dalam

skala likert. Maka peserta yang menjawab 1 dan 2 akan diberikan skor 0, dan

peserta yang memilih opsi 3,4,5 akan diberikan skor 1. Skor akhir diperoleh dari
17

menjumlahkan keseluruhan skor (Weng, Lievens, & McDaniel, 2018). Hasil

penyekoran terbukti menyebabkan skor yang secara signifikan lebih tinggi untuk

etnis mayoritas daripada minoritas dengan ukuran efek mulai dari 0,48 hingga

0,66. Reliabilitas konsistensi internal yang didapatkan bervariasi antara 0,33 dan

0,73.

Pada penelitian ini Tes Penilaian Situasi dikorelasikan dengan

kemampuan kognitif yang diukur dengan Tes Rasional Indonesia (TRI). Tes

Rasionalitas Indonesia merupakan tes yang dikembangkan oleh Hidayat dan

Widhiarso (2017) untuk mengukur kemampuan individu dalam melakukan

rasionalisasi. Tes ini diadaptasi dari CART (Comprehensive Assesement of

Rational Thinking) yang merupakan instrumen mengukur rasionalitas secara

komperhensif. CART pertama kali dikembangkan oleh Stanovich (2016). TRI

mengukur dua aspek yaitu instrumental dan epistemik, namun di penelitian ini

hanya satu aspek yang diukur yaitu aspek instrumental. Dimensi instrumental

terbagi dalam empat subtes yaitu, B.1, B.2, B.3, dan B.4 dengan 46 item soal.

Tabel 1 Spesifikasi Tes Rasionalitas Indonesia

Subtes Komponen Sub Komponen


B.1 Resistance to Framing 1. Attribute Framing
a. Positif
b. Negatif
2.Risky-Choice Framing
a. Gain
b. Loss
B.2 Resistance to sunk Cost
B.3 Path independence / Sensivity to
expected value
B.4 Cognitive miserly / Reflection Vs
Intuation

Tes Rasionalitas Indonesia ini terdiri dari 46 item soal yang disajikan dalam

model Rasch. Partisipan diminta untuk menilai kesesuaian pertanyaan dengan

kondisi mereka. Pada Sub Tes B.1 dan B.2 terdapat enam opsi respons dimana
18

menunjukkan Pilihan A, Berat ke A, Condong ke A, Condong ke B, Berat ke B, atau

Pilihan B, sub tes ini tidak ada pilihan netral. Sub Tes B.3 terdapat tiga opsi respons

yaitu Opsi A, Opsi B dan Opsi C (untuk pilihan A atau B sama saja). Sub Tes B.4

partisipan mengisi jawaban pertanyaan dengan benar.

Tes Rasionalitas Indonesia ini telah dievaluasi melalui serangkaian uji

coba. Hasil analisis menunjukkan korelasi skor total bergerak antara 0,22 hingga

0,51 (32 butir). Properti psikologi menunjukkan bahwa subtes ini memiliki

konsistensi internal yang cukup tinggi. Indeks separasi pengukuran oleh subtes

ini juga cukup tinggi. Indeks separasi butir komponen resistance to framing (2,82),

komponen resistance to sunk cost (3,68), komponen path independence (1,80), dan

komponen cognitive miserly (2,17). Hal ini menujukkan bahwa butir dalam

komponen TRI memiliki tingkat kesulitan yang konsisten pada individu dengan

kemampuan berbeda. Hasil reviu terhadap indeks separasi orang menunjukkan

bahwa tingkat kesulitan butir-butir pada tes ini menjangkau tingkat kemampuan

rendah hingga tinggi dan didominasi oleh butir-butir dengan tingkat kesulitan

sedang (Afwan, 2017).

Prosedur Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product

moment dari Pearson. Data penelitian memenuhi persyaratan normalitas dan

berada pada level interval sehingga data dapat dianalisis menggunakan teknik

korelasi Product Moment Pearson. Penentuan signifikansi menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Program lunak yang digunakan untuk membantu proses analisis

ialah SPSS 22. Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan antara skor tes individu pada Tes Rasionalitas Indonesia dengan

kemampuan individu dalam mendapatkan skor tinggi Tes Penilaian Situasi skor

tes yang didapatkan pada Tes Penilaian Situasi.


19

HASIL

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil statistik deskriptif dan hasil uji

korelasi antara skor Tes Rasionalitas Indonesia dengan skor Tes Penilaian Situasi.

Bagian statistik deskriptif menjelaskan tentang perbandingan antara skor

hipotetik dan skor empirik. Bagian uji korelasi menunjukkan hasil korelasi antara

skor sub tes dan skor total Tes Rasionalitas Indonesia dan Tes Penilaian Situasi.

Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan dan pengaruh antar kedua tes.

Statistik Deskriptif

Bagian statistik deskriptif terdiri dari skor hipotetik berdasarkan alat ukur

dan skor empirik berdasarkan respons jawaban partisipan pada masing-masing

tes. Tabel 2 menjelaskan tentang perbandingan skor hipotetik dan skor empirik

dari Tes Penilaian Situasi dan sub tes serta total skor Tes Rasionalitas Indonesia.

Hasil dari perbandingan tersebut digunakan untuk mengetahui kondisi

responden berkaitan dengan pengerjaan masing-masing tes.

Tabel 2 Statistik Deskriptif

Hipotetik Empirik
Min Maks M SD Min Maks M SD
Subtes B1 0,00 50,00 25,00 8,33 0,00 32,00 8,24 6.53
Subtes B2 1,00 6,00 3,50 5,83 1,71 5,29 3,54 0.62
Subtes B3 0,00 12,00 6,00 2,00 1,00 12,00 6,04 2.28
Subtes B4 0,00 7,00 3,50 1,17 0,00 7,00 1,80 1.76
Total 1,00 75,00 38,00 12,33 6,14 43,14 19,63 6.38
Rasionalitas
Tes 0,00 30,00 15,00 5,00 6,00 23,00 14,58 3,11
Penilaian
Situasi
Keterangan: Min = nilai terendah; Maks = nilai maksimal; M=Rerata, SD= deviasi
standar

Hasil statistik deskriptif penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Pada sub tes

B.1 (resistance to framing) skor terendah yang diperoleh adalah 0 dan skor tertinggi
20

adalah 32. Berdasarkan skor terendah dan tertinggi diperoleh rerata empirik sub

tes B.1 adalah 8,24, sedangkan nilai rerata hipotetiknya adalah 25. Berdasarkan

perbandingan tersebut menggambarkan bahwa skor rerata pada sub tes B.1 masih

lebih rendah dari nilai rerata hipotetik yang seharusnya dihasilkan. Resistance to

framing menunjukkan konsistensi responden terhadap preferensi pilihan,

sehingga rendahnya skor resistance to framing menunjukkan rendahnya

rasionalitas responden dalam konsistensi pengambilan keputusan (Afwan, 2017).

Pada sub tes B.2 (resistance to sunk cost) skor terendah yang diperoleh

adalah 1,71 dan skor tertinggi adalah 5,29. Skor rerata empirik sub tes B.2 adalah

3,54, sedangkan skor rerata hipotetiknya adalah 3,5. Skor rerata yang dihasilkan

menggambarkan bahwa nilai rerata empirik pada sub tes B.2 lebih tinggi dari yang

seharusnya dihasikan oleh rerata hipotetiknya. Resistance to sunk cost merupakan

sub tes yang mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam pengambilan

keputusan (Salsabila, 2018). Rerata empirik skor sub tes B.2 yang lebih tinggi dari

skor rerata hipotetik menunjukkan bahwa responden mampu membuat sebuah

keputusan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dengan baik.

Pada sub tes B.3 (path independence/sensitivity to expected value) skor

terendah yang diperoleh adalah 1 dan skor tertinggi adalah 12. Skor rerata empirik

sub tes B.3 adalah 6,04, sedangkan nilai hipotetiknya adalah 6. Berdasarkan

perbandingan skor rerata tersebut menggambarkan bahwa skor rerata pada sub

tes B.3 lebih tinggi dari skor rerata hipotetik yang seharusnya diperoleh. Sub tes

path independece/sensitivity to expected value melihat kemampuan responden dalam

melihat peluang dengan hasil terbaik dalam proses pengambilan keputusan

(Afwan, 2017). Skor rerata empirik yang lebih tinggi dari hipotetik menujukkan

bahwa responden melihat peluang dan memberikan hasil terbaik dalam

pengambilan keputusan.

Pada subtes B.4 (cognitive miserly/reflection vs intuition) skor terendah yang

diperoleh adalah 0 dan skor tertinggi adalah 7. Nilai rerata empirik sub tes B.4
21

adalah 1,80 sedangkan nilai hipotetiknya adalah 3,5. Skor rerata yang dihasilkan

menggambarkan bahwa skor empirik yang dihasilkan lebih rendah dari skor

hipotetik yang seharusnya didapat. Cognitive miserly/reflection vs intuition

merupakan sub tes yang mengukur refleksi kognitif dalam pengambilan

keputusan (Afwan, 2017). Skor rerata empirik yang masih lebih rendah dari skor

rerata hipotetik menunjukkan bahwa refleksi kognitif responden dalam

pengambilan keputusan belum digunakan secara maksimal dan lebih mengarah

pada intuisi.

