Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/352982311

MEMAHAMI KEBEBASAN BEREKSPRESI, BATASANNYA, SERTA


HUBUNGANNYA DENGAN DELIK PENGHINAAN DI INDONESIA

Article · July 2021

CITATIONS READS

0 904

1 author:

Nur Ansar
Indonesia Jentera School of Law
11 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Analisis Putusan View project

All content following this page was uploaded by Nur Ansar on 04 July 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEMAHAMI KEBEBASAN BEREKSPRESI, BATASANNYA, SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN DELIK PENGHINAAN DI INDONESIA
Oleh
Nur Ansar
(Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera)
Jakarta, 05 Juli 2021

I. Pengantar

Pada 26 Juni 2021, BEM UI memberi gelar kepada Joko Widodo sebagai The King of Lip
Service (Raja Pembual) di akun media sosialnya. Unggahan tersebut dibarengi dengan beberapa
pernyataan terkait komitmen Jokowi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, Jokowi
akan memperkuat KPK, pada kenyataannya justru KPK melemahkan dengan revisi UU KPK
maupun “penyingkiran” pegawai KPK yang punya integritas. Unggahan tersebut memancing
banyak perhatian entah yang memang tidak sepakat dengan Jokowi maupun pendukungnya.
Bahkan berujung pada pemanggilan BEM oleh pihak UI.1

Pemanggilan terhadap BEM UI oleh pihak kampus dilakukan pada Minggu sore, 27 Juni
2021. Menurut Humas UI, pemanggilan tersebut dilakukan karena urgensi masalah yang timbul
sejak diunggahnya meme tersebut ke media sosial.2 Bagi Humas UI, kebebasan berekspresi
memang dilindungi undang-undang dan harus disampaikan sesuai koridor hukum. Unggahan
BEM UI menurutnya bukanlah cara yang tepat karena melanggar aturan yang ada, sehingga
pemanggilan tersebut merupakan upaya pembinaan. Tentang aturan apa yang dilanggar, tidak
ditemukan informasinya. Di media seperti RRI.co.id bahkan memuat judul yang lebih keras,
“BEM UI sebar Hoaks, Menghina Kepala Negara.”3 Tetapi, isi beritanya hanya memuat
pendapat dari Humas UI tentang pemanggilan BEM UI dengan alasan bahwa unggahan tersebut
akan menimbulkan pelanggaran hukum.

Silang pendapat terkait meme tersebut menarik untuk kita diskusikan dalam ranah
kebebasan berekspresi yang dijamin dalam undang-undang. Selain itu, kebebasan berekspresi
di Indonesia saat ini memang perlu kita pertanyakan implementasinya mengingat ada banyak

1
Muhammad Bernie, “Upaya Pembungkaman di Balik BEM UI Sebut Jokowi King of Lip Service,” Tirto.id, 29
Juni 2021, https://tirto.id/upaya-pembungkaman-di-balik-bem-ui-sebut-jokowi-king-of-lip-service-ghhH
2
“UI: Postingan BEM Soal Jokowi 'The King of Lip Service' Langgar Aturan,” Detik.com, 27 Juni 2021, diakses
30 Juni 2021, https://news.detik.com/berita/d-5622116/ui-postingan-bem-soal-jokowi-the-king-of-lip-service-
langgar-aturan
3
“BEM UI Sebar Hoaks, Menghina Kepala Negara,” RRI.co.id, 27 Juni 2021, diakses 30 Juni 2021,
https://rri.co.id/humaniora/info-publik/1093687/bem-ui-sebar-hoaks-menghina-kepala-negara?
1
sekali persoalan yang terjadi sekarang, mulai dari adanya polisi virtual maupun pembungkaman
kebebasan berpendapat yang saya jelaskan pada bagian lain tulisan ini. Terlebih lagi jika kita
melihat meme tersebut dari kacamata pidana, relevan dengan isu persoalan penghinaan terhadap
Presiden.

Dari adanya rebut-ribut soal meme tersebut, penting untuk mengkaji kembali terkait
kebebasan berekspresi dan batasannya. Dengan menggunakan bahan berupa artikel jurnal,
buku, publikasi lembaga, maupun berita, studi ini menyajikan makna dari kebebasan
berekspresi, dasar hukumnya, pembatasan, hingga tindak pidana penghinaan atau pencemaran
nama baik yang merupakan salah satu bentuk pembatasan dari kebebasan tersebut. Studi ini
juga menyajikan penerapan dari pembatasan kebebasan berekspresi dalam konteks tindak
pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dan hubungannya dengan kebebasan
berekspresi.

Pada bagian kedua tulisan ini, saya membahas dasar hukum dari kebebasan berekspresi
yang diatur dalam DUHAM, Kovenan Sipol, sampai dengan undang-undang HAM. Kebebasan
tersebut pada dasarnya dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang HAM dan ketentuan lainnya. Pembatasan tersebut juga dapat diuji demi menghindari
pembatasan kebebasan berekspresi yang justru melanggar ketentuan itu sendiri.

Pada bagian tiga, saya menyajikan pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia yang
terdapat dalam KUHP, maupun dalam UU ITE yang sekarang justru kembali ramai
diperbincangkan, khususnya isu revisi UU ITE. Selain itu, pasal penghinaan terhadap
Presiden/Wakil Presiden dan penghinaan terhadap Pemerintah dalam KUHP yang sudah
dinyatakan tidak berlaku tetapi kembali dimasukkan ke dalam RKUHP juga ikut dibahas.

Sedangkan pada bagian empat, saya menyajikan alasan pembelaan terkait tindak pidana
penghinaan atau pencemaran nama baik. Alasan pembelaan terhadap dugaan penghinaan
terdapat dalam pasal 310 ayat (3) KUHP maupun alasan pembelaan yang berlaku secara umum.
Selain itu, terdapat pula perluasan alasan pembelaan atau pembenar dalam pengadilan
Indonesia.

2
II. Kebebasan Berekspresi, Pembatasan, Dan Implementasinya Di Indonesia

Kebebasan berekspresi sudah dikenal sejak zaman Yunani, sekitar 2400 tahun lalu, yang
dikenal dengan kebebasan berbicara tetapi, masih terbatas bagi kalangan bangsawan saat itu. 4
Konsep tersebut kemudian terus dikembangkan hingga menjadi kebebasan bagi setiap orang
dan yang kemudian kita kenal saat ini.5 Sementara itu, di Indonesia, kebebasan berekspresi
sudah diperjuangkan sejak zaman penjajahan belanda, misalnya kritik Soewardi Soerjaningrat
lewat tulisan terkait rencana perayaan kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis yang dianggap
menghasut.6 Perjuangan untuk kebebasan tersebut terus berlanjut.

Kebebasan berekspresi kemudian diakui oleh masyarakat internasional dalam Deklarasi


Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 10 Desember
1948 melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Dalam pasal 19 DUHAM disebutkan:

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan
cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (Sipol) yang diratifikasi Indonesia melalaui undang-undang 12 tahun 2005,
menyatakan:

(1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.


(2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan Informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam
bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

Sementara di Indonesia, jaminan mengenai kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945
Amandemen ke II yaitu, Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”. Selanjutnya ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Tak hanya dalam UUD, jaminan kebebasan
berekspresi di Indonesia juga dinyatakan dalam pasal 23 ayat (2) undang-undang No. 39 tahun

4
Amnestypedia, “Kebebasan Berekspresi,” Amnesty International Indonesia, 24 Februari 2021, diakses 01 Juli
2021, https://www.amnesty.id/kebebasan-berekspresi/
5
Id.
6
Id.
3
1999 tentang HAM yaitu “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar
luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun
media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Dari dasar hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa kebebasan berekspresi mencakup hal
yang luas, bukan hanya kebebasan untuk berbicara tetapi, kebebasan menyalurkan hasil pikiran
atau pendapat secara lisan maupun tulisan. Hak ini tentu saja berhubungan dengan kebebasan
untuk berserikat atau berkumpul, serta kebebasan untuk berkeyakinan dan menjalankan
keyakinan tersebut.

Akan tetapi, kebebasan berekspresi baik dalam DUHAM hingga undang-undang di


Indonesia, memiliki batasan. Dalam pasal 29 ayat (2) dan (3) DUHAM dinyatakan:

2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus


tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali
tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sedangkan dalam pasal 19 ayat (2) Kovenan Hak Sipol dinyatakan:

Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 dalam Pasal ini menimbulkan
kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan
tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum sepanjang
diperlukan untuk:

(a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;


(b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral
masyarakat.

