Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Singkat RA Kartini

Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir


tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini
Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau
bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.

RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau


Europesche Lagere School (ELS) pada 1885. Anak
pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama
anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS
hanya anak pejabat tinggi pemerintah.

Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan


masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah
yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti
dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh
Irma Nailul Muna.

Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa
Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima
tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.
Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah
dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus
berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru
semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain
Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita
Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.
"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih
bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya
masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan
semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi
bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan
bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan,
memerdekakan diri."

Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS
Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap
dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke
sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran
orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara
dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga
yang lebih tua lewat.
Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan
membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh,
jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.
Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan
menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat
Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat
kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.
Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya
melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903,
Kartini wafat dalam usia 25 tahun.
Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba
berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.
Perjuangan R.A. Kartini untuk Perempuan dan Pendidikan
Kartini dikenal dengan surat-suratnya dengan sejumlah orang di Belanda. Sejumlah surat di
antaranya mengungkapkan bagaimana Kartini ingin memperluas pengetahuannya tentang
berbagai pemikiran. Salah satu suratnya diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap
Terbitlah Terang: "Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya
sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi
belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat
melanggar adat." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

"Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! --Adat sekali-kali tiada
mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak--kami tahu berbahasa
Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai
berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa
itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu." (Surat
kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
Surat-surat Kartini kelak diterjemahkan dalam berbagai bahasa untuk pembaca di Eropa,
Asia, hingga Amerika lewat buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon, Door
Duisternis tot Licht.

Gagasan Kartini untuk membangkitkan pengetahuan dan pendidikan perempuan juga ia


terapkan sehari-hari. Ia mempelajari dan memahami pemikiran emansipasi yang berkembang
di negara-negara lain. Berangkat dari pengetahuannya, ia kelak bercita-cita mendirikan
sekolah bagi perempuan dan menjadi guru.
Upaya Kartini Melanjutkan Pendidikan
Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya
Ovink Soer. Peluang mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda
mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.
Kelak Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang
mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda.
Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian
pemerintah Hindia Belanda.

Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon
mengunjungi Jepara. Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool
untuk gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan
menyadari hak mereka selama ini terampas.
Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan
kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki. Tetapi,
sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan
aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.

Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia
Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya. Saat itu, ayah Kartini juga
mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.
Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan
derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol. Ia
lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya
pemerintah.
Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke
Belanda.
Mendirikan Sekolah Kartini
Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni
1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga
suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.

Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari
seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini
banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat
masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.
Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati
Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke
Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.
Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui
dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah
dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan
Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring
waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang
mendukung keterampilan siswa.

Anda mungkin juga menyukai