Anda di halaman 1dari 19

KONSEP FAMILY CENTERED CARE PADA PENDERITA HIV AIDS

DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah keperawatan HIV AIDS

Dosen Pengampu :

Ns. Nila Putri Purwandari, S.Kep., M.Kep.

Oleh kelompok 5 :

1. Ardik Cristian Mardeka


2. David Oktavianus
3. Dian Kristiawan
4. Dionysius Ririhena
5. Ismanto
6. Junarto
7. Resmiyati
8. Thersa Marchelina
9. Tika Pratiwi
10. Sulistiyanik
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CENDEKIA UTAMA KUDUS
2021
A. PENDAHULUAN

Jumlah pasien HIV di Indonesia terus bertambah. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia melaporkan sampai dengan bulan September
2014 Jawa Tengah menduduki tingkat ke enam sebagai provinsi dengan kasus
HIV sebanyak 9.032 dan AIDS 3.767 orang, setelah provensi Papua, Jawa
timur, DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Barat. Melihat tingginya prevalensi diatas
masalah HIV/ AIDS saat ini bukan hanya masalah kesehatan berupa penyakit
menular saja, tetapi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas
(DepKes RI, 2014).
Peningkatan jumlah penderita HIV /AIDS saat ini sudah selayaknya
diikuti dengan peningkatan pengetahuan perawat dan keluarga yang merawat
pasien HIV/AIDS. Untuk perawat, tidak hanya pengetahuan saja yang penting
ditingkatkan namun juga keterampilan yang mereka miliki untuk merawat
pasien dengan HIV/AIDS baik di fasilitas kesehatan maupun di masyarakat
(WHO, 2004). Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk
diperhatikan karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga
berdampak luas pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial,
maupun spiritual. Masalah psikososial yang dihadapi oleh pasien HIV/AIDS
berdampak pada kualitas hidup pasien. Dukungan dari berbagai pihak salah
satunya dukungan keluarga sangat dibutuhkan pasien HIV/AIDS untuk
mempertahankan kualitas hidupnya.
Penangganan HIV/ AIDS tidak hanya segi medis saja, tetapi layanan
psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat sangat
diperlukan melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier. Penanggulangan
HIV/ AIDS ditujukan untuk mencegah, menggurangi resiko penularan,
meningkatkan kualitas hidup ODHA serta menggurangi dampak sosial
ekonomi pada individu, keluarga dan masyarakat. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan dengan cara deteksi dini melalui status seseorang apakah
sudah terinfeksi atau belum dengan konseling dan testing secara sukarela
(VCT), serta layanan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) yang
dapat dilakukan di sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan atau masyarakat. Penanggulangan secara terpadu dengan cara setiap orang
dewasa, remaja, anak-anak yang datang ke fasilitas layanan kesehatan, dengan
gejala medis yang mengindikasikan atau patut dicurigai terjadi infeksi HIV
terutama dengan riwayat penyakit Tuberkulosis, IMS dianjurkan dilakukan
pemeriksaan HIV ( PP& PL DepKes RI, 2011).
Individu yang menderita HIV/ AIDS, akan mengalami tekanan
emosional serta stress psikologis takut dikucilkan keluarga dan masyarakat,
terutama keluarga takut tertular, serta adanya stigma sosial dan diskriminasi di
masyarakat (Green & Hestin, 2009).
Kepedulian, kasih sayang keluarga merupakan salah satu dukungan
yang sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/ AIDS. Beberapa pendapat
mengatakan kedekatan hubungan merupakan sumber yang paling penting,
karena salah salah satu fungsi keluarga selain menyediakan makanan, pakaian
dan rumah, juga mempunyai peran dalam hal perawatan. Fungsi perawatan
dilakukan dengan memberikan dengan memberi asuhan terhadap anggota
keluarga baik berupa pencegahan sampai merawat keluarga yang sakit
(Nursalam & Kurniawati, 2007; Padila, 2012).
Perawatan dan pengobatan HIV/ AIDS membutuhkan waktu yang lama
terkadang dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatan. Selain itu
juga karena rasa bosan, banyaknya jenis obat, efek samping serta komplikasi
yang mungkin dialami. Untuk mencegah resistensi obat dan tetap bertahan
