Anda di halaman 1dari 17

HAK AZASI MANUSIA

Mata Kuliah Kapita Selekta Siliwangi Dan Pendidikan Bela Negara


Dosen Pengampu : Syah Khalif Alam, M.Pd

Disusun Oleh :

Ester Kezia Priskila Manurung (20010278)

Pani Afandi ( 20010064)

Hikmah Zakky Al Haetami (20010074)

Uriandi (20010129)

Ziyan Nurul Madani (20010067)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Jl. Terusan Jend. Sudirman, Baros, Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi,
Jawa Barat
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAK DAN KEWAJIBAN
WARGA NEGARA INDONESIA  ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Syah
Khalif Alam, M.Pd Pada Kapita Selekta Siliwangi Dan Pendidikan Bela Negara. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Syah Khalif Alam, M.Pd. Selaku Dosen


pembimbing yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Cimahi oktober 2021 

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Teori Hak Asasi Manusia

2.2 Perkembangan Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum di Indonesia

2.3 Kewajiban Konstitusional Negara dalam Menata HAM.

2.4 HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

2.5 Kewajiban dan Tanggung Jawab Warga Negara.

2.6 Tatanan Hukuman Mati di Indonesia

2.7 Kajian Pidana Mati Di Indonesia Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kewajiban negara menyangkut HAM secara internasional diatur dalam berbagai


instrumen hukum HAM internasional, antara lain, seperti dalam UDHR, ICCPR dan yang
telah di sebut sebelumnya, Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Toture/ CAT).
Adapun di tingkat nasional, kewajiban negara menyangkut HAM diatur dalam peraturan
perundang-undangan nasional, misalnya dalam konstitusi dan undang-undang.

Secara konkret kewajiban negara menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM)


diwujudkan dengan melindungi HAM setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara,
menjamin eksistensi HAM setiap individu dalam ketentuan hukum maupun di dalam
pelaksanaannya dan memenuhi HAM setiap individu. Misalnya terhadap hak untuk tidak
disiksa (right not to be tortured), negara harus membuat aturan hukum yang melarang
praktik-praktik penyiksaan untuk melindungi setiap indvidu dari tindak penyiksaan. Negara
juga harus menjamin bahwa setiap individu harus benar-benar bebas dari tindak penyiksaan.
Negara juga harus benar-benar memenuhi hak untuk tidak disiksa secara nyata.

Andre Sujatmoko (2015: 59) menyatakan bahwa: Secara Hukum, negara merupakan
pihak yang berkewajiban untuk melindungi (Protect), menjamin (ensure) dan memenuhi
(fulfill) HAM. Mengapa demikian?. Karena, negara merupakan pihak yang memiliki
kekuasaan (Power). Dalam kaitannya dengan HAM negara dituntut untuk tidak
menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power). Pengertian negara di sini, mencakup tidak
saja pemerintah (eksekutif), tetapi juga legislatif dan yudikatif. Termasuk di dalamnya adalah
seluruh aparatur negara/aparat penegak hukum. Dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum di ubah dengan perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya
memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-
pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:

1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunujung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, ”
3. Pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tuisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, ”.
4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepecayaannya itu”.
5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara, ”.
6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, ”Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran, ”.
7. Pasal 34 yang berbunyi. ”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang
memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi manusia,
yaitu pasal 29 ayat (2) yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sementara itu, ketentuanketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang
hak asasi manusia atau Human Rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga
negara atau The citizen’rights atau biasa jugadi sebut the citizens’ constitutional rights. Hak
konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara,
sedangkan bagi orang asing tidak di jamin. Satusatunya yang berlaku bagi tiap-tiap
penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 ayat (2) tersebut.
Selain itu, ketentuan pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide hak asasi manusia.
Akan tetapi, pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 belum
memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya
‘kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan’ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Permasalahan Adapun permasalahan yang penulis telusuri dan kaji dalam penelitian ini
adalah:

1. Bagaimanakah sistem hukum penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia.


2. Bagaimana stuasi terkini HAM yang ada di indonesia
3. Apakah kewajiban HAM terpenuhi

1.3 TUJUAN PENULISAN

1) Mengetahui hokum tindakan pelanggar HAM


2) Meningkatkan atau memenuhi HAM
3) Untuk menstruktur HAM dengan baik
BAB I PEMBAHASAN

1. Teori Hak Asasi Manusia

Dalam UU 39/1999, mengemukakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat


hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.

