0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
87 tayangan15 halaman
1. Terdapat perbedaan pandangan antara Ahlu Sunnah dan Syiah mengenai pelarangan penulisan hadis pada masa khilafah.
2. Hadis-hadis yang melarang dan memerintahkan penulisan hadis dianggap bertentangan oleh beberapa ulama.
3. Kebijakan pelarangan penulisan hadis oleh tiga khalifah pertama dianggap membuka peluang terjadinya perubahan pada sunnah.
Deskripsi Asli:
Materi Kuliah Hadis Dalam Tradisi Syiah di Jurusan Ilmu Hadis FUDA UIN SMH Banten
1. Terdapat perbedaan pandangan antara Ahlu Sunnah dan Syiah mengenai pelarangan penulisan hadis pada masa khilafah.
2. Hadis-hadis yang melarang dan memerintahkan penulisan hadis dianggap bertentangan oleh beberapa ulama.
3. Kebijakan pelarangan penulisan hadis oleh tiga khalifah pertama dianggap membuka peluang terjadinya perubahan pada sunnah.
1. Terdapat perbedaan pandangan antara Ahlu Sunnah dan Syiah mengenai pelarangan penulisan hadis pada masa khilafah.
2. Hadis-hadis yang melarang dan memerintahkan penulisan hadis dianggap bertentangan oleh beberapa ulama.
3. Kebijakan pelarangan penulisan hadis oleh tiga khalifah pertama dianggap membuka peluang terjadinya perubahan pada sunnah.
Pelarangan Penulisan Hadis Pada Generasi Awal Umat Islam
Kaum Muslimin sepakat tentang kedudukan Sunnah sebagai sumber kedua penetapan hukum Islam. Tapi, apakah jalur dan cara sampainya Sunnah itu dari Rasul saw kepada kita terjamin sehingga kita dapat yakin bahwa yang kita terima adalah Sunnah Rasulullah saw atau telah terjadi kerusakan yang menuntut pengkajian dan pemeriksaan terhadapnya? Terjadinya penyusupan, pemalsuan, penyimpangan, perusakan baik dengan sengaja atau tidak adalah fakta yang tidak dapat diragukan. Tentang tema inilah telah terjadi pembahasan sengit di kalangan umat Islam. Sebagian orang berpandangan kajian tentang masalah ini lebih baik ditutup dengan motif membenarkan apa pun yang terjadi dalam realitas sejarah umat Islam, untuk menghindarkan tuduhan terhadap sahabat, para ahli hadis, dan para penulis kitab hadis, serta karena mereka mengetahui sensitifitas jawaban terhadap pertanyaan kontroversial yang mungkin diajukan dalam membahas masalah ini, seperti pertanyaan tentang keabsahan hadis-hadis yang telah tertulis di berbagai kitab hadis. Mereka mengira bahwa bahwa mengkaji hal ini akan berakibat hilangnya jalan yang mengantarkan kita kepada Sunnah, lalu menanggalkan Sunnah sebagai sumber hukum Islam (Mushthafa Qashir al-Amili, Kitab Ali, h. 6-7). Sengitnya diskusi dalam tema pelarangan penulisan hadis oleh Abu Bakar dan Umar masih berlangsung hingga dekade ini. Ali al-Syahristani menulis buku Man Tadwin al-Hadits Qiraah Fi Manhajah al-Fikr Wa Ushul Madrasatay al-Hadits Inda al- Muslimin yang dicetak pertama kali pada tahun 1997. Buku ini dibantah oleh al-Syarbini dengan buku berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi Kitabat Ada al-Islam dan menyebut Syiah serta al-Syahristani penulis buku Man Tadwin al-Hadits tersebut sebagai musuh sunnah. Pandangan al-Syarbini dibantah oleh Qays al-Aththar dengan buku Kitab Wa Itab: Risalah Maftuhah Ila Kulliyyah Ushul al-Din al-Azhar. Di dalam bukunya, al-Aththar mengarahkan celaannya pada Masyikhah al-Azhar dan para guru besar Fakultas Ushuluddin, bukan kepada al-Syarbini, karena menganggap buku al-Syarbini tidak layak untuk dibantah. Al-Amili, al-Syahristani, dan al-Ruhani memandang pelarangan kodifikasi hadis pada masa khilafah bukan masalah kecil yang bisa diabaikan atau dilewati begitu saja. Pelarangan ini membuka peluang bagi orang yang ingin merusak hadis. Pelarangan penulisan hadis adalah tema yang penting dikaji karena pelarangan tersebut telah menjadi kebijakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah dan khalifah setelahnya sampai dihentikan oleh Umar bin Abd al-Aziz. Pelarangan ini adalah benih untuk terhapus, terselewengkan, dan terubahnya sunnah Nabi saw dan pintu bagi penguasa untuk memerintah sesuai dengan kehendaknya sendiri. (Mushthafa Qashir al-Amili, Kitab Ali, h. 10-11; Ali al-Syahristani, Man Tadwin al-Hadits, h. 15, 19; Mahdi al-Husayni al-Ruhani, Ahadits Ahl al-Bayt as An Thuruq Ahl al-Sunnah, j. 1, 1421 M., h. 5) Pelarangan penulisan