Pada skor total TRI skor empirik terendah yang diperoleh adalah 6,14 dan

skor empirik tertinggi adalah 43,14. Skor yang dihasilkan masih jauh dari skor

hipotetik yang seharusnya dihasilkan dengan skor terendah 0 dan skor tertinggi

75. Berdasarkan skor terendah dan tertinggi diperoleh nilai rerata empirik total

dari Tes Rasionalitas Indonesia adalah 19,63 lebih rendah dari rerata nilai hipotetik

sebesar 38. Berdasarkan perbandingan skor rerata empirik dan hipotetik

menunjukkan bahwa rerata skor total TRI masih lebih rendah dari nilai yang

seharusnya. Rendahnya skor rerata total TRI menunjukkan bahwa rendahnya

rasionalitas responden dalam pengambilan keputusan.

Pada skor TPS skor empirik terendah yang diperoleh adalah 6 dan skor

tertinggi adalah 23. Skor hipotetik yang seharusnya diperoleh adalah skor

terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 30. Skor rerata empirik skor tes TPS

adalah 14,58 lebih rendah dari rerata nilai hipotetik sebesar 15. Masih rendahnya

skor rerata TPS menunjukkan bahwa penilaian situasi responden terhadap situasi

dilema masih rendah.

Tabel 3 Kategorisasi Skor TPS dan TRI

Norma kategori TPS TRI


Rendah X < (M-1SD) X < 10 X < 25,67
Sedang (M-1SD) ≤ X ≤ (M+1SD) 10 ≤ X ≤ 20 25,67 ≤ X ≤ 50,33
Tinggi X < (M-1SD) X < 20 X < 50,33
Keterangan : M = Rerata; SD = deviasi standar
22

Pada Tes Penilaian Situasi skor terendah yang didapatkan skor terendah

sebesar 6, skor tertinggi sebesar 23, dan skor rerata TPS sebesar 14,58. Skor rerata

TPS tersebut berada pada rentang nilai 10 sampai 20 yang berarti skor rerata

berada pada kategori sedang. Di sisi lain, Pada Tes Rasionalitas Indonesia skor

terendah sebesar 6,14, skor tertinggi sebesar 43,14, dan skor rerata TPS sebesar

19,63. Skor rerata TRI tersebut berada kurang dari 25,67 yang berarti skor rerata

berada pada kategori rendah.

Hasil Uji Korelasi

Bagian uji korelasi ini berisi nilai korelasi antara skor subtes dan total Tes

Rasionalitas Indonesia dengan skor Tes Penilaian Situasi. Hasil dari bagian ini

menggambarkan hubungan dan pengaruh pada masing-masing tes.

Tabel 4 Korelasi skor TPS dengan skor TRI

No Skor Tes 1 2 3 4 5 6
1 TPS 1,00
2 Subtes B.1 TRI 0,93 1,00
3 Subtes B.2 TRI -0,55 0,097 1,00
4 Subtes B.3 TRI 0,002 -0,126 0,121 1,00
5 Subtes B.4 TRI -0,010 -0,368** -0,018 -0,155* 1,00
6 Total TRI 0,098 0,879** 0,187* 0,270** -0,038 1,00
Keterangan : ** = (p<0,01); *= (p<0,05)

Hasil analisis korelasi dari Tabel 4 menunjukkan bahwa masing-masing

sub tes maupun skor total pada Tes Rasionalitas Indonesia tidak berkorelasi

dengan Tes Penilaian Situasi. Hasil sub tes B.1 dengan Tes Penilaian situasi tidak

berkorelasi sebesar (r = 0,93; p > 0,05). Sub tes B.2 dengan Tes Penilaian Situasi

tidak berkorelasi sebesar (r = -0,55; p > 0,05). Sub tes B.3 dengan Tes Penilaian

Situasi tidak berkorelasi sebesar (r = 0,002; p > 0,05). Sub tes B.4 dengan Tes

Penilaian Situasi tidak berkorelasi sebesar (r = -0,010; p > 0,05). Skor total Tes

Rasionalitas Indonesia dengan Tes Penilaian Situasi sebesar (r = 0,098; p > 0,05).
23

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa tingkat rasionalitas responden

tidak mempengaruhi performansi individu dalam memperoleh skor tinggi pada

Tes Penilaian Situasi. Individu yang memiliki rasionalitas yang rendah atau tinggi

dapat dikatakan memiliki skor TPS yang setara.

DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara skor rasionalitas

dengan kemampuan individu dalam mendapatkan skor tinggi Tes Penilaian

Situasi (TPS). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa skor tes individu

pada Tes Rasionalitas Indonesia tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

skor yang pada Tes Penilaian Situasi. Dapat disimpulkan bahwa rasionalitas

individu tidak memiliki korelasi dengan kemampuan individu dalam

mendapatkan skor yang tinggi pada Tes Penilaian Situasi.

Terdapat lima alasan yang menyebabkan skor rasionalitas tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan kemampuan individu dalam mendapatkan

skor tinggi Tes Penilaian Situasi. Alasan tersebut antara lain perbedaan jenis

instruksi tes, kerincian dan keterkaitan butir soal dengan pekerjaan, bentuk tes dan

favorabilitas opsi jawaban, keterbatasan waktu, dan perbedaan konstruk.

Penjelasan mengenai detail alasan tersebut akan dipaparkan pada bagian berikut

ini.

Pertama, tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut dapat

diakibatkan oleh perbedaan jenis instruksi setiap butir soal dalam tes. Secara

umum, McDaniel dan Nguyen (2001) mengidentifikasi jenis instruksi pada TPS

menjadi dua yaitu instruksi tes yang berbasis kecenderungan perilaku dan

berbasis pengetahuan (McDaniel et al., 2007). Pada penelitian ini, TPS

menggunakan instruksi yang berbasis pada kecenderungan perilaku sedangkan

TRI menggunakan instruksi berbasis pengetahuan. Jenis instruksi berbasis


24

kecenderungan perilaku tidak banyak dipengaruhi oleh kemampuan kognitif

namun cenderung dipengaruhi oleh ciri sifat kepribadian individu. Instruksi yang

berbasis pada kecenderungan perilaku memungkinkan peserta tes memilih sikap

atau perilaku yang sesuai dengan keadaan diri peserta tes (Michael A. McDaniel

& Nguyen, 2001). Salah satu contoh instruksi berbasis kecenderungan perilaku

berbunyi “Apa yang Anda lakukan dalam situasi tersebut?”. Di sisi lain, Tes

Rasionalitas Indonesia menggunakan instruksi yang berbasis pengetahuan.

Dimungkinkan instruksi berbasis pengetahuan memiliki korelasi yang lebih tinggi

dengan kemampuan kognitif sehingga individu akan mengerahkan kemampuan

kognitifnya untuk menjawab atau merespons instruksi yang diberikan. Selain itu,

instruksi yang berbasis pengetahuan memungkinkan peserta tes termotivasi

untuk menunjukkan jawaban yang benar atau sebaik mungkin (Lievens et al.,

2008).

Kedua, kerincian dan keterkaitan butir soal dengan pekerjaan. Butir soal

TPS memiliki karakteristik yang lebih rinci dan lebih spesifik dibanding dengan

butir soal Tes Rasionalitas. Kerincian butir soal TPS diwujudkan dalam situasi

dilema yang berbeda-beda. Pada soal Tes Penilaian Situasi terdapat berbagai

peran dan benturan permasalahan. Misalnya, situasi yang membenturkan antara

diri dengan masalah keluarga, teman, aturan maupun atasan. Oleh karena itu,

butir-butir soal TPS yang lebih rinci cenderung memiliki keterkaitan dengan

pekerjaan karena beberapa butir soal memiliki kasus yang terkait langsung

dengan kasus-kasus empirik di bidang pekerjaan tertentu. TPS yang berkaitan

secara langsung dengan pekerjaan dapat digunakan untuk memprediksi

performasi kerja (Lievens & Motowidlo, 2016). Sebaliknya, butir-butir soal Tes

Rasionalitas tidak terkait dengan pekerjaan tertentu karena melibatkan situasi

yang umum. Sub tes rasionalitas berisi tugas-tugas yang berkaitan dengan

pengetahuan dan penalaran individu sehingga tidak bisa memprediksi

performansi kinerja secara spesifik.


25

Ketiga, bentuk tes dan opsi jawaban dengan favorabilitas yang baik. TPS

diukur dengan tes berbentuk multiple choice sehingga setiap butir soal memiliki

beberapa opsi jawaban. Opsi jawaban dengan favorabilitas baik dapat diartikan

bahwa masing-masing opsi jawaban memiliki kemungkinan untuk dipilih oleh

peserta tes. Opsi jawaban menawarkan tanggapan yang sama-sama baik sehingga

tidak terdapat opsi jawaban yang sepenuhnya salah maupun pilihan yang selalu

benar (Peter L. Legree & Joseph Psotka, 2006). Inilah yang menjadi karakteristik

unik TPS yaitu tidak ada jawaban yang benar secara objektif (De Leng et al., 2017).