Menurut A. Masyhur Effendi,6 hak asasi manusia sering juga disebut hak kodrat, hak
dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights,
dan fundamental rights. Dalam bahasa Belanda dikenal grond rechten, mensen rechten, dan
rechten van mens.

John O’manique memberi pengertian Human Rights adalah tuntutan-tuntutan dari


suatu individu terhadap apa yang diperlukan untuk perkembangan didukung oleh
kepercayaan universal bahwa perkembangan tersebut adalah baik adanya suatu kepercayaan
bahwa manusia adalah variant yang keluar biasa dari kecenderungan terhadap perkembangan
yang terdapat pada semua organisme.7 Hal ini dengan cara lain dapat dinyatakan:
kecenderungankecenderungan yang terdapat pada semua organisme hidup untuk melakukan
hal-hal yang dibutuhkan bagi pembangunan telah berkembang di dalam spesies manusia
dengan cara yang bersifat luar biasa, tampil sebagai kesadaran akan tuntutan-tuntutan bagi
keperluan-keperluan tersebut. Tuntutan-tuntutan ini adalah apa yang sekarang biasa disebut
sebagai hak manusia.

Nurul Qamar, mengemukakan hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa dirumuskan sebagai hak kodratiah yang melekat dimiliki oleh manusia sebagai karunia
Tuhan kepada insan manusia dalam menopang dan mempertahankan hidup dan
prikehidupannya di muka bumi.8

Menurut Maududi, konsepsi hak asasi manusia pokok dalam Islam diartikan bahwa
setiap manusia, baik ia warga Negara yang satu atau yang lain, baik penganut maupun bukan,
tinggal di hutan atau di padang pasir, semuanya memiliki hak-hak asasi pokok semata-mata
karena dirinya manusia.9 Kemudian Maududi menguraikan beberapa hak yang wajib diakui
setiap Muslim, seperti: hak untuk hidup, hak atas keselamatan hidup, penghormatan terhadap
kesucian kaum wanita, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup pokok, hak individu atas
kebebasan, hak atas keadilan, kesamaan derajat umat manusia, dan hak untuk kerja sama dan
tidak bekerja sama.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi manusia adalah hak-hak moral yang
melekat secara kodrat pada setiap makhluk yang bersosok manusia, demi terjaganya harkat
dan martabat manusia itu sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Tahun 1948, hak asasi manusia adalah
hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai
anugerah Tuhan yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup berkeluarga, hak untuk
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan,
hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat
perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.

2. Perkembangan Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum di Indonesia

Pengaturan HAM di Indonesia mengalami pasang surut yang secara jelas dapat
dilihat melalui periodesasi sejarah Indonesia, mulai dari tahun 1908 hingga sekarang. Para
ahli biasa membagi tahap perkembangan hak asasi manusia dalam tiga generasi sesuai
dengan pengelompokan menurut bidang-bidang yang dianggap memiliki kesamaan. Hak
asasi manusia generasi pertama mencakup hak-hak sipil dan politik; Hak asasi manusia
generasi kedua mencakup hak-hak di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan Hak asasi
manusia generasi ketiga mencakup hak-hak yang bersifat individual dan kolektif, termasuk
didalamnya konsep tentang hak atas pembangunan (Right to Development). Periode
perkembangan HAM dalam hukum di Indonesia dijelaskan sebagai berikut:

a) Periode 1908-1945

HAM telah dikenal oleh Bangsa Indonesia terutama sejak tahun 1908 bertepatan
dengan kelahiran Budi Utomo, yakni di mana timbulnya kesadaran akan pentingnya
pembentukan suatu negara bangsa (nation state) melalui berbagai tulisan dalam suatu
Majalah Goeroe Desa. Konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak
atas kemerdekaan, dalam arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib
sendiri (the right of self determination). Namun HAM dalam bidang sipil, seperti hak bebas
dari diskriminasi dalam segala bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat
mulai juga diperbincangkan. Bahkan konsep mengenai hak untuk turut serta dalam
pemerintahan telah dikemukakan oleh Budi Utomo.

