Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HIDUP DENGAN ODHA DAN FAMILY CENTERED PADA ODHA


Dosen Pengampu : Ns. M. Irwan, M.Kep

DISUSUN OLEH:
ELISABETH MELLA WS. (2021003)
FADILA RAHMA (2021005)
MAISYA ARTIKA (2021010)
AULIA HANIFAH (2021002)
MURTILIYANTI (2021012)
GILANG PRADANA (2021024)
RYO SANDRA (2021018)
DAVID REYNALDI (2021021)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes TENGKU MAHARATU
PEKANBARU
TH.2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini membahas “HIDUP DENGAN ODHA DAN FAMILY
CENTERED PADA ODHA”. Pada dasarnya makalah ini disusun dengan tujuan untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang Hidup dengan
ODHA dan Family centered pada ODHA..
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Pekanbaru 15 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jumlah pasien HIV di Indonesia terus bertambah. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia melaporkan sampai dengan bulan September 2014 Jawa
Tengah menduduki tingkat ke enam sebagai provinsi dengan kasus HIV sebanyak
9.032 dan AIDS 3.767 orang, setelah provensi Papua, Jawa timur, DKI Jakarta,
Bali, dan Jawa Barat. Melihat tingginya prevalensi diatas masalah HIV/ AIDS saat
ini bukan hanya masalah kesehatan berupa penyakit menular saja, tetapi menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas (DepKes RI, 2014). Peningkatan
jumlah penderita HIV /AIDS saat ini sudah selayaknya diikuti dengan peningkatan
pengetahuan perawat dan keluarga yang merawat pasien HIV/AIDS. Untuk
perawat, tidak hanya pengetahuan saja yang penting ditingkatkan namun juga
keterampilan yang mereka miliki untuk merawat pasien dengan HIV/AIDS baik di
fasilitas kesehatan maupun di masyarakat (WHO, 2004).
Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan
karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas
pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual.
Masalah psikososial yang dihadapi oleh pasien HIV/AIDS berdampak pada
kualitas hidup pasien. Dukungan dari berbagai pihak salah satunya dukungan
keluarga sangat dibutuhkan pasien HIV/AIDS untuk mempertahankan kualitas
hidupnya. Penangganan HIV/ AIDS tidak hanya segi medis saja, tetapi layanan
psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat sangat
diperlukan melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier. Penanggulangan HIV/
AIDS ditujukan untuk mencegah, menggurangi resiko penularan, meningkatkan
kualitas hidup ODHA serta menggurangi dampak sosial ekonomi pada individu,
keluarga dan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan cara
deteksi dini melalui status seseorang apakah sudah terinfeksi atau belum dengan
konseling dan testing secara sukarela (VCT), serta layanan Provider Initiated
Testing and Counseling (PITC) yang dapat dilakukan di sarana kesehatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Penanggulangan secara
terpadu dengan cara setiap orang dewasa, remaja, anak-anak yang datang ke
fasilitas layanan kesehatan, dengan gejala medis yang mengindikasikan atau patut
dicurigai terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat penyakit Tuberkulosis, IMS
dianjurkan dilakukan pemeriksaan HIV ( PP& PL DepKes RI, 2011). Individu
yang menderita HIV/ AIDS, akan mengalami tekanan emosional serta stress
psikologis takut dikucilkan keluarga dan masyarakat, terutama keluarga takut
tertular, serta adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat (Green &
Hestin, 2009). Kepedulian, kasih sayang keluarga merupakan salah satu dukungan
yang sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/ AIDS. Beberapa pendapat
mengatakan kedekatan hubungan merupakan sumber yang paling penting, karena
salah salah satu fungsi keluarga selain menyediakan makanan, pakaian dan rumah,
juga mempunyai peran dalam hal perawatan. Fungsi perawatan dilakukan dengan
memberikan dengan memberi asuhan terhadap anggota keluarga baik berupa
pencegahan sampai merawat keluarga yang sakit (Nursalam & Kurniawati, 2007;
Padila, 2012). Perawatan dan pengobatan HIV/ AIDS membutuhkan waktu yang
lama terkadang dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatan. Selain
itu juga karena rasa bosan, banyaknya jenis obat, efek samping serta komplikasi
yang mungkin dialami. Untuk mencegah resistensi obat dan tetap bertahan dengan
kepatuhan yang tinggi, memerlukan disiplin pribadi dan bantuan agar selalu
minum obat (Green & Hestin, 2009). Keluarga sebagai support system yang utama
dibutuhkan untuk mengembangkan koping yang efektif untk beradaptasi
menghadapi stressor terkait penyakit, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Dukungan keluarga terdiri dari dukungan informatif, penghargaan, instrumental
dan emosional. Kecenderungan dukungan keluarga yang adekuat terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif,
fisik dan kesehatan emosi (Friedmen 1998 dalam Setiadi, 2008).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa perlu dilakukan Family centered Care pada ODHA?
2. Bagaimana konsep Family centered Care pada ODHA?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai pemenuha tugas dari mata kuliah
Keperawatan HIV/AIDS yaitu:
a). Agar mahasiswa memahami perlunya dilakukan Family centered Care pada
ODHA
b). Agar mahasiswa mampu menerapkan konsep Family centered Care pada pasien
dengan HIV/AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FAMILY CENTERED CARE