Sementara dalam UU HAM di Indonesia, batasan kebebasan disebutkan dalam pasal 70


yaitu “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
4
sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.” Dalam pasal 73 UU HAM disebutkan pula bahwa pembatasan yang dilakukan
oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan melalui undang-undang serta ditekankan pula bahwa
pembatasan tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable rights).

Berdasarkan dasar hukum tersebut, terang bahwa meskipun terdapat jaminan untuk bebas
berekspresi, tetap diatur pula batasannya. Hampir semua negara dalam konstitusi atau undang-
undangnya membolehkan pemerintah untuk mengambil tindakan membatasi beberapa hak
berdasarkan situasi darurat di negaranya.7 Pembatasan yang bisa dilakukan salah satunya
adalah, terhadap kebebasan berekspresi. Akan tetapi, menurut Komisioner Pengkajian dan
Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan
dalam dan untuk kondisi tertentu yang tersebut harus diatur berdasarkan hukum; diperlukan
dalam masyarakat demokratis; serta untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik,
moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik serta hak dan kebebasan orang lain.8
Selain itu, menurutnya, “…dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi tidak
bisa sewenang-wenang, harus dilakukan secara legal berdasar regulasi. Perlu ada pengaturan
secara jelas agar pembatasan sesuai prinsip HAM dan merujuk pada konstitusi dan Undang-
Undang Hak Asasi Manusia, juga berdasar prinsip non diskriminatif, akuntabel dan bisa diuji
oleh publik.” Pembatasan melalui undang-undang dilakukan agar dalam proses
pembentukannya terlahir diskusi dan partisipasi serta adanya saling kontrol antara eksekutif dan
legislatif.9

Adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi tersebut tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari adanya syarat untuk menguji pembatasan yang dilakukan. Di ranah internasional
dan negara-negara pada umumnya menetapkan tiga standar pengujian pembatasan kebebasan
berpendapat, yaitu:10 (1) bahwa suatu pembatasan harus diatur dalam undang-undang; (2) suatu
pembatasan harus memenuhi salah satu tujuan yang disebutkan secara jelas dalam perjanjian;

7
“Menguji Pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Hak Berorganisasi yang Dimungkinkan
Berdasarkan Perspektif HAM,” Kontras, 07 Mei 2017, diakses 01 Juli 2021,
https://www.kontras.org/backup/data/20170507_Menguji_Pembatasan_terhadap_Kebebasan_Berekspresi_dan_H
ak_Berorganisasi_yang_Dimungkinkan_Berdasarkan_Perspektif_HAM_t3rys46u7.pdf
8
“Demi Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Komnas HAM Dukung Revisi UU
ITE,” Komnas HAM, 17 Maret 2021, diakses 01 Juli 2021,
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/3/17/1713/demi-perlindungan-hak-atas-kebebasan-
berpendapat-dan-berekspresi-komnas-ham-dukung-revisi-uu-ite.html
9
“Pembatasan Hak Berekspresi Harus Ketat dan Tidak Sewenang-wenang,” Komnas HAM, 15 Juni 2021,
diakses 01 Juli 2021, https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/6/15/1816/pembatasan-hak-
berekspresi-harus-ketat-dan-tidak-sewenang-wenang.html
10
ARTICLE 19, Buku Pedoman ARTICLE 19 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat: Hukum dan
Perbandingan Hukum, Standar dan Prosedur Internasional, (ARTICLE 19, 1993) hlm. 111.
5
(3) harus dibuktikan bahwa suatu pembatasan diperlukan. Sementara itu, dalam Standar Norma
Dan Pengaturan No. 5 Tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi,
pembatasan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dilakukan dalam lingkup: Keamanana
nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, kabar bohong, reputasi, siar kebencian, izin
terbit dan kebebasan pers.11 Sedangkan prinsip yang digunakan atas pembatasan kebebasan
tersebut menurut Komnas HAM, adalah UUD, Kovenan Hak sipol, hingga Siracusa Principle.12
Dengan demikian, batu uji yang digunakan di Indonesia pada dasarnya juga mengikuti tiga
standar yang umum digunakan di berbagai negara.

Namun standar pengujian atau uji proporsionalitas yang umum digunakan tersebut justru
memiliki kelemahan dalam penerapannya.13 Menurut Gunatilleke, penilaian normatif yang
dilakukan sering kali hanya mengacu pada penilaian terhadap uji penyeimbangan antara hak
yang dibatasi dengan kepentingan umum lainnya, sehingga gagal untuk memberikan bobot yang
jelas terhadap pembatasan hak dasar tersebut.14 Sementara di tingkatan politis, uji
proporsionalitas justru memberikan diskresi yang luas kepada pejabat negara sehingga dapat
melahirkan pembatasan yang bertujuan untuk memajukan kepentingan mayoritas. 15 Dalam
konteks ini, Gunatilleke justru mengusulkan pendekatan tambahan untuk menguji pembatasan
atas hak berekspresi yaitu, negara harus mampu untuk menunjukkan kepada setiap individu
bahwa tindakannya akan melanggar hak dasar orang lain dan pantas untuk dikenai tindakan
hukum.16

Mekanisme uji terhadap pembatasan kebebasan berekspresi penting ditekankan karena


berkaitan dengan berjalannya negara demokrasi. Kebebasan berekspresi dalam demokrasi
memiliki dua fungsi yaitu, memastikan warga negara mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk menjalankan kekuasaan kedaulatan mereka dengan cara yang terdidik, serta warga negara
mengatribusikan legitimasi baik pada sistem pemerintahan, maupun pada undang-undang
tertentu, karena mereka mampu berpartisipasi dalam wacana demokrasi.17 Menurut Mahkamah
Agung Amerika Serikat, pendapat publik sangat penting bagi demokrasi modern sehingga perlu

11
Amira Paripurna edt., Standar Norma Dan Pengaturan No. 5 Tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat Dan
Berekspresi, (Jakarta: Komnas HAM, 2021), hlm. 36-48.
12
Id., hlm. 36.
13
Gunatilleke, G, “Justifying Limitations on the Freedom of Expression,” Hum Rights Rev 22 (2021): 91–108,
https://doi.org/10.1007/s12142-020-00608-8
14
Id.
15
Id.
16
Id.
17
Ashutosh Bhagwat and James Weinstein, “Freedom of Expression and Democracy,” In: Adrienne Stone and
Frederick Schauer (edt.), The Oxford Handbook of Freedom of Speech, (United Kingdom: Oxford University
Press, 2021), hlm. 104-105, DOI: 10.1093/oxfordhb/9780198827580.013.5
6
adanya kebebasan untuk berpendapat tanpa ketakutan akan hukuman.18 Sementara itu, dalam
standar dan norma yang disusun Komnas HAM, menyatakan hal serupa.19

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa terdapat jaminan kebebasan berekspresi yang sudah
sangat jelas. Bahkan untuk pembatasan atas kebebasan tersebut pun perlu ada mekanisme
ujinya. Lalu, bagaimana implementasi jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia? Menurut
laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia, ada di bawah
Filipina, Malaysia, dan Timor Leste dengan status rezim Flawed democracy (demokrasi
cacat).20 EIU menggunakan lima indikator untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara,
yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya
politik, serta kebebasan sipil. Dalam konteks kebebasan sipil yang mencakup kebebasan
berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers, Indonesia memperoleh skor 5.59 atau
berada di bawah Filipina yang memperoleh skor 6.47.21 Indeks demokrasi Indonesia pada 2020
merupakan yang terendah dalam 14 tahun terakhir.22

Penurunan indeks demokrasi Indonesia khususnya dalam hal kebebasan sipil dalam
beberapa tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan politik. Pada 2019 dan
2020, terjadi aksi besar-besaran sebagai bentuk penolakan publik atas rancangan peraturan
perundang-undangan yang akan disahkan oleh DPR. Pada 2020 sendiri, DPR bersama
Pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja meskipun ditentang oleh masyarakat. Pada
demonstrasi menolak pengesahan RKUHP dan Revisi UU KPK pada 2019, terjadi penangkapan
besar-besaran23 dan aparat penegak hukum justru menggunakan kekerasan dalam membubarkan
demonstrasi.24 Sementara pada 2020, terjadi pelarangan aksi menolak omnibus law, seperti
Surat Edaran Kemendikbud25 maupun telegram Kapolri.26 Tak sampai di situ, pada saat
demonstrasi berlangsung, Polisi justru menghalang-halangi aksi dengan menangkap peserta

