Anda di halaman 1dari 20

MENGKAJI ARTIKEL DALAM JURNAL MENGENAI VCT

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Ajar Keperawatan HIV/AIDS
Dosen Pembimbing : Ibu R. Nety Rustikayanti, S.Kp., M.Kep

DISUSUN OLEH
KELAS A TK 3 KELOMPOK 1
1. Acu Samsudin AK 1.18.001
2. Aldi Wahyu AK 1.18.008
3. Anisa Febrianrti AK 1.18.016
4. Aradea Amanda AK 1.18.020
5. Astri Rahma Santya AK 1.18.025
6. Bella Evitasari AK 1.18.029
7. Citra Safitri AK 1.18.033
8. Devi Aprilia AK 1.18.042
9. Diana Novita Sambas AK 1.18.046
10. Dini Suci Fauji AK 1.18.050
11. Fawwaz Tian Ramadhan AK 1.18.061
12. Iin Indriani AK 1.17.113

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
NOVEMBER, 2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan manusia.


Dengan berkomunikasi manusia dapat menyampaikan gagasan dan
mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu. Upaya
penyebarluasan informasi ini tidak hanya diperlukan di kehidpan sehari-hari
saja, namun juga memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan.
Komunikasi dalam bidang ini berfungsi untuk mendorong individu
maupun kelompok masyarakat agar dapat mengambil keputusan tepat demi
mendapatkan kondisi yang sehat fisik, mental dan sosial. Proses penyampaian
mengenai isu-isu kesehatan oleh komunikator kepada komunikan adalah biasa
dikenal dengan komunikasi kesehatan. Sebagai usaha yang sistematis dalam
mempengaruhi perilaku kesehatan ini memanfaatkan 2 metode komunikasi
yaitu komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa. Tujuan utama dari
dilakukannya komunikasi kesehatan ini yaitu adanya perubahan perilaku
kesehatan dalam masyarakat, dimana perilaku masyarakat yang sehat akan
berpengaruh pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
Di Indonesia banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi
diibaratkan seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat diatas itu
hanya Nampak kecil, sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak
terdeteksi. Karenanya setiap tahun umlah penderita mengalami peningkatan
dan tidak sedikit yang meninggal. Laporan Kemeneterian Kesehatan sejak
pertama kali kasus HIV ditemukan pada tahun 1987hingga bulan SSeptember
2014, tercatat sebanyak 150.296 orang telah teinfeksi HIV, dimana 55.799
orang diantaranya telah pada tahap AIDS.
Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamatan
darah, komunikasi-komunikasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik,

2
namun program pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas,
khususnya program konseling dan tes sukarela atau biasa dikenl dengan
Voluntary Counselling and Testing (VCT). Di Negara maju, VCT sudah
menjadi komponen utama dalam program penanggulangan HIV/AIDS,
namun di Negara berkembang seperti Indonesia, VCT belum merupakan
strategi yang besar (Rikmawati, 2011).
Membangun kedekatan dengan pasien HIV mutlak diperlukan agar suatu
hubungan tumbuh dan berkembang yang dilakukan dengan jalan menanmkan
kepercayaan pada diri oasien HIV kepada dokter/konselor sampai timbul
keterbukaan dalam proses komunikasi dalam pelaksanaan HIV voluntary
counseling and testing antara dokter dan pasien, kemudian ditemukan
penggunaan komunikasi antar pribadi yang oada akhirnya menimbulkan
perasaan empati, keakraban dan keterbukaan antara dokter danpasien. Tujuan
akhir dari proram VCT iniadalah agar pasien HIV tersebut dapat mandiri
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan mempunyai motivasi dan
semangat yang kuat untuk bertahan hidup.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi VCT (Voluntary Counselling and Testing)


