Anda di halaman 1dari 26

Dayak Salako adalah sekelompok subsuku Dayak yang bermukim di kawasan Perbatasan Kalimantan

Barat, Indonesia dengan Sarawak Malaysia. Letak pemukiman masyarakat Salako berada di dataran-
dataran tinggi, yaitu di kawasan perbukitan yang memanjang dari ujung pulau dekat laut (Paloh) di
daerah Kampung Bamatn sampai ke Kampung Sajingan yang langsung berbatasan dengan Kampung
Biawak daerah Lundu-Malaysia Barat. Dataran tinggi yang memanjang dari Kampung Bamatn (Sunge
Baning) sampai ke Kampung Sajingan besar ini disebut Pegunungan Poe. Pegunungan Poe menjadi
batas langsung antara Indonesia dan Malaysia.
Di wilayah Salako mengalir satu sungai yang disebut Sungai Bantanan. Sungai ini bermuara di Sungai
Sambas daerah Galing dan mengalir ke Laut Cina Selatan. Nama Bantanan diabadikan untuk
memberikan nama bagi wilayah adat mereka, yaitu Binua Bantanan. Kekayaan alam yang utama di
daerah Salako adalah kayu yang mempunyai nilai tinggi di pasaran dunia. Jenis-jenis kayu berkualitas
tinggi di antaranya adalah kayu belian, meranti, mabang, bengkirai, dan lain sebagainya. Namun sayang
sekali, sejak kawasan tersebut diserahkan kepada PT Yamaker, berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No. 79. II-1967, pada tanggal 1 November 1967 dengan areal penguasaan seluas kurang lebih
843.500 hektar, kawasan hutan Dayak Salako menjadi rusak berat.
Padahal sebelum mengelola kawasan ini berdasarkan Forest Agreement, PT Yamaker ditugaskan selain
mengusahakan hutan juga mensejahterakan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan mengamankan
wilayah perbatasan. Ternyata setelah beroperasi selama lebih dari 30 tahun, kondisi sumber daya hutan
di wilayah ini rusak berat. Misi untuk mengamankan wilayah dari aktivitas penyelundupan, pencurian
kayu, dan perambahan batas negara tidak tercapai. Misi mensejahterakan penduduk hanyalah pepesan
kosong belaka. Malahan penduduknya semakin miskin karena kehilangan hutan sebagai sumber utama
pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Banyak penduduk Salako di wilayah ini yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan
biaya.Satu-satunya jalan yang menghubungkan Sambas dengan Sajingan sampai ke Aruk dan Biawak,
hingga saat ini belum jadi padahal kayu yang diangkut keluar wilayah Dayak Salako ini bernilai miliaran
dollar Amerika Serikat. Selain itu, hukum adat] yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat juga
hancur. Generasi muda juga sudah mulai meninggalkan adat tradisi nenek moyang mereka. Generasi
mudanya enggan untuk menetap di wilayah adat mereka. Hal ini bisa dimaklumi mengingat alamnya
sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka akan makanan dan akan
tempat tinggal yang aman bebas dari gangguan.
Penduduk Salako di Kecamatan Sajingan Besar harus berbesar hati melihat sanak saudara mereka di
negeri jiran hidup lebih makmur dan sejahtera dibandingkan dengan keadaan mereka di Kalimantan
Barat. Nasib mereka ternyata ditentukan oleh pihak lain, yaitu pemerintah yang salah satunya melalui
perusahaan kayu yang beroperasi di kawasan adat mereka.
Jika dilihat dari asal-usulnya, maka pada zaman dahulutidak diketahui secara pasti entah tahun
berapasekelompok orang di wilayah Binua Aya yang arti harafiahnya wilayah yang besar bermufakat
untuk mencarai daerah baru untuk dijadikan tempat kawasan tempat tinggal dan mencari nafkah, seperti
berladang, berkebun, dan berburu. Binua Aya ini diperkirakan berasal dari Binua Pakana, Garantukng,
Gado, Gajekng, Sawak, Sango, dan Garantukng Sakawokng, mulai dari wilayah Mempawah Hulu hingga
di dataran rendah Bukit Bawakng di Kecamatan Samalantan, Subale, Nyarumkop, dan sekitarnya. Alasan
kepindahan ini tidak diketahui secara pasti, apakah karena berperang, bencana alam, atau mungkin
karena adanya desakan dari pendantang baru ke wilayah mereka.
Orang-orang Salako menyebut Binua Aya ini sebagai tanah asal-usul mereka. Namun Binua Aya bukan
merupakan binua atau wilayah adat yang berdiri sendiri. Ia merupakan suatu kawasan yang masih terdiri
dari beberapa wilayah adat lagi. Konsep Binua Aya sebetulnya hanya mau menjelaskan tentang daerah
asal-usul (homeland). Menurut tradisi lisan, perjalanan mereka diawali dari daerah Binua Pakana di
wilayah Mampawah Hulu. Rombongan ini bermaksud mau mencari daerah baru yang masih belum
diketahui tempatnya. Sebelum rombongan berangkat, ketua adat di wilayah Pakana menyarankan agar
dibuat terlebih dahulu upacara adat atau ritual adat. Ritual adat ini mereka sebut batanung. Tujuannya
adalah untuk menentukan wilayah yang cocok untuk dijadikan sebagai kawasan tempat tinggal atau
kampung.
Setelah ditentukan arah yang akan dituju, semua orang di dalam kelompok tersebut membawa masing-
masing segumpal tanah yang mereka ambil dari wilayah Binua Aya. Melalui upacara adat batanung,
diadakan upacara khusus untuk memastikan tempat yang cocok, aman, dan subur untuk tempat tinggal,
berladang, serta banyak binatang buruan di hutan. Pertanda yang tampak adalah, kalau mereka tiba di
suatu tempat dan mendapati tangan mereka yang menggenggam tanah bergetar, itu tandanya tempat
tersebut cocok untuk mereka tinggali. Langkah selanjutnya adalah membuat upacara adat di tempat
tersebut. Tujuannya adalah meminta izin kepada penunggu tanah atau tempat tersebut agar mereka
diperkenankan berdiam di tempat tersebut.
Setelah berjalan berhari-hari, mereka belum juga memperoleh pertanda mengenai tanah yang cocok
untuk didiami. Tanpa mengenal rasa putus asa,mereka meneruskan perjalanan. Namun setelah berhari-
hari berjalan, mereka pun mulai merasa putus asa dan kelelahan. Mau kembali ke tanah asal-usulnya di
daerah Mempawah Hulu kepalang tanggung karena tiada pilihan terbaik. Dengan demikian, mereka
meneruskan perjalanan. Pada suatu ketika, rombongan ini dihadang oleh sungai besar. Mereka
mengalami kesulitan untuk menyeberangi sungai tersebut. Rasa putus asa pun memuncak. Mereka
saling mempersalahkan satu sama lain. Ini salah Kao! katasalah seorang rombongan, dan dibalas oleh
yang lain, Salah Kao! dan seterusnya. Sejak saat itu, tempat tersebut disebut Salako. Sungai yang
mengalir itu pun disebut Sungai Salako.
Ada juga cerita versi lain yang mengatakan bahwa pada zaman dulu, banyak anjing liar (sejenis serigala)
di wilayah tersebut. Anjing liar ini dinamakan lako yang dalam bahasa Badamea disebut ako. Setiap
malam anjing-anjing liar ini selalu menyalak, sehingga disebut salak ako. Jadi, Salako berasal dari kata
salak lako/ako, yang artinya salak anjing liar yang bernama lako/ako (Simon Takdir,2002). Diceritakan
kemudian, dengan menggunakan rakit rombongan ini berhasil menyeberangi Sungai Salako tersebut.
Sesampainya di Kampung Galing dan Paloh, belum juga ada tanda-tanda bergetarnya tangan mereka
yang menggenggam tanah. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju Perbatasan Sarawak,
wilayah Sajingan yang terletak di kaki Pegunungan Poe. Sebelum mencapai kaki Gunung Poe, tiba-tiba
ada getaran seolah-olah ada gempa. Yang paling keras bergetar adalah tangan mereka yang
menggenggam tanah. Hal ini menandakan bahwa mereka telah sampai pada tempat tujuan. Oleh karena
itu, mereka segera membuat ritual adat atau upacara adat di tanah yang baru itu. Tujuannya ialah untuk
meminta izin kepada penunggu tanah (roh halus atau kamang) agar mereka diperbolehkan menetap di
tempat tersebut.
Pegunungan Poe memanjang dari arah selatan (berbatasan laut Cina Selatan) ke utara Perbatasan
Kalimantan Barat-Indonesia dan Sarawak-Malaysia Barat. Jika diperhatikan, keadaan alam yang menjadi
pemisah Indonesia dan Malaysia merupakan kawasan perbukitan terjal yang memanjang dari wilayah
Sambas hingga ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Namun demikian, batas geografis ini tidak
berarti apa-apa dalam memisahkan suku Salako dan bahasa yang mereka tuturkan. Hal ini selaras
dengan pendapat pakar ilmu bahasa dari Malaysia, Asmah Haji Omar (1970) yang mengatakan bahwa,
Batas wilayah tidak seharusnya sama dengan batas dialek. Dalam kasus ini termasuk juga bahasa dan
penuturnya. Di wilayah Lundu-Sarawak, Malaysia, ada 21 kampung yang termasuk Kampung Kayak
Salako yang menuturkan bahasa Salako.
Pada Dayak Salako di Sajingan dan Lundu, ada dua jenis adat yang mengatur tatatan kehidupan
masyarakat Salako, yaitu adat Salako Gajekng dan adat Salako Sangkuku (lihat Schneider, 1978:74).
Dalam implementasinya, kedua jenis adat ini tidak ada bedanya, semua perangkat adat dan tata cara
ritualnya pada dasarnya sama. Yang membedakan keduanya adalah cara ngalepet (membungkus)
bontokng.22 Pada Adat Salako Gajekng, lepet (bungkus) bontokng-nya disebut lepet amo (bungkus
nasi). Sedangkan pada Adat Salako Sangkuku disebut lepet karake atau lepet sirih. Aliran Adat Salako
Gajekng melibatkan para panglima, pamane (orang yang cerdik pandai), dan pabanci (orang yang
terkenal karena pandai adat istidat, kaya, berkuasa, dan berwibawa). Tugas mereka adalah mengatur
dan menentukan jenis dan perangkat adat serta jalannya upacara ritual adat. Sedangkan Salako
Sangkuku dilaksanakan oleh rakyat kebanyakan, mereka termasuk pelaksana adat atau pelaku adat.
Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang menyolok antara para pelaku adat aliran Gajekng dan
Sangkuku.
Jika ditilik dari faktor fisik, budaya, kebahasaan, dan kekerabatan maka fakta-fakta ini semakin
memperkuat bahwa kedua kelompok ini merupakan satu kelompok. Namun sejak mereka mulai
membedakan diri berdasarkan ritual adat di atas termasuk cerita asal-usul yang menyertainya. Kelompok
ini menjadi terbagi dua aliran adat, yaitu aliran adat Salako Gajekng dan aliran adat Salako
Sangkuku,(bandingkan dengan Schneider, 1978:74).
Sebelum kedatangan agama Kristen Katholik di kalangan masyarakat Dayak Salako, kelompok ini juga
mengenal dan mempraktikkan adat tradisi yang dikenal dengan nama bakayo (mencari kepala musuh).
Pada zaman bakayo tempo dulu, musuh Dayak Salako adalah suku Dayak Iban dan Dayak Sebuyau di
wilayah sebelah utara yaitu Sarawak dan sekitar Perbatasan Kalimantan Barat. Dayak Iban dan Sebuyau
terkenal karena keagresifan, keberanian, dan kesukaannya berperang. Seorang tokoh Dayak Salako
yang terkenal karena keberaniannya membela dan mempertahankan wilayah Salako dari invasi luar
adalah Nek Dibo. Nek Dibo dikenal juga dengan nama Panglima Kayo.
Ada beberapa adat istiadat yang masih dipraktikkan oleh orang Dayak Salako, yaitu adat babuakng
sia (basunat), adat napukng tawar (basaru sumangat), adat naikkatn padi barahu (adat naik dango), adat
bapera (adat melahirkan), adat perkawinan, dan sebagainya. Ada beberapa bahan yang harus disiapkan
dalam melaksanakan upacara adat tersebut, misalnya dalam adat babuakng sia (sunat) secara umum
yang harus disediakan adalah enyekng babi, manok ayam, gula, kopi, minyak goreng, dan lain
sebagainya. Adat babuakng sia atau basunat diterapkan pada anak laki-laki yang baru mau menginjak
usia remaja. Bahan-bahan untuk upacara adat tergantung sepenuhnya pada kemampuan masing-masing
keluarga yang menyelenggarakannya.
Bahanbahan untuk adat napukng tawar terdiri dari tapukng sakampel tepung satu kampel untuk
membuat tumpi kue yang khusus diperuntukkan dalam upacara adat, pingatn piring, iso pisau, duit,
baras poe beras pulut, baras sunguh beras dari ladang, pinang, karake sirih, dan timako tembakau.
Untuk membayar bidan beranak, maka beberapa bahan tersebut di atas diserahkan dalam keadaan
mentah. Sedangkan pada aliran Salako Sangkuku, bahan-bahan untuk upacara adat napukng tawar
yang harus diserahkan terdiri dari manok 3 eko ayam tiga ekor, binyak goreng minyak goreng, baras
poe beras pulut, beras sunguh beras dari ladang, bontokng, kapur, pingatn piring, iso pisau, duit,
karake daunsirih, timako tembakau.
Pembagian bahan-bahan ritual adat tersebut sudah diatur sebagai berikut, yaitu satu ekor untuk adat,
setengah ekor untuk bidan dan satu setengah ekor untuk tuan rumah. Dalam aliran adat Salako Gajekng,
bontokng harus di-lepet amo, maksudnya beras yang dimasak dalam daun jenis palem, namun arah
lipatannya harus ke belakang. Sedangkan pada aliran adat Salako Sangkuku, bontokng-nya harus dilipat
karake, artinya daun untuk membungkus bontokng tadi harus dilipat searah permukaan atas daun.
Subsuku Dayak Salako-Badamea yang bermukim di Kabupaten Sambas menyebar di Binua Bantanan
yang terletak di Kecamantan Sajingan, yaitu di Kampung Tapakng, Kuranyi, Ngole, Sajingan, Sunge
Ano, Bamatn (Sunge Baning), Asu Asakng, Tanyukng, Batu Itapm, Sawah, Sasak, Batakng
Aer(Kalimantan), dan Nyala (Sanipahan). Kelompok ini tersebar hingga ke wilayah Kecamatan Tebas,
yaitu di Kampung Parranyo.
Total jumlah Dayak Salako di Sajingan dan Tebas yaitu 7.294 jiwa di Sajingan Besar dan 706 jiwa di
Parranyo, Pangkalan Kongsi, dan sekitarnya (sensus Tahun 2001). Subsuku Dayak Salako juga terdapat
di wilayah Distrik Lundu, Sarawak, Malaysia Barat. Mereka tersebar di 21 kampung, yaitu Poe, Siru,
Sabaat, Tembaga, Paon, Samapu, Judin, Sabaho, Sarayan, Sabiris, Tibaro, Jampari, Sidamak, Sabigo,
Rukapm, Sidaikng, Tanjam, Jangkar, Jantatn, Biawak, dan Bapangokng (Pasir Ulu).
Dayak Salako dan Iban, secara kebahasaan memang sudah banyak dikaji oleh para linguis. Hudson
(1970) pernah mengelompokkan kelompok ini ke dalam kelompok Dayak-Melayik. Nothofer (1997) dan
Adelaar (1985, 1992) memperkenalkan istilah Melayik untuk menggambarkan suatu subkelompok yang
anggotanya termasuk semua dialek Melayu dan juga varian bahasa yang berhubungan dekat yang tidak
biasanya dianggap sebagai dialek Melayu, termasuk Iban, Selako, dan Kendayan (Adelaar 1995a: 4443
dalam Collins, 1999). Memang secara kebahasaan, dari aspek fonologi, semantik, dan leksikal, bahasa
yang tergolong dalam rumpun Melayik menunjukkan kesamaan.
Di Kabupaten Bengkayang, istilah Salako yang ditujukan untuk menyebut penutur bahasa Badamea,
tidak dikenal oleh penuturnya. Istilah Selako atau Salako hanya populer di wilayah Kecamatan Sajingan,
Sambas, dan Malaysia. Sedangkan di Kecamatan Samalantan, mereka diidentifikasi menurut wilayah
adat atau binua tempat tinggal mereka. Nama yang lebih umum dikenal di kalangan masyarakat adalah
Dayak Kanayatn. Jadi proses pengidentifikasian yang lengkap melibatkan unsur bahasa, binua, dan
istilah Kanayatn, sehingga dikenal Dayak Kanayatn Gajekng Badamea. Suku Dayak Salako masih
memiliki subsuku lagi yaitu:
1. Salako Badamea-Gajekng
2. Salako Garantukng Sakawokng





Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya
Orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people) pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal-
usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan.Kelompok imigran
yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini tidak ada
lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang
sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500
SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990).
Secara harafiah, kata Dayak berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu,
orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata Dayak ini juga merupakan nama
kolektif bagi banyak kelompok suku di Kalimantan atau Borneo. Dalam suku Dayak itu sendiri, terdapat
kelompok-kelompok Suku yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak
seni, organisasi social dan berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990)

Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku
kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-
an (Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu, dalam kaitanya
dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum
adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928) mengklasifikasikan suku Dayak kedalam
enam subsuku besar yang disebutnya stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu; (2)Ot danum; (3)Iban;
(4)murut; (5)kleamantan; dan (6)punan .

Lain halnya dengan W.Stohr (Das Totenritual der Dajak,dalam etnologia,Koln:1959) yang membagi
suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar totenritual,yaitu (1)kenyah-kenyah-bahau, (2)Ot danum (Ot
danum,Ngaju,Maanyan,luangan); (3)Iban; (4)Murut (dusun,murut, kalabit ; (5) klemantan
(klemantan,Dayak Darat ); dan(6) punan. Sedangkan Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga
kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).

Sellato (1989) mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu (1)orang melayu;
(2)orang iban ; (3)kelompok baito(Ot-danum, siang, murung, luangan, maanyan, benuag, bentian, dan
tunjung); (4)kelompok Barat; (5)kelompok timur laut; (6)kelompok Kenyan dan kenyah yang tinggal di
Kalimantan timur dan pedalaman serawak; (7)kelompok utara tengah yang mendiami bagian utara
Kalimantan, seperti orang kelabit,lun Dayeh,lun bawang dan murut bukit, orang kajang, Berawang,dan
melanau di sebelah barat Kalimantan. Dalam kelompok ini,hanya orang kelabit dan lun dayeh yang
bersawah; dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di
Kalimantan (Singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon dkk.,1996:356-363;sellato,1989). Klasifikasi sellato
ini dibuat berdasarkan alasan-alasan (1)aliran sungai; (2)geografis,etnografis, dan budaya material;
(3)bahasa yaitu bahasa austronesia, bahasa Filipina, bahasa melayu, bahasa di sulawesi selatan, dan
bahasa madagaskar; (4)cara dan tempat penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi
social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).

Dalam teori antropologi dan hukum adat, metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas, telah di
lakukan oleh beberapa ahli sejak lama. Misalnya,pertama-tama adalah van vollenhoven (1918)yang
menciptakan konsep daerah hukum adat(recbtskring). Menurutnya, di Indonesia terdapat 19 daerah
hukum adat, dan salah satunya adalah Kalimantan atau borneo. Kemudian,franz Boas (1930)membuat
konsep culture area .selanjutnya , J.steward (1955)yang menciptakan konsep tipe sosio-kulturalyang
diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963), Hildred Geesrtz (komunitas budaya),dan
Koentjaraningrat (1971). Akhirnya, Ave (1970) yang memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat
berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3)
peralatan dan teknologi. Ketiganya disebut mode of production (Marzali,1997:141-147).


Rekonstruksi Kedatangan Nenek Moyang Salako

Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju
pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju
Kalimantan Barat barangkali ada yang memasuki muara suangai Sambas dan Salako. Kelompok yang
memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim di kaki bukit Senujuh dikawasan sungai Sambas
besar. Di kawasan ini sekitar tahun 1291 berdiri kerajaan Sambas (Ahmad dan Zaini, 1989) dengan
rajanya tanpa bergelar Sultan dan rakyatnya masih menganut agama tradisional dan Hindu.
Menurut Simon Takdir (2007) Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena
jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukkan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu
datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayotn atau
raro dengan ragam-ragan bahasa mereka yaitu bakati ba nyam, dan ba nyadu. Para penutur dari ketiga
ragam ini masih saling mengerti ketika mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing
(mutual intelligibillity). Walaupun pembauran telah terjadi, ciri-ciri budaya dari keduanya masih
tampak.misalnya, budaya Austronesia pada suku ini adalah menganyau, tinggal di batang, dan
sebagainya. Budaya Austronesia masih tetap dominan karena adanya kontak budaya dengan kelompok
Austronesia lainnya. Warisan Weddoide yang masih bertahan adalah menjadikan hewan anjing sebagai
hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan
yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide
yang masih memiliki peralatan dari batu.
Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman suku Kanoyotn ini selalu di atas, atau
di hulu pemukiman kelompok Austronesia, namun tidak begitu jauh letaknya. Pada umumnya dibatasi
oleh sungai, bukit atau rimba. Bagaimanapun juga suku ini masih keturunan dari Austronesia.
Selanjutnya Simon Takdir mengatakan bahwa Kelompok Austronesia yang lain yang jumlahnya lebih
besar memasuki muara sungai Salako (Saako). Di Salako ini ada bukit yang namanya Sarinokng (bhs.
Melayu: Selindung). Mereka memilih bukit Sarinokng dan Pulo Nangko sebagai tempat bermukim
mereka. Pada waktu itu dibukit Sarinokng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul
daratan baru yaitu kota Selakau sekarang.. Sarinokng yang dulu berada di pantai kini berada jauh
daripantai. Sarinokng ini selanjutnya disebut Salako Tuho (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Mudo.
Nama Salako itu sendiri mungkin berasal dari Saak Ako. Konon disana dulu banyak anjing hutan yang
besar yang disebut asu ako. Masyarakat sering mendengar salaknya baik siang maupun malam. Karena
anjing hutan ini mengganggu kehidupan masyarakat, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka.
Orang Austronesia ini tidak mau makan anjing.

Orang Austronesia menganggap anjing adalah binatang sial. Alam supernatural tidak mau berteman dan
memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Kesempatan
menjaditukang belian, pamarani atau orang sakti hilang jika yang bersangkutan makan daging binatang
itu. Selain itu, arwah orang meninggal yang hendak menuju Subayotn harus melalui tujuh pararangan,
yaitu titi bajoo, titi bagoro, tajur manimang, padokng maabo (banyak anjing besar dan ganas), nangko
rayo (puai elo), bea gamokng (pasar tempat orang berjudi, Subayotn (tempat jiwa orang baik yang sudah
meninggal). Orang Austronesia ini percaya bahwa orang yang suka makan daging anjing jiwanya akan
dikejar dan disiksa oleh anjing-anjing di Padokng Maabo ini. Karena itu ketika masih di dunia keturunan
Dayak Saalko dilarang memakan daging anjing. Orang Salako yang memakan daging anjing sekarang ini
telah mereka kontak dengan suku-suku indonesia lainnya seperti Cina, Batak, Ambon, Manado, Dayak
Kanayatn dan sebagainya.
Kawasan anjing hutan yang biasa menyalak itu selanjutnya disebut Saako (ucapan bhs. Saako pada
umumnya menghilangkan fonem : /I/ dalam Sa(l)ako). Nama ini selanjutnya digunakan untuk menyebut
nama wilayah, nama sungai, nama suku, dan nama bahasa penduduk yang mendiaminya.


