TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tension pneumothoraks terjadi ketika tekanan intrapleural melebihi
tekanan atmosfer selama ekspirasi dan sering juga selama inspirasi. Sebagian
besar pasien yang mengalami tension pneumotoraks menerima tekanan positif
pada saluran udara mereka, baik selama ventilasi mekanis atau selama resusitasi.
Pada tension pneumotoraks berkembang pada orang yang bernapas spontan,
beberapa jenis mekanisme katup satu arah harus ada sehingga lebih banyak udara
yang masuk ke rongga pleura saat inspirasi daripada yang keluar dari rongga
pleura saat ekspirasi, dan dengan demikian udara terakumulasi dalam rongga
pleura di bawah tekanan positif.1
Tension pneumotoraks, mekanisme katup satu arah yang menghasilkan
peningkatan tekanan pleura secara progresif, terjadi pada 3% hingga 5% pasien
dengan pneumotoraks spontan dan pada 5% hingga 15% pasien dengan
barotrauma (pasien dengan ventilasi mekanis). Pasien akan terlihat sangat
tertekan, dan pemeriksaan fisik akan mengungkapkan tidak adanya suara nafas
pada sisi yang terlibat terkait dengan deviasi trakea ke sisi kontralateral.
Pergeseran trakea dan mediastinum bersama dengan gangguan aliran balik vena
menyebabkan distres kardiopulmoner. Penempatan jarum besar atau angiokateter
ke dada anterior di ruang rusuk ke-2 akan mengurangi tekanan. Angka kematian
sekitar 30% bila pengobatan tertunda.2
2.2. Etiologi
Penyebab pneumotoraks traumatis adalah sebagai berikut:[2][3][4]
Iatrogenik: (Diinduksi oleh prosedur medis)
1. Kateterisasi vena sentral di subklavia atau vena jugularis interna
2. Barotrauma
3. Biopsi paru
4. Pemasangan ventilasi tekanan positif
5. Trakeostomi perkutan
6. Thorasentesis interkostal
7. Bronkoskopi
8. Resusitasi jantung paru
9. Blok saraf
Non-Iatrogenik: (Karena trauma eksternal)
1. Trauma tumpul tembus
2. Patah tulang rusuk
3. Menyelam
Semua penyebab di atas selanjutnya dapat menyebabkan tension
pneumothoraks.
2.3. Epidemiologi
Insidensi tension pneumothoraks bervariasi menurut populasi yang diteliti
dan tidak diketahui dengan pasti, sering kali lebih mencerminkan kecurigaan
penyakit daripada kejadian sebenarnya. Tension pneumothoraks dikonfirmasi
(desis udara saat dekompresi) pada 5,4% pasien trauma mayor, (64% di antaranya
diberi ventilasi) yang dirawat oleh dokter perawatan pra-rumah sakit di London.
Penelitian lain telah melaporkan tingkat neddle dekompresi (sebagai pengganti
untuk tension pneumothoraks potensial) di lingkungan pra-rumah sakit bervariasi
dari 0,7% sampai 30%. Studi postmortem sebelumnya pada pasien yang
meninggal di ICU menunjukkan tingkat tension pneumothoraks yang tidak
terdiagnosis mulai dari 1,1% hingga 3,8%. Diagnosis yang terlewat lebih mungkin
terjadi jika ventilasi atau resusitasi jantung paru telah terjadi. Pada pasien
berventilasi, tension pneumothoraks lebih mungkin terjadi jika diagnosis
pneumotoraks sederhana tertunda. tension pneumothoraks juga tampaknya lebih
serius pada pasien berventilasi yang mencapai angka kematian 91% dalam satu
rangkaian.
2.4. Patofisiologi
Sebelum memahami patofisiologi tension dan pneumotoraks traumatis,
penting untuk memahami fisiologi paru-paru normal. Rongga pleura (atau
intrapleural) mempunyai tekanan yang lebih negatif dibandingkan dengan tekanan
paru-paru dan tekanan atmosfer. Ada kecenderungan paru-paru untuk mundur ke
dalam dan dinding dada untuk mundur ke luar. Gradien tekanan antara paru-paru
dan rongga pleura mencegah paru-paru kolaps. Selama pneumotoraks, hubungan
antara rongga pleura dan paru-paru, menghasilkan udara yang bergerak dari paru-
paru ke dalam rongga pleura. Sehingga menghilangkan gradien tekanan yang
biasanya ada dan menyebabkan peningkatan progresif tekanan intrapleura.