Voluntary Counseling and Testing atau biasa disingkat VCT merupakan
kegiatan konseling yang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan
sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium. Tes HIV
dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani
informed consent (surat persetujuan) setelah mendapatkan penjelasan yang
lengkap dan benar.
Konseling adalah proses pertolongan di mana seseorang dengan tulus dan
tujuan jelas, memberikan waktu, perhatian, dan keahlianya untuk membantu
klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.
VCT penting, karena merupakan jalan masuk ke seluruh layanan HIV dan
AIDS menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupu
yang hasil tesnya negatif, dengan focus pada pemberian dukungan atas
kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan
terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini tentang HIV dan AIDS;
mengurangi stigma negatif masyarakat merupakan pendekatan menyeluruh,
baik kesehatan fisik maupun mental memudahkan akses ke berbagai
pelayanan yang dibutuhkan klien, baik kesehatan maupun psikososial
(Ditjen P2PL, 2003).

2.2 Tujuan VCT


1. Menyediakan dukungan psikologis
2. Mencegah penularan HIV
3. Menyediakan informasi tentang perilaku berisiko tinggi HIV
4. Membantu mengembangkan keahlian pribadi yang diperlukan untuk
mendukung perilaku hidup sehat.

4
5. Memastkan pengobatan yang efektif sedini mungkin termasuk alternatif
pemecahan berbagai masalah.
Tujuan khusus VCT bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
a. Meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV.
Saat ini sangat sedikit orang di Indonesia yang diketahui terinfeksi HIV.
Kurang dari 2,5% orang yang diperkirakan telah terinfeksi HIV
mengetahui bahwa dirinya terinfeksi.
b. Mempercepat diagnosis HIV. Sebagian besar ODHA di Indonesia baru
mengetahui dirinya terinfeksi setelah mencapai tahap simtomatik dan
masuk ke dengan diagnosis lebih dini, ODHA mendapat kesempatan untuk
melindungi diri dan pasangannya, serta melibatkan dirinya dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
c. Meningkatkan penggunaan layanan kesehatan dan mencegah terjadinya
infeksi lain pada ODHA. ODHA yang belum mengetahui dirinya terinfeksi
HIV tidak dapat mengambil manfaat profilaksis terhadap infeksi
oportunistik, yang sebetulnya sangat murah dan efektif. Selain itu mereka
juga tidak dapat memperoleh terapi antiretroviral secara lebih awal,
sebelum sistem kekebalan tubuhnya rusak total dan tidak dapat dipulihkan
kembali.
d. Meningkatkan kepatuhan pada terapi antiretroviral. Agar virus tidak
menjadi resisten dan efektifitas obat dapat dipertahankan diperlukan
kepatuhan yang tinggi terhadap pengobatan. Kepatuhan tersebut didorong
oleh pemberian informasi yang lengkap dan pemahaman terhadap
informasi tersebut, serta dukungan oleh pendamping.
e. Meningkatkan jumlah ODHA yang berperilaku hidup sehat dan
melanjutkan perilaku yang kurang berisiko terhadap penularan HIV dan
infeksi menular seksual (IMS) Jika sebagian besar ODHA tahu status HIV-
nya, dan berperilaku hidup sehat agar tidak menulari orang lain, maka
rantai epidemik HIV akan terputus (Ditjen P2PL, 2003).

5
2.3 Sasaran VCT
Konseling ditujukan untuk mereka yang sudah terinfeksi HIV dan
keluarganya, mereka yang akan dites HIV, mereka yang mencari pertolongan
karena merasa telah melakukan tindakan berisiko di masa lalu, dan
merencanakan masa depannya, mereka yang tidak mencari pertolongan, tapi
berisiko tinggi. Sasaran konseling dalam VCT adalah sebagai berikut :
a. Memberikan kesempatan klien mengenali dan mengekspresikan perasaan
mereka.
b. Memberi informasi tentang narasumber atau lembaga, baik pemerintah
maupun LSM yang dapat membantu kesulitan dalam berbagai aspek.
c. Membantu klien menghubungi narasumber atau lembaga yang dimaksud.
d. Membantu klien memperoleh dukungan dari jaringan sosial, keluarga, dan
teman.
e. Membantu klien mengatasi kesedihan dan kehilangan.
f. Memberikan advokasi pada klien untuk mencegah penyebaran infeksi
g. Mengingatkan klien atas hak hukumnya.
h. Membantu klien memelihara kendali atas hidupnya.
i. Membantu klien menemukan arti hidupnya.
Berbagai motivasi yang mendorong seseorang mengikuti keonseling :
a. Ingin tahu status HIV dirinya
b. Pernah melakukan hubungan seksual yang berisiko
c. Sangat cemas
d. Terpajan risiko dan menduga diri terinfeksi dengan atau tanpa gejala sakit
e. Pasangan atau anak meninggal dunia
f. Berencana menikah atau berencana untuk hamil
g. Sedang hamil
h. Berganti pasangan
i. Dipersyaratkan dari tempat kerja
j. Sebagai persyaratan untuk permohonan keimigrasian atau Pendidikan
(P2PL, 2003).

