Anda di halaman 1dari 26

Antara Imam Syafii dan

Kumpulan Cerita Pendek


“Merantau”
Salah satu idola saya, yang namanya nyaris tiap hari
didengung-dengungkan di Pondok Pesantren Gontor adalah Imam
Syafii. Dia membuat puisi yang mahsyur. Yang di Indonesia,
setelah melalui proses penerjemahan, kerap diberi judul
Merantau.

Imam Syafii, yang jalan pikirannya dipegang sepenuh hati oleh


mayoritas muslim Indonesia, dan kemudian populer dengan
istilah Mahzab (aliran) Syafii, selalu menjadi inspirasi para
santri. Semua ucapannya terukur, tidak sembarangan. Termasuk,
omongannya dalam puisi tersebut. Esensi sajak yang terangkum
pula pada kitab Diwan Asy Syafii itu, selalu diingat para
santri, yang mengagumi Imam Syafii, sampai ke darah-darah
kami.

Terjemahan bebas puisi tersebut di bawah ini, saya kutip dari


alumnus Gontor Ahmad Fuadi dari novel monumentalnya, Negeri
Lima Menara:

Merantaulah …

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah …

Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah


berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan


Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu


manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan

Berbeda

Puisi itulah yang ada di pikiran saya ketika melihat kumpulan


cerita pendek Rio F. Rachman dengan titel Merantau. Rio,
sapaan akrabnya, kebetulan memang fans berat Mahzab Syafii.
Dalam kumpulan puisinya yang terbit tahun lalu, Balada
Pencatat Kitab, dia bahkan mengutip salah satu kisah terkenal
tentang Imam Syafii. Kisah itu dimampatkannya dalam puisi
berjudul “Guru”.

Dalam Balada Pencatat Kitab, hanya “Guru” yang memakan halaman


sampai dua: yang lainnya satu belaka. Artinya, ada yang
istimewa dari puisi itu. Kisah Imam Syafii yang disarankan
gurunya merantau ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kenapa?
Karena sang guru mengaku bahwa ilmunya telah habis untuk
diturunkan pada lelaki bernama kecil Idris tersebut.

Meski demikian, kumpulan cerita pendek Merantau tentu berbeda.


Di dalamnya, tak hanya soal merantau. Bahkan, di cerita pendek
berjudul “Merantau”, alasan yang dipakai tokoh utama bukanlah
menuntut ilmu layaknya Imam Syafii. Melainkan, bersandar pada
dalih mencari sesuap nasi alias mencari pekerjaan yang layak.
Persoalan keluarga yang rumit membuat tokoh utama merasa perlu
meninggalkan tanah air. Pergi ke Arab untuk memburu riyal.

Problematik
Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat
saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing”
yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan
ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun
tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama
“mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus.

Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang
poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada
satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak
mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan.

Secara umum, kisah-kisah di dalamnya mengingatkan saya pada


novel O karya Eka Kurniawan. Di dalamnya, full kisah tragis
dan ironis. Ada sih, kisah cinta yang mengembalikan dua insan
yang di masa lampau pernah kasmaran. Namun, mereka
dipertemukan saat yang lelaki sudah buta, dan yang perempuan
telah gendeng. Tak diceritakan, apakah perempuan gila itu jadi
waras saat bertemu kekasihnya, atau tidak. Yang jelas, mereka
kembali bersama saat telah lama terpisah.

Merantau berisi 19 cerita pendek. Pada event LPDP EduFair di


gedung Airlangga Convention Center Selasa lalu (2/2), salah
satu copy buku dibagikan pada pengunjung sebagai “perkenalan”
pada karya yang diterbitkan oleh Penerbit Suroboyo dan berisi
130 halaman tersebut. Kebetulan, Rio menjadi pembicara pada
sesi Awardee Story, karena dia memang pernah menerima beasiswa
tersebut.

Menanti “Edisi Revisi” Buku


Menyikapi Perang Informasi
Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman
menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali
buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan
melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio,
memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisan-
tulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi
artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan.

Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140


halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun
online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik
besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di
edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan,
tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian
topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian.

Menyikapi Perang Informasi adalah deskripsi solutif dari


sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti
sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam
dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal
percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa
lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak.

Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi


komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik
lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR
ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar
yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada
hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak
esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme.
Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang
potensial menjadi terdepan di muka bumi.

Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan


mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat
masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri
Surabaya.

Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tema-
tema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di
sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya
pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia
beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar
hasil dari revisi bisa maksimal. (*)

Khutbah yang Melampaui Waktu


UNAIR NEWS – Yang dipotret di buku ini adalah ceramah mendiang
Cak Nur yang melintas zaman. Apa bukti kalau petuahnya
melangkahi waktu? Silakan nikmati kumpulan berjudul 32 Khutbah
Jum’at Cak Nur dan rasakan kerelevanannya saat ini.

Buku ini memberi gambaran keasyikan khutbah di Yayasan Waqaf


Paramadina akhir 90-an. Pembaca dibawa berimajinasi, dia
sedang berada di ruang kuliah yang gayeng dengan pembicara
yang tidak membosankan.

Mengambil tema kehidupan sehari-hari, lulusan Chicago


University ini seolah menyesuaikan diri dengan para hadirin.
Mereka bukan hanya orang kampus. Namun juga, para karyawan
kantor, pekerja serabutan, dan pemangku profesi lain yang luar
biasa beragam dan memilih shalat Jum’at di sana.

Tanpa membaca teks, mantan ketua umum PB HMI ini membagikan


pengetahuan. Topik khutbah tergolong ringan namun segar.
Tentu, dia tidak menggali tema debatable yang akrab
melingkupinya selama ini: sekularisme, liberalisme, dan
plurarisme. Karena mungkin, dia paham, tema tersebut tidak
tepat diusung dalam waktu sesingkat durasi Jum’atan.
Umumnya, khutbah Jum’at yang ada saat ini bersifat general
dengan dalil yang diulang-ulang. Tidak salah memang. Cak Nur
sendiri pernah mengatakan, wasiat takwa (pesan kebaikan) tak
boleh berhenti diingatkan. Bahkan tidak mengapa bila saban
hari digaungkan laksana jatung yang berdetak. Adapun yang
membedakan ceramah Cak Nur dengan pendakwah zaman sekarang
adalah kedalaman referensi dan variasi konten.

Kelengkapan informasi yang diberikan orisinal dan tidak


pasaran. Sebagai contoh, kala berbicara tentang “Mendamaikan
Persaudaraan Seiman” (halaman: 133), dia tidak sekadar
menyitir Al Qur’an surah Al-Hujurat (49) ayat 9: Dan apabila
ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Lebih dari itu, dia bercerita
sejarah dan kelompok muslim di masa setelah Nabi Muhammad
wafat.

Ada tiga kelompok. Pertama, pewaris aristokrasi Makkah, Bani


Umayyah, yang karakternya kaya dan berpengalaman di
pemerintahan/politik. Kedua, kelompok populis-sosialis yang
karakternya sangat saleh. Diidentikkan dengan para sahabat
Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al Ghifari, dan
Salman Al farisi. Sedangkan kelompok ketiga, kaum moderat yang
disimbolkan dengan sosok Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin
Khaththab. Mereka inilah penengah dan pemilik kebijaksanaan
yang sempurna.

Dia tidak berkisah bahwa tiga kelompok itu bersilang sengketa.


Namun paling tidak, Cak Nur mengisyaratkan, bahwa perbedaan
sudah ada sejak di zaman lampau. Persoalan ini merupakan
sunatullah atau hukum alam. Sehingga, mesti disikapi dengan
kepala dingin.

Buku

Judul : Catatan Khutbah Jumat Cak Nur

Penulis : Nurcholish Madjid


Penerbit : Noura Books, Jakarta

Cetakan : Pertama, April 2006

Tebal : xvi + 409 halaman

Sejarah Islam dalam “Balada


Pencatat Kitab”
UNAIR NEWS – Buku puisi tidak sekadar curhat. Kerap kali,
mengandung pesan atau kritik sosial, pelajaran tentang
prilaku, bahkan sejarah. Semua aspek yang disebutkan tadi
tercermin dalam kumpulan Balada Pencatat Kitab karya Rio F.
Rachman. Penyair alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini
meluncurkan buku tersebut pada 2016 lalu.

Setidaknya, mushaf berisi 59 puisi itu sudah dibedah di Warung


Mbah Tjokro Prapen oleh Masika ICMI Jatim, Surabaya (30
September) dan Kafe Pahlawan oleh Komunitas Stingghil, Sampang
(20 November). Beberapa resensi tentangnya pun bisa dijumpai
di media cetak maupun online.

Sajak-sajak di sana tergolong ringan. Bahasa yang digunakan


lugas dan tak bertele-tele, apalagi mendayu-dayu. Tak banyak
majas dan to the point. Sejumlah riwayat sejarah Islam
dikemukakan. Yang pada satu titik, menjadi sekelumit keunikan
di dalamnya.

Bila diperhatikan, apa yang diceritakan pada puisi “Balada


Pencatat Kitab”, yang juga dijadikan judul kumpulan ini,
bercerita tentang momen wafatnya Utsman bin Affan. Salah satu
sahabat nabi yang sudah dijanjikan Tuhan masuk Surga.

Seperti banyak diberitakan dalam banyak literatur, lelaki yang


juga menantu Rasulullah Muhammad ini meninggal akibat
pemberontakan. Dia dikepung dirumahnya, diserang oleh orang-
orang yang terhasut api fitnah. Utsman bisa saja menumpas
mereka dari awal. Namun, dia memilih sabar. Pilihan yang
sejatinya sudah diisyaratkan Nabi lebih dari dua puluh tahun
sebelumnya.

Kisah Utsman tidak satu-satunya sejarah Islam yang dipaparkan


di Balada Pencatat Kitab. Pada “Kecuali Dia”, kehebatan Ali
bin Thalib juga disinggung. Tentang kehebatan Ali, menantu dan
sahabat Nabi, dalam peperangan. Dan keberaniannya
mempertaruhkan nyawa demi junjungannya itu. Cerita soal
pertempuran di Padang Uhud pada masa awal perjuangan Islam
tercantum di puisi “Isyarat”.

Sedangkan kisah Imam Syafi’i, pemimpin aliran yang paling


populer di Asia Tenggara, diceritakan dengan menyentuh di
“Guru”. Di sana tertulis bagaimana guru dari Sang Imam sampai
harus “mengusirnya” ke luar kota untuk merantau. Kenapa?
Karena ilmu guru tersebut sudah tumpas disesap oleh Imam
Syafi’i.

Dikisahkan pula ketika Imam Syafi’i telah sukses menjadi


seorang ulama dan akhirnya pulang kampung membawa banyak oleh-
oleh untuk Ibu. Namun, ibunya menolak itu semua dan bersikeras
tak ingin menerimanya di rumah, bila tetap membawa semua itu.
Sehingga Imam Syafi’i akhirnya menyerahkan semua perbekalan
pada warga sekitar. Dia hanya membawa sebuah kitab saat
menghadap Sang Bunda.

Tentu, sejarah yang dipuisikan dalam kumpulan ini bisa jadi


debatable. Karena, riwayat kisah-kisah tersebut tidak tunggal.
Namun secara esensi, ada benang merah yang muncul dan
diperlihatkan pada puisi-puisi tadi.

Selain tentang sejarah Islam, Balada Pencatat Kitab juga


berkisah tentang fenomena masyarakat kekinian yang serba
terbuka di media sosial, kartun di televisi, problem rumah
tangga wong cilik, hingga romantisme dan kerinduan. Cover buku
yang simpel, membuatnya tampak manis dan sederhana.

Buku

Judul : Kumpulan Puisi Balada Pencatat


Kitab

Penulis : Rio F. Rachman

Penerbit : Penerbit Suroboyo

Tebal : 60 halaman

Cetakan : Pertama, 2016

Hamka: Pesilat, Ulama,


Sastrawan, dan Politisi
DI antara banyak tokoh ataupun pahlawan nasional negeri ini,
nama Hamka (HAJI Abdul Malik Karim Amrullah) tersisip. Secara
spesifik, agak sulit mendefinisikan sosok kelahiran 17
Februari 1908 ini. Kemampuan yang dia miliki begitu kompleks.
Didapatkannya dari pengalaman dan tempaan mental sejak zaman
sebelum kemerdekaan hingga pergantian rezim demi rezim
republik.

Melalui buku berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka yang dikarang


anak kelimanya, Irfan Hamka, masyarakat disuguhi sekelumit
cerita tentang pribadi bersahaja ini. Tentu saja, sebuah buku
tak mungkin sanggup menampung kisah pejuang yang beberapa kali
bersilang opini secara frontal dengan pemerintah ini. Namun
paling tidak, pelajaran hidup dari ayah dua belas anak yang
dirangkum di sini cukup untuk menambah wawasan pembaca.
Di masa sebelum kemerdekaan, Hamka adalah prajurit. Dia
bergabung dengan sejumlah angkatan perang semisal Front
Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front
Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota.
Bahkan, beberapa kali dia didapuk sebagai pemimpin di gerakan
tersebut (Hal: 17).

Sebagai tentara, dia tak bisa mengelak dari kebiasaan masuk-


keluar hutan. Kemampuan silat Minang pun menjadi wajib
dimiliki. Irfan menuturkan, ayahnya termasuk salah satu
pendekar di kampung. Irfan juga mengaku kalau pernah diajari
ilmu silat Minang oleh Hamka.

Totalitas Hamka di medan perang terbukti dari apresiasi yang


diberikan Jenderal Nasution. Pada 1960, sang Jenderal berniat
memberikannya pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Meski
demikian, dengan kerendahan hati dan atas saran istrinya, Siti
Raham Rasul, Hamka menolak pangkat kehormatan tersebut (hal:
199).

Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau
tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin
hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas
dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang
kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu
banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al
Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat
meringkuk di balik terali besi.

Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama
Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu
mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara
Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi
ini dijebloskan rezim dengan alasan politis.

Tanpa peradilan, Hamka dan beberapa temannya mesti terpisah


dari keluarga. Tapi toh, penjara membuatnya malah bersyukur.
Dengan demikian, tafsir monumental yang dia impikan akhirnya
terwujud.

Pengarang puluhan judul buku ini tidak sekali itu saja


“bersitegang” dengan pemerintah. Ketika menjadi ketua MUI di
era Soeharto, dia sempat menuai protes saat mengeluarkan fatwa
haram bagi umat muslim merayakan natal bersama. Pemerintah
juga agak tak sejalan dengan pendapatnya.

Mungkin karena merasa bertanggungjawab dan ingin memberi


pemahaman bahwa dia teguh memegang prinsip, mundur dari
jabatan dijadikan jawaban. Dia tidak menyesal.

Ini bukan persoalan prokontra terkait fatwa tersebut. Tapi


lihatlah betapa sosok Hamka tidak mau terpengaruh “intervensi”
pemerintah dalam memutuskan suatu perkara. Lebih baik lepas
sama sekali dari kestrukturan yang ada, dari pada mesti
melangkah tapi bukan pada pendirian sendiri.

Perselisihan Hamka tidak hanya terjadi terhadap pemerintah.


Penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga sempat
berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Hal itu dapat diketahui melalui kata pengantar Taufiq Ismail
di buku ini.

Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara


Pram dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan
keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman
Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir
tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck.

Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua


sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh
calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang
sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak
keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup
“pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau
sejatinya mereka sudah “berdamai”.
Meskipun disebut sebagai buku yang berisi tindak-tanduk atau
kisah-kisah Buya Hamka, beberapa bab Ayah… justru tidak fokus
pada peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar
tersebut. Terdapat tulisan yang hanya memotret pengalaman
hidup Irfan dan atau keluarganya. Irfan menyebut kondisi ini
sebagai suatu hal yang wajar. Dia menilai, benang merah dalam
tiap bab di buku ini tetap Hamka. Sosok yang merupakan sumbu
semua gerakan keluarganya. (*)

Buku

Judul : Ayah… Kisah Buya Hamka


Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Tahun : Cetakan III, Agustus 2013
Tebal : xxviii + 324 Halaman

Mewaspadai Sindrom Kekuasaan


Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita
reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini
justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam
ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau
diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu
sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan
penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang
yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome).

Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan


seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi
memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik
pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok
reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang
sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih
kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi
orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti
‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan
mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun.
Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan
menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga
pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan.

Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan


yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang
profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry
Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon
menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security
Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah.
Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun
mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya
menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya
untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia
turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan,
mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144).

Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun.


Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa
tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai
kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang
itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk
berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah
subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan
kekuasaan pribadi.

Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka


ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam
Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa,
melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar
mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam
islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika
mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan
konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan
segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua
hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan,
menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana
mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam
bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami
(Ya Allah) ke jalan yang lurus)”.

***

Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan


jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai
agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat
sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya,
khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab
dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh
di atas rata-rata.

Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa


Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan
kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku
ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang
yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas
shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan
Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah:
Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani.

Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat


bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang
disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu
itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung
sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar
khusus perorangan.

Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung


Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang
priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali.
Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh
dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultur-
sentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada
HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu
sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak
dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan.

Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran


jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari
hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi
Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa
aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah
satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.—

Buku
Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan
Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di
Paramadina)
Penulis : Nurcholish Madjid
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Tahun : Cetakan kedua, Januari 2009
Tebal : xii + 231 Halaman

Gus Dur, PKB, dan


Perpolitikan Indonesia
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) adalah sebuah partai yang
kelahirannya dibidani NU dengan kepala bidan Gus Dur. Demikian
Gus Mus (Sapaan akrab A.Mustofa Bisri) menyebut proses awal
berkaitan dengan terbentuknya PKB. PKB dianalogikan serupa
Golkar, yang kelahirannya dibidani tentara dengan kepala bidan
Pak Harto (Hal: 48). Sulit dimungkiri, bahwa PKB sangat
identik dengan Gus Dur. Walaupun realita berkata bahwa PKB
kubu Gus Dur kalah bersaing dengan PKB kubu Muhaimin Iskandar
kala bertempur di ranah hukum.

Berbicara PKB, secara otomatis pikiran akan digiring dalam


kasus perpecahannya. Ternyata, konflik PKB tidak hanya terjadi
di era Cak Imin (sapaan Muhaimin Iskandar). Dulu, ketika
Matori Abdul Djalil masih aktif di pengurusan organisasi
tersebut, polemik dan konflik juga sempat terjadi. Konflik itu
pun masih berkaitan dengan Gus Dur.

Gus Dur yang dikenal sebagai guru Matori, dan Matori yang
populer sebagai murid kesayangan Gus Dur, pernah beradu di
meja hijau. Kalau diamati lagi, sebenarnya ada hubungan
emosional yang sangat kuat di antara dua kubu konflik PKB yang
terjadi pada dua masa berbeda. Jika dulu yang berkonflik
adalah Guru dan Murid, di masa Cak Imin silam, yang bertikai
adalah paman dan keponakan.

Polemik macam inilah yang nampaknya ingin dikupas oleh Gus Mus
melalui buku yang sedang diresensi ini. Dia menganggap
perseteruan tersebut tidaklah berguna dan hanya membuang
energi. Perang dingin seperti itu justru membuat rakyat,
khususnya warga NU selaku pendukung fanatik PKB, menjadi
bingung dan resah. Sementara kaum Nahdliyin (sebutan bagi
penganut NU) bimbang dan berkerut kening karena pemimpin-
pemimpinnya di atas berselisih sengit, pihak yang
berseberangan dengan mereka tentulah bertepuk tangan.

Hal serupa itulah yang sangat tidak diinginkan oleh Gus Mus,
dan tentu pula tidak diharapkan oleh semua warga Nahdliyin.
Apalagi, sebagai Ormas terbesar di negeri ini, kejadian apapun
yang mengguncang NU, sedikit banyak akan terasa getarannya di
masyarakat Indonesia pada umumnya.

Buku ini dibuka dengan takdim alias pengantar atau pembuka


yang disampaikan oleh Gus Mus sendiri selaku penulis. Ada
sepenggal kenarsisan di bagian itu. Yakni kala Gus Mus merasa
‘dihormati’ oleh PKB, sebuah partai politik besar di negeri
ini. Tapi kata ‘dihormati’ nampaknya sengaja dimasukan ke
dalam tanda petik. Sebagai simbol bahwa kata ‘dihormati’
tersebut tidak memiliki arti sebagaimana umum.

Di kalimat terakhir pada takdim, Gus Mus mengungkapkan bahwa


selama ini dia dihormati tapi tak pernah didengarkan oleh PKB.
Kiranya demikianlah arti khusus dari kata ‘dihormati’ tadi.
Layaknya jamak diketahui, seharusnya orang yang dihormati
senantiasa didengarkan.

Gus Mus adalah sahabat Gus Dur. Mereka pernah satu sekolah di
Mesir (Universitas Al Azhar). Mereka sering terlibat diskusi
mengenai berbagai hal dan beraneka bidang kehidupan. Bahkan
orang-orang tua mereka pun sangat berkenal baik satu sama
lain. Salah satu sebabnya, mungkin karena mereka sama-sama
tokoh NU dan sama-sama keturunan dari para tokoh NU

Keakraban kedua tokoh ini sering pula jadikan alat oleh para
kyai NU untuk bisa menegur yang satu melalui yang lain.
Contohnya: ketika Gus Dur dinilai oleh para kyai NU sedang
salah melangkah dalam berpolitik, maka Gus Mus dimintai tolong
untuk mengingatkan.

Kedekatan mereka secara otomatis menghilangkan azas


kesungkanan antar kedua belah pihak. Sehingga ketika Gus Dur
diangkat sebagai presiden RI keempat, di kala banyak orang
mengucapkan selamat kepadanya, Gus Mus justru menghaturkan
belasungkawa tanpa segan. Sebab, menurut Gus Mus, jabatan
adalah amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung
jawab. Pertanggungjawaban jabatan di sisi Allah SWT sangatlah
berat, sehingga tidaklah pantas bergembira ketika
memerolehnya. Terlebih jabatan itu berwujud pemegang tampuk
tertinggi negara.

Buku bersampul dengan warna dominan hijau ini, berisi belasan


artikel tentang Gus Dur dan PKB. Dengan bahasa khas Gus Mus,
ringan dan sederhana, tulisan di buku ini tetap memiliki
kualitas yang tak kalah tinggi dibandingkan dengan rangkaian
kalimat-kalimat para pakar bahasa atau politikus. Gus Mus
dengan kapasitasnya sebagai salah satu tokoh NU (yang tentu
sangat dekat dengan PKB), sekaligus kawan karib sang simbol
PKB (yakni Gus Dur), pastilah mampu mendeskripsikan dan
menganalisis dengan objektif segala permasalahan yang ada di
PKB dan dalam diri Gus Dur. (*)

Buku
Judul : Gus Dur garis miring PKB (Kumpulan
Tulisan)
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan : Kedua, 2008
Tebal : xvi + 137

Belajar Menapak Jalan


Kesederhanaan
Orang Maiyah adalah mereka yang tahan selama lima sampai tujuh
jam, mulai sekitar pukul 20.00 hingga 03.00, duduk bareng
berbagi ilmu di forum Maiyah. Tanpa ada yang mengundang,
mengajak, atau mewajibkan. Forum yang dalam terjemahan bebas
berarti kebersamaan, dilaksanakan satu bulan sekali di
sejumlah kota.

Namanya berbeda-beda sesuai kearifan lokal. Misalnya, di


Surabaya disebut Bang-Bang Wetan, di Jombang disebut Padhang
Mbulan, di Yogyakarta disebut Mocopat Syafaat, di Jakarta
disebut Kenduri Cinta, di Malang disebut Obor Ilahi, di
Makassar disebut Paparandeng Ate, dan sebagainya.
Maiyahan digelorakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Namun,
pria yang akrab disapa Cak Nun itu menegaskan, Maiyah tidak
bergantung pada sosok. Maiyah tidak berkiblat pada ketokohan
tertentu. Tidak ada takzim berlebihan dan tidak proporsional
pada manusia. Karena sejatinya, seluruh insan sedang meniti
rentang usia untuk memburu kebenaran. Yang kata Nurcholish
Madjid, tak pernah absolut di tangan makhluk.

Orang-orang Maiyah bukan kelompok yang di permulaan berkedok


organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, ujung-ujungnya
berkoalisi dengan kutub politik tertentu. Menjadi gaduh dan
loba tiap ada hajatan KPU. Selebihnya, hanya cermin nafsu tak
terbendung.

Dalam perjalanan yang sudah lebih dari satu dekade, Maiyah


tidak bertendensi kekuasaan apalagi kapital. Tidak ada
keinginan untuk menjadi unggul dari yang lain. Justru, di
sinilah tempat berbaur. Siapapun boleh bergabung untuk
mendengar pencerahan multi disiplin. Siapapun boleh bicara.

Dalam Kafir Liberal (Progress, 2005) Cak Nun mencatat tentang


seseorang yang mengaku berasal dari Jaringan Kafir Liberal.
Pria itu diberikan kesempatan melontarkan pendapat tentang
kebenaran dan ketuhanan di Kenduri Cinta. Fakta itu menjadi
bukti, meski mayoritas hadirin beragama Islam, bukan berarti
non-Islam terpinggirkan. Pluralisme dengan analogi: biarkan
kambing mengembik dan biarkan ayam berkokok dalam satu
kandang, dipegang dengan seksama.

Bukankah perbedaan adalah sunatullah dan hukum alam yang


mutlak? Bukankah tidak ada yang bisa menjamin seorang manusia
akan tetap memegang teguh suatu agama, ideologi, pandangan,
hingga dia mati kelak? Semua bisa berubah, bahkan menjadi
sesuatu yang awalnya sangat dibenci. Kemerdekaan berpikir yang
menyasar pada perdamaian adalah keniscayaan. Manusia sangat
mungkin berbeda pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan.
Namun, semua manusia ingin merdeka dan berdamai, bukan?
Menjadi Jelata Seperti Nabi

Buku yang pernah terbit pada 2007 ini diramu dengan bahasa
sehari-hari. Namun, dibutuhkan kedalaman perenenungan untuk
memahaminya. Secara umum, Cak Nun seperti merangkum cerita
pribadi para penikmat Maiyahan. Dalam pengantar, pria
kelahiran Jombang itu mengklaim dirinya sekadar “editor” dalam
kumpulan artikel inspiratif ini.

Secara prinsip, gagasan yang ingin disampaikan adalah


bagaimana menjadi manusia yang baik dan sederhana. Tidak rakus
dan sombong. Karena secara hakikat, sehebat apapun hidup,
berkalang tanah jua akhirnya. Dengan kesederhanaan, manusia
tidak akan bingung di saat sedih dan tidak akan heboh kala
bahagia.

Nabi Muhammad pun memilih jelata dan sederhana. Meskipun


sebenarnya, bisa saja hidup berlimpah harta.

Orang Maiyah mengerti persis Nabi Muhammad Saw. justru memilih


menjadi orang miskin. Ia ditawari Allah Swt. apakah akan
menjadi “mulkannabiyya”, nabi yang juga raja nan kaya raya?
Allah Swt. sudah menyediakan harta berupa gunung emas. Tetapi,
Kanjeng Nabi memilih “abdannabiyya”, nabi yang rakyat jelata.
Rakyat jelata bukanlah orang kaya. (hal. 86).

Dari waktu ke waktu, gelombang gerakan Maiyah semakin tinggi.


Aktifitas itu berlangsung secara konsisten, signifikan, penuh
keikhlasan, tanpa banyak perhatian dari media massa
mainstream. Tak hanya dapat dilihat dari peningkatan jumlah
hadirin di masing-masing lokasi. Juga, dari makin menjalarnya
cakupan di banyak wilayah tanah air. Maiyahan jauh dari sikap
tertutup atau eksklusif. Inilah yang membuatnya selalu
dinantikan saban bulan. Forum ini secara tegas menempatkan
manusia sebagaimana seharusnya manusia: sekadar makhluk Tuhan
di muka bumi.(*)

Resensi Buku
Judul : Orang Maiyah
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2015
Tebal : viii + 100 halaman

Pemimpin Bukan Peminta


Pemimpin bukan peminta. Tersebutlah seorang pemimpin agung
dari jazirah arab yang pengangkatannya diwarnai perdebatan
sengit dengan pemimpin yang terdahulu.

“Jangan Kawan! Aku tidak memerlukan jabatan itu.” tukas


pemimpin agung yang pada waktu itu masih berstatus calon
pemimpin.

“Tetapi kepemimpinan memerlukanmu. Aku khawatir maut


menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa pemimpin lalu
terjadi hal yang tidak baik seperti di masa-masa lalu.”

“Carilah pengganti selain aku, si fulan, misalnya. Dia Amienul


Ummah, kepercayaan umat.” Si calon berkelit.

“Aku juga sempat memikirkannya. Tapi krisis multidimensi


membuat rakyat kita membutuhkan seorang kuat yang terpercaya.
Al-qawiyyul amien!” sang pemimpin berdalih.

“Bagaimana kau bisa memilihku, wahai Kawan, sedang aku sering


berbeda pendapat denganmu?”

“Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seseorang


yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh
hati: bila mengatakan ya, dia mengatakannya dengan sepenuh
hati.”
Mereka saling berdebat dan bertukar argumentasi. Yang satu
bersikeras meminta, yang satu bersikeras menolak. Didesak
terus, si calon pemimpin yang terkenal perkasa itu pun
menangis.

“Sahabatku, dalam urusan kekuasaan, ada dua golongan yang


celaka. Pertama, golongan orang yang berambisi menjadi
penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih
pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang
menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah
yang paling pantas dan paling mampu.”

“Sahabatku, demi persahabatan dan kecintaanku padamu,


jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak!” si
calon pemimpin berusaha merayu pemimpin yang menunjuknya.

“Kau lupa, Kawan. Pemimpin yang adil kelak, akan dipayungi


Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.”

“Pemimpin yang adil, ya. Tapi aku?” si calon pemimpin semakin


keras menangis.

“Kau juga, Kawan! Kau juga!”

Akhir kisah, perdebatan itu dimenangkan oleh keduanya. Dengan


berbagai pemaparan yang objektif, sang pemimpin berhasil
meyakinkan si calon pemimpin tentang keniscayaannya menjadi
pemimpin selanjutnya. Si calon pemimpin tak lupa menyarankan
sang pemimpin untuk bermusyawarah dulu dengan tokoh-tokoh
lain. Sang pemimpin menyanggupi.

Dalam sejarah, si calon pemimpin yang kemudian menjadi


pemimpin agung tersebut terbukti sanggup membawa rakyatnya
menyinari dunia dengan kepemimpinan dan peradaban yang luhur.
Pemimpin hebat yang dimaksud adalah Umar bin Khaththab, dan
pemimpin terdahulu yang menunjuknya adalah Abu Bakar
Ashshiddiq.

Cerita diatas dinukil-sarikan oleh A.Mustofa Bisri alias Gus


Mus dari kitab Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsier. Di buku
kumpulan esai Kompensasi, cerita ini termaktub dengan judul
Abu Bakar dan Umar. Dituturkan dengan bahasa yang lugas dan
cerdas, cerita ini terasa hidup dan menggugah.

Ada banyak topik yang dihadirkan dalam buku ini. Selain


tentang kepemimpinan, terdapat pula tentang saling pengertian
dan rendah hati. Seperti pada artikel bertitel Kisah Nyata
atau Dongeng?

Suatu ketika datang seorang tua miskin pada seorang ulama


bernama Syiekh Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu
keperluan meminta tolong pada orang yang sangat disegani itu.
Serupa dengan kebanyakan orang tua yang senantiasa berdiri
dengan bertelekan tongkat, orang itu pun bertelekan tongkat
sebagai penopang ketuaanya. Tanpa disadari, ujung tongkat itu
menghujam di kaki Syiekh sampai berdarah-darah. Seperti tidak
merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id bi Salim mendengarkan dan
mengabulkan curahan hati dan permintaan orang tua itu.

Selepas si wong cilik berlalu pergi, orang-orang yang


kebetulah melihat kejadian itu, dengan heran bertanya.

“Kenapa Syiekh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi
tanpa sengaja menghujamkan tongkatnya di kaki syiekh?”

“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk


menyampaikan keperluannya, kalau aku mengaduh atau apalagi
menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak
jadi menyampaikan hajatnya.”

Gus Mus memang piawai menyampaikan kisah-kisah inspiratif.


Wawasan dan pergaulan yang luas, nampaknya turut mengasah
kelihaian bertutur. Pemimpin dan pembina pondok pesantren
Roudlotul Thalibien Rembang yang juga pengasuh situs internet
Mata Air gusmus.net ini dikenal pula sebagai orang yang tidak
gila jabatan.

Dia pernah meletakkan kesempatan menjadi anggota DPD jawa


tengah pada pemilu 2004 lalu. Dia juga menolak tawaran menjadi
pegawai musim haji di Arab Saudi meski jabatan itu
memungkinkan dia berhaji tiap tahun dengan mudah. Bahkan dia
pernah pula mengundurkan diri dari bursa calon ketua umum PBNU
walaupun dia mengaku sempat tergiur dengan posisi itu.

Penolakan-penolakan itu dilatarbelakangi kepandaian Gus Mus


bercermin menilai diri. Bukan karena ingin lari dari tanggung
jawab atau enggan mengemban beban mulia, namun lebih
disebabkan kejujuran dan kesadaran diri. Rasulullah SAW, tokoh
idola Gus Mus dan seluruh umat muslim, pernah berpesan, agar
umatnya senantiasa jujur menakar kapasitas diri, sebab
celakalah orang-orang yang tak kenal dirinya sendiri.—

Buku

Judul : Kompensasi; Kumpulan Tulisan A. Mustofa


Bisri
ISBN : 978-979-25153-5-0
Penulis : A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
Penerbit : Mata Air Publishing
Tanggal Terbit : 27/07/2011
Halaman : x + 286 halaman

Sumbangan Inspiratif dari


Awardee LPDP UNAIR
Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik.
Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner
(SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan
buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para
penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar
trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka
meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk
mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras.

Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuh-


bangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal
mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir
berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita
tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di
tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya.

Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat


dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah
S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis,
setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa
magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter
Spesialis.

Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP


beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi.
Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa,
Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS,
dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate
sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang
sama untuk mendapat beasiswa ini.

Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada
Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para
awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR.
Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di
kampus Airlangga.

Apresiasi rektorat UNAIR

Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR


di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih,
MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya
yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair
tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk
bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui
catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru,
kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!”
catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut.

Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si.,


Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat
penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber
daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga
bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam
testimoni.

Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si.,


Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun
menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa.
“Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi
penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa
akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat
dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun.
Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya
untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari
pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*)

Buku

Judul : Menggapai Asa Bersama LPDP


Penulis : Awardee LPDP UNAIR
Penerbit : Pustaka Saga
Cetakan : I, Juni 2016
Tebal : 248 halaman

Anda mungkin juga menyukai