hadis membuka peluang bagi penguasa untuk berlaku semena-mena, menurut al-Ruhani, dikarenakan segera setelah wafatnya Nabi saw, Islam berkembang menjadi agama bagi umat yang tinggal di wilayah/negara yang sangat luas. Negara pun membutuhkan undang-undang dan hukum untuk mengurus berbagai urusannya. Pada kondisi tersebut, perintah para khulafa dan pembantu-pembantunya pada berbagai peristiwa menjadi sumber hukum syariat bagi orang-orang yang hidup belakangan. Sejumlah ulama menyebut perintah-perintah mereka sebagai sunnah amaliyyah dan menganggap mengaplikasikannya adalah ibadah. Salah satu indikatornya adalah munculnya term seperti sunnah Abu Bakar dan sunnah Umar di kalangan para ulama, meskipun salah seorang dari mereka, yaitu al-Syawkani menolaknya dan mengatakan, Yang diutus kepada kita hanya seorang nabi saja (Mahdi al-Husayni al-Ruhani, Ahadits Ahl al-Bayt as An Thuruq Ahl al-Sunnah, j. 1, 1421 M., h. 5-6). Istilah sunnah al-khulafa al-rasyidin ada di dalam hadis. Ali al-Milani menulis buku berjudul Risalah Fi Hadits Alaykum Bi Sunnati Wa Sunnah al-Khulafa al-Rasyidin sebagai satu dari 10 seri hadis-hadis mawdhu di dalam kitab-kitab sunnah. Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana drastisnya perubahan yang terjadi pada sunnah dalam rentang waktu 25 tahun setelah Rasul saw wafat akibat dari kebijakan tiga khalifah pertama terkait penulisan dan periwayatan hadis, menarik untuk dikaji perkataan Ali bin Abu Thalib yang dikutip oleh al-Askari di dalam tulisannya Taammul fi Majra al-Hadits yang menjadi pengantar buku Adhwa Ala al-Shahihayn h. 11-15 yang dia kutip dari Rawdhah al-Kafi, 8/61-63. Al-Askari mengatakan bahwa di dalam khutbah tersebut Ali bin Abu Thalib menjelaskan kebijakan praktisnya sebagai khalifah berkaitan dengan periwayatan dan penulisan hadis, yaitu dia akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan menghapus apa yang sudah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Kaum Quraisy mengetahui bahwa kebijakan itu akan bertabrakan dengan kepentingan mereka. Mereka pun menyatakan penentangan, menyulut perang Jamal dan Shiffin, dan Ali pun terbunuh 4 tahun beberapa bulan saja sejak menjadi khalifah (al-Askari, Taammul fi Majra al- Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 17). Di kalangan Ahlu Sunnah, seperti dikatakan oleh Luthfi Fathullah, ada perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya menulis hadis pada masa Rasul saw karena di dalam buku-buku hadis Ahlu Sunnah terdapat riwayat-riwayat yang membolehkannya dan terdapat juga riwayat-riwayat yang melarangnya (Ahmad Luthfi Fathullah, Metode Interaktif Belajar Hadis & Ulum Hadis). Sementara itu, di kalangan Syiah, hanya ada satu pendapat, yaitu penulisan hadis itu dibolehkan karenaseperti dikatakan oleh al- Subhani, kalaupun ada riwayat yang melarang penulisan hadis, maka riwayat itu harus ditolak karena bertentangan dengan al-Quran, sunnah, sejarah, kesepakatan umat Islam, dan akal. (al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi, h. 21). Hadis-hadis dalam periwayatan Ahlu Sunnah yang melarang penulisan hadis di antaranya yang diriwayatkan oleh Muslim, al-Daruquthni, dan Ahmad: :
Artinya, Janganlah kalian menulis dariku dan barangsiapa yang menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah dia menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa masalah, dan barangsiapa yang berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan kursinya di neraka. Sedangkan hadis yang pembolehan yang dikutip Fathullah adalah: . : . : Artinya, Dari Abu Hurayrah, Rasulullah saw berkhutbah pada Haji Wada, lalu seorang yang bernama Abu Syah berkata: Wahai Rasulullah tolong tuliskan untuk saya (apa yang engkau khutbahkan). Rasulullah pun berkata kepada beberapa sahabat: Kalian tuliskan untuk Abu Syah. (Ahmad Luthfi Fathullah, Metode Interaktif Belajar Hadis & Ulum Hadis) Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis:
Artinya, Tulislah, demi Zat Yang Menggenggam jiwaku, tidak keluar darinya kecuali kebenaran. Hadis ini diriwayatkan di antaranya di dalam al-Mustadrak Ala al-Shahihayn 1/187 Kitab al-Ilm hadis no. 359; Musnad Ahmad 2/162; Sunan al-Darimi 1/136 (al-Syahristani, Man Tadwin al-Hadits, h. 27).