6
2.4 Ketersediaan Sarana dan Prasarana VCT
1. Klinik Konseling VCT
Konseling HIV dapat dilakukan di tempat yang menjamin
kerahasiaan. Layanan VCT dapat dilakukan di tempat berikut :
a. Pada layanan antenatal: dengan memperhatikan penularan dari ibu ke
anak.
b. Pada layanan pengguna napza suntik: dengan sasaran pengguna napza
suntik.
c. Pada layanan reproduksi: bagi remaja dan pasangan usia subur.
d. Pada layanan terapi penyakit infeksi.
e. Pada layanan transfusi darah, donor jaringan manusia.
f. Pada layanan kesehatan kerja dan skrinning tenaga kerja
g. Pada layanan laboratorium
Layanan VCT dapat dilakukan oleh pemerintah, LSM, masyarakat,
maupun swasta dan merupakan suatu bentuk intervensi kesehatan
masyarakat (P2PL, 2003).
2. Syarat ruang konseling VCT
a. Nyaman dan aman, karena konseling memerlukan waktu yang lama
serta harus menjaga kerahasiaan
b. Ruangan tertutup dan suara tidak dapat didengar dari ruang lain untuk
menjaga kerahasiaan
c. Satu alur dengan pintu masuk dan keluar yang berbeda
d. Akses mudah, untuk menuju klinik yang merujuk atau menuju
laboratorium pemeriksaan darah
e. Pencahayaan cukup, agar proses konseling dan edukasi yang
memerlukan alat peraga dapat dilakukan dengan jelas.
Di dalam ruang konseling terdapat :
a. Tempat duduk yang nyaman bagi klien dan konselor
b. Alat peraga dan alat bantu pendidikan klien untuk menjelaskan cara
pemasangan kondom, penggunaan alat pelindung, cara menolong diri
pasca pajanan, dan sebagainya

7
c. Tisu untuk menghapus keringat atau air mata klien
d. Alat pendokumentasian keadaan klien dan proses konselingnya
(Ditjen P2PL, 2003)
3. Konselor untuk VCT
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan seluk beluk HIV dan
AIDS. Konseling dilakukan oleh konselor yang telah dilatih dengan
modul VCT. Mereka dapat berprofesi sebagai perawat, dokter, pekerja
sosial, psikolog, psikiater, atau profesi lain. Konselor mempunyai
kemampuan berjenjang, mulai dari dasar sampai mahir. Konselor dengan
kemampuan dasar dapat dilakukan oleh mereka yang menyediakan ruang
dan waktunya bagi ODHA, mempunyai keterampilan konseling, dan
mampu membantu ODHA. Sementara yang profesional dilakukan oleh
mereka yang secara formal mempunyai pendidikan konseling dan/atau
psikoterapi, serta mampu melakukannya seperti psikiater, psikolog klinis,
pekerja sosial.
Disamping konselor untuk klien, diperlukan juga konselor untuk
konselor. Mereka akan memberikan terapi saat konselor mengalami atau
mendekati kejenuhan. Keterampilan yang diperlukan dalam memberikan
konseling adalah :
1) Mendengarkan aktif dan mengamati
2) Mengajukan pertanyaan dan menghayati
3) Merangkum dan menyimpulkan
4) Membangun relasi dalam persetujuan pelayanan
5) Menggali dan memahami masalah penyebab dan kebutuhan
6) Mengenal altermnatif penyelesaian masalah, memberi
pertimbangan
7) Penyelesaian masalah, dapat memberikan jalan keluar dan
menguatkan diri
8) Penyelesaian masalah dan konsekuensi logis (Ditjen P2PL,
2003).