18
ARTICLE 19, supra note 15, hlm. 52-53.
19
Paripurna edt., supra note 16, hlm. 01.
20
“Democracy Index 2020: In sickness and in health?” The Economist Intelligence Unit, diakses 01 Juli 2021,
https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2020/
21
Id., hlm. 29.
22
“Indeks Demokrasi 2020: Indonesia Catat Skor Terendah dalam 14 Tahun Terakhir,” DW.com, 04 Februari
2021, diakses 01 Juli 2021, https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-
sejarah/a-56448378
23
“Demo UU KPK dan RKUHP, 232 Orang Jadi Korban, 3 Dikabarkan Kritis,” Kompas.com, 25 September
2019, diakses 01 Juli 2021, https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/25/072855665/demo-uu-kpk-dan-rkuhp-
232-orang-jadi-korban-3-dikabarkan-kritis
24
“Demonstrasi mahasiswa: Polri diminta 'hentikan cara arogan dan kekerasan',” BBC.com, 25 September 2019,
diakses 01 Juli 2021, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49820967
25
“Kemendikbud Terbitkan Surat Larangan Mahasiswa Ikut Demonstrasi Penolakan Omnibus Law,” Pikiran
Rakyat, 11 Oktober 2020, diakses 01 Juli 2021, https://bekasi.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-
12821142/kemendikbud-terbitkan-surat-larangan-mahasiswa-ikut-demonstrasi-penolakan-omnibus-law
26
“Perintah Kapolri: Intai, Larang, & Lawan Narasi Penolak UU Ciptaker,” Tirto, 05 Oktober 2020, diakses 01
Juli 2021, https://tirto.id/perintah-kapolri-intai-larang-lawan-narasi-penolak-uu-ciptaker-f5As
7
aksi yang menuju lokasi, pemukulan terhadap peserta aksi yang ditangkap, hingga pembubaran
demonstrasi dengan menggunakan kekuatan berlebih.27

Selain itu, upaya menghalangi kritik atas kebijakan pemerintah maupun serangan digital
juga terus terjadi. Pada 2019 saat ramai aksi penolakan pengesahan RKUHP dan revisi UU
KPK, Dandhy Laksono ditangkap dengan tuduhan menyebar isu SARA. 28 Sementara itu,
wartawan senior, Farid Gaban dilaporkan ke polisi dengan dugaan menyebarkan berita bohong
dan penghinaan terhadap penguasa melalui media sosial, karena mengkritik kebijakan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) terkait kerja sama dengan Blibli.29 Khusus untuk
kriminalisasi menggunakan UU ITE pada 2020, Amnesty mencatat 101 kasus.30 Menurut
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada 2020 terjadi 147 insiden
serangan digital yang mayoritas menyasar akademisi, jurnalis, dan aktivis.31 Kasus terbaru
adalah, serangan digital terhadap BEM UI setelah mengunggah meme The King of Lip Service.32

Dari penangkapan hingga serangan digital terhadap orang-orang menyuarakan pendapat


tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia memang cacat (sesuai dengan
pemeringkatan (EIU). Meski terdapat jaminan kebebasan berekspresi, justru pembatasan yang
diterapkan seperti penggunaan UU ITE justru tidak jelas cakupannya. Hal ini dapat dilihat dari
laporan terkait penghinaan menggunakan delik UU ITE. Pembatasan kebebasan berekspresi ini
khususnya pidana, dibahas pada bagian selanjutnya.

III. Tindak Pidana Penghinaan

Pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia sudah terbangun dalam tradisi panjang


KUHP dan KUHPerdata terkait dengan penghinaan. Pembatasan lain tentu saja kemudian lahir
pasca reformasi dan disahkannya UU HAM pada 1998. Pembatasan terkait kebebasan

27
“Omnibus Law: Demo tolak UU Cipta Kerja di 18 provinsi diwarnai kekerasan, YLBHI: 'Polisi melakukan
pelanggaran',” BBC.com, 09 Oktober 2020, diakses 01 Juli 2021, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
54469444
28
“Dandhy dan Ananda Badudu Dintangkap Polisi, Ini Penyebabnya,” Kompas.com, 27 September 2019, diakses
01 Juli 2021, https://nasional.kompas.com/read/2019/09/27/09540341/dandhy-dan-ananda-badudu-ditangkap-
polisi-ini-penyebabnya?page=all
29
“Muannas Resmi Polisikan Farid Gaban Terkait Kritik ke Teten,” CNN Indonesia, 28 Mei 2020, diakses 01
Juli 2021, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200528122012-12-507585/muannas-resmi-polisikan-farid-
gaban-terkait-kritik-ke-teten
30
Amnestypedia, supra note 9.
31
“Mayoritas Serangan Digital Menyasar Akademisi, Jurnalis dan Aktivis,” Kompas.com, 14 April 2021, diakses
01 Juli 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/04/14/15090821/mayoritas-serangan-digital-menyasar-
akademisi-jurnalis-dan-aktivis?page=all.
32
“BEM UI Alami Serangan Digital Usai Kritik Jokowi, Hilmi: Harusnya Bangga Ada Mahasiswa yang Peduli
Bangsa,” Pikiran Rakyat, 29 Juni 2021, diakses 01 Juli 2021, https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-
092134024/bem-ui-alami-serangan-digital-usai-kritik-jokowi-hilmi-harusnya-bangga-ada-mahasiswa-yang-
peduli-bangsa
8
berekspresi dalam konteks penghinaan, dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu, delik
dalam KUHP dan undang-undang lain yang memuat ketentuan penghinaan di beberapa
pasalnya, dan yang diatur dalam KUHPerdata.33 Dalam KUHP, Penghinaan diatur dalam bab
tersendiri yaitu BAB XVI yang terdiri dari tujuh jenis seperti menista, fitnah, hingga penghinaan
terhadap orang mati. Dalam KUHP juga terdapat bentuk khusus dari penghinaan seperti
penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) No 013-022/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
penghinaan terhadap kepala negara sahabat atau mewakili negara asing di Indonesia (pasal 142-
144 KUHP), penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia (154 KUHP), penghinaan terhadap
golongan (156 dan 157 KUHP), serta penghinaan terhadap kekuasaan umum atau badan umum
(207 dan 208 KUHP). Akan tetapi, KUHP sendiri tidak memberikan definisi yang jelas tentang
delik tersebut sehingga harus kembali melihat delik terkait penghinaan yang diatur dalam pasal
310 KUHP (menista) dan 311 KUHP (fitnah).34

Karena pembatasan kebebasan berekspresi yang ada dalam undang-undang maupun


Kovenan Hak Sipol terlalu banyak, dalam tulisan ini, saya hanya fokus pada delik penghinaan
terhadap Presiden/Wakil Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia—walaupun
sudah dicabut oleh MK tetapi muncul kembali dalam RKUHP—dan delik pencemaran nama
baik yang terdapat dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selain itu, lebih relevan membahas delik-
delik tersebut yang memang menjadi poin penting dalam tulisan ini. Meski demikian, sebelum
menyinggung delik-delik tersebut, perlu untuk membahas lebih jauh terkait penghinaan yang
diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP di mana terdapat elemen-elemen menista dan fitnah di
dalamnya.

Tindak pidana pencemaran dalam pasal 310 terbagi 2 yaitu secara lisan (310 ayat 1 KUHP)
dan secara tertulis (310 ayat 2 KUHP). Pada dasarnya, pasal 310 ayat (1) tidak menyebutkan
bahwa delik tersebut adalah pencemaran secara lisan, namun dimaknai sebagai kebalikan dari
tindak pidana pencemaran secara tertulis yang diatur dalam pasal 310 ayat (2) KUHP.35 Berikut
bunyi pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,

33
Supriyadi Widodo Eddyono et.al., Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, (Jakarta: ICJR,
2012) hlm.24
34
Id., hlm. 25.
35
Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Edisi Revisi (Malang: MNC Publishing, 2016), hlm. 82.
9
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dari pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa tindak pidana pencemaran adalah perbuatan
menyerang nama baik atau kehormatan seseorang dengan cara menuduhkan sesuatu hal yang
maksudnya supaya diketahui oleh umum. Rasa harga diri di bidang kehormatan adalah rasa
harga diri atau harkat dan martabat yang dimiliki oleh seseorang dengan disandarkan pada tata
nilai (adab) kesopanan dalam pergaulan hidup masyarakat.36 Sedangkan rasa harga diri
mengenai nama baik adalah suatu martabat yang didasarkan pada pandangan atau penilaian
yang baik dari masyarakat terhadap seseorang dalam hubungan pergaulannya dalam
masyarakat.37 Jadi, perbuatan menyerang nama baik adalah perbuatan yang merusak pandangan
yang baik oleh masyarakat terhadap orang yang diserang.38

Menuduhkan perbuatan tertentu dalam tindak pidana penghinaan haruslah suatu perbuatan
tertentu, bukan dengan ucapan yang tidak sopan seperti goblok, malas, anjing, dan lain
sebagainya.39 Tuduhan tersebut harus pula merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai masyarakat atau norma-norma yang ditegakkan, misalnya menuduh bahwa si A
adalah maling atau beternak babi ngepet. Akan tetapi, tuduhan tersebut haruslah benar-benar
ditujukan untuk diketahui umum, karena memang sedari awal niat pelaku dalam tindak pidana
ini adalah mencemarkan nama baik seseorang di muka umum.

