KONSEP FAMILY CENTERED CARE PADA PENDERITA HIV AIDS
DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah keperawatan HIV AIDS
Dosen Pengampu :
Ns. Nila Putri Purwandari, S.Kep., M.Kep.
Oleh kelompok 5 :
1. Ardik Cristian Mardeka
2. David Oktavianus 3. Dian Kristiawan 4. Dionysius Ririhena 5. Ismanto 6. Junarto 7. Resmiyati 8. Thersa Marchelina 9. Tika Pratiwi 10. Sulistiyanik PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CENDEKIA UTAMA KUDUS 2021 A. PENDAHULUAN
Jumlah pasien HIV di Indonesia terus bertambah. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia melaporkan sampai dengan bulan September 2014 Jawa Tengah menduduki tingkat ke enam sebagai provinsi dengan kasus HIV sebanyak 9.032 dan AIDS 3.767 orang, setelah provensi Papua, Jawa timur, DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Barat. Melihat tingginya prevalensi diatas masalah HIV/ AIDS saat ini bukan hanya masalah kesehatan berupa penyakit menular saja, tetapi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas (DepKes RI, 2014). Peningkatan jumlah penderita HIV /AIDS saat ini sudah selayaknya diikuti dengan peningkatan pengetahuan perawat dan keluarga yang merawat pasien HIV/AIDS. Untuk perawat, tidak hanya pengetahuan saja yang penting ditingkatkan namun juga keterampilan yang mereka miliki untuk merawat pasien dengan HIV/AIDS baik di fasilitas kesehatan maupun di masyarakat (WHO, 2004). Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial yang dihadapi oleh pasien HIV/AIDS berdampak pada kualitas hidup pasien. Dukungan dari berbagai pihak salah satunya dukungan keluarga sangat dibutuhkan pasien HIV/AIDS untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Penangganan HIV/ AIDS tidak hanya segi medis saja, tetapi layanan psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat sangat diperlukan melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier. Penanggulangan HIV/ AIDS ditujukan untuk mencegah, menggurangi resiko penularan, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta menggurangi dampak sosial ekonomi pada individu, keluarga dan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan cara deteksi dini melalui status seseorang apakah sudah terinfeksi atau belum dengan konseling dan testing secara sukarela (VCT), serta layanan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) yang dapat dilakukan di sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Penanggulangan secara terpadu dengan cara setiap orang dewasa, remaja, anak-anak yang datang ke fasilitas layanan kesehatan, dengan gejala medis yang mengindikasikan atau patut dicurigai terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat penyakit Tuberkulosis, IMS dianjurkan dilakukan pemeriksaan HIV ( PP& PL DepKes RI, 2011). Individu yang menderita HIV/ AIDS, akan mengalami tekanan emosional serta stress psikologis takut dikucilkan keluarga dan masyarakat, terutama keluarga takut tertular, serta adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat (Green & Hestin, 2009). Kepedulian, kasih sayang keluarga merupakan salah satu dukungan yang sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/ AIDS. Beberapa pendapat mengatakan kedekatan hubungan merupakan sumber yang paling penting, karena salah salah satu fungsi keluarga selain menyediakan makanan, pakaian dan rumah, juga mempunyai peran dalam hal perawatan. Fungsi perawatan dilakukan dengan memberikan dengan memberi asuhan terhadap anggota keluarga baik berupa pencegahan sampai merawat keluarga yang sakit (Nursalam & Kurniawati, 2007; Padila, 2012). Perawatan dan pengobatan HIV/ AIDS membutuhkan waktu yang lama terkadang dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatan. Selain itu juga karena rasa bosan, banyaknya jenis obat, efek samping serta komplikasi yang mungkin dialami. Untuk mencegah resistensi obat dan tetap bertahan dengan kepatuhan yang tinggi, memerlukan disiplin pribadi dan bantuan agar selalu minum obat (Green & Hestin, 2009). Keluarga sebagai support system yang utama dibutuhkan untuk mengembangkan koping yang efektif untk beradaptasi menghadapi stressor terkait penyakit, baik fisik, psikologis maupun sosial. Dukungan keluarga terdiri dari dukungan informatif, penghargaan, instrumental dan emosional. Kecenderungan dukungan keluarga yang adekuat terbukti dapat