Merantaulah …
Merantaulah …
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan
Berbeda
Problematik
Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat
saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing”
yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan
ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun
tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama
“mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus.
Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang
poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada
satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak
mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan.
Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tema-
tema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di
sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya
pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia
beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar
hasil dari revisi bisa maksimal. (*)
Buku
Buku
Tebal : 60 halaman
Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau
tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin
hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas
dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang
kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu
banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al
Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat
meringkuk di balik terali besi.
Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama
Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu
mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara
Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi
ini dijebloskan rezim dengan alasan politis.
Buku
***
Buku
Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan
Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di
Paramadina)
Penulis : Nurcholish Madjid
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Tahun : Cetakan kedua, Januari 2009
Tebal : xii + 231 Halaman
Gus Dur yang dikenal sebagai guru Matori, dan Matori yang
populer sebagai murid kesayangan Gus Dur, pernah beradu di
meja hijau. Kalau diamati lagi, sebenarnya ada hubungan
emosional yang sangat kuat di antara dua kubu konflik PKB yang
terjadi pada dua masa berbeda. Jika dulu yang berkonflik
adalah Guru dan Murid, di masa Cak Imin silam, yang bertikai
adalah paman dan keponakan.
Polemik macam inilah yang nampaknya ingin dikupas oleh Gus Mus
melalui buku yang sedang diresensi ini. Dia menganggap
perseteruan tersebut tidaklah berguna dan hanya membuang
energi. Perang dingin seperti itu justru membuat rakyat,
khususnya warga NU selaku pendukung fanatik PKB, menjadi
bingung dan resah. Sementara kaum Nahdliyin (sebutan bagi
penganut NU) bimbang dan berkerut kening karena pemimpin-
pemimpinnya di atas berselisih sengit, pihak yang
berseberangan dengan mereka tentulah bertepuk tangan.
Hal serupa itulah yang sangat tidak diinginkan oleh Gus Mus,
dan tentu pula tidak diharapkan oleh semua warga Nahdliyin.
Apalagi, sebagai Ormas terbesar di negeri ini, kejadian apapun
yang mengguncang NU, sedikit banyak akan terasa getarannya di
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Gus Mus adalah sahabat Gus Dur. Mereka pernah satu sekolah di
Mesir (Universitas Al Azhar). Mereka sering terlibat diskusi
mengenai berbagai hal dan beraneka bidang kehidupan. Bahkan
orang-orang tua mereka pun sangat berkenal baik satu sama
lain. Salah satu sebabnya, mungkin karena mereka sama-sama
tokoh NU dan sama-sama keturunan dari para tokoh NU
Keakraban kedua tokoh ini sering pula jadikan alat oleh para
kyai NU untuk bisa menegur yang satu melalui yang lain.
Contohnya: ketika Gus Dur dinilai oleh para kyai NU sedang
salah melangkah dalam berpolitik, maka Gus Mus dimintai tolong
untuk mengingatkan.
Buku
Judul : Gus Dur garis miring PKB (Kumpulan
Tulisan)
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan : Kedua, 2008
Tebal : xvi + 137
Buku yang pernah terbit pada 2007 ini diramu dengan bahasa
sehari-hari. Namun, dibutuhkan kedalaman perenenungan untuk
memahaminya. Secara umum, Cak Nun seperti merangkum cerita
pribadi para penikmat Maiyahan. Dalam pengantar, pria
kelahiran Jombang itu mengklaim dirinya sekadar “editor” dalam
kumpulan artikel inspiratif ini.
Resensi Buku
Judul : Orang Maiyah
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2015
Tebal : viii + 100 halaman
“Kenapa Syiekh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi
tanpa sengaja menghujamkan tongkatnya di kaki syiekh?”
Buku
Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada
Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para
awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR.
Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di
kampus Airlangga.
Buku