Artinya, Bantulah hapalanmu dengan catatanmu. Hadis ini diriwayatkan di antaranya di dalam Sunan al-Tirmidzi 5/39 Bab Ma Jaa Fi al-Rukhshah Fih hadis no. 2.666; al-Mujam al-Awsath 1/245 hadis no. 801 dan 3/169 hadis no. 2825. (al-Syahristani, Man Tadwin al-Hadits, h. 27).
Artinya, Ikatlah ilmu dengan tulisan. (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat, h. 20)
Analisa Terhadap Hadis Yang Melarang Dan Memerintahkan Penulisan Hadis
Berkaitan dengan hadis-hadis yang bertentangan itu, Fathullah mengutarakan dua teori. Pertama, teori nasakh mansukh. Kedua, teori Nabi saw membolehkan sebagian sahabat, dan melarang sebagian sahabat yang lain, menulis hadis. Teori pertama, nasikh dan mansukh. Artinya, hadis pelarangan dihapus hukumnya dengan hadis pembolehan, apalagi hadis pembolehan diperkatakan pada tahun 8 H ketika Haji Wada. Namun jika ini dijadikan alasan, lanjut Fathullah, Abu Said al-Khudri dikatakan masih tetap enggan menulis hadis sampai akhir hayatnya. Ada riwayat bahwa Abu Bakar sempat membakar lembaran-lembaran hadis, serta Umar pernah mempunyai gagasan untuk penulisan hadis, namun niatan itu diurungkan setelah melakukan istikharah. Al-Hasani mengatakan bahwa jika ada hadis yang memerintah dan melarang penulisan hadis, maka pada saat Rasul saw wafat seharusnya semua sahabat sudah mengetahui bahwa Rasul saw membolehkan penulisan hadis. Umar pun pada pada saat melarang penulisan hadis tidak bersandar pada sabda Rasulullah saw. Urwah bin al- Zubayr meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa dia hendak menulis sunnah, lalu meminta pendapat para sahabat. Mereka mendorongnya untuk menuliskannya. Lalu, Umar melakukan istikharah selama sebulan dan setelah memperoleh kepastian dia berkata, Tadinya aku hendak menulis sunnah-sunnah, tapi aku teringat pada suatu kaum sebelum kalian yang telah menulis banyak buku lalu mereka sibuk dengannya hingga meninggalkan kitabullah. Sungguh, demi Allah, aku tidak akan mencampur Kitabullah dengan apa pun. (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat, h. 20-21) Teori kedua, Rasulullah saw mempunyai dua kebijakan, yaitu melarang kalangan umum untuk menulis hadis dan membolehkan sejumlah sahabat. Solusi kedua ini menurut Fathullah lebih tepat dibandingkan dengan solusi pertama. Jadi, ketika melarang penulisan hadis, beliau melarangnya untuk mayoritas sahabat, namun untuk orang tertentu, beliau membolehkannya. Di antara para sahabat yang mendapatkan izin adalah Abdullah bin Amru bin al-Ash (w. 65 H./685 M.), Abdullah bin Abbas (w. 68 H./687 M.), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H./661 M.), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H.), Jabir bin Abdullah (w. 78 H./697 M.), dan Abdullah bin Abi Auf (w. 86 H.) Di kalangan Syiah, dimunculkan teori ketiga, yaitu salah satu dari hadis yang melarang dan menyuruh itu palsu, dan yang palsu adalah hadis yang melarang penulisan hadis. Benarkah Nabi saw melarang penulisan hadis? Ketika menganalisa riwayat yang menerangkan Abu Bakar membakar catatan hadisnya dan riwayat yang menerangkan Abu Bakar menyuruh orang-orang untuk tidak menyampaikan hadis dan mencukupkan diri dengan al-Quran, al-Syahristani mengatakan bahwa kedua riwayat itu menunjukkan bahwa Nabi saw tidak pernah melarang penulisan hadis. Al-Syahristani mengatakan, Khalifah Pertama telah menulis 500 hadis. Ini dalil yang cukup tentang tidak adanya larangan Nabi saw. Sebab, jika sudah ada larangan, maka Khalifah tidak akan menulis apa yang dia sudah tulis. Begitu juga dengan Khalifah Kedua. Jika benar kodifikasi hadis sudah dilarang oleh Nabi Saw, maka