8
2.5 Prinsip pelayanan VCT
a. Sukarela dalam melaksanakan testing VCT
Pemeriksaan status HIV hanyadapat dilaksanakan atas
persetuuan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Kepurusan
ntuk melakukan atau tidak melakukam testing ada di tangan
klien. Testing HIV dalam VCT bersifat sekarela, sehingga
tidak ada testing wajib untuk oasangan yang akan menikah,
pekerja seksual, rekruitmen tenaga kerja, asuransi kesehatan,
dan tahanan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan
martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan
klien harus terjaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas
kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks
kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan
dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh orang yang
tidak mempunyai hak untuk mengakses.
c. Mempertahankan relasi hubungan konselor-klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil
testing HIV dan mengikuti konseling pasca-testing. Dalam
konseling pasca-testing ini konselor juga membicarakan
perasaan klien ketika menerima hasil testing dan membantu
klien untuk menerima kondisi dirinya apabila hasil tesnya
positif.
d. Testing merupakan salah satu komponen VCT
WHO dan Kementrian Kesehatan RI telah memberikan
pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV.
Konseling pasca-testing dilakukan pada saat yang bersamaan
dengan saat penerimaan hasil testing dengan didampingi oleh
konselor yang disetujui oleh klien (Setiawan, 2011).

9
2.6 Tahapan konseling
Konseling mwerupakan proses interaksi antara konselor dank lien
yang membutuhkan kematangan kepribadian pada konselor dan
memberikan dukungan mental emosional kepada klien. Proses konseling
mencakup upaya-upaya yang realistic dan terjangkau serta dapat
dilaksanakan. Proses konseling yang baik mampu dalam :
a. Memastikan klien mendapatkan informasi yang sesuai fakta
b. Menyediakan dukungan saat kritis
c. Mendorong perubahan yang dibutuhkan untuk pencegahan atau
membatasi penyebaran infeksi
d. Membantu klien memusatkan perhatian dan mengenali kebutuhan
jangka pendek serta jangka panjang dirinya sendiri
e. Mengajukan tindakan nyata yang sesuai untuk dapat diadaptasikan
klien dalam kondisi yang berubah
f. Membantu klien memahami informasi peraturan perundangan
tentang kesehatan dan kesejahteraan
g. Membantu klien untuk menerima informasi yang tepat dan
menghargai serta menerima tujun tes HIV baik secara teknik, sosial ,
etika, dan implikasi hukum
Selama proses berlangsung konselor bertindak sebagai pantulan
cermin bagi pikiran, perasaan, dan perilaku klien, dan konselor memandu
klien menemukan jalan keluar yang diyakininya. Konseling berlangsung
tidak cukup hanya satu sesi, beberapa kali pertemuan konseling
seringkali diperlukan, tergantung dari masalah dan kebutuhan klien.
Konselor yang terlatih dapat menyediakan diri dan waktunya untuk
membantu orang lain melalui konseling, dapat berempati dan
mendengarkan dengan penuh perhatian, memahami proses infeksi HIV
dan infeksi oportunistik, dapat menyimpan rahasia (P2PL, 2003).