menurunkan angka mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Friedmen 1998 dalam Setiadi, 2008). Apabila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang permisivenes maka kelompok masyarakat yang sekual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas sehingga akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat. Maka itu, peran keluarga sangat penting bagi seorang karena keluarga mempunyai kewajiban dalam memberikan pendidikan dan pembentuk karakter seseorang (Sudarsono, 2004). Keutuhan dalam keluarga juga dapat berpengaruh terhadap psikologis seorang, sehingga apabila psikologisnya terganggu maka orang tersebut akan lebih mudah lari dalam pergaulan negative di luar rumah dan juga akan mudah terjerumus dalam gaya hidup seksual maupun penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 2009) Penyalahguna NAPZA di Indonesia masih banyak melibatkan pada kalangan remaja, hal ini menyebabkan salah satu ancaman yang dapat menghancurkan generasi muda, dibuktikan dengan semakin meningkatnya tindak pidana (Waluyo B, 2011). Pengguna NAPZA di Indonesia semakin meluas di kalangan anak usia sekolah, sehingga bila tidak segera diatasi maka dapat menjadi salah satu ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan datang, di mana generasi muda merupakan penerus bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia. Penyalahgunaan NAPZA dapat disebabkan salah satunya karena faktor lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat. Penyebab penyalahgunaan NAPZA pada lingkungan keluarga salah satunya yaitu karena keharmonisan (Depkes, 2001). Dampak penyalahgunaan NAPZA bagi penggunanya adalah dapat merasakan kecemasan yang luar biasa, paranoid, delusi formikasi, berperilaku agresi, memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai penyakit seperti stroke, radang hati, jantung dan sebagainya hingga menimbulkan kematian. Penyalahgunaan NAPZA dapat disimpulkan bahwa NAPZA dapat merusak dan membahayakan bagi generasi muda dalam suatu bangsa (Budiarta, 2000 B. FAMILY CENTERED Family centered care didenifisikan menurut Hanson (199, dalam dunst dan Trivette 2009) sebagai pendekatan inovatif dalam merencanakan, melakukan, dan mengevaluasi tindakan keperawatan Yang diberikan didasarkan pada manfaat hubungan antara perawat dan keluarga yaitu orang tua. Stower (1992 dalam Fiane, 2012), Family Centered Care merupakan suatu pendekatan yang holistik. Pendekatan Family Centered Care tidak hanya memfokuskan asuhan keperawatan kepada pasien dengan ODHA sebagai klien atau individu dengan kebutuhan biologis, pisikologi, sosial, dan spiritual (biopisikospritual) tetapi juga melibatkan keluarga sebagai bagian yang konstan dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan klien. Gill (1993, dalam Fiane, 2012) yang menyebutkan bahwa Family Centered Care merupakan kolaborasi bersama antara orangtua dan tenaga profesional. Kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam membentuk mendukung keluarga terutama dalam aturan perawatan yang mereka lakukan merupakan filosofi Family Centered Care. Kemudian, secara lebih sfesifik dijelaskan bahwa filosofi Family Centered Care yang dimaksudkan merupakan dasar pemikiran dalam keperawatan yang digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan melibatkan keluarga sebagai fokus utama perawatan. Kutipan defenisi dari para ahli diatas memberikan bahwa dalam penerepan Family Centered Care sebagai suatu pendekatan holistik dan filisofi dalam keperawatan. Adapun peran perawat dalam menerapkan Family Centered Care adalah sebagai mitra dan fasilitator dalam perawatan pasien ODHA dirumah sakit
C. FAMILY CENTERED CARE PADA ODHA
1. Konsep family centered care dari ODHA a. Martabat dan kehormatan Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati pandangan dan pilihan pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang budaya pasien dan keluarg abergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan pada ODHA. b. Berbagi informasi. Praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga dengan benar dan tidak memihak kepada pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu, lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan pada ODHA. c. Partisipasi. Pasien pada ODHA dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.