Umar tidak akan mengumpulkan sahabat dan meminta pandangan mereka tentangnya, dan mereka tidak akan menasihatinya untuk mengkodifikasi. (al-Syahristani, h. 23-24) Al-Subhani menulis buku al-Hadits al-Nabawi Bayna al-Riwayah wa al-Dirayah: Dirasah Mawdhuiyyah Manhajiyyah Li Ahadits Arbain Shahabiyyan ala Dhaw al-Kitab, al-Sunnah, al-Aql, Ittifaq al-Ummah, wa al-Tarikh. Di dalam bab Perhatian Nabi saw terhadap Kodifikasi Hadis, al-Subhani mengutip 3 hadis riwayat al-Bukhari, 1 hadis riwayat Abu Dawud, 1 hadis riwayat al-Tirmidzi, dan 1 hadis yang diriwayatkan oleh al- Khathib al-Baghdadi di dalam Taqyid al-Ilm. Al-Subhani juga mengatakan bahwa Nabi saw sering menulis surat untuk pejabat-pejabat yang dikirimnya ke berbagai daerah dan lima nama sahabat yang menulis hadis dari Rasulullah dan menjaga tulisannya ketika Rasulullah masih hidup dan setelah beliau wafat (Jafar al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi Bayna al-Riwayah wa al-Dirayah, h. 12-15). Selanjutnya, al-Subhani mengatakan bahwa hadis-hadis yang melarang penulisan hadis itu bertentangan dengan al-Quran, sunnah, sejarah, kesepakatan umat Islam, dan akal. Pertentangannya dengan sunnah artinya bertentangan dengan hadis-hadis yang memerintahkan kodifikasi seperti yang telah dia kutipkan. Pertentangannya dengan al- Quran, menurut al-Subhani, diakui juga oleh ulama Sunni. Al-Khathib al-Baghdadi di dalam Taqyid al-Ilm mengatakan, Allah Swt telah memerintahkan untuk menuliskan hutang sebagai bentuk penjagaan, kehati-hatian, dan kewaspadaan agar tidak terasuki keraguan, maka ilmu yang penjagaannya lebih susah daripada penjagaan hutang lebih pantas untuk dibolehkan penulisannya agar tidak terasuki keraguan dan kesangsian. Dari sudut pandang sejarah, pelarangan penulisan hadis dapat dikatakan sebagai mitos yang dibuat untuk membenarkan tindakan tiga khalifah yang melarang penulisan dan penyebaran hadis. (al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi, h. 21-22).
Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah Saw
Di dalam al-Mawdhuat min al-Atsar wa al-Akhbar Hasan Maruf al-Hasani seperti hendak mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa Nabi saw tidak melarang penulisan hadis tapi juga tidak terlalu mendorongnya. Tapi, di buku ini, seperti di buku yang dia tulis sebelumnya, yaitu Dirasat fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, yang membandingkan Shahih al-Bukhari dengan al-Kafi, dia menyesalkan generasi pertama para sahabat yang tidak segera mengkodifikasi hadis setelah Rasul saw wafat dan sangat menyesalkan adanya pelarangan penulisan hadis pasca wafatnya Nabi saw. Dia berkata: Jika setelah Rasul saw wafat kaum muslimin bersikap benar terhadap sunnah, mengkodifikasi dan mengumpulkannya dari dada para penghapal sebelum dibinasakan oleh perang, dan sebelum dirusak oleh para penyusup dan perusak; jika mereka bersikap seperti itu, maka mereka telah mencegah para pencari sesuap nasi yang menjilat penguasa dengan membuat-buat hadis yang merendahkan lawan-lawan politik mereka dan menguatkan kekuasaan mereka. Tapi, para penguasa setelah Rasul saw wafat, bukannya melapangkan ruang untuk menghimpun hadis-hadis itu dari dada para penghapalnya sebelum dirusak, justru mencegah kodifikasi dan penghimpunannya dengan dalih menjaga dan melindungi Kitabullah agar tidak digantikan tempatnya di dada dan jiwa manusia oleh sunnah, sebagaimana terungkap dari banyak riwayat tentang sikap Khalifah Kedua dalam masalah ini. (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat Fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, h. 9-10, 18-22, 27).
