Idul Adha berarti ada 2 peristiwa besar dan penting yaitu ibadah haji
serta ibadah qurban, kedua peristiwa itu hampir tidak bisa dipisahkan bilamana
dikaitkan dengan Idul Adha.
Filosofi haji dapat dilihat sebagai tujuan akhir dari ibadah haji antara lain :
Pertama, dilihat dari pengorbanan besar yang dilakukan Nabi Ibrahim AS atas
perintah Allah SWT untuk meng-“eksekusi” puteranya (Q.S. 2: 124) merupakan
pengorbanan jihadiyah di dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan bentuk
ketaatannya pad perintah Allah SWT.
Kedua, dapat diartikan bahwa haji sebagai reaktualisasi pengorbanan dan jihad,
tidak saja mengorbankan harta, pangkat, tahta dan gelar, tetapi juga diperlukan
pengorbanan atas sesuatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya.
Prinsip ajaran qurban itu mengandung tiga kontekstual : konteks ibadah (vertikal),
konteks mu’amalah (horisontal), dan konteks rehabilitasi moral (orthogonal) bagi
pequrbannya.
Dimensi-dimensi ini perlu diaktualisasi ketika qurban dilakukan, agar di satu pihak
ibadah tersebut tidak terkondisi dalam rutinitas ritual ansich, dan sekedar ajang
bagi-bagi daging, dipihak lain.
Syari’at qurban sebagai salah satu bentuk ibadah sudah ditanzil (dirujuk) ajarannya
sejak Nabi Adam As. Praktisnya ketika dua puteranya, Qabil dan Habil, hendak
mempersunting Aqlima sebagai isteri. Allah menerima qurban salah seorang dari
mereka (Habil). Sebab domba yang dipersembahkan Habil betul-betul atas dasar
mahabbah dan tho’ah serta ikhlas. Sesuai dari arti namanya, hablun yang berarti
tali. Demi tidak putusnya tali kasih kepada Allah dia rela mengurbankan apa yang
paling dicintainya. Dipersembahkannya domba terbaik dari domba-domba yang
dimilikinya (Q.S. Al Maidah:27).
Ketika ajaran qurban itu direaktualisasi kurang lebih 6000 tahun kemudian (pada
masa Nabi Ibrahim As), penekannannya juga seputar mengurbankan apa yang
dicintai, dalam hal ini perintah mengorbankan anak kandungnya, Ismail, putera
tercinta belahan jiwa. Hakikatnya, apakah Ibrahim akan menomorduakan cintanya
kepada Allah setelah cintanya kepada anak, isteri dan harta benda miliknya ?
Ternyata nabi Allah yang hanif ini, lulus dari ujian berat tersebut. “Barang siapa
yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan diberikan baginya jalan keluar dari satu
kesulitan, dan dikaruniakan jalan rezeki yang tidak disangka-sangka datangnya”
(Q.S. Ath Thalaq:2).
Tamsil yang dicontohkan Ismail AS, tatkala mendengar perintah ayahnya untuk
menyembelih dirinya merupakan mujahadah yang sangat besar. Betapa ia lebih
mementingkan kepentingan Allah daripada kepentingan dirinya. Rasul SAW pernah
ditanya oleh sahabat, “Wahai Rasul, jihad apa yang paling besar?” Rasul menjawab,
“Jihad melawan hawa nafsu”. (HR. Muttafaq Alaih).
Penggalan percakapan tadi mengindikasikan bahwa hawa nafsu adalah faktor yang
paling dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam berqurban, anak
Adam diajarkan untuk menundukkan nafsu, lebih melihat saudara yang berada di
bawahnya. Di sini bermain antara sikap egois dengan sikap sosial. Sebab itu, tidak
sembarang manusia yang mampu untuk melaksanakan ritual ini.
Untuk itu pula, dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasul menegaskan, “Siapa
memiliki kelapangan uang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia datang ke
tempat shalat kami.” Sebaliknya berita gembira bagi mereka yang melaksanakan
qurban, Rasul bersabda, “Tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada hari
raya Haji selain berkurban. Sesungguhnya orang yang berkurban akan datang pada
hari kiamat dengan membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang qurban itu. Dan
sesungguhnya darah qurban yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada
Allah daripada (darah itu) jatuh ke bumi. Maka, sucikanlah dirimu dengan
berkurban” (HR. Al Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ibrah esensial dari perjalanan Ismail dan Ibrahim AS yang masih sangat relevan
untuk kita teladani saat ini adalah sikap sabar, taat, dan ikhlas. Gambaran ketiga
sikap ini sangatlah jelas tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan putranya untuk melakukan penyembelihan (lihat QS. 37:103).
