Dosen Pembimbing :
Megah Andriany, Ph.D., Sp.Kom
Mata Kuliah :
Konseling Keperawatan
Diusulkan oleh :
Kelompok 2
1. Victor Erich Bay NIM : 22020119183163
2. Subroto Yudo Negoro NIM : 22020119183177
3. Yohana Hale Heret NIM : 22020119183183
4. Pebri Emilda Nurriska NIM : 22020119183187
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi Human Defficiency Virus (HIV) khususnya
pada kelompok pengguna napza suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerja
seks (Sex Worker) dan pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada saat
ini, maka kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum
tidak dapat diabaikan. Kasus baru infeksi HIV terus meningkat di antara para pengguna
narkoba (Narkotika dan obat berbahaya lainnya) khususnya pada pengguna narkoba
dengan jarum suntik (Injection Drug Users/IDU). Di seluruh dunia penggunaan narkoba
suntik hanya berkontribusi 5 sampai 10% dari total infeksi HIV, namun di beberapa
belahan dunia seperti Asia, narkoba suntikan merupakan cara penularan virus HIV yang
utama (Strathdee & Sherman, 2003). Diperkirakan di negara-negara Asia seperti Cina,
Malaysia, dan Indonesia sedikitnya setengah dari kasus infeksi HIV berhubungan dengan
narkoba suntik. Lebih dari 50% penderita HIV/AIDS ditemukan di Jakarta (Djoerban,
1999). Penggunaan jarum suntik yang bergantian sangat rentan bagi terjangkitnya
HIV/AIDS pada pengguna narkoba (Carmen et al., 2004). Kebanyakan dari mereka yang
berisiko tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi
atau belum. Pada saat yang sama, masalah yang mereka hadapi tidak saja kondisi fisik,
namun juga masalah psikologis dan sosial. Mulai dari stigma hingga dikucilkan
masyarakat. Bahkan orang terdekat mereka seperti pasangan, orangtua, saudara kandung
juga mengalami tekanan batin yang berat akibat masa depan penderita yang tidak pasti
dan kekecewaan akan kondisi orang yang dicintai. Mereka harus berusaha
menyembuhkan diri mereka dari penggunaan narkoba sekaligus memperhatikan kondisi
sekitar 90.000–130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh
Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan
HIV/AIDS. Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saat ini
bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak
hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan
kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu
upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi
HIV atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau
diwajibkan. Konseling dan tes sukarela atau Voluntary Counseling and Testing
merupakan pintu masuk (Entry Point) untuk membantu pasien HIV mendapatkan akses
ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi dan dukungan psikososial (Depkes,
2008). Terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang tepat dan akurat akan
tercapai, sehingga lebih berisiko memberikan informasi yang benar tentang pencegahan
dan penularan HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, pengetahuan
Konseling ini akan diberikan oleh konselor yang sudah mendapatkan pelatihan
yang baik untuk membangun kepercayaan dari klien sehingga tujuan komunikasi
kesehatan akan tercapai secara efektif, yakni memberikan pertolongan, waktu, perhatian
dan keahliannya untuk membantu ODHA mempelajari keadaan dirinya dan melakukan
pemecahan masalahnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Untuk itu
B. Tujuan Penulisan
ODHA
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar
kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh
menyebabkan AIDS.
Goverment of Western Australia adalah Segera setelah terinfeksi HIV, beberapa orang
akan merasa mendapat fl u: demam, sakit kepala, kelelahan dan ruam-ruam merah. Yang
lain mungkin tidak ada gejala. Itulah sebabnya dalam keadaan berisiko pemeriksaan HIV
B. Penatalaksanaan Kasus
Didalam konseling dan tes secara sukarela (KTS) atau yang juga dikenal dengan
Voluntary counseling and testing (VCT), konseling dilakukan pada saat sebelum tes (pre
Proses konseling pre tes dimulai dengan membina hubungan saling percaya antara
konselor dan klien. Secara garis besar teknik dan cara yang dilakukan oleh konselor
a) Membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien. Pada tahap ini
berisiko klien dan riwayat medis klien yang dulu dan sekarang;
d) Menyediakan informasi tentang hubungan sex yang aman dan pola hidup sehat
Dalam proses konseling pra tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien
tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri
dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan
relasi, perilaku seksual, suntikan berisiko dan membantu klien melindungi diri dari
infeksi. Konseling dimaksud juga untuk meluruskan pemahaman yang salah tentang
AIDS.
