Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS KONSELING

Dosen Pembimbing :
Megah Andriany, Ph.D., Sp.Kom

Mata Kuliah :
Konseling Keperawatan

Diusulkan oleh :
Kelompok 2
1. Victor Erich Bay NIM : 22020119183163
2. Subroto Yudo Negoro NIM : 22020119183177
3. Yohana Hale Heret NIM : 22020119183183
4. Pebri Emilda Nurriska NIM : 22020119183187

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi Human Defficiency Virus (HIV) khususnya

pada kelompok pengguna napza suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerja

seks (Sex Worker) dan pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada saat

ini, maka kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum

tidak dapat diabaikan. Kasus baru infeksi HIV terus meningkat di antara para pengguna

narkoba (Narkotika dan obat berbahaya lainnya) khususnya pada pengguna narkoba

dengan jarum suntik (Injection Drug Users/IDU). Di seluruh dunia penggunaan narkoba

suntik hanya berkontribusi 5 sampai 10% dari total infeksi HIV, namun di beberapa

belahan dunia seperti Asia, narkoba suntikan merupakan cara penularan virus HIV yang

utama (Strathdee & Sherman, 2003). Diperkirakan di negara-negara Asia seperti Cina,

Malaysia, dan Indonesia sedikitnya setengah dari kasus infeksi HIV berhubungan dengan

narkoba suntik. Lebih dari 50% penderita HIV/AIDS ditemukan di Jakarta (Djoerban,

1999). Penggunaan jarum suntik yang bergantian sangat rentan bagi terjangkitnya

HIV/AIDS pada pengguna narkoba (Carmen et al., 2004). Kebanyakan dari mereka yang

berisiko tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi

atau belum. Pada saat yang sama, masalah yang mereka hadapi tidak saja kondisi fisik,

namun juga masalah psikologis dan sosial. Mulai dari stigma hingga dikucilkan

masyarakat. Bahkan orang terdekat mereka seperti pasangan, orangtua, saudara kandung

juga mengalami tekanan batin yang berat akibat masa depan penderita yang tidak pasti

dan kekecewaan akan kondisi orang yang dicintai. Mereka harus berusaha
menyembuhkan diri mereka dari penggunaan narkoba sekaligus memperhatikan kondisi

fisik mereka yang sudah terkena HIV/AIDS.

Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat

sekitar 90.000–130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh

Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan

HIV/AIDS. Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saat ini

bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak

hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan

kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu

upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi

HIV atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau

diwajibkan. Konseling dan tes sukarela atau Voluntary Counseling and Testing

merupakan pintu masuk (Entry Point) untuk membantu pasien HIV mendapatkan akses

ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi dan dukungan psikososial (Depkes,

2008). Terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang tepat dan akurat akan

tercapai, sehingga lebih berisiko memberikan informasi yang benar tentang pencegahan

dan penularan HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, pengetahuan

tentang IMS (Infeksi Menular Seksual) dan lain-lain (Kemenkes, 2006).

Konseling ini akan diberikan oleh konselor yang sudah mendapatkan pelatihan

VCT guna menunjang program penanggulangan dan penyebaran HIV/AIDS. Dalam

membantu ODHA konselor diharapkan memiliki keterampilan komunikasi antarpribadi

yang baik untuk membangun kepercayaan dari klien sehingga tujuan komunikasi

kesehatan akan tercapai secara efektif, yakni memberikan pertolongan, waktu, perhatian

dan keahliannya untuk membantu ODHA mempelajari keadaan dirinya dan melakukan
pemecahan masalahnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Untuk itu

sangat penting untuk mengetahui bagaimana melakukan konseling,coaching dan

mentorship pada klien ODHA.

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui proses konseling,coaching dan mentorship pada klien ODHA

2. Untuk mengaplikasikan proses konseling, coaching dan mentorship pada klien

ODHA
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya

kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh

seseorang, sedangkan Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang

menyebabkan AIDS.

Sedangkan tanda dan gejala yang muncul menurut Health’s Departement of

Goverment of Western Australia adalah Segera setelah terinfeksi HIV, beberapa orang

akan merasa mendapat fl u: demam, sakit kepala, kelelahan dan ruam-ruam merah. Yang

lain mungkin tidak ada gejala. Itulah sebabnya dalam keadaan berisiko pemeriksaan HIV

adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui apakah terinfeksi.

