Anda di halaman 1dari 4

Penggunaan dan Kepemilikan Tanah Menurut Budaya dan

Hukum Adat Suku Byak


POSTED BY NOVITA ANGGRAENI POSTED ON 12:55 AM

Seperti halnya daerah yang masyarakatnya masih memegang adat istiadat dan aturan-aturan
berkenaan dengan tata hidup masyarakatnya, maka di Papua pun atau tepatnya di Suku Biak -
Numfor (selanjutnya akan disebut sebagai suku Byak saja), Papua pun memiliki hal yang sama. Dan
pada artikel saya kali ini akan menyoroti tentang aturan-aturan adat yang berkenaan dengan
kekuasaan, kepemilikan dan pemakaian atas tanah dan territorial di wilayah hidup suku Byak ini
berdasarkan apa yang mereka yakini. Aturan-aturan adat ini sendiri meliputi juga hubungan-
hubungan manusia; manusia dengan alam sekitarnya bahkan relasi manusia dengan alam gaib
selaku individu bersangkutan yang tak bisa dilepaskan dengan hal-hal tersebut di atas.

Pemilikan atas kekuasaan tanah ini meliputi juga segala hal ihwal yang ada di dalam atau masuk ke
dalam wilayah tanah tersebut seperti pohon-pohon, mata air dan sebagainya. Tapi, sebelum kita
melangkah lebih jauh ada baiknya kalau saya terlebih dahulu memetakan dan mengindentifikasi
etnik Biak - Numfor ini terlebih dahulu sebagai bahan yang diharapkan bisa menjadi gambaran
tentang siapa dan bagaimana keadaan suku Byak ini. Nama Biak - Numfor adalah diambil
berdasarkan pada tempat dimana mereka berdiam yakni di kepulauan Biak - Numfor. Di kepulauan
ini terdapat tiga pulau besar yang masing-masing bernama pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau
Numfor dengan beberapa pulau-pulau kecil lainnya yaitu gugusan kepulauan Padaido yang terletak
di sebelah timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi yang berada di bagian selatan pulau Supiori
pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau yang juga berada di bagian utara Supiori dan kepulauan Mapia
yang terletak di bagian utara pulau Ajau. 

Pada tahun 2001 menurut data statistik kependudukan Nasional, orang dari suku Byak yang
mendiami pulau ini terdapat 118.810 jiwa dan menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226
kampung. Bahasa yang digunakan oleh suku ini sendiri adalah bahasa Biak dengan 11 dialek dan 9
dialek diantaranya terdapat di tiga pulau besar tersebut. Sebelum kedatangan orang kulit putih yang
kemudian berdiam di pulau ini baik sebagai Pastor, Peagang, Ilmuwan dan sebagainya mata
pencaharian suku ini adalah berdagang keliling baik antar kampung, antar suku maupun antar
pulau. Kedatangan orang dari luar suku ini menimbulkan asimilasi budaya yang tak terelakan. Sisi
positif dari adanya kontak budaya dengan dunia luar ini adalah makin kayanya budaya dan adat
istiadat suku Byak. Secara tradisional suku byak membagi wilayahnya menjadi beberapa kampung
atau dalam bahasa mereka “mnu” yaitu suatu pemukiman di mana terdapat beberapa “keret”
(bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang Numfor) yang bersifat patrilineal dan dipimpin oleh
seorang pemimpin yang disebut Mananwir.

Dalam berbagai tahapan daur hidup suku Biak di tandai dengan upacara adat (Wor) yang dapat
mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam hubungan karena
perkawinan tetapi juga hubungan tanah. Perkawinan ditandai dengan pemberian benda-benda
maskawin. (ararem).

Adat-Istiadat tentang Hutan dan Tanah


Masyarakat Suku Byak adalah orang-orang yang masuk dalam kategori suku yang memiliki
pengetahuan di atas rata-rata mengenai hutan, tanah dan laut beserta segala isinya. Ketiga wilayah
ini dikategorikan menjadi dua sub elemen yang dibagi berdasarkan status dan penggunaannya.
Penggunaan di sini meliputi juga tentang bagaimana pembagian itu mengacu pada aktivitas hidup
mereka sehari-hari; wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral,
tetapi juga yang masuk dalam konvensi adat yang dilindungi.

Klasifikasi tanah dalam kehidupan suku Biak sendiri dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan fungsi-
fungsi dari tanah tersebut yaitu; pertama, hutan asli atau hutan primer yang dalam bahasa suku
Byak disebut sebagai Karmgu. Hutan jenis karmgu ini memiliki jenis tumbuhan yang sangat spesifik
sesuai dengan topografi tanah, dan dalam aturan adat yang berlaku, karmgu merupakan wilayah
yang tak boleh di sentuh baik untuk berburu, berladang ataupun ditebang untuk digunakan oleh
anggota/ warga kampung. Karmgu ini di jaga dan menjadi milik Keret ataupun Mnu.

