Anda di halaman 1dari 3

Bedah buku

Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia Karya Soenjono Dardjowidjojo


Oleh Audy Rachmawati

Sebelum, membahas begitu dalam mengenai buku psikolinguistik karya Soenjono


Dardjowidjojo mari terlebih dahulu mengenal siapa beliau. Di lansir Wikipedia, prof
Soenjono Dardjowidjojo (24 Juli 1938 – 22 September 2009) adalah pakar linguistik
Indonesia. Namanya dikenal sebagai salah seorang penulis buku berpengaruh, Tata Bahasa
Baku Indonesia. Sejumlah buku ditulisnya seperti, Sentence Patterns of Indonesia,
Vocabulary Building in Indonesian (1982), diterbitkan Indonesian Studies Institute dari
Universitas Ohio, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, sebagai salah satu penulis Beberapa
Aspek Linguistik Indonesia, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia, Psikolinguistik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Ia juga pemrakarsa "Konferensi Linguistik
Tahunan" dan "Konferensi Kajian Bahasa Inggris" di Unika Atma Jaya pada tahun 2003 dan
2004. Melalui karyanya yang berkecimpung di ranah nasional ataupun internasional hingga
saat ini tulisannya abadi dikenal masyarakat akademisi.
Keunikan sistem Pendidikan Indonesia yang tidak mengakui kegururubesaran dari
luar negeri, termasuk Amerika Serikat, maupun dari suatu PTN ke PTN lain, Soenjono
terpaksa menjadi Gurubesar empat kali di (1) Universitas Hawaii tahun 1970-82, (2) IKIP
Negeri (sekarang UNJ) Jakarta tahun 1983, (3) Universitas Indonesia tahun 1993 dan (4)
Unika Atma Jaya tahun 2001.
a. Tampilan
Pemilihan warna dalam desain buku sangat kontras antara satu kata dengan
lainnya. Namun, dalam pemilihan warna untuk gambar anak dinilai tidak kontras
karena warna dasarnya sama dengan warna baju yang dipakai yaitu merah.
Penggunaan font dinilai besar sehingga penulisan harus dilanjut di baris
berikutnya yaitu psiko-linguistik. Sebagai masyarakat umum yang membaca di
tampilan buku paham benar dalam buku ini akan membahas psikolinguistik
sebagai pengantar pemahaman Bahasa manusia.
b. Bahasa
Bahasa dalam buku ini menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris untuk
menyampaikan informasi. Melalui analis sederhana, alasan dalam buku ini
menggunakan Bahasa inggris dikarenakan Soenjono lulusan STC (B -satu Gaya
Baru), Yogyakarta dalam bidang Bahasa Inggris tahun 1959. Penggunaan Bahasa
jenis formal. Sebagai contoh jenis bahasa formal yaitu apakah pengenalan kata itu
terjadi melalui aktivitasi atau melalui pencarian di kamus mental kita?
c. Isi (Bab Membaca dan Psikolinguistik)
Pada bab ini, disajikan informasi mengenai sejarah tulisan, grafem dan fonem,
elemen pada huruf, tahapan dalam membaca, metode pengajaran membaca dan
beberapa model untuk membaca.
Sub bab pertama, pendahuluan membaca dan psikolinguistik. Di dalam
pendahuluan dalam bab ini membahas kemampuan spesifik membaca. Bahan
dalam bentuk tulisan ini dapat dimengerti oleh siapa pun yang membacanya
selama mereka memakai Bahasa yang sama.
Sub bab ke dua, sejarah tulisan. Penjelasan dalam sejarah tulisan diawali dari
sebelum masehi hingga munculnya alfabet sekarang ini yang berjumlah 26 huruf.
Awal mula sejarah tulisan dalam buku Seonjono ialah tahun 3100 SM pada
bangsa Sumeria dengan menggunakan cuneiform yakni gambar yang
melambangkan benda atau konsep dilanjutkan dengan Mesir yang
mengembangkan sistem tulisan dengan gambar yang dikenal sebagai hieroglyph
tahun 3000SM perkembangan selanjutnya adalah bangsa Cina tahun 2000 SM
mengembangkan ideogram yakni gambar-gambar yang menyimbulkan objek,
munculah syllabary sebagai suatu simbol tidak mewakili kata tetapi mewakili
sukukata, dan diakhiri perkembangan alfabet. Dalam penjelasan tersebut,
mengetahui maksud dan tujuan dalam penjelasan sub bab ke dua. Saya
menyarankan agar dilakukan penyuntingan dari tahun ke tahun secara terurut agar
pembaca mengetahui dengan jelas sejarah tulisan dan perkembangannya.
Sub bab ke tiga, grafem dan fonem. Pembahasan menggunakan sebelum Ejaan
yang disempurnakan Bahasa Indonesia memiliki beberapa fonem yang masing-
masing diwakili oleh lebih dari satu grafem. Misalnya, kata baca dan baju dulu
memakai tj dan dj menjadi batja dan badju padahal t, d dan j merupakan tiga
grafem yang berdiri sendiri dengan satu grafem, yakni, c dan j. Dalam kaitannya
dengan membaca, korelasi antara grafem dan fonem ini memegang peran yang
penting karena makin besar korelasi itu makin mudah bagi orang untuk
mengucapkan apa yang dibaca. Bagi anak yang baru mulai belajar membaca,
korelasi positif ini juga sangan membantu.
Sub bab ke empat, elemen pada huruf. Dari sub bab dalam bab membaca dan
psikolinguistik, bagian sub bab ini lah yang paling mudah dipahami dengan baik
yang membuat pembaca representasi dari elemen pada huruf. Jika alphabet
diperhatikan dengan teliti maka akan didapati bahwa tiap huruf sebenarnya terdiri
dari elemen-elemen yang sederhana yang diramu dengan berbagai cara. Huruf p,
q, b, dan d, misalnya hanya terdiri dari satu garis lurus dan setengah lingkatan itu.
Pada p lingkaran ada di kanan garis, pada q di kiri garis. Begitu pula antara b dan
d, pada b lingkarannya di kanan, pada d di kiri.
Sub bab ke lima, tahapan dalam membaca. Dalam membaca ada dua tahap
utama yang dalam buku Soenjono dinamakan tahap pemula dan tahap lanjut.
Tahap pemula adalah tahap yang mengubah manusia dari tidak dapat membaca
menjadi dapat membaca sedangkan tahap lanjut adalah tahap di mana prosesnya
bukan terkonsentrasi pada kaitan antara huruf dengan bunyi tetapi pada makna
yang terkandung dalam bacaan. Di tahap pemula terdapat proses mental waktu
belajar membaca akan tertolong apabila bahan bacaan yang diberikan dibuat
berlandaskan pada berbagai displin ilmu seperti ilmu linguistik, psikologi dan
Pendidikan. Setuju, seorang pengajar Bahasa diharuskan membuat media
pembelajaran yang kreatif, inovatif dan interaktif guna membangun hasil belajar.
Sebagai contoh, bahan ajar berbentuk e-book didesain dengan menarik minat
peserta didik yang memperhatikan keteraturan bentuk huruf dan pola kombinasi
huruf. Pada tahap lanjut, Soenjono menyebutkan 4 prasyarat sebagai proses
membaca yang menekankan pemahaman makna dari bahan yang dibaca. Kegiatan
membaca membutuhkan pengetahuan dunia, pengalaman di masa lampau, dan
memori untuk dapat memahami yang tersirat. Sebagai contoh, poster yang
berbunyi Soebandrio = the durno of Peking.
Sub bab ke enam, metode pengajaran membaca. Terdapat dua pandangan yang
saling bertentangan mengenai proses membaca. Perbedaan ke dua pandangan ini
tercermin dalam metode pengajaran membaca. Mereka yang percaya pada alur
bawah-ke-atas akan mendasarkan metodenya pada cara fonik, yakni, dari fonem,
ke suku, lalu ke kata, dst. Sampai ke atas. Sebaliknya, mereka yang mengikuti alur
ke atas ke bawah langsung memberikan kata untuk dibaca boat, road, goat dsb.
Tetapi, jika diamati lebih lanjut metode pengajaran membaca tersebut jika
digabungkan menjadi lebih efektif. Misalnya, menyisipkan ke dua metode
pengajaran membaca dalam sewaktu-waktu dengan memodifikasi dari metode
pengajaran membaca tersebut. Sebagai contoh, bernyanyi lagu fonetik terlebih
dahulu sebelum membaca kata. Dengan hal ini, pembelajar Bahasa paham benar
bunyi yang diucapkan dan kata yang dibaca.
Sub bab ke tujuh, model untuk membaca. Dari pembahasan sebelumnya
bagian ini adalah lanjutan dari metode pengajaran membaca atas ke bawah dan
bawah ke atas yang dijadikan model untuk membaca. Model atas ke bawah yang
sering juga dinamakan model berdasar konteks, mengasumsikan bahwa informasi
tentang konteks dapat secara langsung mempengaruhi caranya kata dipersepsi dan
diinterpretasi sedangkan Landasan dasar untuk model bawah ke atas yang disebut
sebagai model yang berdasarkan stimulus, adalah bahwa rekognisi kata tergantung
terutama pada informasi yang ada pada kata itu, bukan konteks. Model ke dua
membaca tersebut, dapat diterapkan untuk model bawah ke atas yang disebut
sebagai model yang berdasarkan stimulus, adalah bahwa rekognisi kata tergantung
terutama pada informasi yang ada pada kata itu, bukan konteks. Secara garis besar
ke dua model untuk membaca, disarankan untuk pembelajar Bahasa yang sudah
mengetahui bentuk huruf dilanjutkan dengan melatih makna tersirat ataupun
tersurat dalam teks bacaan tersebut. Membaca bukan berarti paham apa yang telah
dibaca sehingga diperlukan adanya pengetahuan lebih lanjut mengetahui apa yang
dibaca dengan mempelajari.
d. Cara penulisan
Dalam membaca dan psikolinguistik, cara penulisan menggunakan Bahasa yang
dapat dikatakan sudah jarang didengar oleh pembaca. Sebagai contoh, ihwal untuk
menyatakan perihal. Untuk mempertahankan bentuk buku lama disarankan tidak
mengganti dengan kata yang lebih popular sehingga pembaca mengetahui arti
makna dari setiap kata belum pernah dibaca atau didengarnya.

Anda mungkin juga menyukai