dengan kepatuhan yang tinggi, memerlukan disiplin pribadi dan bantuan agar
selalu minum obat (Green & Hestin, 2009). Keluarga sebagai support system
yang utama dibutuhkan untuk mengembangkan koping yang efektif untk
beradaptasi menghadapi stressor terkait penyakit, baik fisik, psikologis maupun
sosial. Dukungan keluarga terdiri dari dukungan informatif, penghargaan,
instrumental dan emosional. Kecenderungan dukungan keluarga yang adekuat
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit,
fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Friedmen 1998 dalam Setiadi, 2008).
Apabila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang
permisivenes maka kelompok masyarakat yang sekual aktif akan cenderung
melakukan promiskuitas sehingga akan meningkatkan penyebaran HIV dalam
masyarakat. Maka itu, peran keluarga sangat penting bagi seorang karena
keluarga mempunyai kewajiban dalam memberikan pendidikan dan pembentuk
karakter seseorang (Sudarsono, 2004). Keutuhan dalam keluarga juga dapat
berpengaruh terhadap psikologis seorang, sehingga apabila psikologisnya
terganggu maka orang tersebut akan lebih mudah lari dalam pergaulan negative
di luar rumah dan juga akan mudah terjerumus dalam gaya hidup seksual
maupun penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 2009)
Penyalahguna NAPZA di Indonesia masih banyak melibatkan pada
kalangan remaja, hal ini menyebabkan salah satu ancaman yang dapat
menghancurkan generasi muda, dibuktikan dengan semakin meningkatnya
tindak pidana (Waluyo B, 2011).
Pengguna NAPZA di Indonesia semakin meluas di kalangan anak usia sekolah,
sehingga bila tidak segera diatasi maka dapat menjadi salah satu ancaman
bagi kesejahteraan generasi yang akan datang, di mana generasi muda
merupakan penerus bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia.
Penyalahgunaan NAPZA dapat disebabkan salah satunya karena faktor
lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat.
Penyebab penyalahgunaan NAPZA pada lingkungan keluarga salah satunya
yaitu karena keharmonisan (Depkes, 2001).
Dampak penyalahgunaan NAPZA bagi penggunanya adalah dapat
merasakan kecemasan yang luar biasa, paranoid, delusi formikasi, berperilaku
agresi, memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai penyakit
seperti stroke, radang hati, jantung dan sebagainya hingga menimbulkan
kematian. Penyalahgunaan NAPZA dapat disimpulkan bahwa NAPZA dapat
merusak dan membahayakan bagi generasi muda dalam suatu bangsa (Budiarta,
2000
B. FAMILY CENTERED
Family centered care didenifisikan menurut Hanson (199, dalam dunst
dan Trivette 2009) sebagai pendekatan inovatif dalam merencanakan,
melakukan, dan mengevaluasi tindakan keperawatan Yang diberikan didasarkan
pada manfaat hubungan antara perawat dan keluarga yaitu orang tua.
Stower (1992 dalam Fiane, 2012), Family Centered Care merupakan
suatu pendekatan yang holistik. Pendekatan Family Centered Care tidak hanya
memfokuskan asuhan keperawatan kepada pasien dengan ODHA sebagai klien
atau individu dengan kebutuhan biologis, pisikologi, sosial, dan spiritual
(biopisikospritual) tetapi juga melibatkan keluarga sebagai bagian yang konstan
dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan klien.
Gill (1993, dalam Fiane, 2012) yang menyebutkan bahwa Family
Centered Care merupakan kolaborasi bersama antara orangtua dan tenaga
profesional. Kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam membentuk
mendukung keluarga terutama dalam aturan perawatan yang mereka lakukan
merupakan filosofi Family Centered Care. Kemudian, secara lebih sfesifik
dijelaskan bahwa filosofi Family Centered Care yang dimaksudkan merupakan
dasar pemikiran dalam keperawatan yang digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan melibatkan keluarga sebagai fokus utama
perawatan. Kutipan defenisi dari para ahli diatas memberikan bahwa dalam
penerepan Family Centered Care sebagai suatu pendekatan holistik dan filisofi
dalam keperawatan. Adapun peran perawat dalam menerapkan Family Centered
Care adalah sebagai mitra dan fasilitator dalam perawatan pasien ODHA
dirumah sakit