10
2.7 Jenis Konseling HIV dalam VCT
Menurut Ditjen P2PL dalam Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA, jenis konseling VCT dibagi
menjadi 8, yaitu:
a. Konseling untuk pencegahan
Membuat klien memahami perlunya menghindari perilaku
beresiko. Pelaksana adalah konselor tingkat dasar . Konseling
memberikan pemahaman HIV dan AIDS dan dampak fisik serta
psikososial, informasi tentang cara penularan, pencegahan.
Pemahaman perilaku hidup sehat, dan mendorong perubahan
perilaku ke arah hidup sehat.
b. Konseling pra test
Membuat klien mampu untuk memutuskan apakah dirinya perlu
memeriksakan status HIV-nya atau tidak dengan segala
konsekuensinya.
c. Konseling pasca test
Membuat klien mampu menerima hasil pemeriksaan status HIV-
nya dan menyesuaikan diri dengan konsekuensi dan risikonya,
sehingga dapat membuat perubahan perilaku menjadi perilaku sehat.
d. Konseling kepatuhan berobat
Agar klien memahami jenis, cara proses pengobatan, sehingga
diharapkan dapat mematuhi pemberian pengobatan. Ini diperlukan
mengingat tingginya tingkat resistensi bilamana prosedur
pengobatan tidak dipatuhi. Disamping itu untuk mengurangi
beban psikologis yang membuat klien merasa sakit/cacat/tidak
berdaya/ tidak ada harapan menghadapi kehidupan karena ia harus
menggunakan obat dalam jangka waktu panjang.
e. Konseling keluarga
Agar klien dan keluarganya saling mendukung dalam
menghadapi keadaan dan kondisi psikologis klien yang terbebani
masalah gangguan kesehatan fisik dan jiwanya.

11
f. Konseling berkelanjutan
Agar klien terbantu menghadapi keadaan dan kondisi
psikologis yang terbebani masalah gangguan kesehatan fisik dan
jiwanya.
g. Konseling bagi yang menghadapi kematian
Agar klien tenang menghadapi hari-hari akhirnya.
h. Konseling untuk masalah psikiatris
Agar klien terbantu menghadapi keadaan dan kondisi psikiatris
yang mungkin dicetuskan oleh beban gangguan kesehatannya.
Atau memang jarena gangguan psikiatrisnya sudah ada sebelum
gangguan fisiknya muncul. Atau gangguan psikiatris dan gangguan
fisiknya muncul bersamaan.
1. Rujukan ke layanan kesehatan diagnostik HIV baik melalui
program VCT, inisiatif petugas kesehatan, maupun cara
lainnya dengan memegang prinsip adanya konseling, adanya
informed consent dan menjunjung kerahasiaan, rujukan dari
layanan kesehatan dasar dan infeksi oportunistik, layanan
IMS, hepatitis B, TB, dan AIDS untuk mereka yang
memerlukan. Layanan paska tahanan (konseling, metadon,
pengobatan perawatan, dan dukungan)
2. Intervensi struktural, dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan (KPAN, sektor kesehatan, sektor
hukum dan HAM, kepolisian, pemimpin informal, dan
sebagainya) dalam bentuk advokasi sektor terkait untuk
pemulihan, pengembangan jejaring, peningkatan kapasitas
dan pengembangan kebijakan yang mendukung.

12
2.8 Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait
yang dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS),
klinik Tuberkulosa (TB), Klinik Tumbuh Kembang Anak dan
sebagainya. Lokasi layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda
yang jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT.
Namun klinik cukup mudah dimengerti sesuai dengan etika dan
budaya setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma
dan diskriminasi. Model layanan VCT terdiri atas :
1. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan
keliling yan dapat dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan yang langsung
mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki
perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah
tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas
kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang
layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah
setempat.
2. Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi dalam sarana
kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan
menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana
kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan VCT, layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan
HIV/AIDS.

13
BAB III
MENGKAJI ARTIKEL DALAM JURNAL TENTANG VCT

Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang HIV/AIDS Pada Kelompok Resiko


Tinggi Terhadap Kemauan Mengikuti Program Voluntary Counseling and Testing
(VCT) di Wilayah Kota Palopo Sulawesi Selatan
Sriwahyuni , Lindriani