Perkembangan HAM di Indonesia selanjutnya tumbuh seiring dengan kemunculan


berbagai organisasi pergerakan yang intinya sebagaimana diperjuangkan oleh Perhimpunan
Indonesia yaitu hak menentukan nasib sendiri. Pada masa-masa selanjutnya, pemikiran
tentang demokrasi asli Bangsa Indonesia yang antara lain dikemukakan Hatta, makin
memperkuat anggapan bahwa HAM telah dikenal dan bukanlah hal baru bagi Bangsa
Indonesia. Perkembangan pemikiran HAM mengalami masa-masa penting manakala terjadi
perdebatan tentang Rancangan UUD oleh BPUPKI.

Supomo mengemukakan bahwa HAM berasal dari cara berpikir yang liberal dan
individualistik yang menempatkan warga negara berhadapan dengan negara, dan karena itu,
paham HAM tidak sesuai dengan “ide intergralistik dari Bangsa Indonesia”. Menurut
Supomo manusia Indonesia menyatu dengan negaranya dan karena itu tidak masuk akal mau
melindungi individu dari negara. Debat ini muncul kembali pada pertengahan Juli 1945.
Sukarno mengemukakan bahwa keadilan yang diperjuangkan bagi Bangsa Indonesia
bukanlah keadilan individual, melainkan keadilan sosial dan karena itu HAM dan hak-hak
dasar warga negara tidak pada tempatnya dalam UUD. Sebaliknya, Muhammad Hatta dan
Muhammad Yamin memperingatkan bahwa bisa saja negara menjadi negara kekuasaan dan
karena itu hak-hak dasar warga negara perlu dijamin. Akhirnya tercapailah Pasal 28 UUD
1945, dimana hak-hak dasar demokratis seperti hak untuk berserikat dan berkumpul dan
untuk menyampaikan pendapat diatur. Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang penting
utamanya pada masa KRIS 1949 dan UUDS 1950, karena kedua UUD atau konstitusi itu
memuat HAM secara terperinci. Hal itu disebabkan KRIS 1949 dibuat setelah lahirnya
Declaration of Human Right 1948, sedangkan UUDS 1950 adalah perubahan dari KRIS 1949
melalui UU Federal No. 7 Tahun 1950.

b) Periode 1950-1959

Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun sistem pemerintahan
parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945, masih
berlanjut. Kedua sistem yang menumbuhkembangkan sistem politik demokrasi liberal/
parlementer tersebut semakin berlanjut setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan
dengan berlakunya UUDS 1950 pada periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959. Bahkan pada
periode ini suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal sangat ditenggang,
sehingga dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi HAM pada periode ini
mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu”,[9] karena:

1) semakin banyaknya tmbuh partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing;


2) kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati
kebebasannya;
3) Pemilihan Umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair, dan demokratis;
4) Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakilwakil rakyat dengan melakukan
kontrol atau pengawasan;
5) wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif.

Satu hal yang penting adalah bahwa semua partai,dengan pandangan ideologis yang
berbeda-beda, sepakat bahwa HAM harus dimasukan ke dalam bab khusus yang mempunyai
kedudukan sentral dalam batang tubuh UUD. Melalui UUDS Tahun 1950, di dalamnya
dimasukkan sebanyak 36 pasal tentang HAM. Salah satu keistimewaan UUDS ini adalah
dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 21 dicantumkan tentang hak untuk melakukan
demontrasi dan mogok kerja oleh para buruh sebagai alat memperjuangkan hak-haknya
terhadap majikannya. Namun, UUDS ini tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 5 Juli
1959 Presiden Soekarno kembali memberlakukan UUD 1945.

c) Periode 1959-1966

Memasuki periode kedua berlakunya UUD 1945 yaitu sejak dikeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, gagasan atau konsepsi Presiden Soekarno mengenai demokrasi
terpimpin dilihat dari sistem politik yang berlaku yang berada di bawah kontrol/kendali
Presiden. Dalam perspektif pemikiran HAM, terutama hak sipil dan politik, sistem politik
demokrasi terpimpin tidak memberikan keleluasaan ataupun menenggang adanya kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Di bawah naungan
demokrasi terpimpin, pemikiran tentang HAM dihadapkan pada restriksi atau pembatasan
yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang
berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.