C. FAMILY CENTERED CARE PADA ODHA


1. Konsep family centered care dari ODHA
a. Martabat dan kehormatan Praktisi keperawatan
mendengarkan dan menghormati pandangan dan pilihan
pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang
budaya pasien dan keluarg abergabung dalam rencana dan
intervensi keperawatan pada ODHA.
b. Berbagi informasi. Praktisi keperawatan berkomunikasi dan
memberitahukan informasi yang berguna bagi pasien dan
keluarga dengan benar dan tidak memihak kepada pasien dan
keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap
waktu, lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam
perawatan dan pengambilan keputusan pada ODHA.
c. Partisipasi. Pasien pada ODHA dan keluarga termotivasi
berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan
sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.

d. Kolaborasi. Pasien pada ODHA dan keluarga juga termasuk


ke dalam komponen dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi
dengan pasien pada ODHA dan keluarga dalam pengambilan
kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan
evaluasi, desain
2. Penyebab dilakukakan family centered care pada ODHA
a. Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol atau
penyembuhan pada ODHA( orang dengan HIV AIDS).
b. Berfokus pada kekuatan dan sumber keluarga daripada
kelemahan keluarga.
c. Mengakui keahlian keluarga dalam merawat
ODHA( orang dengan HIV AIDS) seperti sebagaimana
professional
d. Membangun pemberdayaan daripada ketergantungan
e. Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan
pasien ODHA( orang dengan HIV AIDS) , keluarga dan
pemberi pelayanan dari pada informasihanya diketahui oleh
professional.
f. Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku
3. Elemen family centered care pada ODHA
Menurut Shelton (1987, dalam Fretes 2012), terdapat
beberapa elemen Family Centered Care, yaitu:
a. Perawat menyadari bahwa keluarga adalah bagian yang
konstan dalam kehidupan pasien, sementara sistem
layanan dan anggota dalam system tersebut
berfluktuasi.Kesadaran perawat bahwa keluarga adalah
bagian yang konstan, merupakan hal yang penting.
Fungsi perawat sebagai motivator menghargai dan
menghormati peran keluarga dalam merawat klien
dengan ODHA serta bertanggung jawab penuh dalam
mengelola kesehatan klien. Selain itu, perawat
mendukung perkembangan sosial dan emosional, serta
memenuhi kebutuhan pasien ODHA dalam keluarga.
Oleh karena itu, dalam menjalankan sistem perawatan
kesehatan, keluarga dilibatkan dalam membuat
keputusan, mengasuh, mendidik, dan melakukan
pembelaan terhadap hak anggota keluarga mereka
selama menjalani masa perawatan. Keputusan keluarga
dalam perawatan pasien ODHA merupakan suatu
pertimbangan yang utama karena keputusan ini
didasarkan pada mekanisme koping dan kebutuhan yang
ada dalam keluarga. Dalam pembuatan keputusan,
perawat memberikan saran yang sesuai namun keluarga
tetap berhak memutuskan layanan yang ingin
didapatkannya. Beberapa hal yangditerapkan untuk
menghargai dan mendukung individualitas dan kekuatan
yang dimiliki dalam satu keluarga seperti :
1. Kunjungan yang dibuat dirumah keluarga atau
ditempat lain dengan waktu dan lokasi yang
disepakati bersama keluarga.
2. Perawat mengkaji keluarga berdasarkan
kebutuhan keluarga.
3. Orangtua adalah bagian dari keluarga yang
menjadi fokus utama dari perawatan yang
diberikan mereka turut merencanakan perawatan
dan peran mereka dalam perawatan pasien
ODHA.
4. Perencanaan perawatan yang diberikan bersifat
komprehensif dan perawatan memberikan
semua perawatan yang dibutuhkan misalnya
perawatan pada pasien ODHA, dukungan
kepada orangtua, bantuan keuangan, hiburan
dan dukungan emosional (Shelton 1987, dalam
Fretes, 2012).
b. Memfasilitasi kerjasama antara keluarga den perawat di
semua tingkat pelayanan kesehatan, merawat anggota
keluarga yang ODHA secara individual, pengembangan
program, pelaksanaan dan evaluasi serta pembentukan
kebijakan hal ini ditujukan ketika kolaborasi untuk
memberikan perawatan kepada pasien ODHA peran
kerjasama antara orangtua dan tenaga perofesional sangat
penting dan vital. Keluarga bukan sekedar sebagai
pendamping, tetapi terlibat didalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada anggota keluarga mereka. Tenaga
professional memberikan pelayanan sesuai dengan keahlian
dan ilmu yang mereka peroleh sedangkan orangtua
berkontribusi dengan memberikan informasi tentang anggota
keluarga mereka yang merupakan pasien ODHA. Dalam kerja
sama antara orangtua dengan tenaga professional, orangtua
bisa memberikan masukan untuk perawatan anggota keluarga
mereka. Tapi, tidak semua tenaga professional dapat
menerima masukan yang diberikan. Beberapa disebabkan
karena kurangnya pengalaman tenaga professional dalam
melakukan kerjasama dengan orang tua (Shelton 1987, dalam
Fretes, 2012).