PENYEBARAN DAYAK SALAKO

Dayak Salako diyakini berasal dari daerah Aliran Sungai Selako (sekarang nama Kecamatan di Kabupaten
sambas). Keyakinan ini selain berasal dari penelitian Simon Takdir (2006) , juga dari hasil wawancara
penulis dengan sejumlah informan baik yang berasal dari Sasak, Biawak (Malaysia), Lundu dan Paon.
Semua informan dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sarinokng (muara
sungai Selako). Tempat ini sekarang dikenal sebagai Selakau Tua. Bukti adanya pemukiman di daerah
Sarinokng ini diperoleh dari cerita lisan yang selalu disampaikan oleh cerita oranng tua secara turun-
temurun. Selain itu disekitar daerah ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya
pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang
disebut Padagi/Panyugu[1] yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi
bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat. Tambahan pula, dilokasi bukit Sarinokng ini
ditemukan sebuah Nekara[2] pada bulan Mei 1991 yang kini di simpan di Museum Negri Pontianak.
Mckinnon (1991) menyatakan bahwa:
finds of sherds of coarse prehistoric paddlemarked and basket-impressed earthenware in and around an
area of white sand at the foot of bukit selindung maybe an indication of an early settlement in the area,
though not necessarily one with any connection with drums-the criteria for such a settlement site would
appear to be met-an area of firm dry land upstream from the coast but with riverine access to the sea, with
a source of potable water (the stream from the hill) and at one time abundance of building materials and
food resources-estuarine fish, shell fish and other equatic life.

Menurut Simon Takdir (2006,) Setelah beberapa lama tinggal di Sarinokng dan Pulo Nangko, beberapa
orang dari mereka berusaha pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain, atas kemauan sendiri karena lokasi ladang yang sudah terbatas, ada juga yang karena konflik
dalam komunitas hasil pengaruh luar. Sejumlah informan di lokasi ini mengatakan bahwa orang Dayak
tinggal disini sekitar 6-7 generasi . Hal ini diperkuat dengan adanya keramat dilokasi ini yang masih
dapat dilihat hingga sekarang.
Dari Sarinokng ini ada kelompok yang pindah ke Pemangkat. Kelompok ini dipimpin oleh Ne Mangkat.
Menurut cerita Pemangkat berasal dari nama pemimpin kelompok ini . kelompok inilah yang pertama
kali membuka daerah pemangkat sekarang . Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah
dengan menulusuri sungai Sabangko hingga ke daerah yang sekarang disebut Paranyo (dalam bahasa
Melayu: Pelanjau).Mereka mendirikan bantang (Rumah panjang) mereka di sini. Kelompok lainnya
mudik ke hulu melalui sungai Bantanan, mereka berdiam di Tabing Daya (17 km dari Sekura sekarang),
kemudian menyebar dengan mudik lagi di Kuta lama ( dekat pasar Galing sekarang), selanjutnya ada
yang mudik lagi ke Jaranang (sungai ano sekarang), terus mudik lagi di Bapantang Batu Itapm, di Batu
Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang . Generasi dari Batu Itapm ini kemudian
menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24
kampung dengan populasi 9558 jiwa (JKKP, Desember 2007). Umumnya informan di Biawak, Rukapm
dan Paon yang penulis wawancarai mengetahui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Indonesia
tepatnya Batu Itapm di Kecamatan Sajingan Besar sekarang . Di Malaysia, Dayak Salako dimasukan ke
dalam rumpun Dayak Bidayuh.
Di setiap tempat yang didiami, paling kurang nenek moyang orang Selako tinggal sekitar 3 sampai 4
generasi sebelum ada yang bermigrasi . Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di
Sarinokng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Malayu.
Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini
walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang
Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Beberapa kelompok pindah lagi dengan menelusuri hulu sungai Salako.Ada yang menelusuri sungai
Sangokng dan naik di Nek Balo, terus ke Nek DatePotekng, ajintotn, ango, Pakunan, Samarek, Pasi dan
seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke SahowoBagak, Pasar, Sanorekng, Ranto,
Sakong dan sebagainya. Orang Saopo asalnya orang Bagak.
Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawokng Abo dan pindah ke Puaje. Orang Bantang
Sahowo pernah pindah ke Puaje. Perjalanan menelusuri sungai Selako yang berhulu di Bukit Bawokng
(gunung Bawang) telah mengatur kelompok orang Dayak Salako yang lain ke Lao, daerah Serukam. dari
sini menyebar ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya.
Wilayah lainya adalah Garantukng Sakawokng (Puaje,Pasar/Pak Kucing, Sanorekng, Pareto/Saopo,
Bagaksahowo, Nyarongkop/NeUsur/Kamar, Potekng/ Pajintotn, dan Paranyo).dan Sango Sakawokng
(Sango, Gare, Pakunam, Pasi, Sakong, Ranto) . Batas Garantukng sakawokng dan Sango Sakawokng
adalah Pentek (Tirtayasa). batas Garantukng Sakawokng dengan Sawak Hilir adalah kampung Puaje
(jembatan dekat simpang Monterado).
Ada kelompok lain lagi yang berasal dari Lao pindah hingga Pakana (Karangan). ini nenek Moyang orang
Salako yang menurut mereka yang berbahasa baahe dan banana. Selanjutnya terjadi penyebaran ke
berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam
bahasa sarumpun).
Mereka yang berdiam di Pakana sekarang umumnya beragama Islam tetapi masih menyebut diri mereka
Dayak dan mereka masih mempraktekan budaya Dayak. Bahkan beberapa diantaranya ada yang
memelihara babi walaupun sudah tidak memakannya lagi. Diyakini bahwa di pakana ini pada masa lalu
ada semacam pusat pemerintahan dengan penduduk yang cukup ramai. Disini terjadi infiltrasi
pengajaran agama islam, mereka yang menerima agama islam tetap bertahan tetapi yang tidak menerima
memilih pergi migrasi ketempat-tempat lainnya. Selain itu di Pakana inilah diyakini pula sebagai puncak
migrasi orang dayak Selako yang dikemudian hari suku ini berkembang kedalam berbagai dialeg bahasa.
Sebagaimana diketahui bahwa dialeg orang selako meliputi badameo, ba-ahe, ba-jare, ba-nana ba-ngape.
Tentang perubahan dialeg bahasa ini, kemungkinan disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan yang
selalu berubah. Bennett (1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia
terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata system-
sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati
keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk
menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang
digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik
maupun sosial (Alland, Jr, 1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983).
Sebagai suatu proses mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan.
Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi yang terus-menerus antara manusia
serta antara manusia dengan ekosistemnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).

Menurut McElroy dan Townsend (1989), kemampuan suatu kategori individu untuk beradaptasi
mempunyai nilai dan makna bagi kelangsungan hidupnya. Semakin besar kemampuan adaptasi makhluk
hidup, semakin besar pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan pandangan ini, Sahlins
(1968) berpendapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana suatu kategori individu berusaha
memaksimalkan kesempatan hidupnya. Oleh karena itu, baik Sahlins maupun Anderson (1973)
berpendapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang berkesinambungan dan tidak akan
pernah berakhir dengan kesempurnaan. Jadi adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis,
karena lingkungan dan populasi manusia selalu berubah (Hardesty, 1977 via Abdoellah, 1997).

Berdasarkan konsep adaptasi ini, hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya harus bersifat
sirkuler. Artinya, tingkah laku manusia (kebudayaan) dapat mengubah suatu lingkungan, dan sebaliknya
lingkungan yang berubah itu memerlukan adaptasi yang selalu di dapat diperbaharui agar manusia dapat
bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 75-
76). Oleh karena itu, adalah relevan apa yang dikatakan oleh Alland Jr (1975: 70), yaitu bahwa to combine
the study of bebavioral adaptation as human ecology (external adaptation) with the investigation of
mental structures (internal adaptation) and their manifestation in actual behavioral system. Inilah yang
disebut ekologi structural di mana ada interaksi antara mind, behavior, and ecological adaptation
(1975:59).

Sementara itu, para pengikut posibilisme kebudayaan berpandangan bahwa lingkungan selalu bersifat
memberi kemungkinan dan pembatasan-pembatasan bagi terbentuknya suatu bentuk kebudayaan
tertentu sebagai akibat dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam ataupun lingkungan
social budayanya (bdk. Sahlins, 1968). Pandangan ini merupakan reaksi terhadap determinisme
kebudayaan (bdk. Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Penganut determinisme lingkungan dan
paradigma positivisme linear berpandangan bahwa lingkungan menjadi penentu kebudayaan manusia
(bdk. F. Barth, 1968; Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Sedangkan positivisme memuat nilai-nilai
dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang
dapat dikontrol, dimanipulasi, dan digeneralisasi sehingga gejala didepan bisa diprediksikan.

Penulis yang ba-ahe dapat menggunakan bahasa ba-ahe dengan informan di Biawak, Paon dan Rukapm
daerah Lundu Malaysia yang berdialeg badameo. Komunikasi kami dapat saling dimengerti dalam 90
persen, dengan ditambah bahasa melayu standar, kami dapat berkomunikasi intens dengan baik.


Agama Tradisional dan Adat.

Adat yang mencakup pengertian religi , norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos
merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat Dayak Salako dalam kehidupannya. Adat
bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas
terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Masyarakat ini dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya
Religi Neolitikum yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dala interaksinya dengan alam
lingkungan hidupnya (Hofes: 1983).[3] mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki,
kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja,
tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari apa yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi
tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka
baik dan jahat selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
Religi berasal dari bahasa Inggris relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare berarti
menyatukan (to bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones : 1975)
karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam
kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak
Selako disebut adat. Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh
penyangohotn (imam):

Bukotnnyo unang i-mantabok i-marompokng adat aturan anyian, io inurunan ampet i ne Unte i
kaimantotn, ne ancino i Tanyukng Bungo, ne Sarukng i sampuro, ne Rapek i sampero, ne Sai i sabako,
ne ramotn i saau, ne ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak parucue make io dah
tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.
(terjeahan bebas: bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh
mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari
etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero, Nek Sai di
bukit Sabako, Nek Ramotn di bukit sabau Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya
menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).[4]

Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi
manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature)
dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural
masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat
tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-
bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) misalnya posisi ayam kurban,
jenis daun ritual dan tempat-tempat mitis dari setiap desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional
atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk
kalangan sendiri (Spier : 1981).
World-view (pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta
(kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar
alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn.[5]Bentuk
kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam
non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri
merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan
seimbang dengan para tetangganya unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan
seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.
Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan zat lainnya
dalam dirinya (Sudarminta : 2006). Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari dalam sistem
kehidupan (kosmos) ini (Priyono : 1993). Setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai
dan fungsinya yang saling mendukung dalam satu kesatuan untuk mencapai suau tujuan,kehidupan yang
harmonis dan seimbang.
Sikap manusia dalam korelasinya bersama unsur-unsur lain dalam sistem kehidupan itu menentukan
kehidupan manusia bersama lingkungannya, baik secara individu maupun komunitas. Sikap manusia
yang mau menghargai, menghormati dan bersahabt dengan alam akan memberikan permusuhan dan
kesengsaraan bagi manusia memisahkan diri dan beroposisi dengan alam.