Tetapi, apa yang terjadi, atas kebesaran Allah, Ismail digantikan dengan hewan
sembelihan yang besar. Bahkan, kebaikan keduanya diabadikan dan menjadi
pelajaran untuk umat berikutnya.
Unta; jeleknya hewan ini baru mau bekerja (aktivitas) setelah dibujuk rayu, misalnya
dengan mengelus-elus kepalanya yang ‘nonong’, atau membelai-belai lehernya
yang jenjang itu. Setelah dirayu-rayu begini, barulah dia beraktivitas. Sebaliknya,
jika dihardik dan dicambuk, unta malah akan duduk dan merajuk. Konotasinya bagi
sifat manusia ialah baru mau beramal apabila disanjung-sanjung terlebih dahulu.
Sungguh tepat manusia yang beramal ria berqurban unta, biar mati sifat jelek unta
pada dirinya.
Tidak punya pendirian. Sapi kalau sudah dicucuk hidungnya, diajak kemanapun
mau. Ke pasar menarik pedati, ke sawah menarik bajak, diajak ke padang rumput
apa lagi, bahkan ditarik ke kamar potong pun oke. Ini konotasi bagi manusia yang
plin plan tak punya pendirian yang teguh. Tidak mempunyai sikap istiqamah yang
malas menjalankan ibadah. Dan baru beramal ibadah apabila mendapat cobaan
dari Allah (guncangan batin).
Tidak punya harga diri. Ini konotasi buat manusia yang sudah kehilangan budaya
malu. Rasanya mustahil cita cita kesejahteraan rakyat, membangun karakter
bangsa akan terwujud jika warga bangsa ini sudah tidak punya rasa malu lagi.
Biri-biri/kambing; hewan ini terkenal banyak sifat jeleknya, diantaranya :
Takut pada air, konotasinya buat manusia yang takut atau culas dengan air ketika
hendak berwudhu di subuh hari.
Tidak punya etika, misalnya saat keluar kandang, suka terburu-buru dan berdesak-
desakan. Lihat ketika shalat Jum’at usai, banyak juga yang berdesak-desakan di
pintu mesjid saling ingin mendahului. Kurang etis, bukan ? Itulah gunanya qurban
kambing, agar sifat kekambing-kambingan itu pupus.
Mudah terpancing untuk berkelahi, dan biasanya perkelahian itu hanya gara-gara
masalah sepele. Inilah konotasi buat sejumlah komunitas manusia yang gemar
melakukan adudomba hanya karena persoalan-persoalan sekecil gurem.
Oleh karena mereka yang berqurban bukan saja telah memberikan kontribusi
sosial dari ibadah qurbannya, melainkan juga ibadah tersebut telah memberi
nuansa bagi perbaikan etika dan moralnya bagi kesempurnaan eksisnya sebagai
perpanjangan ‘tangan Tuhan’ di muka bumi ini, sebagai symbol akan keluasan jiwa,
kematangan sifat ikhlas dan menifestasi dari berbagi akan Rezeqi yang Allah
titipkan sbg amanah yang mesti dipelihara dan disalurkan pada yang ditunjuk
untuk itu.
Idul adha hari ini mengingatkan kita akan beberapa hal yaitu :
Bercerminlah pada keluarga Nabi Ibrahim AS, bila seorang Ayah lihatlah
kecerdasan dan kesabaran Ibrahim. Bila seorang istri, ikutilah keuletan siti Hajar
dan kesabarannya. Bila kita seorang anak bercerminlah akan kepatuhan dan
santunnya Ismail terhadap kedua orang tuanya.
Belajarlah untuk lebih pandai bersyukur dengan berupaya melakukan Ibadah Haji
meskipun mungkin kita tidak berada di Arafah atau di Madinah, tapi filosofisnya
dapat kita implentasikan dalam kehidupan.
BerQurbanlah semampunya, tingkatkan kesholehan sosial kita, saat ini hal itu
sangat dibutuhkan, sesungguhnya semangat itu wajib hidup dalam diri kita,
jangan sampai justru kita menjadi korban kecanggihan teknologi, korban rusaknya
budaya, korban pergaulan yang liberal dan sederetan korban2 lainnya.
Perjalanan hidup masih panjang, usia tidak terduga, karenanya persiapkan diri
untuk istiqomah dalam kebenaran, sehingga saatnya kita kembali dalam keadaan
husnul khotimah.