Penulisan Hadis Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin/Sahabat
Ada riwayat-riwayat yang menunjukkan pelarangan penyampaian dan kodifikasi hadis pada masa Tiga Khalifah Pertama, bahkan perintah untuk menghapus dan membakar tulisan berisi hadis Nabi saw. Berdasarkan banyak atsar, para sahabat atau para sahabat yang terkenal menyedikitkan penyampaian hadis, atau melarang memperbanyaknya atau melarang menyampaikannya sama sekali. Abd al-Shamad Syakir menyebutkan delapan atsar yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya yang dituturkan oleh al-Dzahabi di dalam Tadzkirah al-Huffazh sebagai berikut: Al-Shiddiq mengumpulkan orang-orang setelah Nabi mereka wafat. Lalu, dia berkata: :
Kalian menyampaikan hadis-hadis tentang Rasulullah yang bertentangan satu dengan lainnya. Orang-orang setelah kalian akan lebih bertentangan. Karena itu, janganlah kalian menyampaikan hadis apa pun dari Rasulullah. Jika ada yang bertanya kepada kalian, katakanlah: di antara kita ada Kitabullah. Halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya. Masih dari Tadzkirah al-Huffazh: Umar mengurung Ibnu Masud, Abu al-Darda, dan Abu Masud al-Anshari, dan berkata, Kalian telah terlalu banyak menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. Mengutip dari Ibnu Sad dan Ibnu Asakir, Syakir mengatakan, Mahmud bin Labid berkata: Aku mendengar Utsman bin Affan berkata di atas mimbar, Tidak boleh bagi siapa pun menyampaikan hadis yang tidak dia dengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Aku tidak menyampaikan hadis bukan karena aku bukan sahabatnya yang paling mengerti. Tapi, aku telah mendengarnya bersabda, Orang yang mengatakan atas namaku apa yang tidak aku katakan, maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka. (Abd al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al-Shihah al-Sittah, h. 17-19) Dari atsar-atsar tersebut, Syakir menyimpulkan: (1) sumber pelarangan itu adalah tiga khalifah, terutama Umar; (2) pada zaman Abu Bakar para sahabat bertentangan dalam masalah hadis dalam artian mereka saling tidak mempercayai/mendustakan periwayatan yang lain; (3) zahir perkataan Abu Bakar berarti mengabaikan hadis sama sekali dan mencukupkan penjelasan halal dan haram dari al-Quran; (4) Umar mentakzir sahabat yang sering menyampaikan hadis. Karena takzir tidak boleh diberikan kepada orang yang melakukan sesuatu yang mubah, sunnah, atau makruh, berarti Umar memandang para sahabat itu melakukan perbuatan yang diharamkan. Karena ada sahabat yang melakukan sesuatu yang haram, maka kaidah yang menyatakan semua sahabat itu adil/kredibel tidak benar (Abd al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al- Shihah al-Sittah, h. 20-21). Fathullah mengatakan bahwa empat Khalifah selain memperhatikan al-Quran juga sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis. Tapi, keterangan Fathullah selanjutnya seperti tidak senada dengan pernyataan itu, karena periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar ternyata masih terbatas kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis. Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban karena kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan riwayat (taqlil al-riwayah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis. Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini, muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu muncul pemalsuan hadis. Apakah tidak dilakukannya penulisan hadis ini disebabkan kurangnya orang yang mampu menulis atau kurangnya instrumen kodifikasi lainnya? Alasan ini tidak dapat diterima. Perkembangan literasi di Arab sebelum diutusnya Rasul saw hingga Rasul wafat menafikan hal tersebut. Jika bangsa Arab tidak berbudaya literasi sebelum Islam (mereka tidak seperti itu), maka mereka pasti tidak seperti itu setelah perjuangan literasi yang dilakukan oleh Nabi saw. Dominasi buta huruf di kalangan Arab artinya kemampuan baca tulis tidak tersebar luas di kalangan Arab berbeda dengan di kalangan Persia dan Romawi. Tapi, bukti-bukti sejarah menunjukkan jumlah orang Arab yang mampu baca tulis pada saat itu tidak sedikit. Selanjutnya Islam membawa perubahan besar. Jumlah orang yang belajar al-Quran kepada Abu al-Darda saja sekitar 1.600 orang. Setiap 10 orang diajar oleh satu orang dan Abu al-Darda membimbing mereka semua. Jadi, keterlambatan penulisan Sunnah bukan karena sedikitnya orang yang mampu membaca dan menulis (Hashim Maruf al-Hasani, Dirasat fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, h. 17-19). Berkaitan dengan pembatasan penjelasan halal dan haram dari al-Quran yang berimplikasi pengabaian sunnah, lalu berimplikasi pada pengabaian kodifikasi sunnah, yang terungkap dalam slogan , Cukuplah al-Quran bagi kita, menurut al- Subhani, wacana itu sudah terlontar sejak Nabi saw masih hidup. Dalilnya, al-Bukhari (1/30, Bab Kitabah al-Ilm dari Kitab al-Ilm) meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika sakit Nabi saw makin parah, beliau meminta diambilkan kertas agar bisa menulis wasiat yang menjamin para sahabat itu tidak akan sesat setelah kematiannya. Tapi, Umar bin al-Khaththab berkata, Nabi saw sedang meracau. Kita sudah punya Kitabullah. Itu cukup. Akibatnya, para sahabat berselisih di dekat Nabi saw. Nabi saw pun menyuruh mereka keluar. Ibnu Abbas sangat menyayangkan tidak sempatnya Nabi saw menulis wasiat tersebut. Al-Subhani mengatakan bahwa gagasan mengabaikan sunnah Rasul saw ini bukan sekadar wacana yang ada di pikiran sejumlah sahabat, tapi menjadi kebijakan praktis saat mereka memegang tampuk khilafah dan yang membuat kebijakan tersebut adalah orang yang sama dengan yang melarang Nabi saw menulis apa yang hendak beliau tulis (Jafar al-Subhani, Tadzkirah al-Ayan h. 271). Aturan tentang pelarangan kodifikasi hadis lebih keras daripada penyampaiannya. Syakir mengutip 10 riwayat, lalu mengatakan bahwa berdasarkan riwayat-riwayat itu tiadanya penulisan hadis pada abad pertama Hijriah adalah fakta yang tak dapat diragukan. Jika riwayat yang menerangkan bahwa Rasul saw melarang penulisan hadis itu benar, maka para penulis hadis pada abad ketiga telah menentang Rasul. Abu Bakar membakar catatan hadisnya bukan karena adanya larangan dari Rasul, tapi karena dia khawatir para perawi dari catatannya akan berdusta. Sejumlah sahabat mengetahui pentingnya penulisan hadis sehingga mereka menganjurkan Umar untuk melakukannya, tapi Umar menolak saran mereka bahkan bertindak sebaliknya. Hal ini dilakukan Umar juga bukan karena Rasul melarang penulisan hadis, tapi berdasarkan istikharahnya (Abd al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al-Shihah al-Sittah, h. 22-25). Jadi, sejak Rasul saw wafat hingga awal berdirinya Dinasti Umawiyyah terjadi masa pengabaian penulisan hadis dan masa ini diisi oleh aktivitas massif oleh para pemalsu dan pendusta hadis. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, Dulu ada waktu ketika kami mendengar seseorang berkata, Rasulullah bersabda, maka kami segera memperhatikannya dengan mata dan telinga kami. Tapi, setelah manusia diterpa pencampuran antara yang bohong dengan yang shahih, maka kami hanya mengambil hadis dari orang yang kami kenal. (Mushthafa Qashir al-Amili, Kitab Ali, h. 11, mengutip dari Mahmud Abu Rayyah, Adhwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 67). Al-Askari, di dalam catatan kaki nomor 1 di halaman 23 menyebutkan nama-nama pemalsu hadis yang sangat mengejutkan ((al-Askari, Taammul fi Majra al-Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 23). Bagaimana kebijakan Muawiyah berkaitan periwayatan dan penulisan hadis? Ada program sistematis untuk ibadah syakhshiyyah al-nabi wa alih wa mahw siratih bi tasis jihaz ilami li wadh al-hadits berikut motif dan figur yang terlibat dalam pelaksanaannya (Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 17-18; Kattani, Baqir Najiyy al-Rasul, 7-8)
Penulisan Hadis Pada Masa TabiIn
Tabiin adalah mereka yang bertemu dengan sahabat Nabi saw dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. Menurut Fathullah, pada masa ini hingga akhir abad pertama, banyak Tabiin yang menentang penulisan hadis, di antaranya Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (72 H.), Ibrahim bin Yazid al-Taimi (92 H), Jabir bin Zaid (93 H.) dan Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (96 H.). Kodifikasi hadis pada masa Tabiin secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-101 H.) yang menginstruksikan para gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Dia juga memerintah Ibn Hazm (Abu Bakar al-Hazmi ?) dan Ibn Syihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadis Nabi saw. Al-Zuhri punya semboyan yang terkenal, Al-Isnad min al-Din. Law la al-isnad la qala man syaa ma syaa. Artinya, Sanad itu bagian dari agama. Sekiranya tidak ada sanad, maka berkatalah siapa saja tentang apa saja. Umar bin Abd al-Aziz memerintahkan penulisan hadis karena khawatir hadis akan