Mitos Kematian

Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam didasarkan atas
adanya korelasi tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-
mitos yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987).[6] Alam berkomunikasi
dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia
dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.
Beberapa contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yangberkolerasi dalam sistem itu
diuraikan disini. Pertama, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad
manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan
meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari
sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu
dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00.[7] tanda
Ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu
bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (ngooh), pada malam sebelumnya suara riuh
rendah dari mahluk malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh
mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (nereng). Orang menafsirkannya bahwa
alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya.
Tidak ada kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupan masyarakat Dayak Salako.
Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk
membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Ketika jenasah
itu dikubur atau dibakar (dikremasi), selanjutnya orang tidak pernah mengenali dimana letak kuburan
manusia yang meninggal itu. Dia dikubur tanpa nisan.
Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako
berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia
sesungguhnya berasal dari alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo
(meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam
tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang
lebih rendah (Darwin : 2002).
Kedua, manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk
tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai alam (bhs. Dayak
Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan
kegiatan diluar rumah. Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng Langit, tokoh dalam mitos
manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup.[8] kasus lain sebagai contoh
yaitu sebuah mitos maniamas yang melanggar suara rasi dari kijokng (kijang) sebuah rasi keras, rasi
orang mati berdarah.
Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari
semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia
keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah
menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng
(tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru
Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang
khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang,
memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh.
Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo
Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu
juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.
Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung
Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar
semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia
mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan,
segala ternak di rumah,
Hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan
mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di beri sesajian dalam
bentuk Patek. Doanya sebagai berikut.

(patek diambil dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)
Au unang nyian patek tampi paribaso si ane (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi kitoam badamo
Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito an dingasoan dingarap, ingampioh am
batimang. Ame kito batimang jawi, batimang jaji ka manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn,
jaji ka banir buoh. Kurrra patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di atas
kurban)

(Terjemahan bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu (sebut nama si
pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung jawa. Bungkikik burung matan.
Kalian yang diharapkan untuk menimang segala mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang
biak dan berketurunan. Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia
beranak pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon buah-
buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi ini).

MEMAHAMI ALAM LINGKUNGAN

Beberapa contoh pernyataan nyata manusia sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap alam terlihat
dalam hal-hal yang berikut. Pertama, ketika alam mengalami musibah misalnya, tanoh rantak (tanah
longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan berjinah dan pembunuhan manusia-manusia
membuat upacara ritual besar dan lengkap. Upacara ritual seperti ini disebut ngadati ai tanoh, paayo
paansar, tumpuk tampat kediaman (mengadati air dan tanah, wilayah kerja untuk mendapatkan rejeki,
tempat tinggal) ritual ini merupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan
alam yang telah rusak itu dipulihkan kembali. Tanah yang longsor, tanah yang rusak, tanah yang kotor
karena perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang sakit. Kondisi alam seperti itu merupakan
tanggungjawab manusia sebagai tetangga alam untuk memulihkannya. Ini semua dilakukan agar
kekotoran dan kerusakan alam tidak berlarit-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia.
Sebagai sebuah sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain secara
otomatis tidak dapat berfunfsi dengan baik.
Selanjutnya lahan yang digarap untuk bercocok tanam harus diobati karena lahan tersebut
dianggapmenderita. Melalui persembahan yang disebut petak (kamoh di dalam cangkir manusia
mengobati alam, yakni dengan menyampaikan penghargaan, sikap hormat dan bersahabat atas
pengorbanan lahan yang telah digunakan mereka untuk mendapatkan rejeki kehidupan sehingga korelasi
itu kembali normal, dan kelak kemudian hari manusia dengan mudah mendapatkan rezeki dari setiap
lahan yang digarapnya.[9]
Dalam upacara ritual itu lahan ladang dan sawah yang meliputi tanah, mahluk hidup yang ada di atasnya,
dan semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput (rumput ratai), pohon besar dan kecil (kayu kayan),
serta rotan dan tumbuhan merambat (ui bararotn) lainnya, yang ditebas, ditebang dan kemudian
dibakar-disapa melalui doa dan diberi sesajian oleh manusia agar jangan sampai mereka marah
berkepanjangan, dan dendam sehingga mereka menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup
dari berladang dan bercocok tanam. Petikan doanya adalah sebagai berikut:
(cara memberikan sesajian patek tengah (tangoh) ini sama dengan patek tampi).
Au anyian patek tangoh mirikngio tanoh, rumput ratai, kayu kayan, ui bararotn an dimangas,
dinabokng, dinunu, dimumputn, ame sampe kito bero, ngaapat, ngaraju, antas nyikso nyangsaro
manusio am baumo batahutn, bacocok tanam. Au kito bujokng Pabaras, Manyang Pabawar, kito an
dingarap, ingaso, ingampioh, urokng an jajokng pantas painyuokng, ngantato pirikng si Anu (sebut
nama yang melaksanakan ritual) mirikngi kito. Ampar bide, tutukng pulito pao canang babagi baongko
ka paranak ucu kito. (Lambungkan patek itu di atas kurban sambil berkata: Kurrra patek tangoh).[10]
Adanya korelasi dalam sistem ini masyarakat Dayak Salako memahami bahwa alam selalu siap
membantu kehidupan teman-nya manusia disetiap saat. Bahkan alam akan memberikan bantuannya
ketika manusia menghadapi kesulitan yang paling berbahaya, misalnya perang suku. Manusia Dayak
selalu meminta alam melalui upacara ritualnya memberikan kebaikannya agar membantu dan
melindunginya dalam menghadapi lawannya.

Budaya

Praktik religius dalam upacara ritual suku ini merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun
relasi yang baik dengan unsur-unsur yang non-manusia agar keseimbangan dan keharmonisan dalam
sistem kehidupan tetap berlangsung. Usaha itu dapat kita saksikan dalam bentuk doa dan kurban yang
tidak hanya ditujukan kepada para Jubato (dewa), awo pama (arwah para leluhur) dan roh-roh lainnya
(hantu, setan, iblis), namun juga terhadap segala bentuk organisme (hewan, tumbuhan) dan non-
organisme (misalnya besi, karat besi/tagar, petir, dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit) dalam
kehidupannya.[11]
Seperti agama mototheis agama kristen katolik Roma upacara ritual dalam religi tradisional ini
(politheis) memiliki dua unsur yang nyata dalam prakteknya, yaitu doa (bhs. Dayak Salako: sampado,
sampokng, bamang) dan kurban persembahan (buis bantotn). Doa merupakan bentuk komunikasi nyata
dari manusia dengan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki kekuatan seperti manusia, bahkan lebih,
dalam sistem kehidupan ini.
Kurban persembahan dari hasil karya yang terbaik merupakan bentuk paribaso (sikap hormat dan
bersahabat) dari manusia terhadap unsur-unsur lain dalam sistem kehidupannya. Melalui kurban ini
manusia tidak hanya menanamkan budi baiknya, tetapi juga untuk memenangkan unsur-unsur non-
manusia yang marah atas perbuatan manusia yang salah sehingga hubungan yang rusak dapat
dinarmalkan kembali.
Berkomunikasi (doa) dengan alam yang tidak disertai dengan paribaso dalam religi tradisional
masyarakat Dayak Salako adalah sengko (timpang), dan ini amai (tabu) dilaksanakan. Mengapa alam
sebagai sahabat harus ada paribaso, sebagai wujud nyata dari rasa hormat dan tali persahabatan yang
dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh
manusia. Berkomunikasi tanpa adanya sesuatu yang melengkapi komunikasi itu (sesuatu yang diberikan)
dikatakan berkomunikasi dengan ai iur bari (air liur basi), artinya hanya omong kosong saja. Bentuk
paribaso yang paling sederhana sebagai pelengkap komunikasi itu adalah antek (selembar sirih yang
sudah diolesi kapur, irisan pinang dan gambir serta rokok daun dan tembakau).
Perilaku ini terbawa dalam interaksi antar manusia Dayak dalam kehidupannya ketika mengunjungi
kerabat atau temannya. Seseorang biasanya akan membawa oleh-oleh berupa kueh walaupun
sederhana namun bermakna untuk anak-anak keluarga yang dikunjunginya dengan tujuan untuk
menbina ikatan ekosional yang kuat antara kedua belah pihak.
Melalui upacara ritualnya (doa dan kurba) manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia itu
untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati kurban persembahan yang telah
disiapkan untuk mereka. Mereka menurut pemahaman masyarakat Dayak Selako menikmati
persembahan kurban itu dari aroma (sau)-nya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki,
kesehatan dan keselamatan dari mereka dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia meakan
sisa makanan yang mengandung berkat mereka. Manusia mendahulukan mereka menikmati kurban
persembahan yang masih utuh dan sebalikny manusia memakan sisa dari mereka dalam upacara
ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam. Hal itu dapat
dilihat dari petikan doa penutup ritual (ngangkat buis) yang diucapkan oleh panyangohotn (imam):
Au nyian unang bukenyo barapat, baraju. Maabotn dan rinso, sampo dah masak, kitopun dah ako
makotn saue, makotn kukuse, makotn baue. Nyian unang si Ane (sebut nama keluarga pemilik kurban
persembahan) dah makatnno siso, makatnno labih, katepokng sampo, kaimpapu kito. Kadenyo se
makotn, jaji daging, jaji amak, jaji manse , jaji sajuk, jaji dingin, jaji sedo,jaji sanang, jaji baruntukng
batuoh barajaki ka manusio, ka piarootn, ka padi baras ka lawokng karamigi, ka umo k pathunan. Io
ngangkat buis bntatn ne nyian ampo ngangkat sumangat padi, sumangat uang, sumangat taro, sumangat
amas perak. Angkat ka pucuk, angkat ka atas, angkat untuknge angkat tuhe.
So, duo, tau, ampat, imo, anam, tujuh, Kurrra sumangat buis bantotn lowokng karamigi si Ane (sebut
nama sipemilik kurban, dan upacara ritual selesai).

(terjemahan bebas: Ini bukanlah kami marah ataupun merajuk. Segala-galanya sudah sempurna dan
kalian sudah selesai bersantap. Kini saatnya bagi si Anu (sebut nama pemilik kurban) akan menerima
berkat kalian dari sisa-sisa santapan kalian. Semoga sisa santapan ini menjadi berkat rejeki, kesehatan
dan kesehatan bagi keluarga yang menyamtapnya).

Dalam riyual ini secara kohesi manusia alam diikat dan dipererat. Kohesi itu selalu diperbaharui dan
dipertegas dalam setiap upacara ritual misalnya, dalam, upacara ritual padi Nurutni dan Ngabayotn.

Praktek agama tradisional berupa persembahan (Nyangahotn) terdiri dari tumpipoe, apar, buis, pabayo,
pantak, soor (salor), dan tempat-tempat pemujaan penting mereka adalah bukit Bawakng, Nek Bancino
Tanyukng Bungo (bukit sungai Raya/Pasir Panjang ). Seorang informan di Biawak mengatakan bahwa dia
pernah nyangahotn di Bengakayang sekitar tahun 1998 yang lalu. Informan lain di paon (Malaysia)
mengatakan bahwa apabila dia nyangahotn maka jubata yang dipanggil adalah yang dari Bukit Bawakng,
Bancina tanjung Bunga dan sejumlah nama tempat seperti Sarinokng, Batu Itapm dan Pakana di
Mempawah Hulu sekarang.
Secara umum dapat diamati bahwa praktek adat ( hukum adat dan adat istiadat) antara semua kelompok
dayak Salako( baahedan badameo) adalah sama. Persamaan umum ini telah menunjukan nenek moyang
mereka sama. adapun perbedaan kecil yang lain, misalnya menggunakan anjing sebagai hewan
persembahaan merupakan assimilasi (alkuturasi) antara kanayatn (bakati) dengan Salako yang mana
tempat pemukiman kedua komunitas itu berdekatan.