d. Kolaborasi. Pasien pada ODHA dan keluarga juga termasuk
ke dalam komponen dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi dengan pasien pada ODHA dan keluarga dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi, desain 2. Penyebab dilakukakan family centered care pada ODHA a. Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol atau penyembuhan pada ODHA( orang dengan HIV AIDS). b. Berfokus pada kekuatan dan sumber keluarga daripada kelemahan keluarga. c. Mengakui keahlian keluarga dalam merawat ODHA( orang dengan HIV AIDS) seperti sebagaimana professional d. Membangun pemberdayaan daripada ketergantungan e. Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan pasien ODHA( orang dengan HIV AIDS) , keluarga dan pemberi pelayanan dari pada informasihanya diketahui oleh professional. f. Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku 3. Elemen family centered care pada ODHA Menurut Shelton (1987, dalam Fretes 2012), terdapat beberapa elemen Family Centered Care, yaitu: a. Perawat menyadari bahwa keluarga adalah bagian yang konstan dalam kehidupan pasien, sementara sistem layanan dan anggota dalam system tersebut berfluktuasi.Kesadaran perawat bahwa keluarga adalah bagian yang konstan, merupakan hal yang penting. Fungsi perawat sebagai motivator menghargai dan menghormati peran keluarga dalam merawat klien dengan ODHA serta bertanggung jawab penuh dalam mengelola kesehatan klien. Selain itu, perawat mendukung perkembangan sosial dan emosional, serta memenuhi kebutuhan pasien ODHA dalam keluarga. Oleh karena itu, dalam menjalankan sistem perawatan kesehatan, keluarga dilibatkan dalam membuat keputusan, mengasuh, mendidik, dan melakukan pembelaan terhadap hak anggota keluarga mereka selama menjalani masa perawatan. Keputusan keluarga dalam perawatan pasien ODHA merupakan suatu pertimbangan yang utama karena keputusan ini didasarkan pada mekanisme koping dan kebutuhan yang ada dalam keluarga. Dalam pembuatan keputusan, perawat memberikan saran yang sesuai namun keluarga tetap berhak memutuskan layanan yang ingin didapatkannya. Beberapa hal yangditerapkan untuk menghargai dan mendukung individualitas dan kekuatan yang dimiliki dalam satu keluarga seperti : 1. Kunjungan yang dibuat dirumah keluarga atau ditempat lain dengan waktu dan lokasi yang disepakati bersama keluarga. 2. Perawat mengkaji keluarga berdasarkan kebutuhan keluarga. 3. Orangtua adalah bagian dari keluarga yang menjadi fokus utama dari perawatan yang diberikan mereka turut merencanakan perawatan dan peran mereka dalam perawatan pasien ODHA. 4. Perencanaan perawatan yang diberikan bersifat komprehensif dan perawatan memberikan semua perawatan yang dibutuhkan misalnya perawatan pada pasien ODHA, dukungan kepada orangtua, bantuan keuangan, hiburan dan dukungan emosional (Shelton 1987, dalam Fretes, 2012). b. Memfasilitasi kerjasama antara keluarga den perawat di semua tingkat pelayanan kesehatan, merawat anggota keluarga yang ODHA secara individual, pengembangan program, pelaksanaan dan evaluasi serta pembentukan kebijakan hal ini ditujukan ketika kolaborasi untuk memberikan perawatan kepada pasien ODHA peran kerjasama antara orangtua dan tenaga perofesional sangat penting dan vital. Keluarga bukan sekedar sebagai pendamping, tetapi terlibat didalam pemberian pelayanan kesehatan kepada anggota keluarga mereka. Tenaga professional memberikan pelayanan sesuai dengan keahlian dan ilmu yang mereka peroleh sedangkan orangtua berkontribusi dengan memberikan informasi tentang anggota keluarga mereka yang merupakan pasien ODHA. Dalam kerja sama antara orangtua dengan tenaga professional, orangtua bisa memberikan masukan untuk perawatan anggota keluarga mereka. Tapi, tidak semua tenaga professional dapat menerima masukan yang diberikan. Beberapa disebabkan karena kurangnya pengalaman tenaga professional dalam melakukan kerjasama dengan orang tua (Shelton 1987, dalam Fretes, 2012).