B. Penatalaksanaan Kasus

Didalam konseling dan tes secara sukarela (KTS) atau yang juga dikenal dengan

Voluntary counseling and testing (VCT), konseling dilakukan pada saat sebelum tes (pre

test) dan sesudah tes (pasca test).

1) Pelaksanaan Konseling Pre Test

Proses konseling pre tes dimulai dengan membina hubungan saling percaya antara

konselor dan klien. Secara garis besar teknik dan cara yang dilakukan oleh konselor

adalah sebagai berikut:

a) Membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien. Pada tahap ini

konselor mengidentifikasi dan mengkarifikasi perannya serta menekankan pada

klien bahwa konfidensialitas dan kerahasiaan klien akan tetap terjaga;


b) Indentifikasi latar belakang dan alasan untuk melakukan tes termasuk perilaku

berisiko klien dan riwayat medis klien yang dulu dan sekarang;

c) Mengidentifikasi pemahaman klien tentang HIV/AIDS dan tes HIV;

d) Menyediakan informasi tentang hubungan sex yang aman dan pola hidup sehat

(safe sex practices dan healthy lifestyle practices);

e) Memastikan apakah klien bersedia untuk melakukan tes HIV.

Dalam proses konseling pra tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien

untuk pemeriksaan HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau

tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri

dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan

relasi, perilaku seksual, suntikan berisiko dan membantu klien melindungi diri dari

infeksi. Konseling dimaksud juga untuk meluruskan pemahaman yang salah tentang

AIDS.

Konseling pra tes dilakukan sebelum klien melakukan tes HIV. Konseling pre

tes dilakukan untuk meninjau ulang risiko klien terinfeksi HIV, menjelaskan dan

mengklarifikasi tujuan dari tes HIV, memberikan pengertian pentingnya perubahan

perilaku yang dapat mengurangi risiko tertular HIV, membantu klien memikirkan

dan menginformasikan reaksi yang mungkin timbul akibat hasil tes, membantu klien

memahami dan memutuskan mengapa tes diperlukan. Konseling pre tes sebaiknya

meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil tes

HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling pre tes juga mencakup pertimbangan

tentang kemampuan seseorang menghadapi hasil tes dan perubahan yang diperlukan

sebagai konsekuensinya. Selain itu konseling juga sebaiknya memberikan dukungan

dan dorongan kepada klien tentang rencana dan tujuannya untuk tes.
2) Pelaksanaan Konseling Post Test

Pelaksanaan konseling pasca tes dilakukan setelah klien mendapatkan hasil

pemeriksaan tes HIV. Sebelum melakukan konseling pasca tes, konselor

menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil tes dan menangkap perubahan

sikap klien, bahasa tubuh, ekpsresi wajah dan keadaan psikologis klien.

Untuk hasil tes yang positif, maka konselor menjelaskan makna hasil tes positif

dan konselor menanyakan kepada klien siapa yang boleh tahu tentang hasil tes.

Konseling yang diberikan kepada klien yang positif antara lain memberikan

dukungan, perubahan perilaku berisiko, kewajiban moral untuk tidak menularkan,

dan kesiapan klien untuk membuka statusnya. Disamping itu juga konselor

memberikan informasi tentang lembaga-lembaga dan kelompok dukungan yang

dapat diakses oleh klien sebagai support group. Selain itu juga klien langsung

dikonsultasikan kepada dokter untuk penanganan medis.

Untuk hasil tes yang negatif, konselor memberikan penjelasan tentang makna

hasil tersebut. Konseling yang diberikan antara lain konseling untuk perubahan

perilaku. Biasanya klien yang hasil tes negatif disarankan untuk melakukan tes ulang

setelah 6 bulan dari hasil tesnya yang pertama.

Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra

tes. Bila konseling pra tes berjalan baik maka dapat terbina hubungan baik antara

konselor dan klien. Dengan dasar ini maka akan lebih mudah untuk terjadinya

perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah

klien.
C. Strategi Konseling Kasus

Keterampilan komunikasi pada keperawatan penyakit HIV/AIDS yang digunakan

konselor biasa disebut dengan mikro konseling. Keterampilan mikro konseling

merupakan komponen komunikasi yang efektif bertujuan untuk mengembangkan

hubungan yang supportif antara klien dan konselor. Keterampilan mikro konseling

tersebut antara lain :

1) Menciptakan suasana hening dan nyaman

Untuk menciptakan suasana hening dan nyaman konselor bisa melakukannya

dengan cara antara lain memberi waktu pada klien untuk berpikir apa yg akan

dikatakan, memberi kesempatan pada klien untuk merasakan perasaannya, memberi

kesempatan pada klien berbicara sesuai iramanya, memberi waktu pada klien untuk

mengatasi keraguannya (ingin mengatakan atau tidak), dan memberi kebebasan pada

klien untuk memilih melanjutkan atau menghenti proses konseling. Selain itu

keramah tamahan seperti salam, sapa, senyum, keterbukaan dan penerimaan

konselor terhadap klien saat bertemu bisa membuat suasana lebih nyaman pada saat

konseling.

2) Mengajukan pertanyaan

Mengajukan pertanyaan adalah bagian penting dalam konseling. Hal ini dapat

membantu konselor mengerti situasi klien dan menilai kondisi klinis terkait. Ada

tiga macam jenis pertanyaan yang biasa digunakan konselor yaitu:

a) Pertanyaan tertutup

Dengan Pertanyaan tertutup klien hanya bisa memberi respon dengan satu kata,

klien tidak mendapat kesempatan berpikiran mengenai apa yg mereka katakan,

jadi jawabannya singkat misalnya:

(1) “Apakah anda melakukan seks yang aman?”


(2) “Apakah anda menggunakan kondom?”

b) Pertanyaan terbuka

Pertanyaan terbuka memungkinkan konselor mendapatkan jawaban lebih dari

satu kata. Pertanyaan terbuka biasanya dimulai dengan: “Apa”, “Dimana”,

“Bagaimana” atau “kapan” yang mengundang klien untuk melanjutkan

pembicaraan dan memutuskan apa tujuan mereka ingin berbicara, misalnya:

(1) “Kesulitan apa yang anda alami saat melakukan seks yang aman?”

(2) “Bagaimana reaksi anda jika menerima hasil tes HIV positif?”

c) Pertanyaan mengarah

Pertanyaan mengarah merupakan pertanyaan konselor yang menuntun klien

untuk memberi jawaban apa yang mereka inginkan. pertanyaan ini biasanya

bersifat menghakimi, misalnya:

(1) “Anda melakukan seks aman? Bukan?”

(2) “ Anda setuju bahwa anda selalu menggunakan kondom?”

3) Merespon dalam percakapan

Teknik merespon bisa dilakukan dengan cara mengulang ucapan klien dengan

menggunakan kata-kata sendiri sehingga klien mengetahui bahwa pesannya

dimengerti, selain itu apabila terjadi kesalah pahaman konselor biasanya melakukan

klarifikasi sebagai responnya dengan menyamakan persepsi dan pengertian diantara

keduanya sehingga pesan dapat sampai dengan benar karena pesan dan informasi

sangatlah penting dalam memberikan pelayanan konseling.

4) Mendengarkan dengan penuh perhatian

Mendengarkan dengan penuh perhatian bisa dilakukan dengan kontak mata

(sesuai budaya dan norma), memberikan perhatian (misal: mengangguk), satu dua

kata penerimaan lanjut (misal “Mm-hmm”, “Ya”.), kurangi hal yg menarik


perhatian (misal TV, telepon, bising), tidak melakukan hal lain selain konseling,

mengenali perasaan klien, misalnya mengatakan, “nampaknya anda sedih‟, tidak

menginterupsi jika tidak perlu, bertanyalah jika konselor tak mengerti, tidak

mengambil alih pembicaraan menceritakan diri sendiri atau terlalu mendominasi

pembicaraan, mengulangi dengan kata sendiri apa yang telah disampaikan klien,

agar klien tahu kita telah memahaminya.

Empati disampaikan dengan menggunakan kemampuan mendengar dan

dengan mengulangi apa yang dikatakan klien dengan kata kita sendiri (parafrasi,

refleksikan perasaan, klarifikasi, menyimpulkan), dengan begitu klien bisa

mengetahui bahwa kita mengerti keadaannya dan memahami permasalahannya.