Alat yang digunakan untuk bakayo (headhunting) oleh komunitas-komunitas Dayak Salako adalah
Tangkitn dan Bolekng (dalam dielek badameo: Boekng,) bukan mando (mandau). Boekng atau Bolekng
(tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan pegangannya dari kayu) biasa juga disebut
tampoleng/tampolekng oleh penutur dalam semua dialek di atas. Ceritera rakyat dari Mempawah Hulu
(Kaca dan Tiakng Tanyukng) lokasi penelitian Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap.-menceritakan:
Sarata nya ninyak tanah di Mani Amas lalu bakata Leo Baja: Dusaku. Sambilnya ngalansaratn
bolekngnya. Maniamas nyingkubakng talu kali, udah koa nya mabut tangkitnnya. (Begitu Maniamas
menginjakkan kakinya ke tanah,lalu leo Baja berkata,Dusaku, sambil ia melayangkan tombaknya.
Maniamas melompat (salto) tiga kali, setelah itu dia mencabut tangkitnya).
Tangkitn (lihat catatan kaki hal. 14) adalah sejenis parang yang hanya digunakan khusus untuk bakayo.
Selain itu biasa juga digunakan dalam upacara-upacara ritual lainnya seperti upacara pengobatan yaitu
baliatn (baiotn), badukun/balenggang. Parang yang digunakan untuk pekerjan sehari-hari disebut iso
(gagangnya dibuat dari kayu).
Mengacu pada uraian diatas, Dayak Salako sekarang menyebar di Kabupaten Sambas, Pontianak, Landak,
Bengkayang dan distrik Lundu di Malaysia Timur. Populasinya diperkirakan lebih dari 900 ribu jiwa.


DEMOGRAFI

Wilayah di Pulau Kalimantan yang sekarang didiami oleh Dayak selako dapatlah dikatakan sebagai
daerah pertemuan berbagai suku bangsa di Nusantara. Sejak tahun 1000 Masehi, didaerah ini telah
terjadi interaksi dengan bangsa bangsa lain, misalnya dengan China. Interaksi dengan China ini terlihat
sampai sekarang melalui pola makan dan sistem pertanian. Orang salako kalau sedang pesta menyajikan
makanan secara berkelompok (baconcok) dengan, makanan yang disajikan dimasak dengan menu China
dan makannya juga menggunakan sumpit. Dalam hal pertanian, orang Dayak Salako menggunakan
sebutan-sebutan China misalnya Tin sun (kotak), keo (parit), Liam (bengkok), Taja (alat pembuang
runput), Lojong (benih padi yang disemai) dan masih banyak lagi yang lainnya. Kerajaan Majapahit dan
Sriwijayapun sempat menanamkan pengaruhnya di daerah ini. Situs-situs sejarah kehadiran kedua
kerajaan besar di Nusantara tersebut banyak dijumpai di daerah ini.
Wilayah yang dihuni Dayak salako terdiri dari hutan. Berdasarkan jenisnya, hutan di daerah ini termasuk
jenis hutan tropis, oleh sebab itu kawasan hutannya kaya akan berbagai jenis kayu. Di hutan-hutannya,
terutama pada wilayah kelola masyarakat dapat ditemukan berbagai jenis kayu, di antaranya kayu
tengkawang, ramin, belian, dll. Selain kayu, kabupaten ini mempunyai kekayaan flora antara lain jenis
anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman obat, tanaman hias, dll. Di samping itu terdapat bermacam-
macam tanaman pertanian dan perkebunan. Di Kawasan hutan mereka masih banyak ditemukan
berbagai macam fauna terkenal antara lain orang utan, kukang, rusa, burung enggang, trenggiling,
Landak dan kancil.

SISTEM PERTANIAN

Masyarakat Dayak Selako yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum
dikategorikan dalam masyarakat horticultural (Kottak : 1974).[12] Maksudnya masyarakat yang
subsistensi utamanya adalah menanam padi diladang dan di sawah guna memenuhi kebutuhan konsumsi
keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Diladang yang sama ini juga bersama padi mereka
menanam tanaman-tanaman lain sebagai pangan penyangga kebutuhan sehari-hari rumah tangga seperti
sayur-mayur, jagung, keladi, ubi, pepaya, tebu, dan lain-lain. Bentuk subsistensi ini masih didukung lagi
oleh hasil-hasil lain seperti berburu, hasil dari hutan, tanaman karet dan pohon buah-buahan. Bentuk
subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun
hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Bentuk subsistensi yang ekstensif ini sepenuhnya
masih bergantung pada alam.

Dalam berladang Orang Salako melakukannya dalam beberapa tahap sebagai berikut :
1. Ngaranto
Yang dimaksud dengan ngaranto adalah langkah yang pertama dilakukan dalam memilih lokasi tempat
berladang/sawah,apakah tempat ini sudah tua atau belum untuk diladangi dan kemudian memotong
akar-akarkayu yang mau mengganggu di waktu proses melakukan penebasan nantinya,disamping itu juga
meneliti keadaan disekitar tempat yang mau diladangi apakah ada terdapat sarang burung atau sarang
lebah,karena jenis sarang binatang ini dapat mengganggu yang dikatakan RASI

2. Nyangko
Nyangko adalah suatu kegiatan yang dilakukan supaya orang lain dapat mengetahui bahwa sipemilik
tanah itu mau berladang pada lokasi tersebut dan sekaligus nyangko juga dapat diartikan ajakan kepada
orang lain supaya mereka bersama-sama berladang pada sekitar lokasi yang dimaksud supaya
memudahkan orang mengatasi atau menjaga segala sesuatu usaha/tanaman dari serangan/gangguan
binatang,misalnya,seperti binatang kera,babi,rusa,dan lain sebagainya.

3. Ngawah
Kegiatan ngawah adalah memilih hari,memilih tanggal dan nangarat kata-kata burung serta memilih
bulatn agar lading yang dimaksud padinya nanti apabila ditanam dapat tumbuh dan mendatangkan hasil
yang memuaskan.Ngawah biasanya hanya dilakukan pada sa'at penebasan 3 sampai 7 kali saja lalu
pulang

4. Ngantat batu
Kegiatan ngantat batu adalah suatu kegiatan yang menunjukkan awal dari pada kegiatan penebasan yang
dilakukan hanya satu sampai dua jam saja lalu pulang

5. Nyulukng batu
Nyulukng batu adalah merupakan kelanjutan daripada kegiatan Ngantat batu,bedanya hanya nyulukng
sudah dapat membawa bekal dan harus makatn ditempat itu.

6. Bahuma
Kegiatan bahuma baru dapat dilakukan penebasan lokasi tempat bahuma setelah selesai batas waktu
yang dimaksud tersebut di atas dan kegiatan bahuma memang memakatn waktu yang cukup lama

7. Ngaratas
Kegiatan ngaratas adalah suatu kegiatan menebang kayu raras atau anak-anak kayu yang belum ditebang
pada waktu kegiatan menebas tadinya.

8. Nempot
Kegiatan nempot adalah kegiatan menebang pohon atau rumpun bambu saja,seperti bambu
munti,bambu buluh,bambu tarekng dan bambu para,sehinga semakin jelas dipandang sebagai ladang.
9. Nabakng
Dalam kegiatan nabakng ada upacara adatnya,yaitu munuh manok dua eko',yang satu jantan yang lain
betina '.maksud upacar ini adalah memberitahukan (bapadah) kepada nenek moyang yang punya lokasi
terdahulu (yang punya akoatn) dan supaya para perserta menebang terhindar dari bahaya timpa'kayu
yang rebah ditebang nantinya,setelah selesai upacara barulah dilaksanakan kegiatan menebang
pohon.kegiatan Nabakng adalah suatu kegiatan penebangan pohon-pohon kayu besar dilokasi ladang
yang belum ditebang sebelumnya sehingga pemandanggan diseluruh lokasi tampak jelas seperti
bagaimana ladang layaknya dan dengan selesainya kegiatan menebang berarti tuan ladang tinggal
menunggu atau menjemur lahan supaya apabila sudah kering siap untuk dibakar.

10. Ngarangke Raba'.
Ngarangke raba adalah waktu tunggu dalam mempersiapkan lahan supaya kering dan mati dalam jangka
waktu 1 sampai dewngan 2 bulan bagi lokasi ladang dari kayu rimba yang kemudian barulah siap untuk
dinunu/dibakar.

11. Ngararakatn
Ngararakatn adalah kegiatan untuk mempersiapkan pembakaran ladang pada masa tunggu,supaya sa'at
pembakaran nantinya api yang hidup ditengah ladang tidak merembet kehutan.jaraknya Ngararakatn
biasanya dilakukan antara 2 sampai 3 meter dari pinggir ladang tertular yang dibatasi jalan yang bersih
dari sampah/debu atau dibungi lumpurnya.

12. Nunu'.
Nunu'.adalah kegiatan membakar ladang,dalam kegiatan ini biasanya jika disekitar lokasi ladang terdapat
usaha orang lain berupa kebun karet,kebun kopi,pondok,sawah/ladang,tembawang dan usaha
lainnya,maka orang yang bersangkutan harus diajak membakar ladang agar membantu menjaga
usahanya supaya terhindar dari rembetan api tersebut.

13. Ngalaet.
Ngalaet adalah kegiatan membersihkan sisa pohon dan ranting-ranting kayu yang tidak habis dimakatn
api pada waktu pembakaran/nunu.Biasanya pembersihan sisa-sisa ranting dan pohon kayu dilakukan
agar pada saat menugal padi nantinya lebih enak serta mudah menugal maupun mudah membubuhi padi
pada lubang tugal.

14. Ngalabuhatn
Ngalabuhatn adalah suatu upacara yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan menugal padi.Maksud
diadakan upacara ngalabuhatn ialah untuk memilih Bit'bintang,hari baik supaya padi yang akan ditanam
dapat hidup dengan baik dan menghasilkan buah yang berlimpah ruah serta di samping itu ngalabuhatn
juga merupakan suatu kegiatan untuk membuat pabanihan,yaitu tempat menanam padi yang pertama
pada ladang itu.

15. Nugal
Sebelum melakukan kegiatan lain terlebih dahulu melakukan upacara dengan pamangnya,yaitu Mukahi
Tanah Ngampak 3 nga'kali atau tariu,dengan bunyi sebagai berikut:"Bakapet kao tanah,ha ngalongkokng
kau urat ta,minta tanah nian nugal nya ka timanyang ngiliratn ai ".Kegiatan nugal ini dalam pertengahan
hari,misalnya sehabis sikuan/serapan,ada upacara adatnya,yaitu Ngalantekbatn mata benih adalah
bapadah ka Jubata bahwa sudah mulai menanam padi baru ,minta padi yang ditanam hidupnya tumbuh
baik,badautn libar,babatakng ka'a,babiti'calikng,batunut lanu'minta tidak mempunyai pangaruh
hama/baho,pangaco,pangaruka'uma tahutn tersebut.
Nugal adalah suatu kegiatan menanam padi diladang yang dilakukan pada musimnya oleh masyarakat
adapt baik kaum tua maupun kaum muda.Menurut kebiasaan para kaum pria sebagai tukakng
tugal(membuat lubang padi) dan kaum wanita sebagai tukakng pamanih (memasukkan/menaburkan
padi pada lubang tugal).Jika sudah selesai kegiatan nugal dan sudah pulang ka'rumah,maka si pemilik
ladang pada saat aleatn harus melakukan pemburasaan ai'/musasatnai' dari solekng dengan bunyi
sebagai berikut: "sa', dua',talu,ampat,lima,anam,tujuh,ai'nyian ku burastn padi ku nyian idupnya ka
ai'nang kaluar nyian minta rata ,nana' ada nang lalo'idupnya".

16. Muang Tabutn
Kegitan muang tabutn adalah suatu kegiatan yang dilakukan diwaktu giliran aleatn yang terakhir dan
pada sa'at inilah muang tabutn dilakukan yang harus dihadiri oleh semua anggota aleatn.Sedangkan cara
pelaksanaannya adalah setiap anggota aleatn wajib membawa alat perlengkapan dan bahan-bahan
keperluan seperti:
1.Gula
2.Baras Sunguh
3.Baras Poe'secukupnya
4.Membuat bahol/leko.