c. Kerjasama dalam mengembangkan masyarakat dan
pelayanan rumah sakit. Hal yang harus diutamakan pada tahap ini adalah kalaborasi dengan bidang yang lain untuk menunjang proses perawatan. Family Centered Care memberikan kesempatan kepada orangtua dengan professional untuk berkontribusi melalui pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki untuk mengembangkan perawatan terhadap pasien ODHA di rumah sakit. (Shelton 1987, dalam Fretes, 2012). d. Kolaborasi dalam tahap kebijakan Family Centered Care dapat tercapai melalui kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam tahap kebijakan. Orangtua bisa menghargai kemampuan yang mereka miliki dengan memberikan pengetahuan mereka tentang sistem pelayanan kesehatan serta kompotensi mereka. Keterlibatan mereka dalam membuat keputusan menambah kualitas pelayanan kesehatan. e. Menghormati keanekaragaman ras, etnis budaya dan sosial ekonomi dalam keluarga.Tujuannya adalah untuk menunjang keberhasilan perawatan pasien ODHA dirumah sakit dengan mempertimbangkan tingkat erkembangan pasien ODHA diagnosa medis. Hal ini akan menjadi sulit apabila program perawatan diterapkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012). f. Mengakui kekuatan keluarga dan individualitas serta memperhatikan perbedaan mekanisme koping dalam keluarga elemen ini mewujudkan 2 konsep yang seimbang. Pertama, Family Centered Care harus menggambarkan keseimbangan pasien dan keluarga. Kedua menghargai dan menghormati mekanisme koping dan individualitas yang dimiliki oleh pasien maupun keluarga dalam kehidupan mereka.
g. Memberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada
keluarga dan secara berkelanjutan dengan dukungan penuh.Memberikan informasi kepada orangtua bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan orangtua terhadap perawat anggota keluarga mereka. Selain itu, dengan demikian informasi orangtua akan merasa menjadi bagian yang penting dalam perawatan pasien dengan ODHA. Ketersedian informasi tidak hanya memiliki pengaruh emosional, melainkan hal ini merupakan faktor kritikal dalam melibatkan partisifasi orangtua secara penuh dalam proses membuat keputusan terutama untuk setiap tindakan medis dalam perawatan anggota keluarga mereka (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012). h. Mendorong dan memfasilitasi keluarga untuk saling mendukung Pada bagian ini, Shelton menjelaskan bahwa dukungan yang lain yang dapat diberikan kepada keluarga adalah dukungan antar keluarga.Perawat ataupun tenaga professional yang lain memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan dukungan dari keluarga lain yang juga memiliki masalah yang sama mengenai keluarga mereka. Dukungan antara keluarga ini berfungsi untuk:
1. Saling memberikan dukungan dan menjalin hubungan
persahabatan 2. Bertukar imformasi mengenai kondisi dan perawatan pasien dengan ODHA
3. Memanfaatkan dan meningkatkan sistem pelayanan yang
ada untuk kebutuhan perawatan anggota keluarga mereka. i. Memahami dan menggabungkan kebutuhan dalam setiap perkembangan bayi, anak-anak, remaja dan keluarga mereka ke dalam sistem perawatan kesehatan. (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012) j. Menerapkan kebijakan yang komprehensif dan program program yang memberikan dukungan emosional dan keuangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Dukungan kepada keluarga bervariasi dan berubah setiap
waktu sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut. Jenis dukungan yang diberikan misalnya mendukung keluarga untuk memenuhi waktu istrahat mereka, pelayanan home care, pelayan konseling, promosi kesehatan, program bermaian, serta koordinasi layanan keseehatan yang baik untuk membantu keluarga memamfaatkan layanan kesehatan yang ada untuk menunjang kebutuhan layanan kesehatan secara finansial. Dukungan yang baik dapat membantu menurunkan stress yang dialami oleh keluarga karena ketidak seimbangan tuntutan kadaan kondisi dengan ketersediaan tenaga yang dimiliki oleh keluarga saat mendampingi pasien dengan ODHA selama dirawat dirumah sakit. Oleh karena itu perawat harus kritis dalam mengkaji kebutuhan keluarga sehingga dukungan dapat diberikan dengan tepat termasuk mempertimbangkan kebijakan yangberlaku baik dirumah sakit maupun dilingkungan untuk menunjang dukungan yang akan diberikan kepada keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012).