c. Kerjasama dalam mengembangkan masyarakat dan


pelayanan rumah sakit. Hal yang harus diutamakan pada tahap
ini adalah kalaborasi dengan bidang yang lain untuk
menunjang proses perawatan. Family Centered Care
memberikan kesempatan kepada orangtua dengan
professional untuk berkontribusi melalui pengetahuan dan
pengalaman yang mereka miliki untuk mengembangkan
perawatan terhadap pasien ODHA di rumah sakit. (Shelton
1987, dalam Fretes, 2012).
d. Kolaborasi dalam tahap kebijakan Family Centered Care
dapat tercapai melalui kolaborasi orangtua dan tenaga
professional dalam tahap kebijakan. Orangtua bisa
menghargai kemampuan yang mereka miliki dengan
memberikan pengetahuan mereka tentang sistem pelayanan
kesehatan serta kompotensi mereka. Keterlibatan mereka
dalam membuat keputusan menambah kualitas pelayanan
kesehatan.
e. Menghormati keanekaragaman ras, etnis budaya dan sosial
ekonomi dalam keluarga.Tujuannya adalah untuk menunjang
keberhasilan perawatan pasien ODHA dirumah sakit dengan
mempertimbangkan tingkat erkembangan pasien ODHA
diagnosa medis. Hal ini akan menjadi sulit apabila program
perawatan diterapkan bertentangan dengan nilai-nilai yang
dianut dalam keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012).
f. Mengakui kekuatan keluarga dan individualitas serta
memperhatikan perbedaan mekanisme koping dalam
keluarga elemen ini mewujudkan 2 konsep yang seimbang.
Pertama, Family Centered Care harus menggambarkan
keseimbangan pasien dan keluarga. Kedua menghargai dan
menghormati mekanisme koping dan individualitas yang
dimiliki oleh pasien maupun keluarga dalam kehidupan
mereka.

g. Memberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada


keluarga dan secara berkelanjutan dengan dukungan
penuh.Memberikan informasi kepada orangtua bertujuan
untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan orangtua
terhadap perawat anggota keluarga mereka. Selain itu,
dengan demikian informasi orangtua akan merasa menjadi
bagian yang penting dalam perawatan pasien dengan ODHA.
Ketersedian informasi tidak hanya memiliki pengaruh
emosional, melainkan hal ini merupakan faktor kritikal dalam
melibatkan partisifasi orangtua secara penuh dalam proses
membuat keputusan terutama untuk setiap tindakan medis
dalam perawatan anggota keluarga mereka (Shelton, 1987,
dalam Fretes, 2012).
h. Mendorong dan memfasilitasi keluarga untuk saling
mendukung
Pada bagian ini, Shelton menjelaskan bahwa dukungan yang
lain yang dapat diberikan kepada keluarga adalah dukungan
antar keluarga.Perawat ataupun tenaga professional yang lain
memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan dukungan dari
keluarga lain yang juga memiliki masalah yang sama
mengenai keluarga mereka. Dukungan antara keluarga ini
berfungsi untuk:

1. Saling memberikan dukungan dan menjalin hubungan


persahabatan
2. Bertukar imformasi mengenai kondisi dan perawatan
pasien dengan ODHA

3. Memanfaatkan dan meningkatkan sistem pelayanan yang


ada untuk kebutuhan perawatan anggota keluarga
mereka.
i. Memahami dan menggabungkan kebutuhan dalam setiap
perkembangan bayi, anak-anak, remaja dan keluarga mereka
ke dalam sistem perawatan kesehatan. (Shelton, 1987, dalam
Fretes, 2012)
j. Menerapkan kebijakan yang komprehensif dan program
program yang memberikan dukungan emosional dan
keuangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

Dukungan kepada keluarga bervariasi dan berubah setiap


waktu sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut. Jenis
dukungan yang diberikan misalnya mendukung keluarga
untuk memenuhi waktu istrahat mereka, pelayanan home
care, pelayan konseling, promosi kesehatan, program
bermaian, serta koordinasi layanan keseehatan yang baik
untuk membantu keluarga memamfaatkan layanan kesehatan
yang ada untuk menunjang kebutuhan layanan kesehatan
secara finansial. Dukungan yang baik dapat membantu
menurunkan stress yang dialami oleh keluarga karena ketidak
seimbangan tuntutan kadaan kondisi dengan ketersediaan
tenaga yang dimiliki oleh keluarga saat mendampingi pasien
dengan ODHA selama dirawat dirumah sakit. Oleh karena itu
perawat harus kritis dalam mengkaji kebutuhan keluarga
sehingga dukungan dapat diberikan dengan tepat termasuk
mempertimbangkan kebijakan yangberlaku baik dirumah sakit
maupun dilingkungan untuk menunjang dukungan yang akan
diberikan kepada keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes,
2012).

k. Merancang system perawatan kesehatan yang fleksibel, dapat


dijangkau dengan mudah dan responsip terhadap kebutuhan
keluarga teridentifikasi. Sistem pelayanan kesehatan yang
fleksibel didasarkan pada pemahaman bahwa setiap pasien
memiliki kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang berbeda
maka layanan kesehatan yang ada harus menyesuaikan dengan
kebutuhan dan kelebihan yang dimiliki oleh pasien dan
keluarga. Oleh karena itu, tidak hanya satu intervensi
kesehatan untuk semua pasien tetapi lebih dari satu intervensi
yang berbeda untuk setiap pasien.
Selain layanan yang fleksibel, dalam Family Centered
Care juga mendukung agar layanan kesehatan mudah diakses
oleh pasien dengan ODHA dan keluarga misalnya sistem
pembayaran layanan kesehatan yang dipakai selama pasien
menjalani perawatan dirumah sakit baik menggunakan
asuransi atau jaminan kesehatan pemerintah dan swasta,
konsultasi kesehatan, prosedur pemeriksaan dan pembedahan,
layanan selama pasien menjalani rawat inap dirumah sakit dan
sebagainya. Oleh karena itu perawat harus mengkaji
kebutuhan pasien dengan ODHA atau keluarga terhadap
akses layanan kesehatan yang dibutuhkan lalu melakukan
intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga.
Apabila layanan kesehatan yang direncanakan fleksibel dan
dapat diakses oleh pasien dan keluarga maka layanan
kesehatan tersebut akan lebih responsif karena
memproritaskan kebutuhan pasien dengan ODHA dan
keluarga (Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012)
D. RENTAN RESPON PENYALAHGUNAAN NAPZA
menurut prabowo, E.2014 penyalahgunaan NAPZA dibagi
beberapa tahap, meliputi:
1. Eksperimental ialah kondisi penggunaan pada taraf awal,
disebabkan rasa ingin tahu, ingin memiliki pengalaman yang
baru, atau sering dikatakan taraf coba-coba.
2. Rekreasional ialah menggunakan zat od saat berkumpul
berama-sama dengan teman sebaya, yang bertujuan untuk
rekreasi bersama teman sebaya.
3. Situasional ialah orang yang menggunakan zat mempunyai
tujuan tertentu secara individual, sudah merupakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri, seringkali penggunaan zat ini merupakan
cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang
dihadapinya. Biasanya digunakan pada saat sedang konflik,
stress, frustasi.
4. Penyalahgunaan zat adiktif ialah penggunaan zat yang sudah
bersifat patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, paling
tidak sudah berlangsung selama 1 bulan, dan terjadi
penyimpangan perilaku dan mengganggu fungsi dalam peran
di lingkungan sosial dan pendidikan.
5. Ketergantungan zat adiktif ialah penggunaan zat yang cukup
berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis.
Ketergantungan fisik ditandai oleh adanya toleransi dan
sindroma putus zat. Yang dimaksud.
6. sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang
biasa menggunakan secara rutin, pada dosis tertentu berhenti
menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa
digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.