5) Perilaku non verbal

Perilaku non verbal merupakan komunikasi yang bersifat tidak lisan yang juga harus

diperhatikan seperti bahasa tubuh, gestur, gerakan tangan, ekspresi wajah, orientasi

tubuh, jarak tubuh, posisi duduk, kontak mata dan paralinguistik seperti hembusan

nafas, bersungut-sungut, berkeluh kesah, perubahan tinggi nada, perubahan keras

suara, kelancaran suara, senyum yg dipaksakan dan lain-lain. Bahasa tubuh, gestur,

ekspresi wajah, posisi duduk, dan lain-lain tersebut dapat mengisyaratkan kepada

klien bahwa konselor menunjukkan penerimaannya. Seringkali konselor hanya

dengan menawarkan kehadirannya dan menunjukkan rasa tertariknya dengan bahasa

tubuh sudah bisa menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri klien untuk

menyampaikan masalahnya tanpa perlu dipaksa, karena beberapa klien mungkin

belum siap berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu

membuat dirinya dimengerti.


Sedangkan strategi konseling yang digunakan berdasarkan hasil tes yang dilakukan

oleh pasien adalah sebagai berikut :

1) Ketika hasil tes positif maka strategi yang dilakukan konselor adalah harus

memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin dan dapat mengatasi reaksi

awal yang muncul; memberi cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan

hasil tes tersebut; memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan

memberikan dukungan emosional; merujuk klien ke lembaga dan kelompok

dukungan; mendiskusikan siapa yang mungkin ingin diberi tahu tentang hasil tes

itu, risiko terhadap pasangan seks dan bagaimana cara memberitahu pasangan

mereka; menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya; serta

memberitahu klien kemana mencari perawatan dan pengobatan jika dibutuhkan;

mendiskusikan pencegahan penularan HIV termasuk memberikan informasi

tentang kondom dan hubungan seks yang lebih aman.

2) Ketika hasil negatif, tugas konselor adalah menjelaskan makna hasil tersebut

termasuk masa jendela; pencegahan infeksi dimasa datang; informasikan tentang

hubungan seks yang lebih aman termasuk informasi tentang kondom dan seks

aman; pedoman penurunan risiko penularan; serta anjurkan untuk

mempertimbangkan kembali melakukan tes ulang setelah 3-6 bulan.


BAB III

ISI

A. Kasus

Renald (35 tahun), seorang Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas, kasus penggunaan

Narkoba, mempunyai seorang istri dan anak perempuan 5 tahun. Klien mengetahui

bahwa dirinya positif HIV ketika tes HIV di lapas. Klien berencana setelah bebas tidak

memberitahukan status HIV-nya kepada istrinya.

B. Tahapan Konseling Kasus

Pada tiap sesi konseling pastilah mempunyai tahapan-tahapan yang terjadi didalam

proses komunikasi antara konselor dan perawat (tahapan interaksi) yang bertujuan terapi

bagi klien. Berikut tahapan pada proses komunikasinya berikut strategi yang dilakukan

konselor di tiap tahapan tersebut:

1) Tahap Awal

Tahap awal atau tahap pengenalan pada tahap ini konselor dan klien pertama kali

bertemu. Pada tahap ini penampilan fisik dan kualitas-kualitas lain pada konselor

seperti sifat bersahabat kehangatan, keterbukaan profesionalisme dan dinamisme

begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati. Tahap ini biasanya

ialah pengenalan, membina rasa saling percaya dengan menunjukkan penerimaan dan

komunikasi terbuka, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan,

mengidentifikasi masalah dan mengukur tingkat kecemasan diri pasien.

2) Tahap Lanjutan

Tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh, di tahap ini konselor perlu

meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu

sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi


masalah yang ada, meningkatkan komunikasi dengan klien dan mengurangi

ketergantungan klien pada perawat, dan mempertahankan tujuan yang telah

disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada. Pada tahap ini

adalah mengeksplorasi, Konselor berusaha mengetahui secara mendalam tentang

perasaan klien dan situasi klien dan menciptakan suasana komunikasi yang

nyaman bagi klien dengan cara: Berhadapan dengan lawan bicara, dengan posisi

ini perawat menyatakan kesiapannya. Sikap tubuh terbuka; kaki dan tangan

terbuka (tidak bersilangan), sikap tubuh yang terbuka menunjukkan bahwa

perawat bersedia untuk mendukung terciptanya komunikasi, menunduk atau

memposisikan tubuh kearah lebih dekat dengan lawan bicara, hal ini menunjukkan

bahwa perawat bersiap untuk merespon dalam komunikasi (berbicara-

mendengar). Mempertahankan kontak mata, sejajar, dan natural, dengan posisi

mata sejajar perawat menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan

komunikasi. Bersikap tenang, tidak terburu-buru saat berbicara dan menggunakan

gerakan atau bahasa tubuh yang alami. Memberitahukan dan menyamakan

pemahaman kepada klien tentang apa yang dirasakan dan yang disampaikan

dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Menggunakan pertanyaan terbuka,