Namun ditengah suramnya perjalanan HAM, pada saat itu ada tiga konvensi HAM
yang disahkan, yaitu:

a. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan


UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984
b. Konvensi Hak Anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990
c. Konvensi Internasional Menentang Apartheid dalam Olahraga dengan Keppres
Nomor 48 Tahun 1993.

d) Periode 1966-1998

Pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan chaos


mengantarkan Indonesia kembali mengalami masa kelam kehidupan berbangsa. Presiden
Soekarno mengeluarkan Supersemar yang

dijadikan landasan hukum bagi Soeharto untuk mengamankan Indonesia. Masyarakat


Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan keadaan dimana HAM tidak dilindungi. Hal
ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap HAM. Umumnya era ini
ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk barat. Pada saat yang sama Indonesia sedang
memacu pembangunan ekonomi dengan menggunakan slogan “pembangunan” sehingga
segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM dianggap sebagai penghambat pembangunan.
Hal ini tercermin dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan pada periode ini, yang pada
umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.

Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan akademis
berpandangan bahwa HAM adalah universal. Keadaan minimnya penghormatan dan
perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1966- 1998. Banyaknya norma HAM
internasional yang diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional melalui ratifikasi
dan institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-
undangan HAM yaitu diintegrasikannya HAM dalam perubahan UUD 1945 serta
dibentuknya peraturan perundangan HAM. [10] Era reformasi MPR memasukkan
prinsipprinsip HAM dalam UUD 1945. Prinsipprinsip HAM tersebut pada pasal 28A hingga
pasal 28J UUD Tahun 1945 (amandemen).

Instrumen HAM Internasional yang diratifikasi, seperti:

a. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1999
b. Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999
c. Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi dengan Keppres Nomor 83 Tahun 1998
d. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1999
e. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999
f. Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
g. Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005

Kemudian disahkan sejumlah UndangUndang sebagai bentuk dari kesungguhan


negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan memajukan HAM bagi
warganegaranya, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat;


b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
c. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
d. Amandemen berbagai UndangUndang untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip
HAM, seperti UndangUndang Partai Politik, UndangUndang Kekuasaan Kehakiman,
pencabutan Penpres Nomor 11 Tahun 1963;
e. Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi
peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan
mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Secara normatif hal yang cukup menggembirakan dalam perlindungan HAM dalam
hukum di Indonesia adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut
penjelasan Umum dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999, posisi hukum UU tersebut
“adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM[11].
Oleh karena itu pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan
sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan’’.

3. Kewajiban Konstitusional Negara dalam Menata HAM.

Sekarang, setelah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun


1945 pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara
dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula
hanya berisi tujuh butir ketentuan.

Setya Arinanto (2000: 21) menyatakan bahwa Pasal-pasal tentang hak asasi manusia
itu sendiri, terutama yang termuat dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya
berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, untuk memahami konsepsi tentang Hak Asasi Manusia itu secara lengkap dan
historis, ketiga instrumen hukum UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
TAP MPR Nomor XVII/ MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia tersebut dapat dilihat dalam kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah di adopsikan ke dalam sistem
hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi
universal tentang hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Setelah Perubahan Kedua pada 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang apabila
digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undangundang yang berkenaan
dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37
butir ketentuan. Di antara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun atau nonderogable rights, yaitu:

1) Hak untuk hidup;


2) Hak untuk tidak di siksa;
3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4) Hak beragama;
5) Hak untuk tidak diperbudak;
6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum ; dan
7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Jimly Ashiddiqie (2006: 365) menyatakan bahwa: Hak-hak tersebut di atas ada yang
termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada
dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara
yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hakhak dan kebebasan tersebut
ada yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada
pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama
pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memilikí ”constitutional importance”
yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 . Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang
terkait dengan warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara
untuk memenuhinya. Demikan pula dengan kewenangankewenangan konstitusional yang
dimiliki oleh negara melalui organorgannya juga bertimbal balik dengan kewajiban-
kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.

Dalam hubungan ini, sesuai dengan empat rumusan tujuan bernegara di atas, setiap
warga negara berhak atas tuntutan pemenuhan tanggung jawab negara dalam meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serat dalam melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan dalam turut aktif dalam pergaulan dunia
berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Keempat tujuan ini
tidak hanya bersifat kolektif, tetapi juga bersifat individual bagi setiap warga negara Republik
Indonesia.
4. Kewajiban dan Tanggung Jawab Warga Negara.