E. DAMPAK PENYALAHGUNAAN NAPZA


Menurut Alatas (2010), penyalahgunaan NAPZA akan berdampak
sebagai berikut:
1. Terhadap kondisi fisik
1) Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat,
misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental
yang terjadi karena dosis berlebih yang memang
diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila
pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.
a. Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan
sehingga mudah terserang infeksi. Ganja juga
memperburuk aliran darah koroner.
b. Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau
perforasi sekat hidung, jangka panjang terjadi
anemia dan turunannya berat badan.
c. Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya
gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati,
gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan
metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual
2) Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin
tmbul antara lain infeksi, emboli.
a. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan
terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis.
b. Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan
tidak sadar diberi minum.
c. Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada
pemakaian alkohol atau malnutrisi karena gangguan
absorbsi pada pemakaian alkohol.
d. Akibat cara hidup pasien: terjadi kurang gizi, penyakit
kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin.
2. Terhadap kehidupan mental emosional
Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik
menimbulkan perubahan kehidupan mental emosional yang
bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar.
Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan
sindrom amotivasional. Putus obat golongan amfetamin
dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.
3. Terhadap kehidupan sosial
Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan
obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota
masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi
akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat
makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat.
Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga
dan kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian
yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan akan zat
bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan
terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai
perceraian. Semua pelanggaran baik norma sosial maupun
hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang
mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan
bersifat agresif dan impulsif

F. FAMILY CENTERED CARE PADA PENYALAHGUNAAN


NAPZA
1. Konsep Family Centered Pada Penyalahgunaan NAPZA
Banyak penelitian menunjukkan bahwa sikap keluarga memegang
peranan penting dalam membentuk keyakinan remaja dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA. Penelitian Rutter menunjukan bahwa hubungan
kedua orang tua yang tidak harmonis turut mendorong anak terjerumus
dalam penyalahgunaan narkoba. Tidak hanya alasan keluarga yang tidak
harmonis yang menjadikan penyebab seorang remaja menyalahgunakan
NAPZA, kurangnya komunikasi, kurangnya keterbukaan, kurangnya
pengawasan orang tua terhadap anaknya, terlalu memanjakan anaknya,
orang tua terlalu sibuk mencari nafkah, kurangnya perhatian, kehangatan,
kasih sayang terhadap anak- anaknya dan bisa juga dikarenakan karena
kedua orang tua sebagai pemakai.
Upaya untuk mengubah sikap keluarga terhadap remaja dengan
penyalahgunaan NAPZA tentunya dengan memperbaiki pola asuh orang
tua dalam rangka menciptakan komunikasi dan lingkungan yang lebih
baik di rumah. Bentuk dukungan, upaya, pengawasan, dan cara dalam
mendidik diharapkan dapat menghindarkan anak-anaknya dari kenakalan
remaja. Tidak hanya itu, adanya beberapa cara dalam mengawasi dan
mendidik anaknya tentunya dengan memberikan alternatif kegiatan
positif, memerhatikan lingkungan pergaulan anak agar tidak terjermus
pada hal-hal yang merusak (destruktif)
Berikut adalah beberapa cara untuk terhindar dari penyalahgunaan
NAPZA di lingkungan keluarga diantaranya:

a. Orang tua hendaknya mengambil kesempatan untuk


mempelajari masalah narkoba dengan membaca,
mendengarkan ceramah, berdiskusi, serta mencari informasi
yang berasal dari buku, internet, maupun referensi lain.
Umumya remaja menerima informasi tentang narkoba dari luar
rumah, sebagian besar dari teman sebayanya. Akan sangat
berbahaya jika anak mengetahui suatu hal baru yang hanya
setengah setengah. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus
memiliki informasi yang benar dan luas mengenai
permasalahan narkoba.
b. Pola asuh orang tua dalam keluarga sangat mempengaruhi
perkembangan dan kepribadian seorang anak. Menjadi sahabat
anak dapat diterapkan orang tua dalam pendidikan keluarga.
Dalam kesehariannya, anak-anak pasti membutuhkan figur
orang tua, tetapi tidak menutup kemungkinan seorang anak
juga membutuhkan sosok sahabat yang bisa menjadi partner
dalam dunianya. Mendapatkan kepercayaan dari anak sangat
berarti besar, saat seorang anak menghadapi masalah ia akan
menjadikan orang tuanya sebagai tempat curhat dan berbagi
beban.
c. Jangan terlalu memanjakan anak, karena menurut penelitian
terlalu memanjakan anak dengan menuruti kemauan
memberikan fasilitas-fasilitas secara berlebihan kepada
anaknya akan membuat seorang anak mempunyai mental dan
prinsip apapun yang mereka inginkan semuanya mudah didapat
dan anak tidak belajar menghadapi situasi frustasi, kegagalan,
penolakan, larangan serta memahami konsekuensi dari
tindakannya. Akibatya mereka kurang memiliki kontrol diri
sehingga mudah terpengaruh dengan godaan dari lingkungan
luar.
d. Perilaku orang tua hendaknya menjadi contoh yang baik bagi
anak-anaknya, seringkali orang tua lupa bahwa anak belajar
dari tingkah laku dan perilaku orang tua yang mereka lihat dan
memperhatikan setiap harinya dari bayi sampai remaja. Untuk
itu, sebagai orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi
anak-anaknya.
e. Menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan pasangan
dan juga dengan anak- anaknya dapat memungkinkan orang tua
dalam melihat gejala-gejala awal pemakaian narkoba pada
anak-anak. Komunikasi diperlukan pada setiap anggota
keluarga, karena komunikasi merupakan sebuah fondasi demi
terwujudnya keluarga harmonis.
f. Bekerja sama dengan lingkungan sekitar dan memiliki
hubungan yang baik dengan para tetangga selalu mendatangkan
kenyamanan dan keamanan bagi kita. Bila ikatan dan sistem
yang dibangun dengan para tetangga itu kuat, gejala-gejala
penyahgunaan NAPZA di pemukiman kita akan terdeteksi dan
dapat tertanggulangi dengan cepat dan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2011 . Buku Saku Konselor HIV : Direktorat


Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. 2014. Statistik Kasus
HIV/AIDS di Indonesia Jenis Kelamin/Sex

Green, W. Chris & Hertin, Setyowati. (2009). Lembaran Informasi


tentang HIV/ AIDS untuk Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA): Jakarta

Marubenny, Sandy. 2012. Perbedaan Respon Sosial Penderita Hiv-


Aids Yang Mendapat Dukungan Keluarga Dan Tidak Mendapat Dukungan
Keluarga Dibalai Kesehatan Paru Masyarakat (Bkpm) Semarang. Jurnal

Setiadi. 2008. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha


UNSAID. 2014. UNSAID World AIDS Day Report. Retriaved
September 1, 2015.From
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/ UNAIDS_
Global_Report_2013.
Yvonne S. (2014). Influence of Depression to Quality of Life People
Living with HIV/AIDS after Antiretroviral Treatment. Edisi No 02 Vol XL, Hal:
96–101. Diakses Tanggal 1 Juli2019.

Riadi Muchlisin (2013). Pengertian dan Jenis-jenis NAPZA Setyawan Dody


(2014). Family Centered Care (FCC)
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 5, No.3, Nopember 2010
Jurnal Indigenous Vol. 1, No. 1, Mei 2016: 74-83
https://pedulinapzaundip.wordpres.com/2011/08/10/penyalahgunaan-napza/

Anda mungkin juga menyukai