Sementara itu, apabila melihat rumusan pasal 311 ayat (1) KUHP, tindak pidana fitnah pada
dasarnya tetap memiliki hubungan dengan pasal 310 KUHP. Fitnah juga mensyaratkan adanya
pencemaran baik tertulis maupun secara lisan. Berikut rumusan pasal 311 ayat (1) KUHP:

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan


untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

36
Id., hlm. 84.
37
Id., hlm. 84.
38
Id., hlm. 84.
39
Id., hlm. 86.
10
Namun perbedaan antara fitnah dengan pencemaran dalam pasal 310 KUHP adalah, adanya
unsur dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya,
dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui. Dalam hal membuktikan
kebenaran hal yang dituduhkan, kita mesti melihat pasal 312 KUHP, yang menyatakan bahwa
pembuktian kebenaran dilakukan jika Hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran
perbuatan Terdakwa memang dilakukan untuk kepentingan umum atau untuk membela diri,
serta jika yang dituduh adalah pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya.

Pada dasarnya, diminta atau tidaknya Terdakwa untuk mengajukan pembelaan, Terdakwa
bersama penasihat hukumnya pasti akan mengajukan pembelaan berupa nota pembelaan,
menghadirkan saksi, dan sebagainya. Tapi, menurut Chazawi, Hakim hanya terikat pada pasal
312 KUHP untuk menarik ada atau tidaknya tindak pidana fitnah dalam suatu kasus yang
diadili.40 Sementara, jika apa yang dituduhkan Terdakwa terbukti benar namun, di luar dari tiga
alasan dalam pasal 312 KUHP, tindak pidana fitnah (311 KUHP) tidak terjadi.41 Akan tetapi,
keadaan atau fakta tersebut hanya dapat dipergunakan untuk alasan meringankan pidana saja
bagi pelanggar pasal 310 KUHP.42

Meskipun dapat dibuktikan oleh Terdakwa bahwa tuduhannya benar, bukan berarti dia
tidak dapat dipidana. Toh, tindak pidana fitnah selalu beriringan dengan tindak pidana
pencemaran dalam pasal 310 KUHP. Jika terjadi fitnah, maka sudah pasti terjadi pencemaran.
Namun, jika terjadi pencemaran, belum tentu fitnah juga terjadi.

Mengenai unsur tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, dapat kita
artikan bahwa orang yang menuduh sebenarnya mengetahui apa yang dituduhkan tersebut.
Misalnya, Syamsul menuduh Junaedi telah mengambil kas bendahara Karang Taruna untuk
dibelanjakan sesukanya. Memang benar Junaedi mengambilnya, untuk keperluan membeli cat
tembok untuk perbaikan kantor, dan itu sudah disepakati oleh Syamsul, Junaedi, bendahara, dan
beberapa pengurus. Akan tetapi, Syamsul memang ingin menuduh Junaedi yang menjabat ketua
Karang Taruna agar namanya tercemar sehingga nantinya tidak bisa mencalonkan lagi sebagai
ketua.

Dalam ilustrasi tersebut, dapat kita lihat bahwa Syamsul sebenarnya mengetahui bahwa
uang tersebut dibelanjakan oleh Junaedi berdasarkan kesepakatan bersama, namun ia tetap
menuduhnya karena punya maksud lain. Kira-kira maksud dari unsur “bertentangan dengan apa

40
Id., hlm. 109.
41
Id., hlm. 109.
42
Id., hlm. 109.
11
yang diketahui” adalah seperti itu. Lalu bagaimana dengan pasal penghinaan terhadap
Presiden/Wakil Presiden dan penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, serta pasal
pencemaran nama baik dalam UU ITE? Hal ini diuraikan dalam poin-poin berikut.

1. Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden

Pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden (lese majeste) diatur dalam pasal 134,
136 bis, dan 137 KUHP. Dalam pasal 134 KUHP dinyatakan “Penghinaan dengan sengaja
terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Sementara pasal 136
bis KUHP menyatakan, “Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134
mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan di luar kehadiran
yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan
lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga,
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.” Sedangkan pasal
137 menyatakan:

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum


tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui
oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya,
dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi
tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.

Pasca reformasi, setidaknya terdapat enam kasus yang menggunakan pasal tersebut untuk
menghukum pelaku.43 Sebelumnya, Pemerintah atau penguasa kerap menggunakan pasal yang
terdapat dalam regulasi anti subversi yang kemudian dicabut melalui undang-undang nomor 26
tahun 1999. Namun, pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden kemudian dinyatakan
tidak memliki kekuatan hukum mengikat oleh MK melalui putusan No 013-022/PUU-IV/2006.

Dalam putusan No 013-022/PUU-IV/2006, MK berpendapat:

43
Anggara, “Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?”, ICJR, 10 April 2013, diakses 03 Juli 2021,
https://icjr.or.id/pentingkah-mengatur-kembali-penghinaan-presiden/
12
“Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan
berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah
ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih
memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi
prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran
dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga,
dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan
kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana. Terlebih lagi, ancaman pidana
terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan
untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik
yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih”44

Walaupun MK sudah menyatakan bahwa pasal tersebut sudah tidak berlaku tetapi,
Presiden/Wakil Presiden sebenarnya masih dapat melaporkan perbuatan yang dianggap
menghina dirinya. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan MK pada putusan yang sama, yaitu:

“Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik
penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan
penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam)
lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan
(bij klacht). Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu,
Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar
pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri
akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna
pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang
raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang
akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas
Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di
masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas.”45

44
Lihat putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006, hlm. 62.
45
Id., hlm. 60-61.
13
Dengan demikian, Presiden/Wakil Presiden dapat membuat aduan terkait penghinaan
terhadap pribadinya dengan dugaan pelaku telah melanggar pasal 310, 311, atau delik
pencemaran nama baik dalam UU ITE. Misalnya dalam kasus Muhammad Arsyad yang
mengedit foto Jokowi dan Megawati pada 2014, ditahan dengan dugaan melanggar pasal
pornografi dan pasal 310 dan 311 KUHP.46

Pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden memang sudah seharusnya dihapuskan karena


merupakan warisan lama. Pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden dalam KUHP
Indonesia sebelumnya ditujukan kepada perlindungan martabat raja dan ratu. Sehingga,
ketentuan tentang haatzaai artikelen dalam konteks martabat kerajaan tersebut masih relevan
jika sistem pemerintahannya adalah kerajaan, karena sesuai konstitusi, raja tidak dapat
diganggu-gugat apalagi dihina.47 Pasal tentang lese majeste ini jika ditarik lebih jauh, sudah ada
sejak zaman Romawi yang memang pada saat itu sistem yang digunakan adalah kerajaan. 48
Sementara itu, Indonesia adalah negara yang berbentuk republik dengan sistem presidensial,
sehingga sudah seharusnya tidak mempertahankan pasal tersebut. Dengan demikian, putusan
MK justru tepat dengan menghapus pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden.

Akan tetapi, dalam Rancangan KUHP yang baru, pasal penghinaan terhadap
Presiden/Wakil Presiden justru dimasukkan kembali. Upaya ini justru menghadirkan
permasalahan tersendiri karena secara jelas MK sudah menyatakan bahwa pasal tersebut tidak
sesuai konstitusi. Dengan demikian, jika pasal tersebut dimasukkan kembali, ke depan hanya
akan terjadi tindakan yang sama, yaitu kembali menguji ke MK—yang belum tentu akan
hasilnya sama dengan putusan yang sudah ada sebelumnya.