Berdasarkan karakteristik opsi jawaban tersebut membuat peserta tes harus

membutuhkan pertimbangan dalam memilih opsi jawaban yang tepat agar

memperoleh skor yang tinggi. Berbeda dengan TPS yang disajikan dalam bentuk

multiple choice, TRI diukur dengan menggunakan tes berbentuk skala psikologi.

Bentuk tes dengan skala psikologi ini memiliki opsi jawaban yang cenderung

mengarah pada salah satu jawaban sehingga peserta tes tidak mengalami kesulitas

dalam menentukan opsi jawaban pada TRI.

Alasan keempat skor tes rasionalitas tidak berhubungan dengan TPS

adalah keterbatasan waktu. Keterbatasan waktu dapat menjadi salah satu pemicu

stres pada pengambilan keputusan (Polič, 2009). Dalam penelitian ini

penyelenggaraan TPS lebih cenderung meningkatkan stres dibanding dengan TRI.

Penyebabnya adalah karakteristik soal TPS dari sisi panjang butir soal,

kompleksitas kasus serta opsi-opsi jawaban yang antara satu dengan lainnya

setara sehingga membingungkan bagi peserta tes untuk menebak jawaban soal

TPS. TPS dikerjakan dalam waktu 30 menit dengan soal sebanyak 30 butir.

Masing-masing butir soal pada Tes Penilaian Situasi maksimal dikerjakan dalam

waktu satu menit sedangkan butir soal yang disajikan berisi situasi dilema yang

membutuhkan analisis dan responden perlu menimbang opsi-opsi jawaban demi

mendapatkan nilai yang tinggi. Implikasinya tuntutan waktu yang terbatas dan
26

kecepatan dapat mempengaruhi performansi individu dalam mengerjakan Tes

Penilaian Situasi.

Tes Rasionalitas Indonesia sama-sama dikerjakan dalam waktu 30 menit

dengan soal sebanyak 46 butir. Secara kuantitas, TRI memuat lebih banyak butir

soal namun TRI yang disajikan dalam bentuk skala psikologi sehingga lebih

memudahkan peserta tes untuk memberikan jawaban. Selain itu, TRI terbagi

menjadi empat subtes yang berbeda yang memungkingkan peserta lebih antusias

untuk menyelesaikan tes tanpa memperhatikan keterbatasan waktu.

Terakhir, Tes Penilaian Situasi dan Tes Rasionalitas Indonesia merupakan

konstruk yang berbeda. Rasionalitas lebih mengarah pada karakteristik,

sedangkan TPS lebih mengarah kepada kemampuan. Pada TRI konstruk yang

diukur satu dimensi yang berarti hanya mengukur karakteristik individu dalam

melakukan rasionalisasi. Sedangkan, konstruk pada TPS bersifat multidimensi

atau disebut dengan konstruk heterogen. TPS dapat digunakan untuk mengukur

konstruk yang berbeda dan bervariasi tergantung jenis situasi yang menuntut

penilaian dalam konteks kerja. Akibatnya TPS tidak mampu untuk menargetkan

perbedaan individu secara spesifik (Michael A. McDaniel & Nguyen, 2001) dan

sulit mengidentifikasi konstuk yang sedang diukur (Whetzel & McDaniel, 2009).

Temuan lain dalam penelitian ini berkaitan dengan ketahanan TPS

terhadap respons tipuan berdasarkan intruksi yang telah dimodifikasi pada

prosedur penelitian. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jenis intruksi tes

dengan kecenderungan perilaku ini rentan terhadap respons tipuan (faking)

(Nguyen, Biderman, & McDaniel, 2005; Whetzel & McDaniel, 2009). Respons

tipuan atau kecenderungan untuk berbohong dapat terjadi apabila partisipan

melakukan faking good untuk untuk mendapatkan nilai tinggi pada Tes Penilaian

Situasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TPS yang diuji memiliki

resistensi terhadap respons tipuan karena pribadi yang memiliki rasionalitas yang
27

tinggi cenderung sama dengan pribadi yang memiliki rasionalitas yang rendah.