Konseling pra tes dilakukan sebelum klien melakukan tes HIV. Konseling pre
tes dilakukan untuk meninjau ulang risiko klien terinfeksi HIV, menjelaskan dan
perilaku yang dapat mengurangi risiko tertular HIV, membantu klien memikirkan
dan menginformasikan reaksi yang mungkin timbul akibat hasil tes, membantu klien
memahami dan memutuskan mengapa tes diperlukan. Konseling pre tes sebaiknya
meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil tes
HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling pre tes juga mencakup pertimbangan
tentang kemampuan seseorang menghadapi hasil tes dan perubahan yang diperlukan
dan dorongan kepada klien tentang rencana dan tujuannya untuk tes.
2) Pelaksanaan Konseling Post Test
menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil tes dan menangkap perubahan
sikap klien, bahasa tubuh, ekpsresi wajah dan keadaan psikologis klien.
Untuk hasil tes yang positif, maka konselor menjelaskan makna hasil tes positif
dan konselor menanyakan kepada klien siapa yang boleh tahu tentang hasil tes.
Konseling yang diberikan kepada klien yang positif antara lain memberikan
dan kesiapan klien untuk membuka statusnya. Disamping itu juga konselor
dapat diakses oleh klien sebagai support group. Selain itu juga klien langsung
Untuk hasil tes yang negatif, konselor memberikan penjelasan tentang makna
hasil tersebut. Konseling yang diberikan antara lain konseling untuk perubahan
perilaku. Biasanya klien yang hasil tes negatif disarankan untuk melakukan tes ulang
Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra
tes. Bila konseling pra tes berjalan baik maka dapat terbina hubungan baik antara
konselor dan klien. Dengan dasar ini maka akan lebih mudah untuk terjadinya
klien.
C. Strategi Konseling Kasus
hubungan yang supportif antara klien dan konselor. Keterampilan mikro konseling
dengan cara antara lain memberi waktu pada klien untuk berpikir apa yg akan
kesempatan pada klien berbicara sesuai iramanya, memberi waktu pada klien untuk
mengatasi keraguannya (ingin mengatakan atau tidak), dan memberi kebebasan pada
klien untuk memilih melanjutkan atau menghenti proses konseling. Selain itu
konselor terhadap klien saat bertemu bisa membuat suasana lebih nyaman pada saat
konseling.
2) Mengajukan pertanyaan
Mengajukan pertanyaan adalah bagian penting dalam konseling. Hal ini dapat
membantu konselor mengerti situasi klien dan menilai kondisi klinis terkait. Ada
a) Pertanyaan tertutup
Dengan Pertanyaan tertutup klien hanya bisa memberi respon dengan satu kata,
b) Pertanyaan terbuka
(1) “Kesulitan apa yang anda alami saat melakukan seks yang aman?”
(2) “Bagaimana reaksi anda jika menerima hasil tes HIV positif?”