2. Penghinaan terhadap Pemerintah (Haatzaai Artikelen)

Haatzaai artikelen sebenarnya tersebar luas di dalam KUHP Indonesia, termasuk pula
dengan pasal penghinaan Presiden atau Wakil Presiden.49 Akan tetapi, dalam tulisan ini, saya
hanya membahas pasal penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 154 dan 155
KUHP. Dua pasal ini sebenarnya juga sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK melalui putusan
Nomor 6/PUU-V/2007. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan:

46
“4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum,” Hukum Online, 22 April 2016, diakses 03
Juli 2021, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4-kasus-penghinaan-terhadap-presiden-yang-
diproses-hukum
47
Supriyadi W. Eddyono, Fajrimei A Gofar, dan Adiani Viviana, Tindak Pidana Penghinaan terhadap
Pemerintah yang Sah dalam R KUHP, (Jakarta: ICJR, 2016), hlm. 17
48
Jauza Akbar Renggana, “Revisi KUHP: Halo Dari Lese Majeste,” FH Unpad, diakses 03 Juli 2021,
https://fh.unpad.ac.id/revisi-kuhp-halo-dari-lese-majeste/#_ftn3
49
Lihat pasal Pasal 134, 136, 137, 154, 155, 156, 157, 160, 161, 207, dan 208 KUHP.
14
Bahwa kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155
KUHP di atas adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya
unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan
akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut
menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat
ditafsirkan menurut selera penguasa…Pasal 154 dan 155 KUHP juga dapat dikatakan
tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan
berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka
dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Namun, ketentuan tentang makar sudah diatur
tersendiri dalam pasal lain dan bukan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP tersebut
di atas. Dalam Wetboek van Strafrecht Belanda sendiri, yang sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya merupakan sumber dari KUHP, tidak terdapat ketentuan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. Bahkan, pada saat
munculnya ide untuk memasukkan ketentuan demikian ke dalam KUHP Belanda pada
abad ke-19, Menteri Kehakiman Belanda ketika itu secara terang-terangan menyatakan
penolakan terhadap usul demikian dengan mengatakan, “De ondergeteekende zou deze
bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale
samenleving, zeker niet voor het Rijk in Europa willen overnemen” (Peraturan di bawah
ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial,
jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara di Eropa).50

Secara lengkap bunyi pasal 154 adalah:

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau


penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sedangkan pasal 155 KUHP menyatakan:

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau


lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

50
Lihat putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007, hlm. 77-78.
15
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya
menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan
dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Haatzaai artikelen dapat diartikan sebagai pasal-pasal dalam KUHP yang mengandung
ancaman pidana bagi siapa saja yang menyatakan perasaan, penghinaan, kebencian,
permusuhan kepada pemerintah atau golongan-golongan tertentu dalam negara lewat lisan atau
tulisan.51 Seperti yang disebutkan dalam pertimbangan MK, pasal penghinaan terhadap
pemerintah, yaitu 154 dan 155 KUHP hanya terdapat dalam KUHP Indonesia, sementara
KUHP Belanda sendiri tidak memuat ketentuan seperti itu. Tetapi, kenapa justru terdapat
perbedaan, bukankah KUHP berlaku di Indonesia dengan asas konkordansi? Ini sebenarnya
berhubungan dengan politik penjajahan pada saat itu, sehingga pasal yang berasal dari British
Indian Penal Code tersebut dianggap cocok diterapkan di Indonesia untuk memerangi aktivitas
pejuang kemerdekaan melalui lisan atau tulisan.52 Soekarno adalah orang yang pernah dipenjara
selama empat tahun karena pasal haatzaai artikelen dengan dakwaan utama 169 KUHP yang
terhubung dengan pasal 161, 171, dan 153 bis KUHP. 53

Selain itu, pasal 154 dan 155 KUHP adalah pasal karet karena bisa saja apa yang diucapkan
oleh setiap orang hanya sebagai kritik tetapi bagi pemerintah, ucapan tersebut merupakan
penghinaan atau kebencian terhadapnya.54 Hal ini tentu saja sudah bertentangan dengan
Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dimana kritik yang isinya sepakat
atau tidak sepakat dengan pemerintah diperbolehkan. Bahkan kritik dan tuntutan untuk
mengganti Presiden asal sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan juga
dapat saja dilakukan.

Akan tetapi, pasal yang mirip dengan pasal 154 dan 155 justru dimasukkan kembali ke
dalam RKUHP. Dalam draf RKUHP 2019, penghinaan terhadap kekuasaan umum atau
lembaga negara diatur dalam BAB IX tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum Dan
Lembaga Negara. Penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara terdapat dalam
pasal 353 dan 354 RKUHP. Padahal jika dihubungkan dengan Komentar Umum PBB No. 34
Komite HAM, menekankan bahwa figur publik termasuk lembaga negara adalah sah untuk

51
Rudy Satriyo M., “Haatzai Artikelen Dan Fungsi Kritik Dari Pers,” Jurnal Hukum Dan Pembangunan No. 03
Tahun XXVI (1996):183-190.
52
Id., hlm. 184.
53
Shidarta, "Lagi-Lagi Haatzaai Artikelen," Binus.ac.id, Februari 2018, diakses 04 Juli 2021, https://business-
law.binus.ac.id/2018/02/26/lagi-lagi-tentang-haatzaai-artikelen/
54
Satriyo M., supra note 48, hlm. 185-186.
16
dikritik.55 Selain itu disebutkan pula keprihatinan PBB dengan adanya hukuman terhadap
penghinaan, pencemaran nama baik, atau perlindungan kehormatan terhadap pejabat publik.
Bahkan komentar umum PBB tersebut menyatakan bahwa negara-negara pihak harus
mempertimbangkan untuk tidak memidana perbuatan seperti pencemaran nama baik, karena
biar bagaimanapun, pidana hanya dijatuhkan pada kasus yang lebih serius. 56 Perlu pula
diketahui bahwa Komentar Umum PBB No. 34 tersebut merupakan interpretasi resmi terkait
pasal 19 Kovenan Sipol yang menggantikan Komentar Umum No. 10. Sementara itu, dalam
Johannesburg Principles dinyatakan bahwa seseorang seharusnya tidak dapat dihukum atas
kritik dan penghinaan (insult) terhadap negara dan simbol-simbol negara, kecuali bahwa kritik
dan penghinaan tersebut dimaksudkan untuk menghasut kekerasan yang nyata (imminent
violence).57 Dengan demikian, upaya memasukkan kembali pasal-pasal haatzaai artikelen ke
dalam RKUHP hanyalah upaya untuk mengekang kebebasan berekspresi di Indonesia yang
pada dasarnya dijamin dalam konstitusi dan undang-undang.

3. Pencemaran nama baik dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE

Bunyi pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.

Pasal ini bisa dikatakan sebagai bentuk khusus penghinaan, yang masih berhubungan
dengan delik penghinaan dalam KUHP. Dalam pengujian pasal 27 ayat (3) UU ITE, MK
menyatakan bahwa pasal ini masih konstitusional karena delik penghinaan yang diatur dalam
KUHP tidak dapat menjangkau penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia
maya.58 Dalam putusan MK nomor 50/PUU-VI/2008, pasal 27 ayat (3) dikategorikan sebagai
delik aduan, dengan pertimbangan bahwa pasal tersebut tidak dapat dipisahkan dari unsur pokok
penghinaan yaitu pasal 310 KUHP dan 311 KUHP yang juga merupakan delik aduan.

Tapi, permasalahan dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan cuma tentang delik aduan atau
bukan. Terdapat masalah dalam pengaturannya. Pasal ini adalah delik formal yang tidak
memerlukan adanya akibat yang ditimbulkan suatu perbuatan. Sehingga, walau tidak jelas

55
Lihat Human Rights Commite, General Comment No. 34, paragraf 38.
56
General Comment No. 34, paragraf 47.
57
Amira Paripurna edt., supra note 8, poin 90, hlm. 18.
58
Supriyadi W. Eddyono, Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya (Jakarta:
ELSAM, 2014), hlm. 14.
17
adanya kerugian yang terjadi, pasal ini bisa tetap digunakan.59 Sementara jika dibandingkan
dengan delik penghinaan dalam KUHP, hanya dapa ditemukan kesamaan yaitu unsur
kesengajaan dan unsur menyerang kehormatan atau nama baik.60

Sementara sanksinya, setelah diubah menjadi UU nomor 19 tahun 2016, adalah 4 tahun
atau denda. Sebelumnya, sanksi bagi yang melanggar delik ini adalah 6 tahun (UU ITE nomor
11 tahun 2008). Meski sudah terdapat perubahan, unsur pasal 27 ayat (3) tidak berubah. Jadi
yang berubah hanya sanksi pidananya, serta tambahan pada bagian penjelasan bahwa pasal
tersebut mengacu pada KUHP.