misalnya “Bagaimana bapak tahu kalau bapak mengidap HIV? “.

Tahap ini merupakan tahap yang panjang karena didalamnya konselor dituntut

untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan perasaan dan

pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan komunikasi verbal

dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Disini konselor juga mendengarkan

secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk

mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari penyelesaian

masalah dan mengevaluasinya.


Dibagian akhir tahap ini, konselor diharapkan mampu menyimpulkan

percakapannya dengan klien dengan cara memadukan dan menegaskan hal-hal

penting dalam percakapan, dan membantu keduanya memiliki pikiran dan ide

yang sama. Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan ini maka klien dapat

merasakan bahwa keseluruhan pesan atau perasaan yang telah disampaikannya

diterima dengan baik dan benar-benar dipahami oleh konselor.

3) Tahap Terminasi

Pada konseling HIV/AIDS yang merupakan proses panjang dari perawatan klien

yang paling banyak terjadi merupakan terminasi sementara yaitu akhir dari tiap

pertemuan konselor dan klien, setelah hal ini dilakukan konselor dan klien masih

akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda.

Pada tahap ini strategi konselor adalah membuat kesimpulan mengenai perawatan

yang didapat, mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan

dan menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut

tersebut berkaitan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi

yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada

pertemuan berikutnya.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus Tuan Renald, digunakan pelaksanaan Konseling Post Test, khususnya

memberikan dukungan, memperhatikan perilaku berisiko, kewajiban moral untuk tidak

menularkan serta kesiapan klien untuk membuka statusnya kepada pasangan dalam hal ini

istrinya.

Strategi yang dipakai adalah seluruh strategi yang ada pada Bab II yakni, Menciptakan

suasana hening dan nyaman, Mengajukan Pertanyaan, Merespon dalam percakapan,

Mendengarkan dengan penuh perhatian, serta melibatkan Perilaku non verbal yang sesuai

dengan keadaan klien, serta mengarahkan klien untuk memberitahu istrinya meskipun

keputusan tetap ditangan klien. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pertanyaan

mengenai pendapat klien tentang bahaya HIV / AIDS, pengetahuan klien tentang cara

penularan HIV/ AIDS, dampak tentang HIV/AIDS, dll.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Proses komunikasi konseling bertujuan terapi bagi klien dengan melewati tahapan

awal, lanjutan serta terminasi

2. Penatalaksanaan konseling tiap klien berbeda tergantung tahapan dan hasil test klien

3. Strategi yang bisa digunakan yakni, menciptakan suasana hening dan nyaman,

mengajukan pertanyaan, merespon dalam percakapan, mendengarkan dengan penuh

perhatian, serta melibatkan Perilaku non verbal yang sesuai dengan keadaan klien

B. Saran

1. Perawat harus selalu melatih kemampuan berkomunikasi yang baik untuk menjadi

konselor, baik itu bertanya memberikan jawaban bahkan berkomunikasi non verbal

kepada klien

2. Perawat harus selalu melatih kemampuan membaca respon serta makna dari perilaku

nonverbal klien

3. Perawat harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni terkait kondisi klien yang

akan diberikan konseling


ROLEPLAY

Latar belakang kasus :