Hal ini dibuktikan dengan adanya modifikasi instruksi menempatkan partisipan

seolah-olah berada pada situasi tes pada proses seleksi untuk mendapatkan

pekerjaan yang diinginkan dengan nilai tertinggi. Skor TPS dengan instruksi

pengerjaan sesuai kondisi dan skor TPS dengan intruksi yang dimodifikasi

menghasilkan skor yang tidak terlalu berbeda.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan

antara skor rasionalitas dengan kemampuan individu dalam mendapatkan skor

tinggi Tes Penilaian Situasi (TPS). Hasil menunjukkan skor rasionalitas dan

kemampuan individu dalam mendapatkan skor tinggi Tes Penilaian Situasi (TPS)

memiliki nilai hubungan yang kecil dan tidak signifikansi sebesar (r=0,098;

p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat rasionalitas

seseorang tidak mempengaruhi performansi individu dalam mengerjakan Tes

Penilaian Situasi. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan keduanya tidak

berhubungan, pertama jenis instruksi pada masing-masing tes. Kedua, butir soal

disajikan secara rinci dan berkaitan dengan pekerjaan. Ketiga, alasan lain adalah

pada keterbatasan waktu, tekanan pada waktu dapat mempengaruhi performansi

individu dalam mengerjakan Tes Penilaian Situasi maupun Tes Rasionalitas

Indonesia. Keempat, Bentuk penyajian butir soal dan opsi jawaban yang

ditawarkan memiliki favorabilitas baik sehingga menimbulkan kebingungan

dalam proses pemilihan opsi jawaban. Terakhir Tes Penilaian Situasi dan Tes

Rasionalitas mengukur konstruk yang berbeda.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain minimnya data

demografi responden penelitian. Data demografi responden hanya sebatas jumlah

dan jenis kelamin saja. Selain itu, pengkajian tentang tes rasionalitas tidak terlalu

mendalam dikarenakan masih sedikitnya literatur yang membahas mengenai tes


28

rasionalitas.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran

yang dapat diterapkan untuk penelitian selanjutnya. 1) responden penelitian

selanjutnya untuk Tes Penilaian Situasi dapat dilakukan pada karyawan yang

telah memiliki pengalaman terhadap situasi kerja. 2) berkaitan dengan waktu

pengerjaan tes, perlu dikaji kembali waktu yang ideal untuk masing-masing tes.
29

REFERENSI

Adjei-poku, B. (2018). Rationality and Power in Land Use Planning : A Conceptual


View of the Relationship, 33(1), 45–60.
https://doi.org/10.1177/0885412217723616
Afwan, S. H. (2017). Hubungan Nomologis, Konvergensi, dan Divergensi
Rasionalitas Instrumental dengan Intelegensi dan Trait Kepribadian
Conscientiousness. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Alexander, E. R., & Alexander, E. R. (2000). Rationality Revisited : Planning
Paradigms in a Post-Postmodernist Perspective.
https://doi.org/10.1177/0739456X0001900303
Azwar , S. (2014). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, J. (2008). Thinking And Deciding. Cambridge: Cambridge University Press.
Bergman, M. E., Drasgow, F., Donovan, M. A., Henning, J. B., & Juraska, S. E.
(2006). Scoring situational judgment tests: Once you get the data, your
troubles begin. International Journal of Selection and Assessment, 14(3), 223–235.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2389.2006.00345.x
Birgitta, W. (1997). Constitutional Contracting and Corporate Constitution. Firm,
Markets, and Contracts, 95-108.
Bledow, R., & Frese , M. (2009). A Situational Judgment Test Of Personal Initiative
and Its Relationship To Performance. Personnel Psychology, 229-258.
Brewer, J. L. (2005). Project Managers: Can We Make Them Or Just Make Them
Better? The 6th Conference on Information Technology Education (pp. 167-
173). NJ: ACM.
Catano, V. M., Brochu, A., & Lamerson, C. D. (2012). Assessing the Reliability of
Situational Judgment Tests Used in High-Stakes Situations. International
Journal of Selection and Assessment, 20(3), 333–346.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2389.2012.00604.x
Chan, D., & Schmitt, N. (1997). Video-Based Versus Paper-and-Pencil Method of
Assessment in Situational Judgment Test: Subgroup Differences in Test
Performance and Face Validity Perceptions. Jurnal of Applied Psychology, 82(1),
143–159.
Chan, D., & Schmitt, N. (2002). Situational Judgment and Job Performance. Human
Performance, 15(3), 233–254.
Choi, J. (2001). Into My Memory:Emphasis Of Intution. Thesis. Ohio State
University
Christian, M. S., Edwards, B. D., & Bradley, J. C. (2010). Situational judgment tests:
Constructs assessed and a meta-analysis of their criterion-related validities.
Personnel Psychology, 63(1), 83–117. https://doi.org/10.1111/j.1744-
6570.2009.01163.x
30