HIV/AIDS sampai saat ini mempunyai stigma yang negative baik di


dunia1maupun di Indonesia.2 Keta- kutan terhadap penyakit ini membuat
masyarakat, bahkan kelompok resiko tinggi sendiri enggan untuk mencari
informasi juga melakukan pemeriksaan dini. Alasan klasik yaitu takut kalau tahu
penyakitnya, atau takut diketahui orang lain. Angka kepatuhan pengo- batan pun
rendah. Keberhasilan penanganan HIV/ AIDS dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya kurangnya pengetahuan terkait HIV, takut stigma atau kurangnya
privasi/kerahasiaan serta keterbatasan dan ketersediaan layanan; hubungan yang
buruk antar layanan sosial budaya, politik, dan ketidakpercayaan dan komunikasi
yang buruk antara pengguna layanan dan penyedia.
Sesuai dengan laporan triwulan I 2017, prevalensi HIV/AIDS di Indonesia
terus terjadi peningkatan. Pada bulan Maret 2017 dilaporkan ada sejumlah 10.376
orang dengan HIV dan 673 orang dengan AIDS.4Prevalensi tertinggi keduanya
berapa pada usia produktif yaitu 20 – 49 tahun.4 Di tahun yang sama, tercatatada
333 orang yang terdiagnosa HIV Sulawesi Selatan. Data statistic menunjukkan
bahwa pada ta- hun 2017 di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat 2.551 orang hidup
dengan HIV/AIDS dan 390 kasus yang meninggal dunia dengan case rate
26.50%.4 Dari an- gka kejadian itu, Kota Palopo menempati peringkat kelima
dengan 186 orang yang terdiagnosa HIV/ AIDS.
Peningkatan kejadian ini dipengaruhi banyak faktor, seperti diungkapkan oleh
Bermudez & Buela-Casal (2006), ada tujuh persepsi dan perilaku yang beresiko
terhadap penyebaran infeksi HIV/AIDS, antara lain sebagai berikut :
1. Pemahaman yang salah tentang cara penularan HIV

14
2. Perilaku yang negatif
3. Persepsi yang salah bahwa bukan termasuk kelompok yang rentan terhadap
infeksi HIV
4. Ketidakmampuan menolak
5. Hubungan seksual yang tidak aman
6. Pemakai obat suntik dan penggunaan jarum suntik bersama
7. Bergonta-ganti pasangan seksual. Melihat faktor-fak- tor tersebut, pada
prinsipnya penyebaran HIV/AIDS dapat ditekan jika ada kerjasama antara
pemerintah, terutama dinas kesehatan dengan masyarakat. Masyarakat
diharapkan dapat berperan aktif untuk mewujudkan Warga Peduli AIDS.
Tindakan pencegahan ini dikenal ada pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Tujuan pencegahan primer adalah untuk memberikan pendidikan kesehatan
pada individu yang belum terinfeksi HIV, tetapi mereka beresiko terinfeksi.
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah pilihan tepat untuk
pencegahan primer ini. Karena dengan VCT maka kita dapat mengkaji mo-
tivasi individu untuk berpartisipasi dalam program pencegahan ini. Untuk
mengajak kelompok resiko tinggi ikut aktif dalam program VCT ini memang
bukan hal yang mudah. Model komunikasi negosi- asi kemungkinana dapat
dipakai dalam rangka VCT. Model komunikasi negosiasi untuk pendidikan
kes- ehatan yaitu dengan model COAST, yaitu Commu- nication, Options,
Alternatives, Standards, dan Trust.
Melihat fenomena yang terpapar diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
HIV/AIDS Pada Kelompok Resiko Tinggi Terhadap Kemauan Mengikuti
Program Voluntary Counseling and Test- ing (VCT) di Wilayah Kota Palopo
Sulawesi Selatan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap
kemauan melakukan VCT pada kelompok beresiko tinggi.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen, dimana
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab – akibat tetapi tidak
ada kelompok kontrol yang ketat.. Metoda pendekatan yang digunakan adalah

15
one group posttest only design. Metode ini dipilih karena tidak adanya
kelompok kontrol dan sebelum perlakuan berupa pendidikan kesehatan, ti- dak
dilakukan pengkajian kemauan/minat responden untuk melakukan VCT.
Tingkat pengetahuan ten- tang HIV/AIDS merupakan variabel independent, se-
dangkan kemauan melakukan VCT sebagai variabel dependent. Pendidikan
kesehatan merupakan variable intervening.
Teknik sampling yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik
sampling ini dipilih karena popula- si dalam penelitian ini adalah mereka yang
tergolong dalam kelompok resiko tinggi yang tidak terhingga, tidak dapat
diprediksikan berapa jumlah yang dapat dicapai, dan tersembunyi di
masyarakat namun un- tuk sampel minimal 30 orang. Kelompok resiko ting- gi
yang diambil sebagai responden dalam penelitian ini adalah kelompok pelaku
seksual yaitu para pekerja seksual, waria, gay, ibu hamil, supir dan ibu rumah
tangga. Sebagai kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah kelompok resiko
tinggi yang aktif melakukan hubungan seksual, mau menjadi responden,
kooper- atif, belum pernah melakukan VCT. Sedangkan kri- teria eksklusinya
adalah mereka yang sudah positif di diagnosa HIV/AIDS.
Instrumen yang akan digunakan berupa komputer sebagai media
pendidikan kesehatan, media au- dio visual, lembar balik, leaflet, dan kuisioner
berisi tentang data demografi dan pernyataan kesiapan melakukan VCT.
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Kota Palopo. Metode pengumpulan
data yang dilakukan adalah dengan survey langsung ke lapangan, kemu- dian
responden diberikan pendidikan kesehatan dan wawancara oleh tim peneliti.
Penelitian ini memperhatikan prinsip-prinsip dasar etik penelitian seperti yang
diungkapkan oleh Polit and Beck (2006) yang meliputi tiga aspek utama yaitu
beneficence, respect for human dignity, dan justice. Pada prinsip beneficence,
peneliti memperhatikan dua aspek, yaitu hak responden untuk mendapa- tkan
perlindungan agar terhindar dari bahaya dan ketidaknyamanan (non-
maleficence), serta hak un- tuk mendapatkan perlindungan terhadap eksploi-
tasi, baik eksploitasi secara fisik maupun terhadap data-data yang diberikan.
Respect for human dignity merupakan prinsip kedua dalam penelitian, yang

16
meliputi dua hal yaitu hak untuk menentukan diri sendiri (keterlibatan dalam
penelitian atau yang bi- asa dikenal dengan istilah autonomy dimana dalam hal
ini dibuktikan dengan informed concent) dan hak atas kerahasiaan berupa
anonymity dan confidential- ity. Justice menyangkut dua aspek yaitu hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak untuk terjaga privasinya.
Hasil penelitian ini terjadi penurunan nilai pengetahuan sebesar 0,31
antara sebelum dan setealh diberikan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS.
Ini menunjukkan bahwa penelitian ini terdapat pengaruh pendidikan kesehatan
tentang HIV/AIDS pada kelompok resiko tinggi terhadap kemauan mengikuti
program Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Wilayah kota Palopo
Sulawesi Selatan. Kemauan mengikuti Program VCT disevavkan karena
responden telah mendapatkan pengetahuan dari pendidikan kesehatan yang
telah di berikan sebelumnya sehingga 88 % mengikuti program VCT. Dengan
ha- sil pemeriksaan test HIV negatif. Tingkat pengetahuan yang cukup baik
sangat berper- an penting dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS. Dan secara
otomatis akan berbuat postitif terhadap penyebaran pernyakit tersebut.
HIV merupakan virus yang menyerang kekebalan tu- buh manusia,
dimana penderitanya di haruskan un- tuk minum antiretrovirus (ARV) seumur
hidup. Vuris ini akan menular melaui hubungan seksual (cairan sperma).
Pengethuan responden tentang HIV/AIDS dan Voluntary counceling dan
testing masih relatif ku- rang bahkan di kota palopo hanya di RSUD sawerig-
ading kota palopo saja. Sehingga sebagian responden baru mengetahui saat di
lakukan pengumpulan data. Menurut Alan dalam kumalasari (2015),
pemanfaatan layanan kesehatan salah satunya di pengaruhi oleh faktor dari
konsumen berupa pengetahuan. Menurut Blom dalam notoatmojo (2007),
adalah tahu, mema- hami, aplikasi, analisa, sintesa, dan evaluasi. Kelom- pok
resiko tinggi seperti PSK, waria, Pengguna jarum suntik dan sopir, wanita
hamil dan lainnya mendapa- tkan sosialisasi tentang pelyanan VCT akan men-
gethui tentang VCT dan HIV/AIDS, setelah itu akan memahami dan dapat
mengaplikasikan dalam bentuk memanfaatkan pelayan VCT.