Renald (35 tahun), seorang Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas, kasus penggunaan
Narkoba, mempunyai seorang istri dan anak perempuan 5 tahun. Klien mengetahui bahwa
dirinya positif HIV ketika tes HIV di lapas. Klien berencana setelah bebas tidak
memberitahukan status HIV-nya kepada istrinya.
Konselor : Selamat siang pak
Konseli : Selamat siang juga pak
Konselor : Apakah betul ini dengan pak Renald?
Konseli : Benar Pak dengan saya sendiri, …
Konselor : Perkenalkan,,nama saya Alex perawat di klinik LP
Konseli : Ooiyaaaa Pak
Konselor : Boleh saya menganggu sebentar waktunya?
Konseli : Oiaa boleh Pak silahkan..
Konselor : Sebelumnya boleh saya tau sudah berapa lama pak Reinald ada dsini?
Konseli : Sudah 1 tahun Pak.dan bulan depan saya sudah bebas Pak
Konselor : Wah selamat yah,,,tapi koq saya lihat Pak Reinald ini tidak senang?padahal
udah mau kluar loh…..kalau boleh tau,,Bapak ada masalah apa?
Konseli : Begini Pak,saya kan terkena HIV sedangkan saya punya keluarga dan anak
dirumah sehingga itu yang menjadi pikiran saya.
Konselor : Darimana bapak tau klo bapak terkena HIV?
Konseli : 2 minggu yang lalu, saya dites HIV disini dan hasilnya positif.
Konselor : Keluarga sudah ada yang tau?
Konseli : Belum ada dan semoga tidak tau karna saya berencana tidak akan
memberitahukan kepada mereka..
Konselor : Kenapa tidak mau memberitahukan keluarga?
Konseli : Saya takut kalua keluarga saya tahu, mereka akan menjauhi saya
Konselor : Kenapa bapak berpikiran sampai dsitu?
Konseli : Karna yang terjadi selama ini begitu, banyak orang yang yang terkena HIV
dikucilkan oleh keluarga dan lingkungannya
Konselor : Bapak jangan berpikiran seperti itu, mungkin yang Bapak lihat selama ini
kenapa sampain dijauhi karna keluarga dan lingkungan sekitar belum tau
banyak tentang HIV, mungkin lain cerita jika kelaurga Bapak diberi
pengetahuan tentang HIV contohnya bagaimana cara penularan HIV,
bagaimana cara berhubungan badan dengan istri yang baik dana man,
bagaimana cara hidup sehat dan cara pengobatannya. Jadi kalua semua
keluarga diberi pengetahuan seperti itu saya rasa keluarga akan menerima
semua itu bahkan mendukung pengobatan Bapak.
Konseli : Apa mungkin??
Konselor : Didunia ini tidak ada yang tidak mungkin Pak. Bapak harus pecaya itu dan
Bapak juga harus ingat bahwa orang disekitar Bapak itu saying sama Bapak
dan menginginkan kehadiran Bapak
Konseli : (merenung)
Konselor : Kenapa Bapak merenung?
Konseli : Saya merasa malu.
Konselor : Tidak usah malu keluarga sangat membutuhkan kehadiran Bapak, yang
penting mulai sekarang Bapak tidak usah mengkonsumsi narkoba lagi,
terpakan pola hidup sehat dan jika nanti pulang terapkan SEFT SEX
PRACTICS dan jangan lupa Bapak harus rajin minum obat kalau Bapak
menaati peraturan semua, Bapak yakin semua pasti akan baik – baik saja.
Konseli : Baik kalau begitu, setelah saya bebas saya akan memberitahukan ke keluarga
tentang kondisi saya saat ini. Tapi mohon bantuannya yah Pak? Untuk
menjelaskan ke keluarga saya tentang penyakit HIV.
Konselor : Baik Pak dengan senang hati
Konseli : Terimakasi banyak pak Alex sudah mengobrol dengan saya, sehingga saya
termotivasi untuk dapat berterus terang kepada keluarga saya terutama istri
dan anak saya…
Konselor : Sama – sama pak ini sudah menjadi tanggung jawab saya, mungkin nanti
kalau Bapak sudah mau keluar LP saya bias bertemu dengan kelaurga Bapak.
Konseli : Oia Baik Pak kami tunggu.
Konselor : Baik Pak,,dari pembicaraan tadi jika ada yang menyinggung perasaan Bapak
atau ada kata – kata yang salah saya minta maaf yang sebesar – besarnya.
Konseli : Sama – sama pak saya juga minta maaaf dan saya ucapkan banyak – banyak
terimakasi.
Konselor : Baik Pak kalua begitu saya permisi dulu, semoga Bapak selalu diberi
kesehatan dan kita bias bertemu lagi.
Konseli : Iya Terimkasi Pak,,Hati – hati dijalan Bapak..

Anda mungkin juga menyukai