Peningkatan tekanan ini semakin menekan paru-paru dan mengecilkan
volumenya. Paru-paru ipsilateral tidak dapat berfungsi pada kapasitas normalnya,
dan ventilasi kemudian berkurang, mengakibatkan hipoksemia.[2][8]
Tension pneumothoraks sering terjadi pada pasien dengan ventilasi ICU.
Tension pneumothoraks terjadi ketika udara masuk ke dalam rongga pleura tetapi
tidak dapat keluar sepenuhnya, mirip dengan mekanisme katup satu arah melalui
pleura terganggu. Selama inspirasi, kumpulan udara bertekanan tinggi yang cukup
besar terakumulasi di ruang intrapleural dan tidak dapat keluar sepenuhnya
selama ekspirasi. Hal ini akan menyebabkan paru kolaps pada sisi ipsilateral. Saat
tekanan meningkat, itu akan menyebabkan mediastinum bergeser ke arah sisi
kontralateral, berkontribusi lebih lanjut untuk hipoksemia. Dalam kasus yang
parah, peningkatan tekanan dapat juga menekan jantung, paru kontralateral, dan
pembuluh darah yang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Ini
disebabkan oleh gangguan pengisian jantung dan penurunan aliran balik vena.
Hipoksemia juga memicu pulmonal vasokonstriksi dan meningkatkan resistensi
pembuluh darah paru. Akibatnya, hipoksemia, asidosis, dan penurunan curah
jantung dapat menyebabkan henti jantung dan, pada akhirnya, kematian jika
tension pneumotoraks tidak ditangani dengan tepat waktu.[2][8]
Perkembangan tension pneumotoraks biasanya ditandai dengan penurunan
mendadak status kardiopulmoner pasien. Hal ini mungkin berhubungan dengan
kombinasi penurunan curah jantung akibat gangguan aliran balik vena dan
hipoksia berat akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Pada domba dengan
ventilasi mekanis, pneumotoraks tegang yang diinduksi (tekanan pleura rata-rata
+25 cm H2O) mengurangi curah jantung dari 3,5 menjadi 1,1 L/menit. PO2 arteri
juga turun dari nilai dasar 159 menjadi 59 mm Hg. Penurunan yang sebanding
dalam curah jantung dan saturasi oksigen terlihat pada babi dan anjing setelah
induksi tension pneumotoraks. Demikian pula, pada pasien dengan ventilasi
mekanis yang mengalami tension pneumotoraks, terjadi penurunan curah jantung
yang besar.1
Tabel 2.1 Manifestasi klinis pasien tension pneumotoraks pada pasien sadar
berdasarkan case report
2.7. Tatalaksana
2.7.1. Dekompresi jarum
Pedoman klinis tindakan dekompresi jarum adalah suatu upaya untuk
mengeluarkan udara atau dekompresi udara pada ruang intrapleura, terutama pada
kasus tension pneumothorax. Smith, et al menjelaskan bahwa terdapat indikasi
absolut dari tindakan dekompresi jarum yaitu apabila saturasi oksigen pasien di
bawah 92% meskipun telah diberikan oksigen high-flow, tekanan darah sistolik di
bawah 90 mmHg, laju napas yang sebelumnya cepat lebih dari 35 kali per menit
menjadi lambat, dan penurunan kesadaran.
Tindakan ini bersifat menyelamatkan nyawa sehingga secara umum tidak
ada kontraindikasi dari tindakan ini. Namun, perlu diingat bahwa penusukan
jarum sebaiknya tidak dilakukan pada kulit yang infeksi atau mengalami abses.
Penusukan juga perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan koagulasi. [1,2,7]
Terdapat perubahan lokasi anatomis insersi pada dekompresi jarum
menurut pedoman Advanced Trauma Life Support edisi ke-10. Penusukan
direkomendasikan dilakukan pada sisi anterior dari linea midaksila di intercostal
space (ICS) 5, karena secara anatomis lebih aman, risiko perdarahan lebih rendah,
dan sama dengan lokasi pemasangan chest tube atau kateter interkostal. [6,11]
Dekompresi jarum dinyatakan berhasil apabila tension
pneumothorax berubah menjadi simple pneumothorax. Selanjutnya, untuk
tatalaksana definitif perlu dilakukan pemasangan chest tube atau kateter
interkostal yang nantinya akan terhubung dengan water seal drainage (WSD).
