Anda di halaman 1dari 5

Kontradiksi Syiah: Catatan untuk Buku

“Kesesatan Sunni-Syiah”
Kamis, 28 Maret 2013

Oleh: Kholili Hasib

POLEMIK Ahlus Sunnah-Syiah tentang kesesatan Syiah di harian Republika tahun lalu ternyata
membuat kelompok Syiah meradang. Kemarahan dan kegalauan Syiah ditumpahkan dalam buku
berjudul “Kesesatan Sunni-Syiah, Respon atas Polemik di harian Republika” ditulis oleh Babul
Ulum (BU), mahasiswa s-3 UIN Jakarta dan alumni pesantren Gontor.

Diterbitkan oleh Aksara Pustaka Depok pada Januari 2013.  Bahasa yang ditulis dalam buku
tersebut cenderung  tidak memakai etika serta adab terhadap tokoh dan institusi terhormat.

Dalam pengantarnya, BU menuduh MUI memprofokasi umat Islam Sampang untuk berbuat
anarkis, “Para pelaku kriminal tersebut berbuat anarkis karena merasa telah memperoleh lampu
hijau dari para provokator yang bergabung dalam MUI Sampang dan Jatim”.

Dalam pengantarnya tersebut BU juga melemparkan tuduhan  bahwa MUI Jawa Timur dan
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menebar virus kebencian antarsesama
umat Islam.

Tentu saja, bagi yang sudah menelaah fatwa MUI Jawa Timur yang diterbitkan pada 21 Januari
2012 akan mudah menyimpulkan bahwa si penulis dan mungkin saja tokoh-tokoh Syiah lainnya
sedang ‘terbakar emosinya’, sehingga tidak utuh membaca butir-butir fatwa MUI Jatim.

Sebab, tidak ada sama sekali himbauan, surat resmi apalagi fatwa untuk menyerang pemeluk
Syiah di Sampang Madura. Fatwa itu diterbitkan juga bukan untuk memancing amarah Syiah,
tapi justru untuk mengamankan antara Sunnah dan Syiah. Syiah pasti keberatan dengan fatwa
tersebut, karena kedok-kedok kesesatannya terbuka.

Mari kita telaah fatwa itu secara utuh. Dalam rekomendasinya MUI Jatim menulis tujuh butir.

Pada butir (b) tertulis: “Kepada Umat Islam diminta untuk tidak mudah terprovokasi melakukan
tindakan kekerasan (anarkisme), karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam serta bertolak
belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk kelancaran dakwah Islam”.

Pada butir (e) rekomendasi fatwa itu tertulis, “Kepada Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
dimohon agar bertindak tegas dalam menangani konflik yang terjadi, tidak hanya pada
kejadiannya saja, tetapi juga faktor yang menjadi penyulut terjadinya konflik, karena penyulut
konflik adalah provokator yang telah melakukan teror dan kekerasan mental sehingga harus ada
penanganan secara komprehensif”.
Latar belakang diterbitkannya fatwa sesat tersebut justru karena dipicu ajaran Tajul Muluk yang
menghina sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Tajul dihukum dua tahun penjara.

Jadi, siapakah yang provokator di Sampang? Akal sehat pasti akan menyimpulkan bahwa
pelaknatan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam oleh Tajul-lah yang memicu Sampang
membara. Sebelum ada ajaran pelaknatan, umat Sampang aman, dan damai. Jika BU dan
kelompok Syiah Indonesia membela Tajul, berarti sama saja menyokong tumbuhnya benih-benih
permusuhan terhadap umat.

Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan, Syiah selalu menghindar untuk berdalil menggunakan
kitab-kitab standar mereka. Mereka mencari-cari dalil di kitab Ahlus Sunnah dengan cara
memutilasi penafsiran dan kalimat. Strategi ini untuk mengelabuhi umat Ahlus Sunnah bahwa
basis ideologi Syiah juga ditemukan di referensi Ahlus Sunnah. Inilah bentuk taqiyah akademik
Syiah.

Di antaranya menyodorkan riwayat Ibnu Asakir yang terdapat dalam Tarikh Dimasyqa yang
berbunyi:

‫للك نيب ويص ووارث وإ ن عليا وصيي وواريث‬


“Setiap Nabi mempunyai seorang washi dan pewaris. Sesungguhnya Ali adalah wahiku dan
pewarisku”.

Padahal riwayat ini menurut Imam al-Suyuthi palsu (lihat Lu’lu’ al-Mashnu’ah fi Ahadits al-
Maudhu’ah jilid I hal. 368). Begitupula imam al-Zarqani, menurutnya hadits ini tertolak,
sanadnya tidak jelas.

Hadits berikutnya berbunyi:

‫أنت مين مبزنةل هارون من موىس‬


“Kedudukanmu di sisiku seperti Harun di sisi Musa.” (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini menjadi
andalan Syiah untuk melakukan tipuan terhadap jamaah Ahlus Sunnah. Bahwa akidah Syiah
telah dilegitimasi oleh hadits Sunni.