Di samping itu, ada pula kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menjamin agar
semua ketentuan tentang hak-hak dan kebebasan asasi manusia ataupun hak dan kebebasan
warga negara seperti tersebut diatas, di hormati dan dipenuhi dengan sebaikbaiknya.
Sebaliknya, setiap warga negara juga wajib memenuhi tanggung jawabnya untuk
menghormati dan mematuhi segala hal yang berkaitan dengan kewenangan konstitusional
organ negara yang menjalankan fungsifungsi kekuasaan kenegaraan menurut undang-undang
dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, timbul doktrin
seperti misalnya, no representation without taxation ataupun no taxation without
representation. Demikian pula juga tidak boleh ada pengenaan beban atasa kekayaan warga
negara berupa pungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa persetujuan rakyat
melalui wakil-wakilnya. Bahkan, di beberapa negara, ketentuan mengenai apa saja yang
dijadikan objek pajak dan besarnya nilai kena pajak diharuskan ditentukan dalam atau dengan
undangundang. Artinya, penentuan mengenai obejk pajak dan nilai pajak tidak boleh di
tentukan sepihak oleh pemerintah, dan lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, antara
dimensi hak dan kewajiban dan antar warga negara dan orga negara dapat dikatakan saling
umpan balik.

5. HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

Tanggal 8 September 1999 merupakan tonggak sejarah bagi kebangkitan kembali


HAM yang telah lama diabaikan oleh rezimrezim sebelumya, dengan DPR telah
mengesahkan rancangan UndangUndang HAM menjadi undangundang HAM Nomor 39
tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia apabila dilihat dari aspek penghormatan serta
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia secara formal pemberlakuan undang-undang
tersebut merupakan kemajuan yang menggembirakan, meskipun sebenarnya esensi-esensi
penting mengenai HAM telah tercantum pada beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945
dan ketetapan MPR-RI No XVII/MPR/1998.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
diatur secara jelas mengenai komisi nasional hak asasi manusia (Komnas HAM).
Sebelumnya, Komnas HAM ini di bentuk Pada Tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan Keppres
Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Secara garis besar sesuai
undangundang Nomor 39 Tahun 1999, pokokpokok mengenai kebebasan dalam HAM antara
lain sebagai berikut: hak atas kebebasan pribadi: “tidak seorang pun boleh diperbudak atau di
perhamba, perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan
perbuatan berupa apapun yang tujuannya demikian dilarang.

Setiap orang berhak atas keutuhan pribadinya baik rohani maupun jasmani, tidak
boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, bebas memilih dan mempunyai keyakinan
politik, bebas berkumpul, berpendapat, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai
hati nuraninya, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum dan keutuhan bangsa. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa
diskriminasi, berhak menikmati hak hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab dalam menegakkan, melindungi dan


menghormati hak asasi manusia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah meliputi implementasi HAM dalam berbagai sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara.

6. Tatanan Hukuman Mati di Indonesia

Pengaturan pidana mati terdapat di Pasal 10 KUHP termasuk dalam pidana


pokok.Prof. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Inonesia mengatakan KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkan pidana mati atas beberapa kejahatan yang
berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah.

1) Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 104 KUHP: “Makar dengan
maksud membunuh Presiden atau wakil Presiden, atau dengan maksud merampas
kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.
2) Membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau perperang. Pasal 111 ayat 111 ayat
(2) KUHP9 ”Jika permusuhan atau perang sungguh terjadi diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.”
3) Membantu musuh saat perang Pasal 124 Ayat (3) KUHP10 “Pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun
dijatuhkan jika si pembuat;
4) Memberitahukan atau menyerahkan kepadamusuh, menghancurkan atau merusak
sesuatu tempat ataupos diperkuat atau diduduki, suatu alat penghubung, gudang
persediaan perang, atau kas perang ataupun angkatan laut,angkatan darat atau bagian
dari padanya; merintangi,mengalang-alangiatau menggagalkan suatu usaha untuk
mengenang air atau bangun tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan
lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang.
5) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya hura-hura, pemberontakan atau desersi
di kalangan angkatan perang.
6) Makar terhadap Raja atau kepala-kepala Negara sahabat dengan direncanakan dan
berakibat mautPasal 140 Ayat (3) KUHP11“Jika makar terhadap nyawa dilakukan
dengan rencana serta berakibat maut diancam denganpidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
7) Pembunuhan berencana. Pasal 340 KUHP: ”Barang siapa sengaja dan dengan rencana
lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup atau selama
waktutertentu, paling lama dua puluh tahun.” f). Pencuri dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati. Pasal 365 Ayat (4) KUHP:”Diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun,jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu,pula disertai oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam no. 1 dan 3.” g). Pemerasan dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati. Pasal 368 Ayat (2) KUHP: Diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan
oleh dua salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.” h). Pembajakan di laut,
pesisir dan sunggai yang mengkibatkan kematian. Pasal 444 KUHP”Jika perbuatan
kekerasan yang diterangkan dalam Pasal 438-441 mengakibatkan seorang di kapal
yang diserang yang diserang itu mati, maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal
dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam, dengan pidana
mati atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUUV/2002 menyatakan bahwa