Clevenger, J., Pereira, G. M., Wiechmann, D., Schmitt, N., & Schmidt Harvey, V.
(2001). Incremental validity of situational judgment tests. Journal of Applied
Psychology, 86(3), 410–417. https://doi.org/10.1037/0021-9010.86.3.410
De Leng, W. E., Stegers-Jager, K. M., Husbands, A., Dowell, J. S., Born, M. P., &
Themmen, A. P. N. (2017). Scoring method of a Situational Judgment Test:
influence on internal consistency reliability, adverse impact and correlation
with personality? Advances in Health Sciences Education, 22(2), 243–265.
https://doi.org/10.1007/s10459-016-9720-7
Edwards, W. (1954). The Theory of Decision Making. Pychological Bulletin, 51(4),
380–417. https://doi.org/10.1037/h0053870
Gigerenzer, G. (2007). Gut Feelings : The Intelligence Of The Unconscious. New
York: Penguin Book.
Gold, B., & Holodynski, M. (2015). Development and Construct Validation of a
Situational Judgment Test of Strategic Knowledge of Classroom Management
in Elementary Schools. Educational Assessment, 20(3), 226–248.
https://doi.org/10.1080/10627197.2015.1062087
Hastie, R., & Dawes, R. M. (2010). Rational Choice in An Uncertain World : The
Psychology of Judgment and Decision Making. Los Angeles: Sage
Publication.
Hidayat, R. (2016). Rasionalitas : Overview terhadap Pemikiran dalam 50 Tahun
Terakhir. Buletin Psikologi, 24(2), 101–122.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.26772
Hidayat, R., & Widhiarso, W. (2017). Manual Tes Rasionalitas Indonesia. Naskah
Tidak Terpublikasi: Laporan Hibah Multiyear Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada
Hunter, D. R. (2003). Measuring General Aviation Pilot Judgment Using a
Situational Judgment Technique. The International Journal of Aviation
Psychology, 373-386.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2018, Oktober). Retrieved Februari 22, 2019, from
KBBI Daring: https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Koczwara, A., Patterson, F., Zibarras, L., Kerrin, M., Irish, B., & Wilkinson, M.
(2012). Evaluating cognitive ability, knowledge tests and situational
judgement tests for postgraduate selection. Medical Education, 46(4), 399–408.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2923.2011.04195.x
Kohler, D. J., & Harvey, N. (2004). Blackwell Hanbook of Judgment & Decision
Making. Oxford: Blackwell Publishing.
Lagueux, M. (2003). Explanation In Social Science: Hempel, Dray, Salmon, And
Van Fraassen Revisited. Cahiers D'epistemologee, 48.
Lievens, F., & Motowidlo, S. J. (2016). Situational judgment tests: From measures
of situational judgment to measures of general domain knowledge. Industrial
and Organizational Psychology, 9(1), 3–22. https://doi.org/10.1017/iop.2015.71
Lievens, F., Peeters, H., & Schollaert, E. (2008). Situational judgment tests: A review
of recent research. Personnel Review, 37(4), 426–441.
31