hilang dari perbendaharaan masyarakat, ingin membersihkan hadis dari hadis- hadis mawdhu (palsu) yang dibuat untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab, tidak ada lagi kekhawatiran akan tercampurnya al-Quran dan hadis karena keduanya sudah bisa dibedakan dan al-Quran telah dibukukan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh umat Islam, dan khawatir hadis akan hilang karena banyak ulama hadis yang gugur dalam medan perang. Kitab hadis yang ditulis pada masa ini masih bercampur antara hadis Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabiin, belum dipisahkan antara hadis yang marfu, mawquf, dan maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Fathullah mengatakan kitab hadis yang masyhur pada masa ini adalah: 1. Al-Muwaththa oleh Malik pada 144 H atas anjuran Khalifah al-Manshur berisi kurang lebih 1.720 hadis. 2. Musnad al-Syafii, mencantumkan seluruh hadis dalam al-Umm. 3. Mukhtalif al-Hadits, karya al-Syafii, menjelaskan cara-cara menerima hadis sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadis-hadis yang kontradiksi satu sama lain (Fathullah, Metode Belajar Interaktif Hadis & Ilmu Hadis). Lalani di dalam al-Fikr al-Syi'i al-Mubakkir Ta'alim al-Imam Muhammad al-Baqir mengatakan bahwa sebagaimana sudah diketahui literasi hadis mengalami wujud mutakaddirkeberadaan yang tercemar pada masa pembentukannya. Orang-orang yang terlibat dalam kompilasi dan periwayatan hadis segera mendapati bahwa mereka harus mempertimbangkan pengawasan ketat dari negara. Lalani mengatakan bahwa al- Zuhri mengakui bahwa para penguasa memaksa mereka untuk menulis hadis dan al- Thabari di dalam Tarikh al-Thabari 2/112 mengatakan bahwa Muawiyah telah memerintahkan untuk mencela Ali dan para pendukungnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama memuji keagungan keluarga Utsman. Dan, dalam kondisi seperti itu, sampai runtuhnya kekuasaan Umawiyah, nyaris tidak ada kemungkinan untuk siapa pun untuk secara terbuka bersimpati pada Keluarga Ali (Lalani, al-Fikr al-Syi'i al-Mubakkir Ta'alim al-Imam Muhammad al-Baqir, h. 137-138)
Penulisan Hadis Pada Masa Tabi TabiIn
Pada abad ketiga, yang berperan adalah generasi setelah Tabiin. Ada usaha untuk memisahkan hadis yang shahih dari yang tidak shahih sehingga tersusunlah tiga macam kitab hadis, yaitu kitab shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), kitab sunan (Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai, al-Darimi), berisi hadis shahih dan hadis dhaif yang tidak munkar. Dan kitab musnad (Abu Yala, al-Humaydi, Ali Madaini, al- Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawayh), berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli untuk bahan perbandingan. Pada masa ini jurang pemisah antara Sunnah dengan Syiah semakin lebar. Kitab- kitab hadis Syiah dalam pandangan Sunnah adalah senjata yang berbahaya untuk menghancurkan agama. Para penulis dan para perawi di dalam buku-buku hadis Syiah, dalam pandangan Sunnah, adalah para pendusta. Para penganut Syiah pun meragukan dan penuh kehati-hatian pada kitab-kitab hadis Sunni. Apalagi al-Bukhari di dalam kitab hadis yang dipandang paling sahih oleh Sunni pun tidak meriwayatkan dari al-Shadiq dan keturunannya, padahal dia meriwayatkan dari seperti Muawiyah, Marwan bin al-Hakam, dan Imran bin Hiththan al-Khariji yang memuji Abd al-Rahman bin Muljam karena telah membunuh Ali bin Abu Thalib (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat Fi al-Hadits wa al- Muhadditsin, h. 10). Pujian Imran bin Hiththan pada Ibnu Muljam dan respon para penyair terhadapnya dapat dibaca di (Ali Yaqub Suwayf al-Qathifi, al-Ghadir fi Mashadir al- Fariqayn, tp., cet. 1, 1423 H./2003 M., h. 31-33) Perlawanan Terhadap Kebijakan Pelarangan Periwayatan Dan Penulisan Hadis Tsamir Hasyim Habib al-Amidi mengatakan, Sikap Syiah terhadap pelarangan penulisan hadis sangat jelas. Mereka menolaknya sepenuhnya, tidak merasa terikat olehnya, melawannya dengan sengit, dan bersegera melanggarnya. Mereka menulis hadis sepanjang masa pelarangan tersebut, juga sebelumnya, sebagaimana terlihat pada kitab al-Shahifah yang ditulis oleh Imam Ali. Syaraf al-Din di dalam al-Murajaat, h. 291, mengatakan, Para peneliti mengetahui secara langsung bahwa kepeloporan Syiah dalam mengkodifikasi berbagai ilmu daripada mazhab lain. Sebab, tidak ada yang melakukan hal tersebut pada abad pertama selain Ali dan para pengikutnya. Boleh jadi hal ini disebabkan perbedaan para sahabat