hukuman mati tidak bertentangan konstitusi karena hak untuk hidup dalam semangat UUD
1945 dan sejarah Indonesia tidak dimaksudkan sebagai hak yang mutlah dan inderogable.
Selain itu instrumen internasional convenant on civil Political Rights tetap mengakomudir
hukuman mati sepanjang dipandang oleh negara anggota konvenan sebagai kejahatan yang
paling serius dan sesuai dengan hukum yang berlaku saat ini.

Penerapan pidana mati di Indonesia terdapat dapat juga di luar KUHP yaitu: a).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan dalamhal
tindak pidana korupsi sebagimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan dalam ketentuan
tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. b). Pidana mati terhadap terorisma dalam pasal 6
Undan- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

7. Kajian Pidana Mati Di Indonesia Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Pidana mati bagi pelaku kejahatan yang diputuskan oleh hakim yang berarti hakim
telah mengambil hak hidup manusia.Teaching Human Rightsyangditerbitkan oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada
diri setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup
contohnya adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat
membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia
akan hilang.12Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) merupakan elemen
pertama pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional
(International Bill of Ringhts)yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental.Dalam
pengertian hukum yang sempit, deklarasi tersebut mengindikasikan pendapat
internasional.Semua anggota PBB sepakat untuk menghormati hak asasi manusia ketika
negara tersebut terikat dalam keanggotaan ini.Negara Indonesia tidak terhindari
keterikatannya dengan DUHAM. Hak hidup dan mendapatkan perlindungan di dalam
Universal Declaratioan of Human Righats (UDHR) 13 Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hakatas kehidup, kemerdekaan dan
keselamatan seseorang”Penerapan hukuman mati di Indonesia digolongkan sebagai bentuk
hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, di samping itu sksekusi mati di Indonesia
melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights). 14DUHAM menjadi akar dari instrumen hak asasi manusia internasional, bahkan
lebih dari 60 tahun pasca penetapannya. Tidak ada satupun negara yang dapat menanggung
kerugian yang ditimbulkandari pengabdian hak asasi manusia.Sebaliknya, negara tersebut
harus memastikan penghornmatan terhadap hak dan kebebasan yang dicantumkan dalam
suatu deklarasi sebagai standar minimum.Dalam beberapa instrument, larangan hukuman
mati dimuat dalam sebuah protocol tersendiri. Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6
ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Convenant on Civil and Political RighatsICCPR)sekaligus dikuatkan lagi olehSecond
optional Protocol (Protokol Opsional Kedua) atas perjanjian internasioanl mengenai hak-hak
Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.15Keduanya mengatur
bahwa hukuman mati hanya boleh dikenakan oleh suatu keputusan final suatu pengadilan
yang berwenang sesui dengan undang-undang yang tidak retroaktif16Bahwa asas ini diulangi
untuk hukuman pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum
pidana menandakan bahwa larangan berlakusurut ini oleh pembentuk undang-undang
ditekankan bagi hukum pidana17 Asas berlaku surut (non-retroaktif). Secara asasi,semua
aturan hukum bahwa berlaku kedepan (prospektif). 18 Pasal 6 International Covenant on
Civil an Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa hak untuk hidup harus dilindungi oleh
hukum dan atas hak ini tidak dapat diperlakukan dengan sewang-wenang. Hak ini sebenarnya
telah tertunag dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 27 Ayat (2),
Pasal 28 A, Pasal 38 D Ayat (2), Pasal 28 H dan Pasal 28 I. Oleh sebab pasal 6 disebut
sebagai hak nountstandfest (pasal 4 ayat 2), ketika hak istimewa berlaku juga tidakboleh
menyimpang dari jaminan procedural.