k. Merancang system perawatan kesehatan yang fleksibel, dapat
dijangkau dengan mudah dan responsip terhadap kebutuhan keluarga teridentifikasi. Sistem pelayanan kesehatan yang fleksibel didasarkan pada pemahaman bahwa setiap pasien memiliki kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang berbeda maka layanan kesehatan yang ada harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kelebihan yang dimiliki oleh pasien dan keluarga. Oleh karena itu, tidak hanya satu intervensi kesehatan untuk semua pasien tetapi lebih dari satu intervensi yang berbeda untuk setiap pasien. Selain layanan yang fleksibel, dalam Family Centered Care juga mendukung agar layanan kesehatan mudah diakses oleh pasien dengan ODHA dan keluarga misalnya sistem pembayaran layanan kesehatan yang dipakai selama pasien menjalani perawatan dirumah sakit baik menggunakan asuransi atau jaminan kesehatan pemerintah dan swasta, konsultasi kesehatan, prosedur pemeriksaan dan pembedahan, layanan selama pasien menjalani rawat inap dirumah sakit dan sebagainya. Oleh karena itu perawat harus mengkaji kebutuhan pasien dengan ODHA atau keluarga terhadap akses layanan kesehatan yang dibutuhkan lalu melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga. Apabila layanan kesehatan yang direncanakan fleksibel dan dapat diakses oleh pasien dan keluarga maka layanan kesehatan tersebut akan lebih responsif karena memproritaskan kebutuhan pasien dengan ODHA dan keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012) D. RENTAN RESPON PENYALAHGUNAAN NAPZA menurut prabowo, E.2014 penyalahgunaan NAPZA dibagi beberapa tahap, meliputi: 1. Eksperimental ialah kondisi penggunaan pada taraf awal, disebabkan rasa ingin tahu, ingin memiliki pengalaman yang baru, atau sering dikatakan taraf coba-coba. 2. Rekreasional ialah menggunakan zat od saat berkumpul berama-sama dengan teman sebaya, yang bertujuan untuk rekreasi bersama teman sebaya. 3. Situasional ialah orang yang menggunakan zat mempunyai tujuan tertentu secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri, seringkali penggunaan zat ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapinya. Biasanya digunakan pada saat sedang konflik, stress, frustasi. 4. Penyalahgunaan zat adiktif ialah penggunaan zat yang sudah bersifat patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, paling tidak sudah berlangsung selama 1 bulan, dan terjadi penyimpangan perilaku dan mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial dan pendidikan. 5. Ketergantungan zat adiktif ialah penggunaan zat yang cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai oleh adanya toleransi dan sindroma putus zat. Yang dimaksud. 6. sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
E. DAMPAK PENYALAHGUNAAN NAPZA
Menurut Alatas (2010), penyalahgunaan NAPZA akan berdampak sebagai berikut: 1. Terhadap kondisi fisik 1) Akibat zat itu sendiri Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat. a. Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner. b. Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka panjang terjadi anemia dan turunannya berat badan. c. Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual 2) Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin tmbul antara lain infeksi, emboli. a. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis. b. Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum. c. Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol. d. Akibat cara hidup pasien: terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin. 2. Terhadap kehidupan mental emosional Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri. 3. Terhadap kehidupan sosial Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat. Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif
F. FAMILY CENTERED CARE PADA PENYALAHGUNAAN
NAPZA 1. Konsep Family Centered Pada Penyalahgunaan NAPZA Banyak penelitian menunjukkan bahwa sikap keluarga memegang peranan penting dalam membentuk keyakinan remaja dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA. Penelitian Rutter menunjukan bahwa hubungan kedua orang tua yang tidak harmonis turut mendorong anak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Tidak hanya alasan keluarga yang tidak harmonis yang menjadikan penyebab seorang remaja menyalahgunakan NAPZA, kurangnya komunikasi, kurangnya keterbukaan, kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya, terlalu memanjakan anaknya, orang tua terlalu sibuk mencari nafkah, kurangnya perhatian, kehangatan, kasih sayang terhadap anak- anaknya dan bisa juga dikarenakan karena kedua orang tua sebagai pemakai. Upaya untuk mengubah sikap keluarga terhadap remaja dengan penyalahgunaan NAPZA tentunya dengan memperbaiki pola asuh orang tua dalam rangka menciptakan komunikasi dan lingkungan yang lebih baik di rumah. Bentuk dukungan, upaya, pengawasan, dan cara dalam mendidik diharapkan dapat menghindarkan anak-anaknya dari kenakalan remaja. Tidak hanya itu, adanya beberapa cara dalam mengawasi dan mendidik anaknya tentunya dengan memberikan alternatif kegiatan positif, memerhatikan lingkungan pergaulan anak agar tidak terjermus pada hal-hal yang merusak (destruktif) Berikut adalah beberapa cara untuk terhindar dari penyalahgunaan NAPZA di lingkungan keluarga diantaranya:
a. Orang tua hendaknya mengambil kesempatan untuk
mempelajari masalah narkoba dengan membaca, mendengarkan ceramah, berdiskusi, serta mencari informasi yang berasal dari buku, internet, maupun referensi lain. Umumya remaja menerima informasi tentang narkoba dari luar rumah, sebagian besar dari teman sebayanya. Akan sangat berbahaya jika anak mengetahui suatu hal baru yang hanya setengah setengah. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus memiliki informasi yang benar dan luas mengenai permasalahan narkoba. b. Pola asuh orang tua dalam keluarga sangat mempengaruhi perkembangan dan kepribadian seorang anak. Menjadi sahabat anak dapat diterapkan orang tua dalam pendidikan keluarga. Dalam kesehariannya, anak-anak pasti membutuhkan figur orang tua, tetapi tidak menutup kemungkinan seorang anak juga membutuhkan sosok sahabat yang bisa menjadi partner dalam dunianya. Mendapatkan kepercayaan dari anak sangat berarti besar, saat seorang anak menghadapi masalah ia akan menjadikan orang tuanya sebagai tempat curhat dan berbagi beban. c. Jangan terlalu memanjakan anak, karena menurut penelitian terlalu memanjakan anak dengan menuruti kemauan memberikan fasilitas-fasilitas secara berlebihan kepada anaknya akan membuat seorang anak mempunyai mental dan prinsip apapun yang mereka inginkan semuanya mudah didapat dan anak tidak belajar menghadapi situasi frustasi, kegagalan, penolakan, larangan serta memahami konsekuensi dari tindakannya. Akibatya mereka kurang memiliki kontrol diri sehingga mudah terpengaruh dengan godaan dari lingkungan luar. d. Perilaku orang tua hendaknya menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya, seringkali orang tua lupa bahwa anak belajar dari tingkah laku dan perilaku orang tua yang mereka lihat dan memperhatikan setiap harinya dari bayi sampai remaja. Untuk itu, sebagai orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. e. Menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan pasangan dan juga dengan anak- anaknya dapat memungkinkan orang tua dalam melihat gejala-gejala awal pemakaian narkoba pada anak-anak. Komunikasi diperlukan pada setiap anggota keluarga, karena komunikasi merupakan sebuah fondasi demi terwujudnya keluarga harmonis. f. Bekerja sama dengan lingkungan sekitar dan memiliki hubungan yang baik dengan para tetangga selalu mendatangkan kenyamanan dan keamanan bagi kita. Bila ikatan dan sistem yang dibangun dengan para tetangga itu kuat, gejala-gejala penyahgunaan NAPZA di pemukiman kita akan terdeteksi dan dapat tertanggulangi dengan cepat dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2011 . Buku Saku Konselor HIV : Direktorat
Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Jenis Kelamin/Sex
Green, W. Chris & Hertin, Setyowati. (2009). Lembaran Informasi
tentang HIV/ AIDS untuk Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA): Jakarta
Marubenny, Sandy. 2012. Perbedaan Respon Sosial Penderita Hiv-
Aids Yang Mendapat Dukungan Keluarga Dan Tidak Mendapat Dukungan Keluarga Dibalai Kesehatan Paru Masyarakat (Bkpm) Semarang. Jurnal
Setiadi. 2008. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha
UNSAID. 2014. UNSAID World AIDS Day Report. Retriaved September 1, 2015.From http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/ UNAIDS_ Global_Report_2013. Yvonne S. (2014). Influence of Depression to Quality of Life People Living with HIV/AIDS after Antiretroviral Treatment. Edisi No 02 Vol XL, Hal: 96–101. Diakses Tanggal 1 Juli2019.
Riadi Muchlisin (2013). Pengertian dan Jenis-jenis NAPZA Setyawan Dody
(2014). Family Centered Care (FCC) Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.3, Nopember 2010 Jurnal Indigenous Vol. 1, No. 1, Mei 2016: 74-83 https://pedulinapzaundip.wordpres.com/2011/08/10/penyalahgunaan-napza/