tentang boleh atau tidak bolehnya menuliskan ilmu. Umar bin al-Khaththab, sebagaimana disebutkan oleh al-Asqallani di pendahuluan Fath al-Bari, serta beberapa figur lain, tidak menyukai penulisan hadis karena khawatir hadis akan bercampur dengan al-Kitab. Sementara itu, Amir al-Mukminin, dan selanjutnya al-Hasan Cucu Rasulullah, serta sejumlah sahabat membolehkannya. Demikianlah sampai orang-orang pada Abad Kedua di akhir masa Tabiin sepakat untuk membolehkannya. (Asad Kasyif al-Ghitha, al-Ushul al-Arbaumiah, h. 4). Al-Amidi lalu menuturkan bahwa orang Syiah yang menjadi pelopor penulisan hadis adalah Abu Rafi mawla Rasulullah saw dan sahabat Ali yang dia angkat menjadi bendahara Baitul Mal di Kufah saat dia menjadi khalifah. Abu Rafi menulis kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadhaya. Dia menulis hadis-hadis dalam bab salat, puasa, haji, zakat, dan tema-tema lain. Salman al-Farisi menulis Kitab al-Gatsliq, Abu Dzar al-Ghifari menulis kitab al-Khutbah. Begitu juga tokoh Syiah awal yang lain seperti al-Ashbagh bin Nubatah, Ubaydillah bin Abu Rafi, al-Harts bin Abdullah, Rabiah bin Sami, Sulaym bin Qays, Ali bin Abu Rafi, Maytsam al-Tammar, Ubaydillah bin al-Hurr, Muhammad bin Qays al-Bajili, dan Yala bin Murrah yang kesemuanya semasa dengan Ali bin Abu Thalib (Tsamir Hasyim Habib al-Amidi, Difa An al-Kafi, j. 1, h. 17; Tsamir Hasyim Habib al- Amidi, Maa al-Kulayni wa Kitabihi al-Kafi, Ulum al-Hadits, vol.1, no. 1, Muharram 1418 H., h. 184). Ali bin Abu Thalib, Imam Maksum, dan para pengikut mereka berjuang tetap menyebarkan dan menjelaskan sabda-sabda Nabi saw meskipun untuk itu mereka mengorbankan nyawa. Al-Askari mengutip riwayat dari Sunan al-Darimi, 1/146, Bab al- Balagh An Rasulillah saw wa Talim al-Sunan, hadis no. 4, bahwa pada suatu hari Abu Dzar al-Ghifari duduk di dekat Jumrah Wustha. Lalu, banyak orang mengelilinginya dan menanyakannya masalah-masalah agama. Lalu, seorang pengikut Bani Umayyah melihat hal itu, mendatanginya, lalu berkata, Apakah engkaut idak tahu bahwa Amir al- Mukminin melarangmu mengeluarkan fatwa? Abu Dzar berkata, Apakah engkau menjadi pengawasku? Lalu, Abu Dzar menunjuk ke lehernya dan berkata, Demi Allah, walaupun kalian menusukkan pedang ke sini agar aku tidak menyampaikan satu kalimat yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku tetap akan menyampaikannya sebelum hal itu terjadi. Al-Askari mengatakan bahwa di dalam Ikhtiyar Marifah al-Rijal karya al-Thusi, 1/290 entri no. 131, dan Bihar al-Anwar 42/122 Kitab Tarikh Amir al-Muminin Bab Ahwal Rasyid al-Hijri, ada kisah yang lebih mencekam berkaitan dengan Rasyid al-Hijri. Ketika Ibnu Ziyad menjadi gubernur Kufah, Ibnu Ziyad memotong tangan dan kakinya. Ketika dia dibawa pulang, orang-orang menangisinya. Lalu, dia berkata kepada mereka, Ayyuhannas, ambilkan aku kertas dan pena. Akan kutuliskan untuk kalian apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat. Ibnu Ziyad dikabari hal itu, lalu Ibnu Ziyad pun memerintahkan untuk memotong lidahnya. Hal yang sama terjadi pada Maytsam al-Tammar. Ketika Ibnu Ziyad berkuasa di Kufah, Ibnu Ziyad menangkap, menyalib, dan memotong tangan dan kakinya. Lalu, dari atas tiang salib, dia berteriak sekeras-kerasnya, Ayyunnas, siapa yang ingin mendengar hadis yang tersembunyi dari Ali bin Abu Thalib? Orang-orang berkumpul dan dia pun menceritakan kepada mereka hal-hal yang menakjubkan. Ibnu Ziyad dikabari hal itu, lalu Ibnu Ziyad pun memerintahkan untuk memotong lidahnya. Maytsam berkubang darah selama beberapa saat, lalu meninggal dunia (Murtadha al-Askari, Taammul fi Majra al- Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 22). Syahadah Husayn berhasil membendung pemenjaraan dan penyiksaan terhadap para perawi hadis, dan mendorong tersebarnya hadis-hadis yang shahih ke tengah masyarakat yang telah dicekoki oleh pemalsuan hadis (al-Askari, Taammul fi Majra al- Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 23). Al-Subhani mengatakan bahwa pada abad ketiga hijriah di kalangan Syiah muncul banyak kitab hadis, seperti al-Jami karya Ahmad bin Muhammad bin Abu Nashr al- Bizanthi (w. 221 H.), al-Tsalatsin karya Husayn bin Said al-Ahwazi yang meriwayatkan dari al-Ridha dan al-Jawad, al-Mahasin karya Ahmad bin Muhammad bin Khalid (w. 274 H.), dan Nawadir al-Hikmah karya Muhammad bin Ahmad bin Yahya al-Asyari (w. 293 H.). Kitab-kitab ini menjadi rujukan bagi al-Kulayni dalam menulis al-Kafi (al-Subhani, Tadzkirah al-Ayan, h. 273).