Hak-hak asasi manusia yang dikelompokan ke dalam pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
dan hak-hak asasi yang digolongan sebagai non-derogable rights menurut Pasal 6 Ayat (2)
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)mempunyai kesamaan. Oleh
karena itu ketentuan ICCPR yang terkait dengan nonderogable rights sangat relevan untuk
dijadikan sebagai acuan dalam menafsirkan frase “Hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun” terdapat dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 oleh karena
itu, pelaksanan hukuman mati di Indonesia telah melanggar pasal di dalam instrumen-
instrumen HAM dimana orang yang dijatuhkan hukuman mati telah dirampas kehidupannya,
kemerdekaannya, dan keamanan pribadinya. Bagaimana pun juga pelaksanaan hukuman mati
adalah pemidanaan yang melangga hak untuk hidup bagi manusia. Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak
untuk hidup mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya” Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa hak hidup dilindungi oleh hukum nasional, menegaskan
hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights)

3.1 PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan uraian singkat diatas bahwa perkembangan pengaturan HAM dalam hukum di
Indonesia saat ini telah menunjukkan perkembangan yang relatif baik dan memadai jika
dibandingkan masa lalu. Hal ini berarti penghormatan dan pengakuan HAM secara normatif
oleh negara telah memperoleh kedudukan yang dalam hukum di Indonesia. Persoalannya
adalah seberapa banyak setumpuk regulasi tersebut untuk dapat diimplementasikan sebagai
upaya memberikan perlindungan dan jaminan konstitusional sekaligus penegakan hakhak
asasi manusia di Indonesia

1) HAM ada yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 ada pula yang tercantum dalam Undang-Undang tapi memiliki kualitas yang
sama pentingnya secara konstitusional sehingga memiliki “ Constitutional
Importance” yang sama, maka negara wajib untuk memenuhi hakhak warga negara.
2) Negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin HAM setiap
warga negara dihormati dan dipenuhi sebaikbaiknya, sebaliknya warga negara juga
wajib memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati dan mematuhi hal yang
berkaitan dengan kewenangan organ negara yang menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaan kenegaraan.
3) Pemerintah wajib dan bertanggung jawab dalam menegakkan, melindungi dan
menghormati hak asasi manusia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah meliputi implementasi HAM dalam
berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara

Berdasarkan pembahasan maka ada dua kesimpulan:

1) Pidana mati di Indonesia diatur pada pasal 10 KUHP termasuk pidana pokok dan
merupakan salah satu pidana pokok yang masih dipertahankan oleh Hukum Pidana
Indonesia.
2) Pengaturanpidana mati dalam sistem hukum di Indonesia bertentangan dengan hak
asasi manusia, yaitu hak hidupUndang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 9 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup
mempertahankan hidup dan meningkat kan taraf kehidupannya” Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa hak hidup dilindungi oleh hukum nasional, menegaskan hak
hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights)

DAFTAR FUSTAKA
Eko Hidayat. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Indonesia. Diakses
melalui https://media.neliti.com/media/publi cations/56534-ID-none.pdf Selasa, 26 Maret
2019

Fahrian. 2018. PeraturanHAM Sebagai Instrumen Perlindungan HAM. Diakses melalui


http://www.jdih.tanahlautkab.go.id/ berita/detail/peraturan-hamsebagai-instrumen-
perlindunganham. Selasa, 26 Maret 201

Retno Kusniati. 2012. Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya
Dengan Konsepsi Negara Hukum, hlm. 79- 92. Diakses melalui
https://onlinejournal.unja.ac.id. Kamis, 28 Maret 2019

Andrey, Sudjatmoko, 2015, Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter, Rajawali
Perss, Jakarta.

Sudikno Mertukusumo, 2014, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta

Muliadi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat.

Muliadi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat.

Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia, JakarAbdul Jalil Salam, Polemik
Hukuman Mati di Indonesia, Jakarta :Badan Litbantag dab Diklat KEMENAG RI, 2010

Anda mungkin juga menyukai