Yang kedua adalah jenis tanah yang memang dikhususkan untuk berladang atau berkebun yang
disebut Yaf. Tempat ini merupakan hutan yang dibuka untuk jenis kegiatan bercocok tanam dan
berburu. Setelah tanah ini digarap dalam kurun waktu tertentu dan mulai tak subur lagi maka tanah
ini pun akan ditinggalkan untuk waktu sekitar 2 sampai tiga tahun untuk kemudian ditanami kembali.
Tanah yang tak lagi ditanami ini disebut Yaf-das atau Yapur.

Dan yang ketiga adalah padang luas yang disebut Mamiai. Adakalanya mamiai merupakan bekas-
bekas ladang yang ditinggalkan dan tak lagi ditanami. Tapi adakalanya juga padang ini akan
ditanami kembali hingga beberapa kali panen. Padang yang sama sekali tak lagi ditanami
selamanya karena dinilai tanahnya tak lagi subur dan dibiarkan menjadi hutan semak kembali
disebut marires. Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang diuraikan di
atas. Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak subur, tidak memiliki pohon-pohon
pelindung tidak pernah ditanami oleh manusia sama sekali. Di samping itu kata lain yang digunakan
secara umum dalam bahasa Biak untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret
yang dapat diolah sebagai sumber mata pencaharian adalah Saprop (tanah). Tanah tersebut dapat
diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu sampai sekarang kebun-kebun diberi pagar oleh
pemiliknya untuk mencegah tanamannya dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi
pendatang (bukan penduduk pemilik kampung) yang tidak memiliki tanah untuk menggunakannya. 

Biasanya ada ijin dari pemilik tanah tersebut untuk menggunakannya baik itu tanah jenis marires
atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi pelanggaran, misalnya seseorang menggarap dan
menanami tanah tersebut tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada kompensasi
pembayaran denda atau “Wabiak”. Dahulu, daerah perang antar keret terjadi hingga ada
pertumpahan darah maupun pembunuhan. Karena tersebab itu maka tanah yang pernah menjadi
sengketa dan menimbulkan peperangan antar warga merupakan tanah yang dikutuk dan dilarang
menurut adat untuk tidak lagi boleh digunakan dari generasi ke generasi.

Aturan Adat tentang Hak Kepemilikan dan Penggunaan Tanah


Pemilikan maupun penggunaan tanah menurut aturan-aturan suku Byak dilakukan menurut atau
mengikuti status sosial dalam kampung atau mnu. Orang inilah yang karena merupakan penduduk
asli sekaligus orang yang pertama kali berdiam di mnu tersebut maka ia mempunyai hak atas segala
tanah di mnu tersebut. Ia jugalah yang mempunyai otoritas tertinggi yang boleh memberikan atau
mencarikan tempat tinggal dan tempat bercocok tanam untuk orang-orang baru yang datang
belakangan. Orang ini disebut Mansren Mnu. Karena wewenang dan otoritasnya yang hampir tanpa
batas di mnu tersebut tak heran jika kemudian Mansren Mnu ini begitu disegani dan memiliki status
sosial yang begitu tinggi, diakui dan disegani di suatu wilayah atau teritorial yang berhubungan
dengan pemukiman dan pemilikan.

Bukti nyata dari otoritas sang Mansren Mnu ini dapat diamati dari pembagian tempat tinggal yang
terdapat di suatu mnu pada suku Byak ini yaitu yang pertama sebagai tempat pemukiman keluarga
batih. Pemukiman ini yang terluas dengan kontur tanah yang paling bagus karena keluarga batih
merupakan kerabat dari Mansren Mnu itu sendiri. Kemudian barulah menyusul yang kedua, yaitu
tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan dan barulah yang terakhir wilayah yang
dihuni oleh gabungan suku dengan persekutuan kampung. 

Meskipun adanya pembagian-pembagian dan klasifikasi di atas mengenai hak tinggal dan mengolah
tanah, tapi kebersaman mereka tetap terjaga karena faktor genealogis dalam adat suku Biak begitu
kuat. Adanya hubungan genealogis yang sangat kuat inilah yang menjadi semacam perekat
kebersatuan mereka sebagai sesama pewaris suku Byak. Jadi, meski adakalanya pemukiman
mereka berjauhan satu sama lain tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam aktivitas
sosial-budaya, misalnya upacara; maupun hadir untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan
sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.

Tidak hanya soal pembagian tanah tinggal dan berladang, aturan adat suku Byak ini juga meliputi
orang per orang selaku individu, termasuk juga perempuan di dalamnya. Kaum perempuan dalam
aturan Suku Byak yang telah menikah tidak diperkenankan memiliki tanah atau harta keret
suaminya, dan hanya sebatas mempunyai hak atas pemakaian tanah yang diberikan padanya untuk
diolah demi kesejahteraan diri dan anak-anaknya. Mengacu pada pembagian status tanah dan
hutan dalam pengetahuan Suku Byak maka dapat dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya
seperti yang saya sebutkan di atas.

Anda mungkin juga menyukai