Caranya pelaksanaannya adalah padi dibagi atau disusun sedemikian rupa di atas batang kayu dengan
beberapa jumlah anggota kita sekeluarga yang dimulai dari bapak,ibu,anak tertua sampai pada anak yang
terakhir dan yang juga giliran pada binatang peliharaan kita,seperti
manok/ayam,jalu/babi,kucing,asu'/anjing,kambing, dan binatang peliharaan lainnya.
Setelah pembagian/penyusunan padi pada setiap anggota keluarga dan pada macam-macam binatang
peliharaan,barulah dilanjutkan dengan acara padi yang dibagi tersebut diatas batang kayu tadi
ditaredekkatn sebanyak 7 kali.Selama Naredekkatn ini 4 kali menghadap ketengah ladang dan 3 kali
menghadap kepinggir ladang atau ke hutan yang tidak diladangi.Selanjutnya kayu yang di teredekkatn
tadi dilemparkan sambil melompat disertai dengan tariu oleh semua anggota aleatn yang hadir.

17. Ngalajuki
Ngalajuki adalah suatu upacara yang dilakukan setelah padi hidup selama 7 hari sampai 14 hari
(2minggu).Adapun maksud upacara ini adalah supaya padi yang di tanam dan hidup itu dapat hidup
dengan baik serta subur sehungga menghasilkan buah yang banyak.

18. Ngarapat.
Ngarapat adalah sesuatu upacara yang dilakukan ke dua kalinya dilokasi ladang tersebut .Adapun maksud
daripada upacara ini adalah membuang hama/baho penyakit padi yang dilakukan secara serentak oleh
setiap orang dikampokng yang bersangkutan.

19. Ngaladakng Buntikng Padi
Ngaladakng buntikng padi adalah sesuatu upacara adat yang dilakukan pada saat padi baru mulai
buntikng yang yang dilaksanakan di pabanihan dengan maksud supaya padi diladang itu dapat berbuah
dengan baik tanpa ada ganguan ham/baho,sehinga padi tersebut dapat mendatangkan hasil yang
memuaskan.

20. Mipit
Mipit adalah suatu kegiatan upara adat pada saat padi sedang menguning dengan mengambil satu
tangkai atau lebih buah padi di ladang lalu dibawa pulang ke rumah dan setelah tiba dirumah padi tadi
dilayur/dipangang di atas api untuk dicempale'pada setiap anggota keluarga masing-masing agar tidak
kemponan,karena pada saat padi mulai menguning (akan masak) setiap orang sedang sibuk membuat
alat perlengkapan panen padi,seperti menganyam,nyiru,tikar/bidai,pante,langko,dan perlengkapan
lainnya.

21. Ngaleko
Ngaleko adalah upacara adat pada saat padi sudah masak dan sebelum panen padi
dimulai.Pelaksanaannya pada hari pertama panen itu cukup mengambil sedikit (satu tangkai) saja lalu
dibawa pulang kerumah,setelah tiba dirumah padi tadi langsung dibersihkan,dijemur setelah kering lalu
ditumbuk atau digiling pada mesin padi dan pada malamnya beras tadi dibuat lepet dibungkus dengan
daun layakng lalu dimasak baru pagi harinya lepet tadi disajikan dalam upacara adapt yang biasanya
disebut ;Ngaleko".

23. Bahanyi
Bahanyi adalah suatu kegiatan pengambilan padi diladang atau sawah yang dilakukan dengan proses
gotong royong atau aleatn secara bergiliran dari ladang salah seorang dan kemudian giliran dengan
berulang-ulang kali hingga kegiatan panen selesai.
Sekarang yang disebutkan ini mengenai adapt manusia Sidas Daya dari jaman lama sampai jaman
sekarang masih banyak digunakan bagi manusia umumnya Daya Kanayatn dari awal sampai berakhir
riwayatnya.

Seluruh tahapan-tahapan ini dipenuhi dengan upacara adat berupa sesajian dan didoakan dengan cara
nyangahatn. Berdasarkan periode perladangan, maka Nyangahatn (upacara adat) dalam keseluruhan
siklus kegiatan berladang dapat dibagi menjadi 4 bagian, yakni:
1. Priode persiapan: Baburukng, Ka Pantulak, dan Ngawah
2. Priode penggarapan: Nyangahatn Raba, Balabuh Ka Pabanihatn, Muakng Tabut, Ngamalo Lubakng
Tugal, Ngiliratn, Nyiakng Buntikng Laki, Nyiakng Buntikng Bini, dan Macah Talo Padi Mampar.
3. Priode Panen: Ngikat (Ngabat Pihawakng), Marantika, Ngarantuk, dan Matahatn.
4. Priode syukuran: Mabut Pihawakng dan Naik Dango.




FAKTOR LUAR YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN DAYAK SALAKO

GERAKAN PGRS/PARAKU

Sejarah perpolitikan di Kalimantan barat ditandai dengan adanya Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau PGRS/PARAKU. Lahirnya PGRS/PARAKU diawali dengan
munculnya ide atau gagasan rakyat Cina yang ada di Kalimantan Barat untuk membentuk suatu negara
yang dapat berdiri sendiri tanpa terlihat oleh peraturan-peraturan dan kekuasaan pemerintahan. Dengan
demikian, timbulnya gerakan PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat merupakan follow up dari pendirian
yang selama ini telah ada yaitu untuk menyusun suatu Society sendiri dalam arti sosial politik serta yang
tunduk di bawah kepemimpinan Peking. Dengan kata lain, lahirnya PGRS/PARAKU bukan semata-mata
akibat adanya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia pada waktu yang lalu. Namun kemunculan
itu merupakan suatu rencana yang telah lama sedangkan peristiwa konfrontasi itu hanya digunakan
sebagai jembatan.
Organisasi PGRS/PARAKU terbentuk dari suatu gerombolan pada saat terjadinya konfrontasi senjata dan
politik antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1963. Dalam peristiwa tersebut pemerintah
Indonesia memobilisir kekuatan rakyat melalui strategi pembentukan pasukan sukarelawan (Sukwan)
yang terdiri dari pemuda pemudi Indonesia dari seluruh pelosok tanah air. Dalam perkembangannya,
anggota sukwan juga mengikutsertakan pemuda pemudi etnis Cina-Malaysia (Serawak) yang datang
sukarela menggabungkan diri ke dalam tubuh Sukwan Indonesia kurang lebih 850 orang (Coppel,
1994:273).
Sejak tahun 1963 terjadi konfrontasi bersenjata dalam politik yang sengit antara Indonesia dengan
Malaysia. Dalam kondisi seperti itu gerombolan PGRS/PARAKU memanfaatkan waktu untuk membina
rakyat perbatasan yang berada di wilayah kekuasaan hukum Indonesia. Tujuan penyerangan
PGRS/PARAKU dan sukwan-sukwan lainnya diarahkan kepada negara Malaysia terutama Serawak di
Malaysia Timur. Target perjuangannya adalah untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap
pemerintah negara Malaysia dan sasaran perjuangannya adalah merebut kota Kuching sebagai ibukota
wilayah Serawak. Agar tujuan itu tercapai, mereka membentuk basis-basis yang strategis seperti di distrik
Sampadi/Matan, Lundu, Nonok, Bau, Sibu, Binatang dan Semanggang serta melakukan penyerangan-
penyerangan terhadap pos-pos Tentara Diraja Malaysia (TDM).
Selain itu gerombolan juga aktif melakukan penghadangan-penghadangan kepada siapa saja yang
melintasi jalan umum. Sepanjang daerah perbatasan Indonesia digunakan sebagai basis konsilidasi dan
training centre bagi personilnya. Dengan demikian, apabila gerombolan PGRS/PARAKU didesak oleh
pasukan TDM maka mereka mundur kewilayah Indonesia dan melakukan siasat-siasat penyempurnaan.
Jika mereka melakukan pembinaan kepada rakyat Indonesia di daerah pedalaman Kalimantan Barat
kemudian didesak oleh TNI mereka mundur ke wilayah perbatasan dan menyusun siasat-siasat baru
untuk penyerangan berikutnya (La Ode, 1975:116-118).
Pada saat terjadinya pertentangan politik antara Indonesia dengan Malaysia itu, anggota-anggota
Malaysia comunist Party (MCP) telah digariskan agar masuk ke Indonesia antara lain dari SAYA (serawak
Advance Youth Association), SFA (Serawak Farmers Association) ,SCO( Serawak Comunist Organization)
dengan over SUPP dimulai oleh: Lay Pakah dengan kelompok-kelompoknya masuk dari Tebedu menuju
Balai Karangan, Yap Choon Who, Lay Choon, Wong Hon, Liem Hwo Kway dan Chai Wha Sha masuk dari
Lunndu menuju ke Asuangsang Sajingan.
Sejak bulan Januari 1965 sampai menjelang meletusnya G 30S/PKI, kegiatan infiltrasi dan pertempuran
ke Malaysia meningkat sehingga rakyat di perbatasan di kedua belah pihak (Malaysia dan Indonesia)
sangat terpengaruh oleh kegiatan tersebut. Bantuan perbatasan terutama unsur-unsur Cina sangat besar
jasanya terhadap PGRS/PARAKU.
Pada tanggal 15 Juli 1967, PGRS/PARAKU melakukan penyerbuan terhadap Lapangan Udara Sanggau
Ledo dan berhasil membunuh 4 orang pasukan TNI serta merampas 126 pucuk senjata. Peristiwa itu
menyebabkan semakin tingginya simpati rakyat terhadap gerakan PGRS/PARAKU.
Pada bulan Maret 1967, SA. Sofyan menemui tokoh PGRS/PARAKU yaitu Liem Yen Hwa yang baru tiba
di Serawak. Kemudian bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Tawang kecamatan
Sanggau Ledo Kabupaten Sambas untuk menemui sejumlah tokoh PGRS/PARAKU yang lain seperti Yap
Choong How, Wong Hon, Wong Kee Chok, Lay Choon dan Lay pakah.
Sehubungan dengan semakin meningkatnya perkembangan gerombolan PGRS/PARAKU di Serawak
maka Kodam XII/Tanjungpura bersama 3 BIM Tentara Diraja Malaysia sepakat untuk meningkatkan
operasi militer pembersihan kawasan masing-masing secara menyeluruh. Keputusan operasi
pembersihan tetap mengacu pada Document Jakarta Accord
Setelah kedua belah pihak melakukan konsolidasi, maka 3 BIM langsung melakukan serangan operasi
militer sebagai upaya pembersihan di Distrik Sampadi/Matan, Bau, Lundu, Sibu, dan Semanggang.
Akibatnya kontak senjata antara 3 BIM dengan gerombolan PGRS/PARAKU tak dapat dihindarkan dan
gerombolan menjadi porak-poranda. Melihat kekuatan gerombolan yang lemah maka Koops Sector barat
yang mengerahkan kekuatan Detasemen RPKAD dan dua kompi dari Yon Brawijaya. Operasi
penumpasan terhadap gerombolan PGRS/PARAKU semakin ditingkatan dengan melakukan Operasi
Intelijen ABRI anggota RPKAD Kala Hitam yang dibantu oleh anggota DIPI-AD.
Perlawanan Suku Dayak terhadap gerombolan PGRS/PARAKU dilakukan pada tanggal 14 Oktober 1967
di Kabupaten Sambas dan Mempawah. Perlawanan itu telah memberikan akibat positif dan negatif. Dari
segi positif, terjadinya pengusiran orang-orang Cina dari daerah-daerah pedalaman ke kota-kota sehingga
yang tinggal ditempat itu hanyalah gerombolan bersenjata. Dari segi negatif, tindakan itu mengenai
semua orang Cina tanpa pandang bulu serta hilangnya produksi pertanian yang dulunya dihasilkan oleh
orang-orang Cina.