Hati-hati terhadap komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi selama proses
tindakan dekompresi jarum seperti perdarahan akibat cedera pada pembuluh darah
di sekitar lokasi insersi, hemothorax, cedera pada saraf atau neuralgia pada lokasi
tusukkan, dan cardiac tamponade. Serta, hindari melakukan tindakan yang tidak
steril, karena bisa menyebabkan komplikasi berupa pneumonia dan empiema pada
pasien. [1,5,12-15]
2.7.2. Tube thoracostomy
Tube thoracostomy direkomendasikan untuk pasien dengan tanda-tanda
tension pneumothoraks yang perlu segera dirawat, bahkan sebelum radiografi
dada dilakukan. Penempatan tabung dilakukan melalui ruang interkostal kelima di
garis midaksilaris. Berdasarkan pengalaman tidak perlu dilakukan penempatan
tabung dada disamping tempat tidur. Tabung dada kecil bisa sulit untuk diarahkan
ke puncak dada, jadi 28 Fr lebih disarankan. Selang dada dibiarkan di tempatnya
selama 24 hingga 48 jam. Menempatkan selang dada pada segel air setelah
ekspansi paru-paru telah dikonfirmasi. Jika kebocoran udara berlanjut dan
manajemen nonoperatif lebih disukai, katup Heimlich dapat dipasang. Pasien
kemudian dapat dipulangkan untuk manajemen rawat jalan. 4
Tingkat komplikasi yang dilaporkan dari tube thoracostomy bervariasi dari
4% sampai 30% dengan hanya 1% yang terjadi dari insersi. Komplikasi (Tabel
2.4) mungkin kurang umum sekarang karena penggunaan trocar telah
ditinggalkan sebagai pengganti diseksi tumpul, meskipun kematian mungkin
masih terjadi. Banyak komplikasi thoracostomy tube berhubungan dengan tube itu
sendiri tension berulang, hematoma, infeksi, penempatan subkutan. Torakostomi
sederhana tanpa penempatan tabung merupakan alternatif yang efektif, (pada
pasien berventilasi) untuk menghindari komplikasi ini. Ini juga mengurangi waktu
untuk dekompresi, mengurangi waktu di tempat dalam perawatan pra-rumah sakit,
dan memungkinkan sapuan jari 360˚ berulang jika terjadi penurunan kualitas
pasien. Yang terakhir akan memungkinkan palpasi paru-paru untuk memeriksa
ekspansi ulang lanjutan dan mengkonfirmasi patensi komunikasi pleura. Prosedur
ini hanya memerlukan torakostomi di garis tengah aksila ICS ke-4 atau ke-5,
memastikan akses jari yang baik ke rongga pleura untuk memungkinkan
dekompresi.
Tabel 2.4 Komplikasi tube thoracostomy
3.1 KASUS
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. HS
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 65 Kg
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Tapak Tuan
No. CM : 1-31-28-49
Tanggal Masuk : 28/07/2020
Tanggal Pemeriksaan : 28/07/2022
3.1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak Napas
INR 1,00
APTT
Pasien(APTT) 35,50 26-37
35,2 Detik
Kontrol
330,0 <500 ng/mL
D-dimer
Imunokro
IMUNOSEROLOGI
matografi
Hepatitis
Non Non
HBsAg
reaktif reaktif
KIMIA KLINIK
Diabetes
GDS 105 < 200 mg/dL
Ginjal-Hipertensi
Ureum 59 59 13-43 mg/dL
Kreatinin 2,6 2,4 0,67-1,17 mg/dL
Elektrolit-Serum
Natrium (Na) 144 145 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,3 4,10 3,7-5,4 mmol/L
Clorida (Cl) 108 110z 98-106 mmol/L
URINALISIS
Makroskopis:
Warna Kuning
Kejernihan Keruh
Berat Jenis 1,011 1,003-1,030
pH 5,0 5,0-9,0
Leukosit Positif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Pemeriksaan SC scan SPN pada tanggal 15 Juli 2020: tampak lesi isodens
dengan komponen hiperdens ekstensif pada sinus maksilaris kanan dengan
bulging prominent ke medial menyebabkan ekspansi dinding sinus ke medial-
posterior dan obstruksi cavum nasi sisi kanan serta focal erosi dinding medial
lateral procesus alveolaris kanan. Tak tampak penebalan konka nasi kanan dan
kiri. Jarak lamina kribrosa dengan atap sinus ethmoid sesuai dengan Keros 2. Tak
tampak pneumatisasi konka nasalis. Osteomeatal kompleks kanan obliterasi, kiri
baik.