Syeikh Ali Ahmad as-Salus dalam Ma’a al-Syiah al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’
(mausu’ah syamilah) Dirasa Muqaranah fi al-‘Aqoid wal Tafsir yang diterjemahkan dalam edisi
Indonesia “Ensiklopedi Sunnah-Syiah”, menjelaskan secara utuh asabab al-wurud hadits
tersebut.

Ketika perang Tabuk, Ali dipercaya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam untuk
menggantikan tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di Madinah. Ali bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah engkau mempercayaiku sebagai pengganti tugasmu bagi kaum wanita dan
anak-anak?” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau tidak mau untuk aku jadikan seperti
kedudukan Harun dari Musa, akan tetapi ketahuilah bahwa tidak ada Nabi sesudahku”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan Ali sebagai orang kepercayaan Rasulullah saat Rasulullah
berangkat perang di Tabuk. Hadits ini tidak menunjukkan pengangkatan Ali sebagai Khalifah.

Tidak ada term yang jelas dan lugas dalam hadits itu. Penunujukan Rasulullah itu ternyata sudah
biasa beliau lakukan kepada sahabat-sahabat yang lain, selain Ali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassalam pernah mengangkat Ibn Abi Maktum untuk mengganti tugas Rasul sebagai kepala
pemerintahan di Madinah saat Rasul perang dengan Bani Nadhir dan Khandaq.

Begitupula pernah menunjuk Ustman bin Affan ketika beliau keluar dalam perang Dzaturriqa’
dan menunjuk Abdul Mundzir ketika Nabi berangkat perang Badar.

Jika penunjukkan Ali pada perang Tabuk itu oleh BU dianggap sinyal bahwa Ali menjadi
Khalifah Rasul atau Imam, tentu konsekuensinya Ibnu Abi Maktum, Ustman, dan Abdul
Mundzir juga harusnya menjadi Khalifah Rasul dan imam bagi kaum Syiah. Tapi kenyataannya
justru kaum Syiah melempar sahabat Ustman dari barisan murid Rasul yang adil. Bahkan dicela
dan dimaki.

Lagi-lagi, Syiah melakukan manipulasi penafsiran. Sejatinya ini bukan perbedaan penafsiran
hadits, tapi penyelewengan atau penyesatan hadits Rasul. Tentu saja berbeda antara penafsiran
dan penyesatan. BU membela diri bahwa perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syiah itu pada
perbedaan interpretasi. Ia menulis, “Jadi masalahnya di sini pada perbedaan interpretasi. Dalam
masalah ini semestinya tidak boleh ada klaim kebenaran dan saling menyesatkan. Masing-
masing pihak memiliki kaca mata kebenaran yang berbeda” (hal. 22).

Pembelaan diri Syiah biasanya dengan mengangkat logika relativisme dan menutupi dalil dalam
referensi standar Syiah. Relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada lagi nilai yang memiliki
kelebihan dari nilai-nilai agama. Satu keyakinan tidak boleh mengklaim memiliki kebenaran
absolut yang paling benar. Ajaran ini merupakan inti paham liberalisme. Jika telah terpojok
Syiah biasanya memakai pisau ini untuk membela diri.

Klaim syiah bahwa Ali sebagai Imam itu bagian dari akidah Syiah. Bahkan dari akidah ini syiah
memperlihatkan sebagai sekte Takfiri. Al-Kulaini, penyusun kitab al-Kafi, mengatakan bahwa
orang yang tidak mengakui Ali sebagai imamah adalah musyrik (Muhammad bin Ya’qub al-
Kulayni, al-Kafi  juz I hal. 427). Al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar mengatakan, “Ketahuilah,
sesungguhnya ungkapan lafadz Syirik dan kufur itu ditujukan untuk orang yang tidak beriman
terhadap keimamahan amirul mu’minin (Ali)” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 23 hal. 390).

Dua hadits di atas  dalam pandangan Syiah, merupakan hadits-hadits dalam kategori akidah.
Sehingga penyelewangan Syiah terhadap makna hadits sangat terlampau jauh. Oleh sebab itulah,
maka ini bukan sekedar beda tafsir. Yang tepat ini penyesatan makna hadits. Perbedaan
penafsiran itu memang ada di kalangan ulama’. Tapi perbedaan penafsiran pendapat itu biasanya
terjadi dalam ranah ijtihadiyah dalam teks-teks yang bersifat dzaniyyat. Perbedaan ini dapat pula
disebut tanawwu’  (variatif) (Ibn Taimiyah, Iqtida’ Shirat al-Mustaqim,124).
Kontradiksi cukup kelihatan ketika BU menyodorkan hadits riwayat Bukhari, bahwa terdapat
satu riwayat tentang murtadnya sebagaian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang
diakui shahih oleh Ahlus Sunnah. Hadits tersebut berbunyi:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,
‘Pada hari kiamat segolongan dari sahabatku (ashabiy) akan menghampiriku. Tiba-tiba mereka
dijauhkan dari telaga. Maka aku berkata, ‘Tuhan! Mereka para sahabatku’. Dia menjawab,
‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui (bid’ah) apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.
Sesungguhnya mereka telah murtad dari apa yang telah diperintahkan.” (HR. Bukhari).(hal.
34).