https://doi.org/10.1108/00483480810877598
Lievens, F., & Sackett, P. R. (2012). The validity of interpersonal skills assessment
via situational judgment tests for predicting academic success and job
performance. Journal of Applied Psychology, 97(2), 460–468.
https://doi.org/10.1037/a0025741
Manktelow, K. I. (2004). Reasoning ang Rationality: The Pure and The Practical. In
K. I. Manktelow & M. C. Chung (Eds.), Psychology of Reasoning Theoretical and
Historical Perpectives (pp. 157–177). Hove, England: Psychology Press.
Marki, O. (2009). Rationality And Emotions In Decision Making. Interdisciplinary
Description of Complex SystemsRationality And Emotion In Decision Making, 7(2),
54–64.
McDaniel, Michael A; Morgeson, Frederick P; Finnegan, Elizabeth B; Campion,
Michael A; Braverman, E. P. (2001). Use of Situational Judgment Test to
Predict Job Performance: AClarification of the Literature. Journal of Applied
Psychology, 86(June), 730–740. https://doi.org/10.1037//0021
McDaniel, M. A., Hartman, N. S., Whetzel, D. L., & Grubb III, W. L. (2007).
Situational Judgment Tests , Response Instructions , and Validity : a Meta-
Analysis. Personnel Psychology, 60, 63–91. https://doi.org/10.1111/j.1744-
6570.2007.00065.x
McDaniel, M. A., & Nguyen, N. T. (2001). Situational Judgment Tests: A Review of
Practice and Constructs Assessed. International Journal of Selection and
Assessment, 9(1&2), 103–113. https://doi.org/10.1111/1468-2389.00167
Mihaela, R. (2012). Influence Of Gender Differences On Leadership Style. Ovidius
University Annals, Economic Science Series, Vol XII, 937-942.
Morgeson, F. P., Reider, M. H., & Campion, M. A. (2005). Selecting Individual in
Team Setting : The Importance of Social Skills, Personality, Characteristics,
and Teamwork Knowledge. Personnel Psychology, 583-611.
Motowidlo, S. J., Dunnette, M. D., & Carter, G. W. (1990). An Alternative Selection
Procedure : The Low-Fidelity Simulation. Journal of Applied Psychology, 75(6),
640–647.
Nguyen, N. T., Biderman, M. D., & McDaniel, M. A. (2005). Effect of Response
Instruction on Faking a Situational Judgment Test. International Journal of
Selection and Assesment.
O’Connell, M. S., Hartman, N. S., McDaniel, M. A., Grubb, W. L., & Lawrence, A.
(2007). Incremental validity of situational judgment tests for task and
contextual job performance. International Journal of Selection and Assessment,
15(1), 19–29. https://doi.org/10.1111/j.1468-2389.2007.00364.x
Olson-buchanan, J. B., Drasgrow, F., Moberg, P. J., Mead, A. D., Keenan, P. A., &
Donovan, M. A. (1998). Interactive Video Assessment of Conflict Resolution
Skills, 51, 1–23.
Oostrom, J. K., de Vries, R. E., & de Wit, M. (2018). Development and validation of
a HEXACO situational judgment test. Human Performance, 13(3), 1–29.
https://doi.org/10.1080/08959285.2018.1539856
32

Oostrom, J. K., Köbis, N. C., Ronay, R., & Cremers, M. (2017). False consensus in
situational judgment tests: What would others do? Journal of Research in
Personality, 71, 33–45. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2017.09.001
Pangallo, A., Zibarras, L., & Patterson, F. (2016). Measuring resilience in palliative
care workers using the situational judgement test methodology. Medical
Education, 50(11), 1131–1142. https://doi.org/10.1111/medu.13072
Paris, C. (2013). Critical Reading In Planning Theory : Urban And Regional
Planning Series Vol 27. Great Britani: Pergamon Press.
Peeters, H., & Lievens, F. (2005). Situational judgment tests and their
predictiveness of college students’ success: The influence of faking.
Educational and Psychological Measurement, 65(1), 70–89.
https://doi.org/10.1177/0013164404268672
Peter L. Legree & Joseph Psotka. (2006). Refining Situational Judgment Test
Methods. Conference Paper, (c), 8. Retrieved from http://www.dtic.mil/cgi-
bin/GetTRDoc?Location=U2&doc=GetTRDoc.pdf&AD=ADA481655
Salsabila, M. (2018). Rasionalitas dan Materialisme Sebagai Prediktor
Kesejahteraan Finansial Konsumen. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada
Sharma, N. (2015). Medical students’ perceptions of the situational judgement test:
A mixed methods study. British Journal of Hospital Medicine, 76(4), 234–238.
https://doi.org/10.12968/hmed.2015.76.4.234
Stanovich, K. E. (2010). Decision Making and Rationality in the Modern World. Oxford:
Oxford University Press.
Stanovich, K. E. (2016). The Comprehensive Assessment of Rational Thinking.
Educational Psychologist, 51(1), 23–34.
https://doi.org/10.1080/00461520.2015.1125787
Tomer, J. (2008). Beyond the rationality of economic man, toward the true
rationality of human man. Journal of Socio-Economics, 37(5), 1703–1712.
https://doi.org/10.1016/j.socec.2008.05.001
Weekley, Jeff A; Jones, C. (1997). Video-Based Situational Testing. Personnel
Psychology, 25–49.
Weng, Q. D., Lievens, F., & McDaniel, M. A. (2018). Optimizing the validity of
situational judgment tests: The importance of scoring methods. Journal of
Vocational Behavior, 104(January 2018), 199–209.
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2017.11.005
Whetzel, D. L., & McDaniel, M. A. (2009). Situational judgment tests: An overview
of current research. Human Resource Management Review, 19(3), 188–202.
https://doi.org/10.1016/j.hrmr.2009.03.007

Anda mungkin juga menyukai