Karena dalam perubahan UU ITE tersebut tidak ada perubahan delik, maka masalah yang
terdapat dalam unsur tersebut masih tetap relevan untuk dibahas. Pertama adalah unsur dengan
sengaja dan tanpa hak. Kesengajaan dalam konteks ini berarti menghendaki dan mengetahui,
yang harus dihubungkan dengan unsur yang ada di depannya yaitu “tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya.” 61

Unsur tanpa hak menjadi masalah karena UU ITE (termasuk perubahannya) tidak
memberikan pengertian terkait unsur ini. Dalam praktiknya, Hakim kemudian menafsirkan
sendiri unsur ini, misalnya dalam kasus Diki Candra, hakim menyatakan bahwa pada Pasal 27
(3) UU ITE mencantumkan unsur tanpa hak yang ditujukan agar orang berhak melakukan
perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
tidak boleh dipidana.62 Sementara dalam kasus yang lain, Hakim menafsirkan unsur tanpa hak
sebagai ‘Terdakwa tidak mempunyai hak atau tidak mempunyai ijin dari pihak yang
berwenang’.63 Dengan banyaknya penafsiran, akhirnya penjelasan mengenai unsur ini jadi
sumir, padahal delik ini berhubungan dengan kebebasan berekspresi. Sehingga perlu diperjelas,
dalam konteks apa seseorang yang menyampaikan pandangannya dikatakan tidak berhak dan
harus mendapatkan ijin dari pihak berwenang?64

Unsur selanjutnya adalah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat


dapat diaksesnya. Dalam UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun

59
Id., hlm. 14.
60
Id., hlm. 15.
61
Id., hlm. 16.
62
Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik
pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia (Jakarta: ELSAM,
2014), hlm. 24.
63
Id., hlm. 24.
64
Id., hlm. 25.
18
2008 tentang ITE, unsur tersebut baru dibuat definisinya. Definisi tersebut dapat kita temukan
dalam penjelasan pasal 27 ayat (1). Berikut penjelasannya:

Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau


menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak
Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.

Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik


dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem
Elektronik.

Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain
mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau
publik.

Dalam UU ITE sebelum diperbarui, penjelasan ini tidak ada, sehingga penafsiran tentang
unsur ini merujuk pada istilah-istilah teknis dalam bidang IT atau merujuk pada KBBI. Karena
saat itu tidak ada penjelasan mengenai unsur tersebut, akhirnya, unsur-unsur kunci dalam pasal
ini jadinya tidak jelas.65

Dalam unsur selanjutnya yaitu memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik. Unsur ini menjadi masalah karena perumusan perbuatannya justru menjadi tidak jelas.
Jika kita melihat pasal 310 KUHP, pasal pencemaran justru merumuskan bentuk perbuatan dari
tindak pidana pencemaran, yaitu menyerang kehormatan orang lain dengan menuduhkan
sesuatu. Hal ini tidak terdapat dalam penjelasan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Akibatnya,
pengertian ini cenderung kabur karena kata kerja menghina tergolong kata yang pemaknaannya
dapat bersifat subyektif. Sesuatu perbuatan yang dibahas akan menghina oleh suatu penutur
dapat saja tidak disebut menghina oleh penutur yang lain atau oleh penutur yang diajak
berbicara atau yang menjadi obyek dari apa yang dikatakan menghina itu.66 Dapat dibayangkan,
jika informasi bahwa kemudian disebarkan, maka apakah orang yang ke dua, ke tiga itu juga
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang misalnya.67 Hal ini berbeda dengan frasa yang

65
Anggra et al., Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan Pengadilan: Pertimbangan
Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik di Indonesia (Jakarta: ICJR, 2016), hlm. 12.
66
Eddyono, supra note 55, hlm. 19.
67
Id., hlm. 19.
19
digunakan dalam pasal 310 KUHP, yang memang biasanya orang yang menghina adalah orang
pertama.

Penerapan pasal 27 ayat (3) dapat kita jumpai dalam berbagai putusan pengadilan. Salah
satu kasus yang paling sering disebut adalah kasus Prita Mulya Sari. Tapi, sebaiknya melihat
penerapan pasal ini secara umu saja.

Tidak jelasnya kategori atau bentuk penghinaan dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE, akhirnya
berbagai bentuk ekspresi juga dianggap sebagai penghinaan. Misalnya, kasus Johan Han,
seorang motivator yang mengakui bahwa apa yang dituliskannya di Facebook tidak mempunyai
maksud apa-apa dan hanya berkomentar atas sesuatu yang sedang ramai dibahas di media. 68
Setelah diprotes Johan Han lalu menghapus tulisannya dan minta maaf. Namun, ia tetap
dilaporkan dan dijadikan sebagai tersangka.69

Dalam perkara Benny Handoko, nomor putusan 1333/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL, juga


demikian.70 Handoko dijadikan sebagai tersangka dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Kasus ini bermula dalam perdebatan di Twitter, saat itu Terdakwa menganggap bahwa si
pelapor adalah perampok Bank Century namun dianggap sebagai pembongkar kasus bank
Century. Twit dari Terdakwa kemudian dibalas dengan dimintai klarifikasi atas pernyataannya.
Pada hari yang sama Handoko tetap pada pernyataannya dengan menambahkan beberapa
informasi. Namun, dirinya tetap dilaporkan ke polisi (kasus posisi ini saya ringkas dari Anotasi
Putusan yang disusun oleh Muhammad Rizaldi).71

Kembali pada jaminan kebebasan berekspresi, keberadaan pasal 27 ayat (3) UU ITE justru
hanya dijadikan sebagai tameng oleh penguasa. Dalam studi penerapan delik penghinaan yang
dipublikasikan oleh ICJR pada 2012, kasus-kasus penghinaan justru lebih banyak dilaporkan
oleh pejabat publik dibandingkan dengan masyarakat biasa.72 Hal ini tentu saja sudah
bertentangan dengan komentar umum PBB No. 34 maupun Johannesburg Principles yang pada
intinya, kritik atau “penghinaan” terhadap pejabat publik maupun lembaga pemerintahan
seharusnya sah tidak dipidana.

Selain itu, dalam studi yang dilakukan oleh ICJR terkait penerapan delik dalam UU ITE
pada 2016 sampai 2019, terdapat 768 perkara pidana yang 286 (37%) di antaranya merupakan

68
Djafar dan Abidin, supra note 59, hlm. 29.
69
Id., hlm. 29.
70
Selengkapnya lihat Muhammad Rizaldi peny., Anotasi Putusan Pencemaran Nama Baik melalui Media
Internet No. Register Perkara: 1333/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL (Terdakwa Benny Handoko), (Depok: MaPPi-
FHUI, 2015).
71
Id., hlm. 7-9.
72
Eddyono et.al., supra note 30, hlm. 41.
20
pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE.73 Pasal lain yang
digunakan adalah 27 ayat (1) tentang kesusilaan dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Sebanyak 96,8 % dari perkara tersebut dikenai hukuman dengan 88% di antaranya adalah
penjara.74 Penggunaan pasal dalam UU ITE tersebut tidak terlepas dari penafsiran pasal yang
berbeda-beda karena tidak adanya penjelasan yang memadai terkait unsurnya, sehingga
penerapannya sering kali tidak sesuai dengan tujuan awal saat pasal tersebut dirumuskan.75
Dengan demikian, UU ITE justru telah gagal membuat perlindungan terhadap kebebasan
berekspresi serta hanya menjadi alat yang efektif untuk menyebar ketakutan terhadap warga di
ruang siber untuk berpendapat.76

IV. Alasan Pembelaan Dalam Pidana Penghinaan

Terkait dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik, menurut Komentar
Umum PBB, harus menyertakan pembelaan.77 Alasan pembenar atau pembelaan terkait dengan
penghinaan secara jelas diatur dalam pasal 310 ayat (3) KUHP yaitu, “Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum
atau karena terpaksa untuk membela diri.” Berdasarkan pasal tersebut, ada dua alasan
pembelaan yang dapat diajukan dalam tindak pidana pencemaran yaitu, untuk kepentingan
umum dan membela diri karena terpaksa. Sementara itu, dalam Standar Norma dan Peraturan
No. 5, disebutkan tiga pembelaan yang dapat diajukan dalam kasus penghinaan yaitu: 78

1. Substantial truth, yaitu berlaku terhadap pernyataan yang dipermasalahkan, padahal


secara substansial benar, maka seseorang dapat dibebaskan dari tanggung jawab
hukum.
2. Reasonable publication yang berlaku apabila suatu pernyataan yang menjadi perhatian
publik nyata-nyata salah, maka selama beralasan bagi seseorang yang ada di posisi yang
sama untuk mendiseminasikan informasi yang tersebut, seseorang bisa dilepaskan dari
tanggung jawab hukum. Pembelaan ini biasanya digunkan oleh Jurnalis.
3. Innocent publication dan menyampaikan pernyataan orang lain (words of other).
Seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila tidak bisa menyampaikan pernyataan

73
Putri Kusuma Amanda peny., Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber: Studi Tentang Penerapan
UU ITE di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2021), hlm. 128.
74
Id.
75
Id.
76
Id.
77
Human Rigth Commite, General Comment No. 34, paragraf 47.
78
Amira Paripurna edt., supra note 8, poin 227, hlm. 42.
21
orang lain secara akurat. Selain itu, seseorang tidak pula dapat dipersalahkan atas
pernyataan yang tidak ditulis, sunting, maupun dipublikasikan dimana ia tidak tahu atau
tidak punya alasan untuk mempercayai bahwa telah terlibat dalam penyebarluasan
pernyataan yang dianggap mengandung penghinaan.