Setelah berakhirnya operasi Sapu Bersih III pada bulan Januari 1970, maka dapat dilihat bahwa
PGRS/PARAKU dalam kondisi terpecah-pecah dan bercerai berai dalam kelompok-kelompok kecil.
Namun demikian mereka masih melakukan penghadangan-penghadangan kemudian melarikan diri.
Mereka membentuk susunan kekuatan yang lebih kecil dan terlindung diantara rakyat.
Operasi bersama atau gabungan diadakan secara terus-menerus khususnya didaerah perbatasan. Operasi
bersama itu dilakukan dengan cara masing-masing pasukan tidak melintasi batas negara. Pasukan
Indonesia dan Malaysia bergabung dalam satu komando yang disebut Combined Coordinaty Centre
(COCC) yang berkedudukan di Serawak. Di sektor timur tidak terdapat lagi musuh sehingga masyarakat
dapat hidup tentram dan dibina oleh pasukan tempur yang dikoordinir oleh babinsa-babinsa maupun
oleh koramil. Setiap koramil yang memimpin pembinaan wilayah dan intel juga mempunyai tenaga
tempur. Setiap kodim tersedia kompi-kompi cadangan yang tempatnya tersebar (Komandan Korem,
1993: 19-20).
Proses pembersihan gerakan PGRS/Paraku ini masih sangat diingat dengan jelas oleh penduduk di darah
sasak, sajingan dan Biawak. Kalangan tua (usia 60 an tahun) sampai saat ini masih trauma kalau
diwawancarai, mereka selalu mengatakan tolong nama saya jangan di tulis. Mereka takut kelak terjadi
sesuatu pada mereka akibat penulisan namanya. Yang paling menyedihkan dan dampaknya sangat terasa
sampai saat ini adalah penduduk yang ada di daerah sajingan sangat sulit memperoleh pendidikan.
Persoalan transportasi yang sulit ke sekolah-sekolah yang jauh di kota Sambas. Pembangunan yang
lambat ini oleh sebagian informan diyakini ada kaitannya dengan penumpasan PGRS/Paraku pada masa
yang lalu.


KONDISI SOSIAL-EKONOMI DI LOKASI STUDI

Kecamatan Sajingan Besar merupakan kecamatan baru hasil pemekaran pada tahun 1997, terletak di
ujung Timur laut Kabupaten Sambas. Hingga saat ini kecamatan ini masih sulit dijangkau. Jalan darat ke
kecamatan ini belum sepenuhnya tembus. Titik terdekat dengan jaringan jalan yang masuk akal adalah
Galing (ibukota Kecamatan Galing). Dari Kota Sambas, ada dua jalur yang dapat digunakan untuk
mencapai Galing, yakni jalur yang melalui Sejangkung (ibukota Kecamatan Sejangkung) dan jalur yang
menuju Sekura (ibukota Kecamatan Teluk Keramat). Ruas jalan Galing Sasak masih sedang dibangun .
Hingga tulisan ini ditulis, jembatan Sungai Sijang di ruas jalan ini baru saja selesai dibangun. Jalan lain
untuk memasuki wilayah ini adalah jalan air. Sungai Bantanan, yang berhulu bagian barat tengah
kecamatan ini dan mengalir melewati Sekura dan bermuara di Pemangkat, menjadi jalan air utama.
Sebenarnya di kecamatan ini tidak terlalu banyak kampung yang berada di tepi sungai ini. Hanya Sasak,
Senipahan (Nyala) dan Batang Air yang mempunyai akses ke sungai ini. Desa Sabunga (yang merupakan
kumpulan Kampung-kampung Aruk, Aping dan Beruang) lebih dekat dengan jalur Sungai Sambas.
Tempat-tempat lain yang terdapat di Desa Sungai Bening, Kaliau dan Sanatab selain tidak punya jaringan
jalan yang baik juga berada jauh dari sungai yang bisa dijadikan jalan air.

Kecamatan ini memiliki 5 desa yang sebelumnya termasuk dalam berbagai kecamatan yang berbeda:
Desa Sabunga (Sejangkung), Desa Sungai Bening (Paloh) dan Desa-desa Santaban, Sanatab dan Keliau
(Teluk Keramat). Sebagian warga mempertanyakan dasar-dasar alasan dibentuknya kecamatan baru ini.
Mereka berpraduga pembentukan kecamatan ini merupakan pengelompokan desa-desa Dayak dan di
belakang itu terdapat motif-motif tertentu.

Kampung-kampung di dalam desa-desa yang membentuk kecamatan ini merupakan kampung-kampung
Dayak. Istilah kampung Dayak di sini lebih untuk menekankan bahwa kampung-kampung tersebut
mempunyai kesejarahan yang melekat pada kultur Dayak. Namun demikian di kecamatan ini terdapat
dua macam kelompok bahasa (sering disebut juga sub-etnis[13]), yakni Salako dan Rara. Orang-orang
yang tergolong dalam kelompok bahasa Salako ini tinggal di kampung-kampung Sungai Bening,
Asuansang (Desa Sungai Bening), Keranji, Tapang, Ngole, Sungai Enau, Sajingan (Desa Kaliau), Tanjung,
Sawah, Batu Hitam (Desa Sanatab), Sasak, Senipahan atau yang sering disebut Nyala Batang Air (Desa
Santaban). Orang Rara terdapat di tiga kampung: Aruk, Aping dan Beruang (Desa Sabunga). Secara
tradisional kampung-kampung ini masuk ke dalam struktur sosiopolitik lokal yang dinamakan binua
(Salako) dan benua (Rara). Benua Aruk meliputi kampung-kampung Aruk, Aping dan Beruang.
Kampung-kampung selebihnya adalah kampung-kampung Salako yang termasuk dalam Binua
Sampayang. Situasi geografis menyebabkan orang Dayak Salako agak jarang berkontak dengan orang
Dayak Rara karena kedua komunitas mempunyai jalur sungai masing-masing. Faktor lain adalah bahasa
yang berbeda. Namun demikian banyak terjadi orang Rara menguasai bahasa Salako daripada sebaliknya.
Hal ini wajar karena bahasa Salako mempunyai kedekatan dengan Bahasa Indonesia (Bahasa Salako
merupakan salah satu bahasa Malayic Dayaklihat King, 1993 h. 52-53). Selain itu penutur bahasa ini
cukup banyak di propinsi ini kalau kita mengartikannya secara isogloss. Secara isgoglos bahasa ini dapat
digunakan sebagai alat komunikasi di daerah Nyarumpkop dan sekitarnya hingga sebagian Samalantan,
dan sebagian besar wilayah Kabupaten Landak (lihat Takdir, 2003).

Di antara kampung-kampung tersebut terdapat kampung-kampung yang berpenduduk campuran Dayak
dan Meayu. Di antaranya adalah Sasak (Dayak 155 keluarga, Melayu 27 keluarga) dan Asuansang (Dayak
28 keluarga, Melayu 14 keluarga). Bahkan sejarah pembentukan Kampung Sasak tidak dapat dipisahkan
dari kehadiran dua kelompok etnis ini.

Kampung Sasak merupakan basis bagi pengamatan lapangan dalam kaitan studi ini, sekaligus dalam
konteks program kegiatan kampung ini merupakan target awal program fasilitasi di wilayah ini. Kampung
cukup strategis sehingga banyak Informasi dari daerah yang lebih hulu maupun daerah yang lebih hilir
bisa terdengan di kampung ini, sebelum diadakan pengecekan di kampung yang bersangkutan. Salah satu
faktor mengapa Informasi lebih mudah didapat di kampung ini adalah bahwa mobilitas penduduk
kampung ini relatif tinggi. Selain letaknya yang cukup strategisuntuk pergi ke hulu maupun ke hilir ada
dua pilihan yakni jalan darat dan jalan airpemilik kendaraan air (perahu dengan motor tempel) dan
sepeda motor cukup banyak di kampung ini. Relasi MelayuDayak nampak di kampung ini bukan hanya
dalam relasi warga Melayu di RT 5 dengan warga Dayak di RT-RT lainnya, tetapi juga nampak dalam
relasi antara orang Sasak dengan orang Gurah, orang Sagu, orang Galing maupun yang lainnya.

Kampung ini merupakan bagian dari Desa Santaban[14] di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten
Sambas. Kampung ini terletak di kedua tepi Sungai Bantanan, sekitar 10 kilometer kilometer di sebelah
hulu Kota Kecamatan Galing. Meskipun sekarang status administratif dari entitas sosio-politik ini adalah
dusun, istilah kampung digunakan dalam pembahasan ini untuk memberi konotasi historis bahwa entitas
sosio-politik ini mempunyai sejarah kemandirian sosio-politik. Artinya, Sasak mempunyai sejarah sendiri
yang unik berbeda dengan sejarah Nyala (Senipahan), yang sekarang merupakan dusun lain dalam Desa
Santaban.

Ada 3 kelompok pemukiman di kampung ini. Satu kelompok pemukiman terletak di sebelah kanan
Sungai Bantanan kalau kita menuju ke hulu sedangkan dua kelompok yang lain terletak di sebelah kiri
sungai, kira-kira dua atau tiga ratus meter lebih ke hulu dibandingkan letak pemukiman yang di kanan
sungai. Pemukiman yang lain di sebelah kiri sungai berjarak kira-kira tujuh ratus meter ke arah hulu.
Ketika sistem desa diberlakukan di kampung ini, pemukiman yang di sebelah kanan sungai
dikelompokkan menjadi Rukun Tetangga (RT) 1 dan RT 2. Pemukiman di sebelah kiri sungai yang
sebelah hilir menjadi RT 3 dan RT 4, sedangkan yang di sebelah hulu dijadikan RT 5.

Warga yang tinggal di RT 1, 2, 3 dan 4 sebagian besar berasal dari Kampung Riam yang terletak di hulu
Sungai Bantanan. Beberapa orang berasal dari kampung-kampung lain di daerah perhuluan seperti
Sawah, Sungai Bening dan Batang Air. Penduduk ke-empat RT ini beretnis Dayak Salako. Mereka
berpindah ke hilir pada akhir tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an dan bersama-sama dengan
orang-orang Melayu dari Kampung Sagu mendirikan sebuah kampung yang kemudian mereka namakan
Sasak. Melalui perkawinan orang-orang dari berbagai daerah dan etnisitas menetap di empat RT ini.
Sekarang jumlah KK di ke-empat RT tersebut 155. RT 5 merupakan pemukiman yang mula-mula
didirikan oleh orang-orang Melayu yang pindah dari Kampung Sagu. Pada awalnya jumlah mereka hanya
5 KK tetapi kemudian bertambah dengan kedatangan orang-orang dari berbagai kecamatan di Kabupaten
Sambas (dan bahkan Bengkayang) yang kemudian menetap di situ. Sekarang ada 37 KK di RT tersebut,
27 merupakan keluarga Melayu sedangkan 10 keluarga adalah mereka yang sebelumnya tinggal di RT 1
4 lalu pindah ke situ karena tanah sawah atau kebun karet mereka berada di sekitar daerah itu.


Kampung ini dihuni oleh 910 orang penduduk. Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar
penduduk. Padi pada umumnya ditanam untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Produksi padi per hektar
rata-rata 700 kilogram gabah. Dengan rendemen 60%, rata-rata produksi gabah per keluarga per tahun
420 kilogram. Jika rata-rata per keluarga mengonsumsi beras 50 kilogram per bulan, hasil ini hanya
mencukupi kebutuhan 8 9 bulan. Kebutuhan beras untuk 3 4 bulan selebihnya biasanya dipenuhi
dengan membeli.

Karet merupakan hasil pertanian yang diandalkan untuk menghasilkan uang tunai (cash). Hasil rata-rata
karet per hari per keluarga sebesar 4 kilogram sheet kering. Dengan harga per Pebruari 2008 sebesar Rp
12.500 per kilogram, penghasilan rata-rata per hari Rp 50. 000 atau Rp. 1.000. 000 per bulan dari karet.
Penghasilan ini digunakan untuk membeli beras , pakaian, pendidikan dan kebutuhan sosial lainnya.