Kesan: dd/ maxillary sinus mucocele, fungal sinusitis
Gambar 3.3 CT Scan sinus paranasal potongan sagittal, coronal dan axial.
Laporan Tindakan
1. Pasien dalam posisi supinasi dengan posisi kepala menghadap operator
dalam general anestesi dengan ETT terpasang.
2. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis lalu ditutup dengan doek steril.
3. Dilakukan evaluasi cavum nasi dektra dan sinistra.
4. Cavum nasi kanan tampak sempit, konka inferior hipertrofi, mukosa putih
pucat, konka media terdorong ke medial, tampak pus kental berwarna
kekuningan yang keluar dari ostium maksila.
5. Cavum nasi kiri tampak lapang, mukosa merah muda, konka inferior
eutrofi, konka media eutrofi, tidak ada sekret, kompleks osteomeatal
terbuka, tidak tampak massa, polip, pus, jamur atau pun darah. Tidak ada
septum deviasi.
6. Dilakukan pemasangan tampon xylocaine adrenalin 1:200.000 selama 10-
15 menit pada rongga hidung kanan, lalu tampon dilepas.
7. Evaluasi kembali dengan teleskop O0, tampak massa jamur berwarna
kekuningan hingga hijau kecoklatan, padat dan mendesak dari antrum
maksila ke arah medial. Tidak ada septum deviasi.
8. Dilakukan medialisasi konka media dengan resparatorium/elevator freer,
dilanjutkan evaluasi ostium maksila dengan ostium seeker.
9. Dilakukan unsinektomi pada prosesus unsinatus dengan forceps backbiter.
10. Ostium diperlebar dengan forceps blekesley/forceps cutting lurus dan
bengkok.
11. Massa jamur dikeluarkan dengan kuret, irigasi dan suction, hingga bersih
12. Antrum maksila dievaluasi dengan telescope 300 dan 700, tidak tampak
kista dan sisa massa jamur.
13. Perdarahan minimal dikontrol dengan tampon xylocaine adrenali.
14. Teleskop di keluarkan secara perlahan, lalu dilakukan pemasangan tampon
hidung pada rongga hidung kanan.
15. Tindakan selesai, operasi selsesai.
Gambar 3.6 Gambaran fungal ball tampak saat di lakukan tindakan FESS
POD I (2-9-2020)
S Nyeri di rongga hidung
O Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah: 130/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Pernafasan : 16 kali/menit
Suhu : 35,70C
Status lokalis
a.r nasal : terpasang tampon pada cavum nasi kanan
tidak tampak adanya rembesan darah
pada kasa.
Cavum nasi kiri normal
a.r orofaring : tonsil T1/T1 , faring mukosa merah muda
rkus faring simetris, tidak tampak adanya
rembesan darah yang mengalir di dinding
faring.
A Post operasi unsinektomi dextra + middle meatal antrostomi dextra
a.i rinosinusitis jamur a.r sinus maksila kanan
P Evaluasi keadaan umum, tanda vital, perdarahan
Pertahankan tampon hidung 2 hari (sampai POD III)
Diet sonde via NGT
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/menit
IV. Ceftriaxone 1 gram / 12 jam
IV. Asam Tranexamat 500 mg / 8 jam
IV. Ketorolac 3% / 8 jam
Pasca operasi tanggal 6/9/2020 pasien datang kontrol ke poli klinik THT-
KL, tidak ada keluhan hidung tersumbat ataupun sekret, hanya tampak sedikit sisa
bekuan darah post operasi. Keluhan nyeri kepala sudah tidak ada, hidung berbau
juga tidak ada. Pasien disarankan untuk tetap melakukan cuci hidung secara rutin
dengan normal salin di rumah.