Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ahmad Dziban

NIM : 2103374
Kelas : DKV B
Critical Review Film Abstract: The Art of Design

Film yang berjudul Abstract: The Art of Design merupakan fim seri
dokumenter produksi Netflix. Seri film yang terdiri dari delapan episode pada season
pertama ini mendokumentasikan berbagai seniman dalam bermacam-macam bidang
desain seperti arsitek, ilustrator, fotografer, desainer sepatu, desainer grafis, desainer
interior, dan desainer panggung. Seri film ini dibuat oleh Scott Dadich dengan episode
pertama rilis di netflix pada 10 Februari tahun 2017. Pada kali ini saya akan mereview
episode ke-dua yang mendokumentasikan tentang Tinker Hatfield, seorang desainer
sepatu yang latar belakangnya sebagai atlet dan arsitek memberikan influensi terhadap
desain sepatunya untuk Nike, dan juga sepatu seri Air Jordan. Episode ini diproduksi
oleh Marcella Steingart dan Billy Sorrentino.
Film dibuka dengan Tinker yang mengatakan sebagai desainer sepatu, ia harus
memikirkan permintaan dari atlet modern yang membutuhkan kinerja kegunaan kaki
mereka untuk ditingkatkan. Di tahun 80-an, Tinker Hatfield mulai membentuk makna
dari bekerja dengan atlet. Hubungan dengan seorang atlet tak hanya terbatas pada
performa atletnya saja, produk milik atlet juga harus tak lekang oleh waktu. Scene
pembuka pada episode ini diiringi dengan musik upbeat harmonika dan juga reaksi
orang-orang saat ditunjukkan foto Tinker Hatfield. Reaksi kebanyakan orang terlihat
memiliki respect yang besar kepada Tinker. Terlihat juga sepatu-sepatu yang didesain
Tinker.
Pada awalnya, Tinker tidak pernah memikirkan tentang desain, dia lebih fokus
untuk menjadi atlet. Saat SMA prestasinya dalam olahraga memenangkannya
beasiswa di University of Oregon. Di sana Tinker bertemu dengan Bill Bowerman,
seorang coach yang sangat influental dan juga salah satu penemu Nike. Saat Tinker
bertemu dengannya, Bill sedang mendesain sepatu lari Nike untuk membantu atlet
didikannya untuk menjadi lebih baik. Bill kadang mengetes sepatunya dengan
menyuruh muridnya mengenakannya dan berlari mengelilingi trek, terkadang
sepatunya berhasil,, terkadang juga sepatu Bill bisa membuat pemakainya luka. Bill
percaya Tinker bisa memenangkan piala nasional dari lompat galah. Sayangnya, pada
tahun kedua, Tinker mengalami kecelakaan dan merobek pergelangan kakinya. Coach
lain mengatakan Tinker tidak bisa lagi berkontribusi ke dalam tim, tetapi Bill
melindungi Tinker agar tidak kehilangan beasiswanya dan tidak dikeluarkan dari tim.
Tinker kuliah di jurusan arsitektur dan dari situlah ia mengetahui dirinya bisa
menggambar, itu pun secara tidak sengaja. Tinker pun akhirnya mendesain untuk Bill,
ia membuat desain awal untuk track spikes Nike. Tinker juga mencoba track spikes
buatan Bill saat latihan. Dari situlah Tinker belajar bagaimana cara mendesain sepatu
dan menyelesaikan masalah untuk atlet. Tinker memulai penciptaan E.A.R.L. (Electro
Adaptive Reactive Lacing) sebagai suatu solusi dari atlet yang kakinya mengalami
deformasi akibat dari sepatu yang terlalu sempit. Ide ini pertama Tinker kemukakan
pada Tiffany Beers, seorang inventor senior.
Saat Reebok sedang sukses-suksesnya, Tinker direkrut Nike untuk mengikuti
kontes desain 24 jam. Saat itu Tinker belum menjadi desainer sepatu. Presentasi
Tinker yang unik akhirnya membuatnya menjadi desainer alas kaki Nike, dan dalam
waktu yang cepat ia mejadi desainer utama. Proyek pertama Tinker adalah seri Air
Max, dan Tinker merasa ini adalah sebuah kesempatan untuk berpikir secara berbeda.
Ide bantalan udara yang terekspos di sepatu Air Max Tinker dapatkan dari bangunan
di Paris yang memiliki semua mekanik bangunan yang seharusnya ada di dalam
ditaruh di luar. Saat sketsa ditunjukkan, banyak orang yang tidak setuju dan merasa
sepatu itu tidak akan menjual, tetapi pada akhirnya, sepatu Air Max sukses.
Tinker mengatakan mendesain adalah memprediksi kebutuhan di masa depan.
Pada tahun 1987, Tinker diminta untuk mendesain sepatu yang cocok pada tahun
2015 untuk seri Back to the Future. Visi Tinker pada saat itu mengenai sepatu masa
depan adalah sepatu yang bisa mengetahui di mana pemakainya berada dan juga bisa
otomatis mengepas pada kaki pemakainya. Hingga akhirnya pada tahun 2006 Tinker
mencoba menjadikan sepatu di seri Back to the Future menjadi kenyataan. Setelah
mengalami trial dan error akhirnya Nike berhasil menciptakannya, hanya saja
teknologi saat itu masih belum mumpuni dan masih dibutuhkan peningkatan.
Menurut Tinker, seni ikut mengambil andil dalam desain, tapi ia tidak
memikirkan itu sebagai sebuah seni. Persepsinya mengenai seni adalah salah satu
bentuk ekspresi diri dari seorang individu kreatif. Sebagai desainer, tujuan utama
Tinker bukan untuk melakukan ekspresi diri, melainkan adalah memberikan solusi
terhadap masalah orang lain, dan berharap solusi tersebut terlihat bagus dan keren di
orang itu. Tinker juga mengatakan sebuah desain basic selalu fungsional, tetapi desain
yang bagus akan mengatakan sesuatu. Ia merasa jika kita hanya diam di studia dan
mencoba untuk mendapat ide baru, maka tidak akan ada pondasi yang bagus untuk ide
kita, maka dari itu kita harus keluar saja dan mencari pengalaman hidup. Hal ini akan
memberikan pengalaman yang bisa kita translate menjadi sebuah desain yang unik
dan baru.
Menurut saya alur penceritaan dalam film ini sangat runut, dari awalnya
menceritakan kisah Tinker di universitas Oregon, lalu kisahnya bekerja sama dengan
Bill, dan kisahnya menjadi desainer sepatu Nike. Pemilihan musiknya juga cocok,
baik itu pemilihan musik dalam cerita sedih maupun musik upbeat yang
meningkatkan semangat penonton. Pemikiran Tinker mengenai pentingnya suatu
produk untuk meningkatkan performa atlet sangatlah menginspirasi. Hal ini
menunjukkan penggunaan problem solving dalam desain dengan solusi yang tepat
dalam mendesain sepatu bisa membantu mengurangi risiko terluka atlet. Dari sini,
saya sebagai desainer semakin bisa meyakinkan diri mengenai tugas desainer itu
sendiri untuk memberikan suatu solusi terhadap suatu masalah menggunakan desain
yang juga bisa dijadikan sarana untuk eksresi diri. Perkataan Tinker mengenai sebuah
desain basic selalu fungsional, tetapi desain yang bagus akan mengatakan sesuatu juga
menginspirasi saya untuk jangan berhenti di desain basic saja, kembangkanlah, tetapi
don’t overdo it juga.

Anda mungkin juga menyukai