Dari jumlah 910 orang tersebut terdapat 775 orang Dayak Salako yang tinggal di RT1 hingga RT 5 dan 135
orang Melayu yang tinggal di RT 5. Ada beberapa orang Melayu (dan juga orang-orang dari etnis lain di
luar Dayak dan Melayu seperti Bugis, Jawa, Sunda, orang dari Pulau Flores) yang kawin dengan orang
Dayak dan tinggal bersama keluarga istri atau suami; namun kelompok ini tidak masuk dalam kategori
yang dibahas di sini.

Dalam kehidupan sehari-haripun nampak toleransi dan solidaritas yang ditunjukkan oleh kedua
komunitas ini. Jika ada warga yang sakit, ada orang-orang yang secara sukarela mengorganisir
pengumpulan dana untuk meringankan biaya pengobatan. Pesta-pesta (pernikahan, dsb.) direncanakan
sebelumnya sehingga sumbangan dapat dikumpulkan tanpa membebani warga. pembedaan suku atau
agama tidak nampak dalam percakapan sehari-hari maupun dalam perencanaan kegiatan-kegiatan di
tingkat kampung.


PERJALANAN KE SASAK

Pontianak - Sambas
Rute dua kota yang berjarak 220 km ini dihubungkan dengan jalan darat.Kota yang dilalui antara lain
Sei.Pinyuh,Mempawah,Singkawang,Pemangkat dan Tebas.Lamanya perjalanan dengan mobil sekitar 5
jam.selain dengan mobil sendiri,ke Sambas juga dapat ditempuh dengan mobil angkutan umum rute
Pontianak Sambas atau Pontianak -Kartiasa,jumlah mobil ini cukup banyak sehingga tidak sulit
mendapatkanya.

Sambas-Sasak

Dari Sambas Ke Sasak maupun ke Sajingan dapat ditempuh dengan jalan darat, . dan sungai. Apabila
mengunakan kendaraan (mobil) sendiri,rute yang ditempuh adalah menuju Sekura dengan melewati
Kartiasa dan Tanjung. Mobil dapat dititip di rumah penduduk di Tanjung,. Selanjutnya dari Tanjung ke
Sekura menyeberang mengunakan Motor Kelotok dengan biaya Rp.500/orang. Usahakan tiba di Sekura
sebelum jam 09.00 pagi,karena motor air ke Sasak berangkat pada jam tersebut. Motor air ke Sasak dapat
dijumpai di pelabuhan Sekura. Cerita ini tahun 2003 berakhir. Sejak tahun itu tak ada lagi motor air
angkutan sungai . Jalur darat dapat ditempuh dengan cara berikut : dari Sambas anda menuju simpang
Galing (sebelum Tanjung), anda belok ke kanan dan bisa bermobil sampai ke Sasak. Sejak tahun 2003
sudah ada mobil angkutan umum dari Sambas ke Aruk. Rute ini melewati Sasak. Disarankan anda
berhenti di Simpang Sasak di warung miliknya Niko, dari warung itu anda berjalan kakai sejauh 1800 m
menuju pusat kampung. Jika anda berhenti di Galing dapat Di temui beberapa kontak person seperti:
Agus dan Tamek,Agus paling mudah dicari,dia punya warung kopi dipinggir sungai. .Setibanya di Sasak
anda dapat menginap dirumah Kades,Kadus,Pak Sahril maupun Obertus.

Sasak-Biawak Malaysia

Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan jalan darat, itupun kalau tidak hujan.Hujan sangat
berpengaruh untuk pergi ke Biawak,jalan masih tanah dan kalau hujan sangat sulit dilalui karena becek.
jalan darat ini tegolong berat banyak Gunung dilalui.Gunung yang paling tinggi dinamai Leter S,karena
selain menanjak curam dan bentuknya seperti hurup S .Di Sajingan dapat menemui Pak Sekdes Desa
Kaliau (Sajingan adalah desa pusat Kaliau sekaligus pusat kecamatan Sajingan Besar) rumahnya sebelum
jembatan menuju pusat desa. Dari Sajingan ini anda dapat berkunjung ke Malaysia. Pemukiman yang
bisa dikunjungi di Malaysia namanya Biawak.dari sajingan sekitar 30 menit dengan motor,di Biawak ini
dapat ditemui toko-toko yang cukup besar,anda dapat memesan aneka makanan dan mata uang yang
berlaku adalah Ringgit Malaysia. Satu Ringgit uang indonesia 2900/Ringgit,di Biawak ada terminal
Jurusan Kucing dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dari Biawak. Saat ini di perbatasan RI-Malaysia
sedang dibangun gerbang perbatasan, pos Imigrasi dan jalan beraspal yang bagus.Sebelum memasuki
Biawak,anda melewati Depot kayu, diperkirakan depot kayu ini menampung kayu-kayu dari Indonesia.
Kontras sekali keadaannya, kalau tadinya anda melewati hutan, namun setibanya di Biawak anda akan
bertemu terminal,jalan beraspal,toko-toko besar yang bersih dan bangunan yang bagus.jadi kontras sekali
permandangan dikawasan perbatasan ini bagaikan siang dan malam. Ada puluhan orang dari kampung-
kampung di Indonesia(perbatasan) setiap harinya menjual produk taninya di Biawak Malaysia.

PERJALANAN KE LUNDU

PONTIANAK- KUCHING

Penulis menyarankan menggunakan jalur Darat menuju Kucing. Dari Pontianak ada banyak Bus yang
beroperasi diantaranya : Damri, SJS, Tebakang, ATS, Eva, PB Sri Merah. Bis ekonomi biayanya Rp
140.000 (45 RM), sedangkan bis eksekutif biayanya Rp 200.000 (70RM). Waktu tempuh sekitar 11 jam,
termasuk sekitar 2 jam di perbatasan, berangkat pukul 9 malam dari Pontianak dan tiba sekitar pukul
8.00 pagi di terminal Kucing.

KUCHING- LUNDU

Dari Kuching ke Lundu kita dapat menggunakan Bis Sarawak transport Berhad dengan biaya sekitar 10
RM. Bisa juga menggunakan Taxi dengan biaya sekali jalan 120 RM dan apabila disewa pulang pergi
biayanya 180 RM-240 RM. Kampung-kampung orang dayak salako yang dilewati di distrik Lundu adalah
: bagak, Sembawang, Sabigo, Sedemak, jampari, Tebaro, Sebiris, Keranji, Serayan Hilir, Perigi, Sebako,
Paon, Simapu, Poe dan terakhir pasar Sematan. Jumlah orang Dayak Selako yang menjadi warga Negara
Malaysia adalah 9558 Jiwa, data bulan Desember 2007 ( JKKKP-Lundu 2008).

CATATAN PENUTUP
Saya masih terus menambah data-data penelitian ini agar lebih lengkap dan sempurna. Segala saran dan
kritik sangat penulis harapkan.
[1] Padagi adalah kumpulan pantak untuk satu Binuo.
[2] Nekara (benda perunggu peninggalan sejarah) adalah sejenis berumbung dari perunggu- tembaga
bercampur timah putih dan hasilnya lebih keras dari tembaga yang berpinggang dibagian tengahnya dan
sisi atasnya tertutup, jadi dapatlah kira-kira disamakan dengan dandang ditelungkupkan. Nekara ini
digunakan orang untuk maksud-maksud upacara yang tersebar luas di seluruh wilayah Asia Tenggara
(Hall, 1988). Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson, menurut
nama tempat penyelidikan pertama di Tonkin. Orang masih percaya bahwa nekara ini bagian adalah
bagian bulan yang jatuh dari langit. Karena itu nekara ini mereka simpan dalam kuil (pura) dan dianggap
suci seta dipuja penduduk.
[3]Religi Neolitkum jika dibandingkan religi manusia Neandertal dan Cro-Magnon maksudnya religi
yang berkembang ketika manusia mulai hidup menetap (semi menetap) dengan mata pencaharian
bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada saat itu manusia mulai bergantung pada kesuburan alam.
Manusia mulai menyadari adanya keteraturan alam, musim sehingga mereka dapat memprediksi tahun
dengan panen melimpah dan yang kekurangan. Orang-orang Neolitkum membangun religi mereka
berdasarkan kesuburan tanah, manusia dan ternak. Hal-hal tersebut membuat mereka menciptakan
mitologi-motologi dalam mana mereka mempersinofikasikan alam menjadi dewa-dewa mereka. Adapun
ciri-ciri umum dari religi ini antara lain, adanya bentuk-bentuk animisme (setiap benda mempunyai
jiwa/roh) magis, rama/firasat tabu (amai) totem, kurban persembahan, ritual-ritual peralihan, pemujaan
arwah para leluhur (Hofte, 1983)

[4] Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper, saako, Sabau, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh
tempat) merupakan tempat mitis dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan,
tempat yang pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte. Sedangkan tanyukng
Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang hingga sungai raya. Bukit
Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan), sapero nama sungai di pasuk kayu, sabako nama
bukit dekat kalumpe, sabau nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah)
antara dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten sambas yang
dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).
[5] Subayotn adalah tempat bermukim khusus arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya
memiliki tempat tinggal tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara
para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino), misalnya, Jubato Bukit
Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso bukit
poteng adalah si Rijab, dan sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan
adat (bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah itu menjadi hama,
penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu kehidupan manusia. Manusa akan
terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui
ritual (doa dan kurban).

[6] Menurut J. Van Baal mitos merupakan kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam
kerangka sistem suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku sebagai
kebenaran keagamaan.

[7] Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan, kesedihan yang identik dengan
kematian
[8] Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari
pohon Sibo (sejenis rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.

[9] patek adalah nama salah satu bagian dari sesajian dalam kurban persembahan yang diambil dari
kamoh (sesajian yang dibungkus dengan dau minyak/laying) dan ditempatkan dalam gelas/cangkir.
Kamoh terbuat dari campuran bontokng (nasi yang dimasak dalam daun), garetotn (pulut yang di asak
dalam buluh), kobetotn (daging dan hati ayam kurban), dan telur ayam kampung, yang diambil serba
sedikit dan dibungkus dengan daun minyak/laying. Ada tiga jenis patek, yaitu patek tampi, patek tangoh
dan patek puokng (pulang/penutup), yaitu patek untuk rumoh tango lawokng karamigi (rumah tangga).

[10] Upacara ritual dalam konteks ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual yang berhubungan dengan
pertanian misalnya, ketika nurutnni (sembahyang padi baru) dan Nyabayotn (sembahyang tutup tahun).

[11] Menurut Leslie Spier bahwa ritual merupakan alat berkomunikasi manusia dengan alam dalam
sistem kehidupan.
[12] Holticulture is a type cultivation found in a non-industrial society. This type of cultivation makes
intensive use of none of the factors of prodaction land, labour, capital and machinery. Horticulturalists
use simple tools such as hoes and digging sticks to grow their crops. Their fields are not permanent
propert and lie fallow for varying lengths of time.

[13] Penggunaan kata sub-suku bisa jadi berangkat dari penalaran bahwa Dayak merupakan satu suku
(etnis) sehingga kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam golongan suku (etnis) ini disebut sub-
suku. Dalam pembahasan ini digunakan istilah kelompok bahasa dengan dasar argumen bahwa bahasa
merupakan salah satu pembeda yang utama antara kelompok Dayak yang satu dengan yang lain.


[14] Setelah penggabungan kampung-kampung yang biasa disebut regrouping, yang didasarkan pada SK
Gubernur No. 383 tahun 1989 yang merupakan interpretasi pelaksanaan dari Undang-undang No. 5 th.
1979 mengenai Pemerintahan Desa, Kampung Sasak dan Kampung Nyala (dikenal juga sebagai Dusun
Senipahan, karena terletak di tepi Sungai Senipahan) digabungkan menjadi Desa Santaban.

Anda mungkin juga menyukai