17
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Julita
(2013), tentang efektifitas pendi- dikan kesehatan HIV/AIDS terhadap
pengetahuan dan sikap siswa SMAN 1 Batang Anai Tahun 2013
menyimpulkan ada perbedaan kenaikan sikap pada kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen. Be- gitu juga pada penelitian Iriani, dkk (2006), meny-
impulkan bahwa ada perbedaan signifikan dari sikap hubungan seks pranikah
antara remaja yang diberi- kan penyuluhan dan yang tidak diberikan penyu-
luhan kesehatan reproduksi remaja. Rata-rata skor kelompok dengan
penyuluhan kesehatan lebih tinggi daripada yang tidak diberikan penyuluhan.
Menurut Peraturan Menteri IV pasal 9 ayat 1 menyebutkan salah satu upaya
penanggulangan HIV-AIDS den- gan cara promosi kesehatan, setelah itu
dijelaskan pada pasal 10 yaitu tentang promosi kesehatan. Pada pasal 10 ayat 1
menyebutkan bahwa promosi kese- hatan merupakan suatu upaya yang
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan secara benar atau kom- prehensif
mengenai pencegahan HIV-AIDS dan up- aya menghilangkan stigma serta
diskriminasi. Hal ini dijelaskan pada pasal 11 ayat 2 bahwa promosi kes-
ehatan tentang HIV-AIDS harus terhubung dengan promosi kesehatan lainnya,
salah satunya promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda. Menurut
Hartono dalam Achmadi (2013), promosi keseha- tan merupakan suatu proses
pemberdayaan mas- yarakat agar mampu memiliki perilaku memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya. Pada dasarnya pemahaman
tentang pendidikan kesehatan, penyuluhan kesehatan dan promosi kesehatan
itu sama. Pendidikan kesehatan lebih menekankan ke- pada pendekatan
edukatif untuk perubahan perilaku seseorang. Sedangkan promosi kesehatan
lebih pada upaya untuk melakukan advokasi, yang mendapat dukungan dari
kebijakan publik.

18
Dari Artikel tersebut terdapat peningkatan pengetahuan sebelum dan
sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang HIV-AIDS di wilayah kota
palopo sulawesi selatan tahun 2019. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan
tentang HIV/AIDS pada kelompok resiko tinggi terhadap kemauan mengikuti
program VCT di wilayah kota palopo sulawesi selatan.
Sebaiknya layanan kesehatan terutama di Puskesmas menyediakan
informasi dan memberikan edukasi tentang pelayanan program VCT sehingga
masyarakat megetahui secara dini dapat meningkatkan kunjungan masyarakat. Di
harapkan bagi dinas kesehatan dapat mening- katkan program pelayanan VCT
masing-masing puskesmas di kota palopo dan bisa bekerjasama dengan LSM
untuk membuka pelayanan VCT, yang merupakan tempat nyaman bagi kelompok
beresiko berkunjung untuk melakukan VCT.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anita, M. (2016). Effect VCT HIV /AIDS in Banda Aceh. Idea Nursing Journal
Vol. VII No. 2 . Retrieved maret 1, 2018, from
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/ viewFile/6459/5299

Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta:


Rineka Cipta.

Amiruddin, s (2014) katili, Studi Pelaksanaan Pelayanan Voluntary Counselling


And Testing (VCT) HIV DAN AIDS Di Puskesmas Kota Makassar.

20

Anda mungkin juga menyukai