Berdasarkan riset ICJR 2012, alasan pembelaan terhadap tindak pidana penghinaan telah
berkembang dalam putusan pengadilan. Berikut adalah alasan pembelaan menurut temuan ICJR
(enam poin pembelaan di bawah ini sepenuhnya saya ringkas dari riset ICJR, 2012):79

1. Di muka umum
Alasan ini menjadi pembelaan yang umum digunakan. Menurut putusan perkara No 35
PK/Pid/2010 Mahkamah Agung menyatakan bahwa “yang dibicarakan antara Terdakwa
dengan para saksi adalah bersifat pribadi tidak di tempat umum”. Dalam perkara yang
lain, No. 56/Pid.B/2011/ PN.BS, Pengadilan menyatakan bahwa bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa tidak mempunyai tujuan
untuk menyiarkan tuduhan dan tidak dihadiri lebih dari dua orang dan tidak ada orang
lain di antara mereka”.
2. Kepentingan umum
Alasan pembelaan ini, juga sudah tercantum dalam pasal 312 KUHP serta menjadi dasar
yang paling banyak digunakan. Misalnya dalam menyampaikan kritik terhadap
penipuan RSCM Omni Internasional Tangerang, putusan No. 1269/
Pid.B/2009/PN.TNG menyatakan bahwa “tidak bermuatan penghinaan dan atau
pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan
umum agar masyarakat terhindar dari praktik-praktik rumah sakit dan/atau dokter yang
tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang
mengharapkan sembuh dari penyakit”.
3. Good Faith Statement
Pembelaan ini bisa kita jumpai dalam putusan No. 1378 K/Pid/2005, Mahkamah Agung
telah menyatakan “bahwa isi surat yang dikirim kepada saksi Dr. S. J. M Koamesah
merupakan klaim atas tanah yang menyangkut perkara perdata, karena Terdakwa merasa
berhak atas tanah yang dikuasai saksi; bahwa tembusan surat yang dikirim Terdakwa
adalah ditujukan kepada pejabat resmi seperti Kapolres, Kajari dan Ketua Pengadilan
Negeri yang berkualitas sebagai penegak hukum. Hal ini logis karena klaim Terdakwa
menyangkut masalah hukum. Tembusan surat juga ditujukan kepada aparatur

79
Eddyono et.al., supra note 30., hlm. 73-87.
22
pemerintahan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti BPN, Camat dan
Kelurahan.”
4. Kebenaran pernyataan (truth)
Dalam praktik, ini juga dijadikan sebagai alasan pembenar, misalnya dalam putusan No.
1430 K /Pid/2011 dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa “Bahwa, apa yang
dikatakan oleh Terdakwa bahwa Indra Suheri pernah meminta 2 (dua) unit ruko (rumah
toko) kepada Benny Basri adalah benar berasal dari perkataan Benny Basri sendiri ketika
berada di Hotel Tiara.”
5. Mere Vulgar Abuse
Maksudnya, sebuah pernyataan yang vulgar namun tidak dianggap sebagai menghina
karena tidak ada maksud untuk merendahkan. Misalnya putusan Nomor: 02/Pid/2011/
PT. Sultra dimana Pengadilan berpendapat “menurut Pengadilan Tinggi dari gerakan
tangan terdakwa dan demikian pula dengan kata-katanya yaitu “SUNTILI” yang berarti
KESAL, hal tersebut sama sekali bukan merupakan penghinaan, tetapi hanya ungkapan
rasa KESAL dari Terdakwa kepada diri terdakwa sendiri yang tidak ditujukan kepada
korban.”
6. Priviledge and malice
Menurut ICJR, walau tidak diatur dalam undang-undang, praktik ini sering ditemukan.
Misalnya dalam Laporan ke Penegak hukum bukanlah penghinaan/perbuatan
melawan hukum, putusan No.1304 K/Pid/2009 dimana Mahkamah Agung berpendapat
“perbuatan Terdakwa bukan merupakan perbuatan pidana sebab melaporkan Jhonny
Kim kepada Penegak Hukum in casu Kepolisian tidak dapat dikualifikasikan sebagai
pengaduan fitnah”.
Dalam konteks kode etik profesi, putusan No. 2012 K/Pid/2008, Mahkamah Agung
juga menegaskan “Bahwa Terdakwa sebagai advokat memang dilindungi hak dan
kewajibannya menurut UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat; akan tetapi tidak
seorang pun yang dilindungi oleh hukum bilamana ia telah menyebarkan berita bohong
yaitu mencemarkan nama baik seseorang”. Lebih lanjut dalam putusan tersebut juga
ditegaskan “Bahwa seorang Advokat tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana
dalam melaksanakan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya; Bahwa tugas profesi
Advokat adalah mulia sebagaimana ia tidak boleh menyebarkan fitnah atau berita yang
tidak benar.”
Terdapat pula alasan pemegang hak berdasarkan UU, dapat kita temukan dalam
putusan No. 626 K/Pid/2008, Mahkamah Agung menyatakan “Surat Terdakwa kepada

23
saksi korban bukan pencemaran nama baik karena sesuai dengan hak Terdakwa sebagai
pemegang hak paten, mengingatkan yang menggunakan haknya tanpa ijin dari
pemegang hak paten dalam hal ini Terdakwa.”

Dalam riset yang lain, ICJR juga menemukan alasan pembenar dalam kasus penghinaan
berdasarkan UU ITE, misalnya dalam putusan nomor 116 /PID/2011/PT.DPS, di mana Hakim
mempertimbangkan subjektivitas serta perilaku saksi korban yang tidak konsisten menjadi titik
tekan pengadilan.80 berikut ini adalah pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar:81

“Menimbang, bahwa sebaliknya semua alat bukti Jaksa Penuntut Umum (baik saksi
maupun surat) tidak ada satupun yang dapat membuktikan bahwa, saudara Anton
(saksi korban) adalah orang yang benar-benar dapat dipercayai (bukan manusia
berkepala dua), khususnya dalam tugasnya sebagai Pengurus Dewan Paroki (gereja)
yang diangkat resmi oleh Uskup setempat ;”

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka


Pengadilan Tinggi Denpasar berpendapat bahwa, perbuatan pidana penghinaan yang
didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa : Herrybertus. J.J.Calame,Spd.
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, seperti tersebut dalam dakwaan Jaksa
Penuntut Umum di atas

Majelis Hakim mengambil pertimbangan tersebut dengan melihat latar belakang


pelapor yang tidak konsisten terhadap penyelesaian masalah dan dengan sikapnya
sebagai pengurus gereja dan sudah terjadi kesepakatan perdamaian atara terdakwa
dengan pelapor”

Alasan pembenar dalam tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut
telas banyak berkembang. Dalam hukum internasional pun demikian. Misalnya, dalam
komentar umum Komisi HAM PBB no. 34 poin 47, menyatakan bahwa kritik dan untuk
kepentingan umum seharusnya menjadi dasar pembelaan.82 Lebih jauh, komentar komisi HAM
PBB juga menganjurkan agar tindak pidana penghinaan sebaiknya didekriminalisasi, atau jika
memang ada seseorang yang didakwa dengan pasal tersebut, seharusnya disidang secepatnya
karena akan membatasi pelaksanaan hak kebebasan berekspresi.

80
Anggara et al., supra note 62, hlm. 35.
81
Id., hlm. 35.
82
Human Rights Committee, General Comment No. 34, paragraf 47.
24
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

“Democracy Index 2020: In sickness and in health?” The Economist Intelligence Unit. Diakses
01 Juli 2021. https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2020/

Amanda, Putri Kusuma., Peny. Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber: Studi
Tentang Penerapan UU ITE di Indonesia. Jakarta: ICJR, 2021.

Anggara, A., Asep K., Supriyadi W. Eddyono, Erasmus A.T. Napitupulu, Bintang W. Ajie, &
Ajeng G. Kamilah. Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan
Pengadilan: Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3)
UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia.
Jakarta: ICJR, 2016.

ARTICLE 19. Buku Pedoman ARTICLE 19 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat:


Hukum dan Perbandingan Hukum, Standar dan Prosedur Internasional. ARTICLE 19,
1993.