Family centered care didenifisikan menurut Hanson (199, dalam dunst dan
Trivette 2009) sebagai pendekatan inovatif dalam merencanakan, melakukan, dan
mengevaluasi tindakan keperawatan yang diberikan didasarkan pada manfaat
hubungan antara perawat dan keluarga yaitu orang tua. Stower (1992 dalam Fiane,
2012), Family Centered Care merupakan suatu pendekatan yang holistik.
Pendekatan Family Centered Care tidak hanya memfokuskan asuhan keperawatan
kepada pasien dengan ODHA sebagai klien atau individu dengan kebutuhan
biologis, pisikologi, sosial, dan spiritual (biopisikospritual) tetapi juga melibatkan
keluarga sebagai bagian yang konstan dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
klien. Gill (1993, dalam Fiane, 2012) yang menyebutkan bahwa Family Centered
Care merupakan kolaborasi bersama antara orangtua dan tenaga profesional.
Kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam membentuk mendukung
keluarga terutama dalam aturan perawatan yang mereka lakukan merupakan
filosofi Family Centered Care. Kemudian, secara lebih sfesifik dijelaskan bahwa
filosofi Family Centered Care yang dimaksudkan merupakan dasar pemikiran
dalam keperawatan yang digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien dengan melibatkan keluarga sebagai fokus utama perawatan.
Kutipan defenisi dari para ahli diatas memberikan bahwa dalam penerepan Family
Centered Care sebagai suatu pendekatan holistik dan filisofi dalam keperawatan.
Adapun peran perawat dalam menerapkan Family Centered Care adalah sebagai
mitra dan fasilitator dalam perawatan pasien ODHA dirumah sakit.

B. FAMILY CENTERED CARE PADA ODHA

1. Konsep dari Family Centered Care pada ODHA


a). Martabat dan kehormatan Praktisi keperawatan mendengarkan dan
menghormati pandangan dan pilihan pasien. Pengetahuan, nilai,
kepercayaan dan latar belakang budaya pasien dan keluarg abergabung
dalam rencana dan intervensi keperawatan pada ODHA.
b). Berbagi informasi. Praktisi keperawatan berkomunikasi dan
memberitahukan informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga dengan
benar dan tidak memihak kepada pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga
menerima informasi setiap waktu, lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi
dalam perawatan dan pengambilan keputusan pada ODHA.
c). Partisipasi. Pasien pada ODHA dan keluarga termotivasi berpartisipasi
dalam perawatan dan pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan
yang telah mereka buat.
d). Kolaborasi. Pasien pada ODHA dan keluarga juga termasuk ke dalam
komponen dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi dengan pasien pada
ODHA dan keluarga dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan
program, implementasi dan evaluasi, desain
2. Penyebab dilakukan Family-Centered Care pada ODHA
a). Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol atau penyembuhan pada
ODHA( orang dengan HIV AIDS).
b. Berfokus pada kekuatan dan sumber keluarga daripada kelemahan
keluarga.
c. Mengakui keahlian keluarga dalam merawat ODHA( orang dengan HIV
AIDS) seperti sebagaimana professional
d. Membangun pemberdayaan daripada ketergantungan
e. Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan pasien ODHA( orang
dengan HIV AIDS) , keluarga dan pemberi pelayanan dari pada
informasihanya diketahui oleh professional.
f. Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku.

C. Elemen Family-Centered Care pada ODHA


Menurut Shelton (1987, dalam Fretes 2012), terdapat beberapa elemen
Family Centered Care, yaitu:
a. Perawat menyadari bahwa keluarga adalah bagian yang konstan dalam
kehidupan pasien, sementara sistem layanan dan anggota dalam system
tersebut berfluktuasi. Kesadaran perawat bahwa keluarga adalah bagian
yang konstan, merupakan hal yang penting. Fungsi perawat sebagai
motivator menghargai dan menghormati peran keluarga dalam merawat
klien dengan ODHA serta bertanggung jawab penuh dalam mengelola
kesehatan klien. Selain itu, perawat mendukung perkembangan sosial dan
emosional, serta memenuhi kebutuhan pasien ODHA dalam keluarga. Oleh
karena itu, dalam menjalankan sistem perawatan kesehatan, keluarga
dilibatkan dalam membuat keputusan, mengasuh, mendidik, dan
melakukan pembelaan terhadap hak anggota keluarga mereka selama
menjalani masa perawatan. Keputusan keluarga dalam perawatan pasien
ODHA merupakan suatu pertimbangan yang utama karena keputusan ini
didasarkan pada mekanisme koping dan kebutuhan yang ada dalam
keluarga. Dalam pembuatan keputusan, perawat memberikan saran yang
sesuai namun keluarga tetap berhak memutuskan layanan yang ingin
didapatkannya. Beberapa hal yang diterapkan untuk menghargai dan
mendukung individualitas dan kekuatan yang dimiliki dalam satu keluarga
seperti :
a). Kunjungan yang dibuat dirumah keluarga atau ditempat lain dengan
waktu dan lokasi yang disepakati bersama keluarga,
b). Perawat mengkaji keluarga berdasarkan kebutuhan keluarga,
c). Orangtua adalah bagian dari keluarga yang menjadi fokus utama dari
perawatan yang diberikan mereka turut merencanakan perawatan dan
peran mereka dalam perawatan pasien ODHA.
d). Perencanaan perawatan yang diberikan bersifat komprehensif dan
perawatan memberikan semua perawatan yang dibutuhkan misalnya
perawatan pada pasien ODHA, dukungan kepada orangtua, bantuan
keuangan, hiburan dan dukungan emosional (Shelton 1987, dalam
Fretes, 2012).

Memfasilitassi kerjasama antara keluarga den perawat di semua tingkat


pelayanan kesehatan, merawat anggota keluarga yang ODHA secara individual,
pengembangan program, pelaksanaan dan evaluasi serta pembentukan kebijakan
hal ini ditujukan ketika:
a. Kolaborasi untuk memberikan perawatan kepada pasien ODHA peran kerjasama
antara orangtua dan tenaga perofesional sangat penting dan vital. Keluarga bukan
sekedar sebagai pendamping, tetapi terlibat didalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada anggota keluarga mereka. Tenaga professional memberikan
pelayanan sesuai dengan keahlian dan ilmu yang mereka peroleh sedangkan
orangtua berkontribusi dengan memberikan informasi tentang anggota keluarga
mereka yang merupakan pasien ODHA. Dalam kerja sama antara orangtua dengan
tenaga professional, orangtua bisa memberikan masukan untuk perawatan anggota
keluarga mereka. Tapi, tidak semua tenaga professional dapat menerima masukan
yang diberikan. Beberapa disebabkan karena kurangnya pengalaman tenaga
professional dalam melakukan kerjasama dengan orang tua (Shelton 1987, dalam
Fretes, 2012).
b. Kerjasama dalam mengembangkan masyarakat dan pelayanan rumah sakit. Hal
yang harus diutamakan pada tahap ini adalah kalaborasi dengan bidang yang lain
untuk menunjang proses perawatan. Family Centered Care memberikan
kesempatan kepada orangtua dengan pengetahuan dan professional untuk
pengalaman yang berkontribusi mereka miliki melalui untuk mengembangkan
perawatan terhadap pasien ODHA di rumah sakit. (Shelton 1987, dalam Fretes,
2012).
c. Kolaborasi dalam tahap kebijakan Family Centered Care dapat tercapai melalui
kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam tahap kebijakan. Orangtua bisa
menghargai kemampuan yang mereka miliki dengan memberikan pengetahuan
mereka tentang sistem pelayanan kesehatan serta kompotensi merek Keterlibatan
mereka dalam membuat keputusan menambah kualitas pelayanan kesehatan.
Menghormati keanekaragaman ras, etnis budaya dan sosial ekonomi dalam
keluarga. Tujuannya adalah untuk menunjang keberhasilan perawatan pasien
ODHA dirumah sakit dengan mempertimbangkan tingkat erkembangan pasien
ODHA diagnosa medis. Hal ini akan menjadi sulit apabila program perawatan
diterapkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga (Shelton,
1987, dalam Fretes, 2012).
d. Mengakui kekuatan keluarga dan individualitas serta memperhatikan perbedaan
mekanisme koping dalam keluarga elemen ini mewujudkan 2 konsep yang
seimbang. Pertama, Family Centered Care harus menggambarkan keseimbangan
pasien dan keluarga. Kedua menghargai dan menghormati mekanisme koping dan
individualitas yang dimiliki oleh pasien maupun keluarga dalam kehidupan
mereka. Memberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada keluarga dan secara
berkelanjutan dengan dukungan penuh Memberikan informasi kepada orangtua
bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan orangtua terhadap perawat
anggota keluarga mereka. Selain itu, dengan demikian informasi orangtua akan
merasa menjadi bagian yang penting dalam perawatan pasien dengan ODHA.
Ketersedian informasi tidak hanya memiliki pengaruh emosional, melainkan hal
ini merupakan faktor kritikal dalam melibatkan partisifasi orangtua secara penuh
dalam proses membuat keputusan terutama untuk setiap tindakan medis dalam
perawatan anggota keluarga mereka (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012).
e. Mendorong dan memfasilitasi keluarga untuk saling mendukung Pada bagian
ini, Shelton menjelaskan bahwa dukungan yang lain yang dapat diberikan kepada
keluarga adalah dukungan antar keluarga.. Perawat ataupun tenaga professional
yang lain memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan dukungan dari keluarga lain
yang juga memiliki masalah yang sama mengenai keluarga mereka. Dukungan
antara keluarga ini berfungsi untuk: a) Saling memberikan dukungan dan menjalin
hubungan persahabatan b) Bertukar imformasi mengenai kondisi dan perawatan
pasien dengan ODHA c) Memanfaatkan dan meningkatkan sistem pelayanan yang
ada untuk kebutuhan perawatan anggota keluarga mereka. Memahami dan
menggabungkan kebutuhan dalam setiap perkembangan bayi, anak-anak, remaja
dan keluarga mereka ke dalam sistem perawatan kesehatan. (Shelton, 1987, dalam
Fretes, 2012) Menerapkan kebijakan yang komprehensif dan program program
yang memberikan dukungan emosional dan keuangan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga Dukungan kepada keluarga bervariasi dan berubah setiap waktu sesuai
dengan kebutuhan keluarga tersebut. Jenis dukungan yang diberikan misalnya
mendukung keluarga untuk memenuhi waktu istrahat mereka, pelayanan home
care, pelayan konseling, promosi kesehatan, program bermaian, serta koordinasi
layanan keseehatan yang baik untuk membantu keluarga memamfaatkan layanan
kesehatan yang ada untuk menunjang kebutuhan layanan kesehatan secara
finansial. Dukungan yang baik dapat membantu menurunkan stress yang dialami
oleh keluarga karena ketidak seimbangan tuntutan kadaan kondisi dengan
ketersediaan tenaga yang dimiliki oleh keluarga saat mendampingi pasien dengan
ODHA selama dirawat dirumah sakit. Oleh karena itu perawat harus kritis dalam
mengkaji kebutuhan keluarga sehingga dukungan dapat diberikan dengan tepat
termasuk mempertimbangkan kebijakan yangberlaku baik dirumah sakit maupun
dilingkungan untuk menunjang dukungan yang akan diberikan kepada keluarga
(Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012).
Merancang system perawatan kesehatan yang fleksibel, dapat dijangkau
dengan mudah dan responsip terhadap kebutuhan keluarga teridentifikasi. Sistem
pelayanan kesehatan yang fleksibel didasarkan pada pemahaman bahwa setiap
pasien memiliki kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang berbeda maka
layanan kesehatan yang ada harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kelebihan
yang dimiliki oleh pasien dan keluarga. Oleh karena itu, tidak hanya satu
intervensi kesehatan untuk semua pasien tetapi lebih dari satu intervensi yang
berbeda untuk setiap pasien. Selain layanan yang fleksibel, dalam Family Centered
Care juga mendukung agar layanan kesehatan mudah diakses oleh pasien dengan
ODHA dan keluarga misalnya sistem pembayaran layanan kesehatan yang dipakai
selama pasien menjalani perawatan dirumah sakit baik menggunakan asuransi atau
jaminan kesehatan pemerintah dan swasta, konsultasi kesehatan, prosedur
pemeriksaan dan pembedahan, layanan selama pasien menjalani rawat inap
dirumah sakit dan sebagainya. Oleh karena itu perawat harus mengkaji kebutuhan
pasien dengan ODHA atau keluarga terhadap akses layanan kesehatan yang
dibutuhkan lalu melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien dan
keluarga. Apabila layanan kesehatan yang direncanakan fleksibel dan dapat
diakses oleh pasien dan keluarga maka layanan kesehatan tersebut akan lebih
responsif karena memproritaskan kebutuhan pasien dengan ODHA dan keluarga
(Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012)

D. Prinsip Family Centered Care menurut Potter & Perry (2007) :


a. Martabat dan kehormatan
Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati pandangan dan pilihan
pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang budaya pasien dan
keluarga bergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan.
b. Berbagi informasi
Praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang
berguna bagi pasien dan keluarga denganbenar dan tidak memihak kepada
pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu,
lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan
keputusan.
c. Partisipasi
Pasien dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam perawatan dan
pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.
d. Kolaborasi
Pasien dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi.
Perawat berkolaborasi dengan pasien dan keluargadalam pengambilan
kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi, desain
fasilitas kesehatan dan pendidikan profesional terutama dalam pemberian
perawatan. (Potter & perry 2007).

E. DUKUNGAN
Dukungan merupakan bantuan menyelesaikan suatu masalah sesuai dengan
yang direkomendasikan. Dukungan ini biasanya didapatkan dari seseorang yang
terdekat yang bisa diandalkan, memberikan kepedulian serta mengasihi dan akan
efektif apabila terjalin hubungan saling percaya. Keluarga merupakan orang
terdekat yang mempunyai unsur penting dalam kehidupan, karena didalamnya
terdapat peran dan fungsi dari anggota keluarga tersebut yang saling berhubungan
dan ketergantungan dalam menberikan dukungan, kasih sayang dan perhatian
secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama (Friedmen, 2010). Lingkungan
keluarga harus menciptakan suasana kondusif untuk merawat anggota
keluargannya yang sakit. Perasaan cemas dan takut dari keluarga diganti dengan
ketekunan dan kesabaran dalam merawat (Tandra, 2008). Orang yang hidup
dengan HIV/ AIDS memerlukan dukungan karena penyakit ini bersifat kronis dan
membutuhkan penanganan yang komprehensif (Li, et al, 2008). Sedangkan pada
hal pekerjaan, klasifikasi pekerjaan tidak disebutkan mempunyai pekerjaan tetap
atau pekerjaan tidak tetap (Ellen, et al, 2009). Salah satu tempat terbaik dalam
merawat pasien dengan HIV/ AIDS adalah rumah dan dikelilinggi orang orang
tercinta. Dirawat orang terdekat lebih menyenangkan, lebih akrab dan
membuatnya bisa mengatur hidupnya sendri. Penyakitpenyakit yang berhubungan
dengan orang yang terinfeksi HIV akan cepat membaik dengan kenyamanan
keluarga, dukungan teman dan orang orang yang dicintainya (Green & Hestin,
2009). Pasien HIV/ AIDS penting mengetahui bahwa ia bisa hidup dengan normal
dan produktif. Demikian juga dengan keluarganya, keluarga harus bisa menerima
ODHA dengan besar hati dan tidak melakukan diskriminasi terhadapnya, kadang
tak mudah membangkitkan semangat hidup ODHA. Hal itu terjadi terutama pada
ODHA yang secara kejiwaan lemah, tak bisa menerima kenyataan hidup (Yvonne,
2014).
A.Dukungan emosional
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dengan judul perbedaan respon
sosial penderita hiv-aids yang mendapat dukungan keluarga dan tidak mendapat
dukungan keluarga dibalai kesehatan paru masyarakat (BKPM) Semarang
didapatkan hasil 76,9% pasien mendapatkan dukungan emosional dari keluarga
dan 10, 3 % kurang mendapatkan dukungan (Marubenny, 2012). Demikian juga
pada penelitian dengan judul pengaruh dukungan keluarga terhadap program
pengobatan pasien hiv-aids di posyansus rumah sakit umum pusat Haji Adam
Malik Medan didapatkan hasil dukungan emosional kategori cukup sebanyak 80%
dan kurang sebanyak 20% (Siahaan, 2011). Dukungan emosinal mencakup
ungkapan empati,kepedulian, motivasi dan perhatian terhadap pasien yang
terinfeksi HIV/ AIDS berupa keluarga senantiasa membahas perkembangan
penyakit pasien, keluarga membahas perkembangan penyakit pasien untuk
menentukan langkah tindak lanjut, keluarga selalu memberi rasa nyaman pada
pasien selama dirawat di rumah berupa kasih sayang dan penerimaan, keluarga
bersikap halus dan menerima bila ada sikap negatif yang muncul dari pasien,
dengan demikian diharapkan pasien lebih bisa bersabar dan menerima kondisinya
walaupun pada awalnya ada sikap penyangkalan dari pasien dan keluarga, tetapi
peran keluarga diharapkan mampu memahami dan memaklumi apabila penyakit
yang diderita merupakan suatu musibah dan percaya bahwa dibalik merawat
pasien dengan HIV/ AIDS pasti ada hikmah yang bisa dipetik. Keluarga selalu
mengingatkan, untuk lebih dekat kepada Allah dan selalu ber – ihtiar untuk proses
kesembuhan. Salah satu bentuk mekanismen pertahanan diri manusia/ koping
adalah strategi koping religius yaitu melibatkan agama dalam penyelesaian
masalah dengan meningkatkan ritual keagamaan sehingga akan menggurangi
tekanan ataupun stresor yang dialami, dalam hal ini pasien HIV/ AIDS ataupun
keluargannya. Pada umumnya saat suasana yang tidak terkendali, individu
mengakui adanya sesuatu yang lebih berkuasa daripada dirinya. Kebanyakan orang
Indonesia menggunakan strategi religi untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan
sholat adalah mekanisme yang paling sering dipakai (Manfredi & Picket dalam
Primaldhi, 2006).

B. Dukungan Penghargaan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dukungan penghargaan cukup
sebanyak 31 responden (70,0%), yaitu berupa ungkapan penghargaan positif
terhadap pasien HIV/ AIDS, berupa ungkapan perbandingan yang baik untuk
meningkatkan harga diri pasien. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Marrubeny, (2012) didapatkan hasil dukugan keluarga berupa dukungan baik
sebesar 59,0%. Dukungan penghargaan bisa berupa keluarga membandingkan
dengan orang lain, sehingga bahwa masih banyak orang lain yang menderita
penyakit yang sama sehingga termotivasi dalam menjalani pengobatan. HIV
adalah masalah kesehatan, bukan aib sehingga ada keterkaitan erat pentingnya
pencegahan dan upaya dukungan. HIV bisa mengenai siapa saja, sehingga dengan
dukngan yang baik langkah pencegahan penularan ke orang lain akan behasil
apabila pasien merasa nyaman secara individu, keluarga dan masyarakat (Green &
Hestin, 2009). Keterlibatan pasien HIV dalam kegiatan keluarga dan kegiatan
sosial dan selalu mendukung pasien tetap melakukan pekerjaan sehari- hari
merupakan salah satu bentuk dukungan penghargaan. Dukungan instrumental.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan hasil dukungan instrumental cukup
sebesar 32 responden (72,7%). Siboro (2010) pada penelitiannya didapatkan hasil
dukungan instrumental kepada pasien sebanyak 64,4%. Demikin juga penelitian
lainnya didapatkan hasil sebanyak 74, 4% pasien selalu mendapatkan bantuan
instrumental (Marubenny, 2012). Sedangkan menurut penelitian dengan judul
pengaruh dukungan keluarga terhadap program pengobatan pasien Hiv-Aids di
posyansus rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan, dukungan yang
diberikan dalam kategori cukup sebesar 80%, baik 0% dan kurang sebanyak 20%
(Siahaan, 2011). Bantuan ini berupa dukungan yang secara langsung seperti
merawat, mengantar kontol, menyiapkan obat, penyediaan finansial utuk berobat
ataupun pemberian materi secara langsung.

C. Dukungan informatif
Dukungan infromasi berupa bantuan atau tindakan yang dilakukan oleh
keluarga berupa saran, informasi serta nasehat yang dilakukan kepada pasien yang
dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini
adalah dapat menekan munculnya stressor karena informasi yang diberikan dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek dalam dukungan
ini berupa nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Kepedulian, kasih sayang keluarga merupakan salah satu dukungan yang
sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/ AIDS. Beberapa pendapat mengatakan
kedekatan hubungan merupakan sumber yang paling penting, karena salah salah
satu fungsi keluarga selain menyediakan makanan, pakaian dan rumah, juga
mempunyai peran dalam hal perawatan. Fungsi perawatan dilakukan dengan
memberikan dengan memberi asuhan terhadap anggota keluarga baik berupa
pencegahan sampai merawat keluarga yang sakit (Nursalam & Kurniawati, 2007;
Padila, 2012). Perawatan dan pengobatan HIV/ AIDS membutuhkan waktu yang
lama terkadang dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatan. Selain
itu juga karena rasa bosan, banyaknya jenis obat, efek samping serta komplikasi
yang mungkin dialami. Untuk mencegah resistensi obat dan tetap bertahan dengan
kepatuhan yang tinggi, memerlukan disiplin pribadi dan bantuan agar selalu
minum obat (Green & Hestin, 2009). Keluarga sebagai support system yang utama
dibutuhkan untuk mengembangkan koping yang efektif untk beradaptasi
menghadapi stressor terkait penyakit, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Dukungan keluarga terdiri dari dukungan informatif, penghargaan, instrumental
dan emosional. Kecenderungan dukungan keluarga yang adekuat terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif,
fisik dan kesehatan emosi (Friedmen 1998 dalam Setiadi, 2008).
Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI. 2011 . Buku Saku Konselor HIV : Direktorat Jenderal PP &
PL Departemen Kesehatan RI. 2014.
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Jenis Kelamin/Sex Dilapor s/d September 2014.
RetriavedSeptember 2015
15,fromhttp://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin Infodatin
%20AIDS.pdf Ellen, at all. (2009).
Health-Related Quality of Life in Bereaved HIVPositive Adults: Relationships between
HIV Symptoms, Grief, Social Support, and Axis II Indication. Health Psychol. Vol. 28(2):
249–257.
Diakses Tanggal 5 November 2016. Green, W. Chris & Hertin, Setyowati. (2009).
Lembaran Informasi tentang HIV/ AIDS untuk Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA):
Jakarta Marubenny, Sandy. 2012. Perbedaan Respon Sosial Penderita HivAids Yang
Mendapat Dukungan Keluarga Dan Tidak Mendapat Dukungan Keluarga Dibalai
Kesehatan Paru Masyarakat (Bkpm) Semarang. Jurnal Nursalam, Kurniawati. 2007.
Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta : Salemba Medika. Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan metodologi
penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika Setiadi. 2008. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.
Yogyakarta : Graha Ilmu Tandra, H. 2008. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui
tentang Diabetes.
Jakarta: PT. Gram edia Pustaka Utama. UNSAID. 2014. UNSAID World AIDS Day
Report.RetriavedSeptember1,2015.
Fromhttp://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/
UNAIDS_Global_Report_2013. Yvonne S. (2014). Influence of Depression to Quality of
Life People Living with HIV/AIDS after Antiretroviral Treatment. Edisi No 02 Vol XL,
Hal: 96–101. Diakses Tanggal 1 Juli2019.

Anda mungkin juga menyukai