BU mengomentari hadits tersebut, “ … tidak berlebihan sekiranya kita simpulkan bahwa hadits
murtadnya sahabat adalah mutawatir”.  Menurut BU, MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin
menuduh Syiah memurtadkan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah keliru. Sebab,
katanya, justru Syiah mengetahui kemurtadan sahabat dari riwayat Ahlus Sunnah (baca hal. 35).

Logika BU tampak makin terlihat kebingungan. Pada halaman-halaman sebelumnya ia menolak


Syiah dikatakan memurtadkan sahabat, dan membela Tajul Muluk. Namun, di halaman 34-35 ia
menyodorkan hadits Bukhari bahwa Syiah mengetahui kemurtadan shabat dari hadits Bukhari
tersebut. Artinya, BU sesungguhnya mengakui ada sahabat yang murtad, meski itu diakui
‘nyontek’ dari hadits Bukhari.

Lantas bagaiman hadits riwayat Bukhari di atas? Dalam kitab Fath al-Bari 13 hal.197, al-
Khattabiy menjelaskan hadits ini:

‫ مل يرتد من الصحابة أ حد وامنا ارتد قوم من حفاة الاعراب ممن ال نرصة هل ىف ادلين‬:‫قال اخلطاىب‬
‫وذكل ال يوجب قد حا ىف الصحابة املشهرين‬
Al-Khathaby berkata: “Tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi telah murtad, tiada lain
sesungguhnya yang murtad adalah kelompok dari pembelot-pembelot di kalangan bangsa Arab
pedesaan, itu kelompok yang tidak pernah menolong kepentingan Islam.”
Pada kitab dan halaman yang sama Imam ‘Iyadl dan al-Baji mengatakan bahwa yang tidak bisa
minum air di al-Haudl adalah orang-orang yang murtad di masa setelah wafatnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Mereka adalah orang-orang yang diperangi oleh Abu Bakar. Pasca
wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, terdapat orang-orang yang baru masuk Islam
murtad dari Islam. Namun yang murtad tidak ada dari para pembesar-pembesar sahabat. Orang
yang murtad ini bukan lagi al-shahabat, sebab definisi sahabat adalah orang yang beriman yang
bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan meninggal dalam keadaan beriman.

BU menyontek matan hadits tersebut namun mengkreasi sendiri makna yang jauh dari yang
sesungguhnya sebagaimana diterangkan dalam kitab Fath al-Bari syarah kitab al-Bukhari. Inilah
yang disebut Kalimatun haq urida biha Bathil (kalimat benar digunakan untuk kepentingan
kebatilan).
Ahlus Sunnah tidak pernah mengajarkan penistaan apalagi pemurtadan sahabat. Di kalangan
Syiah, ajaran cacian sahabat itu sudah tidak bisa ditutup-tutupi. Dari dulu hingga kini doktrin
cacian itu terpelihara dan diamalkan oleh Syiah. Kelompok Syiah tentu saja membela diri bahwa
Syiah sekarang tidak mengamalkan ajaran itu. BU menulis, “Ayatullah Ali Khamanei dan
Ayatullah Ali Sistani mengharamkan penistaan terhadap simbol-simbol yang dimuliakan Ahlus
Sunnah” (hal. 32).

Tapi, ternyata tokoh panutan Syiah kontemporer, Khumaini, secara keci mencaci sahabat. 
Dalam buku Kitab al-Thaharah jilid III halaman 457 karya Khumaini mengatakan bahwa Aisyah,
Talhah, Zubair dan Mu’awiyah dan orang-orang sejenisnya secara lahir tidak najis, tapi mereka
lebih buruk dan menjijikkan dari anjing dan babi (Kanu akhbas min al-kilab wa al-khanazir).

Harusnya, BU dalam bukunya serta kaum Syiah, jika memang benar tidak mecaci sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam menyelesaikan keanehan-keanehan pendapat para tokoh-tokoh
mereka sendiri, seperti Khumaini. Kenyataannya, tidak ada koreksi, justru tokoh-tokoh baik
klasik maupun kontemporer jadi panutan Syiah dalam mengamalkan ajarannya. Tidak perlu BU
mencari-cari dalil dalam kitab Ahlus Sunnah. Apalagi merendakan secara tidak etis tokoh Ahlus
Sunnah Indonesia dan para penulis majalah Gontor yang ia sebut ‘tidak berkelas’. Syiah secara
keji menghina para sahabat dan Aisyah, tapi mereka keberatan disesatkan dan dicaci ajarannya.
Salah satu ciri aliran sesat memang loginya cenderung kontradiksi.*

Penulis adalah Alumni Pascasarjana ISID Gontor-Peneliti InPAS Surabaya

Anda mungkin juga menyukai