c) Pertanyaan mengarah
untuk memberi jawaban apa yang mereka inginkan. pertanyaan ini biasanya
Teknik merespon bisa dilakukan dengan cara mengulang ucapan klien dengan
dimengerti, selain itu apabila terjadi kesalah pahaman konselor biasanya melakukan
keduanya sehingga pesan dapat sampai dengan benar karena pesan dan informasi
(sesuai budaya dan norma), memberikan perhatian (misal: mengangguk), satu dua
menginterupsi jika tidak perlu, bertanyalah jika konselor tak mengerti, tidak
pembicaraan, mengulangi dengan kata sendiri apa yang telah disampaikan klien,
dengan mengulangi apa yang dikatakan klien dengan kata kita sendiri (parafrasi,
Perilaku non verbal merupakan komunikasi yang bersifat tidak lisan yang juga harus
diperhatikan seperti bahasa tubuh, gestur, gerakan tangan, ekspresi wajah, orientasi
tubuh, jarak tubuh, posisi duduk, kontak mata dan paralinguistik seperti hembusan
suara, kelancaran suara, senyum yg dipaksakan dan lain-lain. Bahasa tubuh, gestur,
ekspresi wajah, posisi duduk, dan lain-lain tersebut dapat mengisyaratkan kepada
tubuh sudah bisa menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri klien untuk
belum siap berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu
1) Ketika hasil tes positif maka strategi yang dilakukan konselor adalah harus
memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin dan dapat mengatasi reaksi
awal yang muncul; memberi cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan
hasil tes tersebut; memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan
dukungan; mendiskusikan siapa yang mungkin ingin diberi tahu tentang hasil tes
itu, risiko terhadap pasangan seks dan bagaimana cara memberitahu pasangan
2) Ketika hasil negatif, tugas konselor adalah menjelaskan makna hasil tersebut
hubungan seks yang lebih aman termasuk informasi tentang kondom dan seks
ISI
A. Kasus
Renald (35 tahun), seorang Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas, kasus penggunaan
Narkoba, mempunyai seorang istri dan anak perempuan 5 tahun. Klien mengetahui
bahwa dirinya positif HIV ketika tes HIV di lapas. Klien berencana setelah bebas tidak
Pada tiap sesi konseling pastilah mempunyai tahapan-tahapan yang terjadi didalam
proses komunikasi antara konselor dan perawat (tahapan interaksi) yang bertujuan terapi
bagi klien. Berikut tahapan pada proses komunikasinya berikut strategi yang dilakukan
1) Tahap Awal
Tahap awal atau tahap pengenalan pada tahap ini konselor dan klien pertama kali
bertemu. Pada tahap ini penampilan fisik dan kualitas-kualitas lain pada konselor
begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati. Tahap ini biasanya
ialah pengenalan, membina rasa saling percaya dengan menunjukkan penerimaan dan
2) Tahap Lanjutan
Tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh, di tahap ini konselor perlu
disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada. Pada tahap ini
perasaan klien dan situasi klien dan menciptakan suasana komunikasi yang
nyaman bagi klien dengan cara: Berhadapan dengan lawan bicara, dengan posisi
ini perawat menyatakan kesiapannya. Sikap tubuh terbuka; kaki dan tangan
memposisikan tubuh kearah lebih dekat dengan lawan bicara, hal ini menunjukkan
pemahaman kepada klien tentang apa yang dirasakan dan yang disampaikan
Tahap ini merupakan tahap yang panjang karena didalamnya konselor dituntut
dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Disini konselor juga mendengarkan
secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk
penting dalam percakapan, dan membantu keduanya memiliki pikiran dan ide
yang sama. Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan ini maka klien dapat
3) Tahap Terminasi
Pada konseling HIV/AIDS yang merupakan proses panjang dari perawatan klien
yang paling banyak terjadi merupakan terminasi sementara yaitu akhir dari tiap
pertemuan konselor dan klien, setelah hal ini dilakukan konselor dan klien masih
Pada tahap ini strategi konselor adalah membuat kesimpulan mengenai perawatan
yang didapat, mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan
dan menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut
tersebut berkaitan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi
yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada
pertemuan berikutnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus Tuan Renald, digunakan pelaksanaan Konseling Post Test, khususnya
menularkan serta kesiapan klien untuk membuka statusnya kepada pasangan dalam hal ini
istrinya.
Strategi yang dipakai adalah seluruh strategi yang ada pada Bab II yakni, Menciptakan
Mendengarkan dengan penuh perhatian, serta melibatkan Perilaku non verbal yang sesuai
dengan keadaan klien, serta mengarahkan klien untuk memberitahu istrinya meskipun
keputusan tetap ditangan klien. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pertanyaan
mengenai pendapat klien tentang bahaya HIV / AIDS, pengetahuan klien tentang cara
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses komunikasi konseling bertujuan terapi bagi klien dengan melewati tahapan
2. Penatalaksanaan konseling tiap klien berbeda tergantung tahapan dan hasil test klien
3. Strategi yang bisa digunakan yakni, menciptakan suasana hening dan nyaman,
perhatian, serta melibatkan Perilaku non verbal yang sesuai dengan keadaan klien
B. Saran
1. Perawat harus selalu melatih kemampuan berkomunikasi yang baik untuk menjadi
konselor, baik itu bertanya memberikan jawaban bahkan berkomunikasi non verbal
kepada klien
2. Perawat harus selalu melatih kemampuan membaca respon serta makna dari perilaku
nonverbal klien
3. Perawat harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni terkait kondisi klien yang