Bhagwat, Ashutosh and James Weinstein. “Freedom of Expression and Democracy.” In:
Adrienne Stone and Frederick Schauer (edt.). The Oxford Handbook of Freedom of
Speech. United Kingdom: Oxford University Press, 2021. DOI:
10.1093/oxfordhb/9780198827580.013.5

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Edisi Revisi. Malang: MNC Publishing,
2016.

Djafar, Wahyudi., dan Zainal Abidin. Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik
pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di
Indonesia. Jakarta: ELSAM, 2014.

Eddyono, Supriyadi W. Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah
Maya. Jakarta: ELSAM, 2014.

Eddyono, Supriyadi W., Fajrimei A Gofar, & Adiani Viviana. Tindak Pidana Penghinaan
terhadap Pemerintah yang Sah dalam R KUHP. Jakarta: ICJR, 2016.

25
Eddyono, Supriyadi W., Sryana, S., & Wahyu Wagiman. Analisis Situasi Penerapan Hukum
Penghinaan di Indonesia. Jakarta: ICJR, 2012.

Gunatilleke, G. “Justifying Limitations on the Freedom of Expression,” Hum Rights Rev 22


(2021): 91–108. Acessed June, 30 2021. https://doi.org/10.1007/s12142-020-00608-8

Paripurna, Amira., Edt. Standar Norma Dan Pengaturan No. 5 Tentang Hak Atas Kebebasan
Berpendapat Dan Berekspresi. Jakarta: Komnas HAM, 2021.

Renggana, Jauza Akbar. “Revisi KUHP: Halo Dari Lese Majeste.” FH Unpad. Diakses 03 Juli
2021. https://fh.unpad.ac.id/revisi-kuhp-halo-dari-lese-majeste/#_ftn3

Rizaldi, Muhammad., Peny. Anotasi Putusan Pencemaran Nama Baik melalui Media Internet
No. Register Perkara: 1333/Pid.Sus/2013/PN.JKT.SEL (Terdakwa Benny Handoko).
Depok: MaPPi-FHUI, 2015.

Satriyo M, Rudy. “Haatzai Artikelen Dan Fungsi Kritik Dari Pers,” Jurnal Hukum Dan
Pembangunan No. 03 Tahun XXVI (1996): 183-190.

Artikel Media dan Berita

“4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum.” Hukum Online. 22 April
2016. Diakses 03 Juli 2021.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4-kasus-penghinaan-
terhadap-presiden-yang-diproses-hukum.

“BEM UI Alami Serangan Digital Usai Kritik Jokowi, Hilmi: Harusnya Bangga Ada
Mahasiswa yang Peduli Bangsa.” Pikiran Rakyat. 29 Juni 2021. Diakses 01 Juli 2021.
https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-092134024/bem-ui-alami-serangan-
digital-usai-kritik-jokowi-hilmi-harusnya-bangga-ada-mahasiswa-yang-peduli-bangsa.

“BEM UI Sebar Hoaks, Menghina Kepala Negara.” RRI.co.id. 27 Juni 2021. Diakses 30 Juni
2021, https://rri.co.id/humaniora/info-publik/1093687/bem-ui-sebar-hoaks-menghina-
kepala-negara?

“Dandhy dan Ananda Badudu Dintangkap Polisi, Ini Penyebabnya,” Kompas.com. 27


September 2019. Diakses 01 Juli 2021.

26
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/27/09540341/dandhy-dan-ananda-badudu-
ditangkap-polisi-ini-penyebabnya?page=all.

“Demi Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Komnas HAM Dukung
Revisi UU ITE.” Komnas HAM. 17 Maret 2021. Diakses 01 Juli 2021.
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/3/17/1713/demi-perlindungan-
hak-atas-kebebasan-berpendapat-dan-berekspresi-komnas-ham-dukung-revisi-uu-
ite.html.

“Demo UU KPK dan RKUHP, 232 Orang Jadi Korban, 3 Dikabarkan Kritis.” Kompas.com. 25
September 2019. Diakses 01 Juli 2021.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/25/072855665/demo-uu-kpk-dan-rkuhp-
232-orang-jadi-korban-3-dikabarkan-kritis.

“Demonstrasi mahasiswa: Polri diminta 'hentikan cara arogan dan kekerasan'.” BBC.com. 25
September 2019. Diakses 01 Juli 2021, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
49820967.

“Indeks Demokrasi 2020: Indonesia Catat Skor Terendah dalam 14 Tahun Terakhir.” DW.com.
04 Februari 2021. Diakses 01 Juli 2021. https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-
indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-56448378.

“Kemendikbud Terbitkan Surat Larangan Mahasiswa Ikut Demonstrasi Penolakan Omnibus


Law.” Pikiran Rakyat. 11 Oktober 2020. Diakses 01 Juli 2021. https://bekasi.pikiran-
rakyat.com/nasional/pr-12821142/kemendikbud-terbitkan-surat-larangan-mahasiswa-
ikut-demonstrasi-penolakan-omnibus-law.

“Mayoritas Serangan Digital Menyasar Akademisi, Jurnalis dan Aktivis.” Kompas.com. 14


April 2021. Diakses 01 Juli 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/14/15090821/mayoritas-serangan-digital-
menyasar-akademisi-jurnalis-dan-aktivis?page=all.

“Menguji Pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Hak Berorganisasi yang


Dimungkinkan Berdasarkan Perspektif HAM.” Kontras. 07 Mei 2017. Diakses 01 Juli
2021.
https://www.kontras.org/backup/data/20170507_Menguji_Pembatasan_terhadap_Kebe

27
basan_Berekspresi_dan_Hak_Berorganisasi_yang_Dimungkinkan_Berdasarkan_Persp
ektif_HAM_t3rys46u7.pdf.

“Muannas Resmi Polisikan Farid Gaban Terkait Kritik ke Teten.” CNN Indonesia. 28 Mei 2020,
Diakses 01 Juli 2021. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200528122012-12-
507585/muannas-resmi-polisikan-farid-gaban-terkait-kritik-ke-teten.

“Omnibus Law: Demo tolak UU Cipta Kerja di 18 provinsi diwarnai kekerasan, YLBHI: 'Polisi
melakukan pelanggaran'.” BBC.com. 09 Oktober 2020. Diakses 01 Juli 2021.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54469444.

“Pembatasan Hak Berekspresi Harus Ketat dan Tidak Sewenang-wenang.” Komnas HAM. 15
Juni 2021. Diakses 01 Juli 2021.
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/6/15/1816/pembatasan-hak-
berekspresi-harus-ketat-dan-tidak-sewenang-wenang.html.

“Perintah Kapolri: Intai, Larang, & Lawan Narasi Penolak UU Ciptaker.” Tirto. 05 Oktober
2020. Diakses 01 Juli 2021. https://tirto.id/perintah-kapolri-intai-larang-lawan-narasi-
penolak-uu-ciptaker-f5As.

“UI: Postingan BEM Soal Jokowi 'The King of Lip Service' Langgar Aturan.” Detik.com. 27
Juni 2021. Diakses 30 Juni 2021. https://news.detik.com/berita/d-5622116/ui-
postingan-bem-soal-jokowi-the-king-of-lip-service-langgar-aturan.

Amnestypedia. “Kebebasan Berekspresi.” Amnesty International Indonesia. 24 Februari 2021.


Diakses 01 Juli 2021. https://www.amnesty.id/kebebasan-berekspresi/.

Anggara, A. “Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?”. ICJR. 10 April 2013.


Diakses 03 Juli 2021, https://icjr.or.id/pentingkah-mengatur-kembali-penghinaan-
presiden/.

Bernie, Muhammad. “Upaya Pembungkaman di Balik BEM UI Sebut Jokowi King of Lip
Service.” Tirto.id. 29 Juni 2021. Diakses 30 Juni 2021. https://tirto.id/upaya-
pembungkaman-di-balik-bem-ui-sebut-jokowi-king-of-lip-service-ghhH.

Shidarta, S. “Lagi-Lagi Haatzaai Artikelen.” Binus.ac.id. Februari 2018. Diakses 04 Juli 2021.
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/26/lagi-lagi-tentang-haatzaai-artikelen/.

28
TENTANG NUR ANSAR

Nur Ansar adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera, angkatan 2017,
dengan bidang studi hukum pidana. Nur Ansar adalah salah satu penerima beasiswa Jentera
pada 2017. Ia dapat dihubungi melalaui:
Email: nuransar243@gmail.com
Linkedin: https://id.linkedin.com/in/nur-ansar-4489a3195
IG: nur_ansar

Tulisan-tulisan lain dari Nur Ansar dapat dilihat di:


Blog: http://nuransar.blogspot.com/
Researchgate: https://www.researchgate.net/profile/Nur-Ansar
Balai Buku Progresif: https://bukuprogresif.com/author/nur-ansar/

29

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai