Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KODIFIKASI HADIS DALAM PANDANGAN SYIAH

Ahmad Fadhil

Pelarangan Penulisan Hadis Pada Generasi Awal Umat Islam


Kaum Muslimin sepakat tentang kedudukan Sunnah sebagai sumber kedua
penetapan hukum Islam. Tapi, apakah jalur dan cara sampainya Sunnah itu dari Rasul
saw kepada kita terjamin sehingga kita dapat yakin bahwa yang kita terima adalah
Sunnah Rasulullah saw atau telah terjadi kerusakan yang menuntut pengkajian dan
pemeriksaan terhadapnya? Terjadinya penyusupan, pemalsuan, penyimpangan,
perusakan baik dengan sengaja atau tidak adalah fakta yang tidak dapat diragukan.
Tentang tema inilah telah terjadi pembahasan sengit di kalangan umat Islam.
Sebagian orang berpandangan kajian tentang masalah ini lebih baik ditutup
dengan motif membenarkan apa pun yang terjadi dalam realitas sejarah umat Islam,
untuk menghindarkan tuduhan terhadap sahabat, para ahli hadis, dan para penulis kitab
hadis, serta karena mereka mengetahui sensitifitas jawaban terhadap pertanyaan
kontroversial yang mungkin diajukan dalam membahas masalah ini, seperti pertanyaan
tentang keabsahan hadis-hadis yang telah tertulis di berbagai kitab hadis. Mereka
mengira bahwa bahwa mengkaji hal ini akan berakibat hilangnya jalan yang
mengantarkan kita kepada Sunnah, lalu menanggalkan Sunnah sebagai sumber hukum
Islam (Mushthafa Qashir al-Amili, Kitab Ali, h. 6-7).
Sengitnya diskusi dalam tema pelarangan penulisan hadis oleh Abu Bakar dan
Umar masih berlangsung hingga dekade ini. Ali al-Syahristani menulis buku Man
Tadwin al-Hadits Qiraah Fi Manhajah al-Fikr Wa Ushul Madrasatay al-Hadits Inda al-
Muslimin yang dicetak pertama kali pada tahun 1997. Buku ini dibantah oleh al-Syarbini
dengan buku berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi Kitabat Ada al-Islam dan menyebut
Syiah serta al-Syahristani penulis buku Man Tadwin al-Hadits tersebut sebagai musuh
sunnah. Pandangan al-Syarbini dibantah oleh Qays al-Aththar dengan buku Kitab Wa
Itab: Risalah Maftuhah Ila Kulliyyah Ushul al-Din al-Azhar. Di dalam bukunya, al-Aththar
mengarahkan celaannya pada Masyikhah al-Azhar dan para guru besar Fakultas
Ushuluddin, bukan kepada al-Syarbini, karena menganggap buku al-Syarbini tidak layak
untuk dibantah.
Al-Amili, al-Syahristani, dan al-Ruhani memandang pelarangan kodifikasi hadis
pada masa khilafah bukan masalah kecil yang bisa diabaikan atau dilewati begitu saja.
Pelarangan ini membuka peluang bagi orang yang ingin merusak hadis. Pelarangan
penulisan hadis adalah tema yang penting dikaji karena pelarangan tersebut telah
menjadi kebijakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah dan khalifah setelahnya
sampai dihentikan oleh Umar bin Abd al-Aziz. Pelarangan ini adalah benih untuk
terhapus, terselewengkan, dan terubahnya sunnah Nabi saw dan pintu bagi penguasa
untuk memerintah sesuai dengan kehendaknya sendiri. (Mushthafa Qashir al-Amili,
Kitab Ali, h. 10-11; Ali al-Syahristani, Man Tadwin al-Hadits, h. 15, 19; Mahdi al-Husayni
al-Ruhani, Ahadits Ahl al-Bayt as An Thuruq Ahl al-Sunnah, j. 1, 1421 M., h. 5)
Pelarangan penulisan hadis membuka peluang bagi penguasa untuk berlaku
semena-mena, menurut al-Ruhani, dikarenakan segera setelah wafatnya Nabi saw,
Islam berkembang menjadi agama bagi umat yang tinggal di wilayah/negara yang sangat
luas. Negara pun membutuhkan undang-undang dan hukum untuk mengurus berbagai
urusannya. Pada kondisi tersebut, perintah para khulafa dan pembantu-pembantunya
pada berbagai peristiwa menjadi sumber hukum syariat bagi orang-orang yang hidup
belakangan. Sejumlah ulama menyebut perintah-perintah mereka sebagai sunnah
amaliyyah dan menganggap mengaplikasikannya adalah ibadah. Salah satu
indikatornya adalah munculnya term seperti sunnah Abu Bakar dan sunnah Umar di
kalangan para ulama, meskipun salah seorang dari mereka, yaitu al-Syawkani
menolaknya dan mengatakan, Yang diutus kepada kita hanya seorang nabi saja (Mahdi
al-Husayni al-Ruhani, Ahadits Ahl al-Bayt as An Thuruq Ahl al-Sunnah, j. 1, 1421 M., h.
5-6). Istilah sunnah al-khulafa al-rasyidin ada di dalam hadis. Ali al-Milani menulis buku
berjudul Risalah Fi Hadits Alaykum Bi Sunnati Wa Sunnah al-Khulafa al-Rasyidin
sebagai satu dari 10 seri hadis-hadis mawdhu di dalam kitab-kitab sunnah.
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana drastisnya perubahan yang
terjadi pada sunnah dalam rentang waktu 25 tahun setelah Rasul saw wafat akibat dari
kebijakan tiga khalifah pertama terkait penulisan dan periwayatan hadis, menarik untuk
dikaji perkataan Ali bin Abu Thalib yang dikutip oleh al-Askari di dalam tulisannya
Taammul fi Majra al-Hadits yang menjadi pengantar buku Adhwa Ala al-Shahihayn h.
11-15 yang dia kutip dari Rawdhah al-Kafi, 8/61-63.
Al-Askari mengatakan bahwa di dalam khutbah tersebut Ali bin Abu Thalib
menjelaskan kebijakan praktisnya sebagai khalifah berkaitan dengan periwayatan dan
penulisan hadis, yaitu dia akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan
menghapus apa yang sudah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Kaum Quraisy
mengetahui bahwa kebijakan itu akan bertabrakan dengan kepentingan mereka. Mereka
pun menyatakan penentangan, menyulut perang Jamal dan Shiffin, dan Ali pun terbunuh
4 tahun beberapa bulan saja sejak menjadi khalifah (al-Askari, Taammul fi Majra al-
Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 17).
Di kalangan Ahlu Sunnah, seperti dikatakan oleh Luthfi Fathullah, ada perbedaan
pendapat mengenai boleh atau tidaknya menulis hadis pada masa Rasul saw karena di
dalam buku-buku hadis Ahlu Sunnah terdapat riwayat-riwayat yang membolehkannya
dan terdapat juga riwayat-riwayat yang melarangnya (Ahmad Luthfi Fathullah, Metode
Interaktif Belajar Hadis & Ulum Hadis). Sementara itu, di kalangan Syiah, hanya ada satu
pendapat, yaitu penulisan hadis itu dibolehkan karenaseperti dikatakan oleh al-
Subhani, kalaupun ada riwayat yang melarang penulisan hadis, maka riwayat itu harus
ditolak karena bertentangan dengan al-Quran, sunnah, sejarah, kesepakatan umat Islam,
dan akal. (al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi, h. 21).
Hadis-hadis dalam periwayatan Ahlu Sunnah yang melarang penulisan hadis di
antaranya yang diriwayatkan oleh Muslim, al-Daruquthni, dan Ahmad:
:

Artinya, Janganlah kalian menulis dariku dan barangsiapa yang menulis dariku
selain al-Quran maka hendaklah dia menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa
masalah, dan barangsiapa yang berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan
kursinya di neraka.
Sedangkan hadis yang pembolehan yang dikutip Fathullah adalah:
. :
. :
Artinya, Dari Abu Hurayrah, Rasulullah saw berkhutbah pada Haji Wada, lalu
seorang yang bernama Abu Syah berkata: Wahai Rasulullah tolong tuliskan untuk saya
(apa yang engkau khutbahkan). Rasulullah pun berkata kepada beberapa sahabat:
Kalian tuliskan untuk Abu Syah. (Ahmad Luthfi Fathullah, Metode Interaktif Belajar Hadis
& Ulum Hadis)
Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis:

Artinya, Tulislah, demi Zat Yang Menggenggam jiwaku, tidak keluar darinya
kecuali kebenaran.
Hadis ini diriwayatkan di antaranya di dalam al-Mustadrak Ala al-Shahihayn 1/187
Kitab al-Ilm hadis no. 359; Musnad Ahmad 2/162; Sunan al-Darimi 1/136 (al-Syahristani,
Man Tadwin al-Hadits, h. 27).

Artinya, Bantulah hapalanmu dengan catatanmu.
Hadis ini diriwayatkan di antaranya di dalam Sunan al-Tirmidzi 5/39 Bab Ma Jaa
Fi al-Rukhshah Fih hadis no. 2.666; al-Mujam al-Awsath 1/245 hadis no. 801 dan 3/169
hadis no. 2825. (al-Syahristani, Man Tadwin al-Hadits, h. 27).

Artinya, Ikatlah ilmu dengan tulisan.
(Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat, h. 20)

Analisa Terhadap Hadis Yang Melarang Dan Memerintahkan Penulisan Hadis


Berkaitan dengan hadis-hadis yang bertentangan itu, Fathullah mengutarakan dua
teori. Pertama, teori nasakh mansukh. Kedua, teori Nabi saw membolehkan sebagian
sahabat, dan melarang sebagian sahabat yang lain, menulis hadis.
Teori pertama, nasikh dan mansukh. Artinya, hadis pelarangan dihapus hukumnya
dengan hadis pembolehan, apalagi hadis pembolehan diperkatakan pada tahun 8 H
ketika Haji Wada. Namun jika ini dijadikan alasan, lanjut Fathullah, Abu Said al-Khudri
dikatakan masih tetap enggan menulis hadis sampai akhir hayatnya. Ada riwayat bahwa
Abu Bakar sempat membakar lembaran-lembaran hadis, serta Umar pernah mempunyai
gagasan untuk penulisan hadis, namun niatan itu diurungkan setelah melakukan
istikharah.
Al-Hasani mengatakan bahwa jika ada hadis yang memerintah dan melarang
penulisan hadis, maka pada saat Rasul saw wafat seharusnya semua sahabat sudah
mengetahui bahwa Rasul saw membolehkan penulisan hadis. Umar pun pada pada saat
melarang penulisan hadis tidak bersandar pada sabda Rasulullah saw. Urwah bin al-
Zubayr meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa dia hendak menulis sunnah,
lalu meminta pendapat para sahabat. Mereka mendorongnya untuk menuliskannya. Lalu,
Umar melakukan istikharah selama sebulan dan setelah memperoleh kepastian dia
berkata, Tadinya aku hendak menulis sunnah-sunnah, tapi aku teringat pada suatu kaum
sebelum kalian yang telah menulis banyak buku lalu mereka sibuk dengannya hingga
meninggalkan kitabullah. Sungguh, demi Allah, aku tidak akan mencampur Kitabullah
dengan apa pun. (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat, h. 20-21)
Teori kedua, Rasulullah saw mempunyai dua kebijakan, yaitu melarang kalangan
umum untuk menulis hadis dan membolehkan sejumlah sahabat. Solusi kedua ini
menurut Fathullah lebih tepat dibandingkan dengan solusi pertama. Jadi, ketika melarang
penulisan hadis, beliau melarangnya untuk mayoritas sahabat, namun untuk orang
tertentu, beliau membolehkannya. Di antara para sahabat yang mendapatkan izin adalah
Abdullah bin Amru bin al-Ash (w. 65 H./685 M.), Abdullah bin Abbas (w. 68 H./687 M.),
Ali bin Abi Thalib (w. 40 H./661 M.), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H.), Jabir bin
Abdullah (w. 78 H./697 M.), dan Abdullah bin Abi Auf (w. 86 H.)
Di kalangan Syiah, dimunculkan teori ketiga, yaitu salah satu dari hadis yang
melarang dan menyuruh itu palsu, dan yang palsu adalah hadis yang melarang penulisan
hadis. Benarkah Nabi saw melarang penulisan hadis? Ketika menganalisa riwayat yang
menerangkan Abu Bakar membakar catatan hadisnya dan riwayat yang menerangkan
Abu Bakar menyuruh orang-orang untuk tidak menyampaikan hadis dan mencukupkan
diri dengan al-Quran, al-Syahristani mengatakan bahwa kedua riwayat itu menunjukkan
bahwa Nabi saw tidak pernah melarang penulisan hadis. Al-Syahristani mengatakan,
Khalifah Pertama telah menulis 500 hadis. Ini dalil yang cukup tentang tidak adanya
larangan Nabi saw. Sebab, jika sudah ada larangan, maka Khalifah tidak akan menulis
apa yang dia sudah tulis. Begitu juga dengan Khalifah Kedua. Jika benar kodifikasi hadis
sudah dilarang oleh Nabi Saw, maka Umar tidak akan mengumpulkan sahabat dan
meminta pandangan mereka tentangnya, dan mereka tidak akan menasihatinya untuk
mengkodifikasi. (al-Syahristani, h. 23-24)
Al-Subhani menulis buku al-Hadits al-Nabawi Bayna al-Riwayah wa al-Dirayah:
Dirasah Mawdhuiyyah Manhajiyyah Li Ahadits Arbain Shahabiyyan ala Dhaw al-Kitab,
al-Sunnah, al-Aql, Ittifaq al-Ummah, wa al-Tarikh. Di dalam bab Perhatian Nabi saw
terhadap Kodifikasi Hadis, al-Subhani mengutip 3 hadis riwayat al-Bukhari, 1 hadis
riwayat Abu Dawud, 1 hadis riwayat al-Tirmidzi, dan 1 hadis yang diriwayatkan oleh al-
Khathib al-Baghdadi di dalam Taqyid al-Ilm. Al-Subhani juga mengatakan bahwa Nabi
saw sering menulis surat untuk pejabat-pejabat yang dikirimnya ke berbagai daerah dan
lima nama sahabat yang menulis hadis dari Rasulullah dan menjaga tulisannya ketika
Rasulullah masih hidup dan setelah beliau wafat (Jafar al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi
Bayna al-Riwayah wa al-Dirayah, h. 12-15).
Selanjutnya, al-Subhani mengatakan bahwa hadis-hadis yang melarang penulisan
hadis itu bertentangan dengan al-Quran, sunnah, sejarah, kesepakatan umat Islam, dan
akal. Pertentangannya dengan sunnah artinya bertentangan dengan hadis-hadis yang
memerintahkan kodifikasi seperti yang telah dia kutipkan. Pertentangannya dengan al-
Quran, menurut al-Subhani, diakui juga oleh ulama Sunni. Al-Khathib al-Baghdadi di
dalam Taqyid al-Ilm mengatakan, Allah Swt telah memerintahkan untuk menuliskan
hutang sebagai bentuk penjagaan, kehati-hatian, dan kewaspadaan agar tidak terasuki
keraguan, maka ilmu yang penjagaannya lebih susah daripada penjagaan hutang lebih
pantas untuk dibolehkan penulisannya agar tidak terasuki keraguan dan kesangsian.
Dari sudut pandang sejarah, pelarangan penulisan hadis dapat dikatakan sebagai mitos
yang dibuat untuk membenarkan tindakan tiga khalifah yang melarang penulisan dan
penyebaran hadis. (al-Subhani, al-Hadits al-Nabawi, h. 21-22).

Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah Saw


Di dalam al-Mawdhuat min al-Atsar wa al-Akhbar Hasan Maruf al-Hasani seperti
hendak mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa Nabi saw tidak melarang
penulisan hadis tapi juga tidak terlalu mendorongnya. Tapi, di buku ini, seperti di buku
yang dia tulis sebelumnya, yaitu Dirasat fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, yang
membandingkan Shahih al-Bukhari dengan al-Kafi, dia menyesalkan generasi pertama
para sahabat yang tidak segera mengkodifikasi hadis setelah Rasul saw wafat dan
sangat menyesalkan adanya pelarangan penulisan hadis pasca wafatnya Nabi saw. Dia
berkata:
Jika setelah Rasul saw wafat kaum muslimin bersikap benar terhadap
sunnah, mengkodifikasi dan mengumpulkannya dari dada para penghapal
sebelum dibinasakan oleh perang, dan sebelum dirusak oleh para
penyusup dan perusak; jika mereka bersikap seperti itu, maka mereka telah
mencegah para pencari sesuap nasi yang menjilat penguasa dengan
membuat-buat hadis yang merendahkan lawan-lawan politik mereka dan
menguatkan kekuasaan mereka. Tapi, para penguasa setelah Rasul saw
wafat, bukannya melapangkan ruang untuk menghimpun hadis-hadis itu
dari dada para penghapalnya sebelum dirusak, justru mencegah kodifikasi
dan penghimpunannya dengan dalih menjaga dan melindungi Kitabullah
agar tidak digantikan tempatnya di dada dan jiwa manusia oleh sunnah,
sebagaimana terungkap dari banyak riwayat tentang sikap Khalifah Kedua
dalam masalah ini.
(Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat Fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, h.
9-10, 18-22, 27).

Penulisan Hadis Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin/Sahabat


Ada riwayat-riwayat yang menunjukkan pelarangan penyampaian dan kodifikasi
hadis pada masa Tiga Khalifah Pertama, bahkan perintah untuk menghapus dan
membakar tulisan berisi hadis Nabi saw. Berdasarkan banyak atsar, para sahabat atau
para sahabat yang terkenal menyedikitkan penyampaian hadis, atau melarang
memperbanyaknya atau melarang menyampaikannya sama sekali. Abd al-Shamad
Syakir menyebutkan delapan atsar yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya yang
dituturkan oleh al-Dzahabi di dalam Tadzkirah al-Huffazh sebagai berikut:
Al-Shiddiq mengumpulkan orang-orang setelah Nabi mereka wafat. Lalu, dia
berkata:
:

Kalian menyampaikan hadis-hadis tentang Rasulullah yang bertentangan satu
dengan lainnya. Orang-orang setelah kalian akan lebih bertentangan. Karena itu,
janganlah kalian menyampaikan hadis apa pun dari Rasulullah. Jika ada yang bertanya
kepada kalian, katakanlah: di antara kita ada Kitabullah. Halalkan apa yang dihalalkannya
dan haramkan apa yang diharamkannya.
Masih dari Tadzkirah al-Huffazh:
Umar mengurung Ibnu Masud, Abu al-Darda, dan Abu Masud al-Anshari, dan
berkata, Kalian telah terlalu banyak menyampaikan hadis dari Rasulullah saw.
Mengutip dari Ibnu Sad dan Ibnu Asakir, Syakir mengatakan, Mahmud bin Labid
berkata: Aku mendengar Utsman bin Affan berkata di atas mimbar, Tidak boleh bagi
siapa pun menyampaikan hadis yang tidak dia dengar pada masa Abu Bakar dan Umar.
Aku tidak menyampaikan hadis bukan karena aku bukan sahabatnya yang paling
mengerti. Tapi, aku telah mendengarnya bersabda, Orang yang mengatakan atas
namaku apa yang tidak aku katakan, maka hendaklah dia bersiap-siap menempati
tempatnya di neraka. (Abd al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al-Shihah al-Sittah,
h. 17-19)
Dari atsar-atsar tersebut, Syakir menyimpulkan: (1) sumber pelarangan itu adalah
tiga khalifah, terutama Umar; (2) pada zaman Abu Bakar para sahabat bertentangan
dalam masalah hadis dalam artian mereka saling tidak mempercayai/mendustakan
periwayatan yang lain; (3) zahir perkataan Abu Bakar berarti mengabaikan hadis sama
sekali dan mencukupkan penjelasan halal dan haram dari al-Quran; (4) Umar mentakzir
sahabat yang sering menyampaikan hadis. Karena takzir tidak boleh diberikan kepada
orang yang melakukan sesuatu yang mubah, sunnah, atau makruh, berarti Umar
memandang para sahabat itu melakukan perbuatan yang diharamkan. Karena ada
sahabat yang melakukan sesuatu yang haram, maka kaidah yang menyatakan semua
sahabat itu adil/kredibel tidak benar (Abd al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al-
Shihah al-Sittah, h. 20-21).
Fathullah mengatakan bahwa empat Khalifah selain memperhatikan al-Quran juga
sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis. Tapi, keterangan
Fathullah selanjutnya seperti tidak senada dengan pernyataan itu, karena periwayatan
hadis pada masa Abu Bakar dan Umar ternyata masih terbatas kepada yang
memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban karena kecenderungan mereka untuk
membatasi atau menyedikitkan riwayat (taqlil al-riwayah), di samping sikap hati-hati dan
teliti para sahabat dalam menerima hadis. Ali bahkan hanya mau menerima hadis
perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini, muncul sektarianisme
yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat bukan saja dalam bidang
politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana
itu muncul pemalsuan hadis.
Apakah tidak dilakukannya penulisan hadis ini disebabkan kurangnya orang yang
mampu menulis atau kurangnya instrumen kodifikasi lainnya? Alasan ini tidak dapat
diterima. Perkembangan literasi di Arab sebelum diutusnya Rasul saw hingga Rasul
wafat menafikan hal tersebut. Jika bangsa Arab tidak berbudaya literasi sebelum Islam
(mereka tidak seperti itu), maka mereka pasti tidak seperti itu setelah perjuangan literasi
yang dilakukan oleh Nabi saw. Dominasi buta huruf di kalangan Arab artinya kemampuan
baca tulis tidak tersebar luas di kalangan Arab berbeda dengan di kalangan Persia dan
Romawi. Tapi, bukti-bukti sejarah menunjukkan jumlah orang Arab yang mampu baca
tulis pada saat itu tidak sedikit. Selanjutnya Islam membawa perubahan besar. Jumlah
orang yang belajar al-Quran kepada Abu al-Darda saja sekitar 1.600 orang. Setiap 10
orang diajar oleh satu orang dan Abu al-Darda membimbing mereka semua. Jadi,
keterlambatan penulisan Sunnah bukan karena sedikitnya orang yang mampu membaca
dan menulis (Hashim Maruf al-Hasani, Dirasat fi al-Hadits wa al-Muhadditsin, h. 17-19).
Berkaitan dengan pembatasan penjelasan halal dan haram dari al-Quran yang
berimplikasi pengabaian sunnah, lalu berimplikasi pada pengabaian kodifikasi sunnah,
yang terungkap dalam slogan , Cukuplah al-Quran bagi kita, menurut al-
Subhani, wacana itu sudah terlontar sejak Nabi saw masih hidup. Dalilnya, al-Bukhari
(1/30, Bab Kitabah al-Ilm dari Kitab al-Ilm) meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika
sakit Nabi saw makin parah, beliau meminta diambilkan kertas agar bisa menulis wasiat
yang menjamin para sahabat itu tidak akan sesat setelah kematiannya. Tapi, Umar bin
al-Khaththab berkata, Nabi saw sedang meracau. Kita sudah punya Kitabullah. Itu
cukup. Akibatnya, para sahabat berselisih di dekat Nabi saw. Nabi saw pun menyuruh
mereka keluar. Ibnu Abbas sangat menyayangkan tidak sempatnya Nabi saw menulis
wasiat tersebut. Al-Subhani mengatakan bahwa gagasan mengabaikan sunnah Rasul
saw ini bukan sekadar wacana yang ada di pikiran sejumlah sahabat, tapi menjadi
kebijakan praktis saat mereka memegang tampuk khilafah dan yang membuat kebijakan
tersebut adalah orang yang sama dengan yang melarang Nabi saw menulis apa yang
hendak beliau tulis (Jafar al-Subhani, Tadzkirah al-Ayan h. 271).
Aturan tentang pelarangan kodifikasi hadis lebih keras daripada penyampaiannya.
Syakir mengutip 10 riwayat, lalu mengatakan bahwa berdasarkan riwayat-riwayat itu
tiadanya penulisan hadis pada abad pertama Hijriah adalah fakta yang tak dapat
diragukan. Jika riwayat yang menerangkan bahwa Rasul saw melarang penulisan hadis
itu benar, maka para penulis hadis pada abad ketiga telah menentang Rasul. Abu Bakar
membakar catatan hadisnya bukan karena adanya larangan dari Rasul, tapi karena dia
khawatir para perawi dari catatannya akan berdusta. Sejumlah sahabat mengetahui
pentingnya penulisan hadis sehingga mereka menganjurkan Umar untuk melakukannya,
tapi Umar menolak saran mereka bahkan bertindak sebaliknya. Hal ini dilakukan Umar
juga bukan karena Rasul melarang penulisan hadis, tapi berdasarkan istikharahnya (Abd
al-Shamad Syakir, Nazhrah Abirah Ila al-Shihah al-Sittah, h. 22-25).
Jadi, sejak Rasul saw wafat hingga awal berdirinya Dinasti Umawiyyah terjadi
masa pengabaian penulisan hadis dan masa ini diisi oleh aktivitas massif oleh para
pemalsu dan pendusta hadis. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, Dulu ada waktu
ketika kami mendengar seseorang berkata, Rasulullah bersabda, maka kami segera
memperhatikannya dengan mata dan telinga kami. Tapi, setelah manusia diterpa
pencampuran antara yang bohong dengan yang shahih, maka kami hanya mengambil
hadis dari orang yang kami kenal. (Mushthafa Qashir al-Amili, Kitab Ali, h. 11, mengutip
dari Mahmud Abu Rayyah, Adhwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 67). Al-Askari,
di dalam catatan kaki nomor 1 di halaman 23 menyebutkan nama-nama pemalsu hadis
yang sangat mengejutkan ((al-Askari, Taammul fi Majra al-Hadits dalam Adhwa Ala
al-Shahihayn, h. 23).
Bagaimana kebijakan Muawiyah berkaitan periwayatan dan penulisan hadis? Ada
program sistematis untuk ibadah syakhshiyyah al-nabi wa alih wa mahw siratih bi tasis
jihaz ilami li wadh al-hadits berikut motif dan figur yang terlibat dalam pelaksanaannya
(Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 17-18; Kattani, Baqir Najiyy al-Rasul, 7-8)

Penulisan Hadis Pada Masa TabiIn


Tabiin adalah mereka yang bertemu dengan sahabat Nabi saw dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. Menurut Fathullah, pada masa ini
hingga akhir abad pertama, banyak Tabiin yang menentang penulisan hadis, di
antaranya Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (72 H.), Ibrahim bin Yazid al-Taimi (92
H), Jabir bin Zaid (93 H.) dan Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (96 H.). Kodifikasi hadis pada
masa Tabiin secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-101 H.) yang
menginstruksikan para gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis
hadis-hadis Nabi. Dia juga memerintah Ibn Hazm (Abu Bakar al-Hazmi ?) dan Ibn Syihab
al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadis Nabi saw. Al-Zuhri punya semboyan yang
terkenal, Al-Isnad min al-Din. Law la al-isnad la qala man syaa ma syaa. Artinya,
Sanad itu bagian dari agama. Sekiranya tidak ada sanad, maka berkatalah siapa saja
tentang apa saja.
Umar bin Abd al-Aziz memerintahkan penulisan hadis karena khawatir hadis
akan hilang dari perbendaharaan masyarakat, ingin membersihkan hadis dari hadis-
hadis mawdhu (palsu) yang dibuat untuk mempertahankan ideologi golongan dan
mazhab, tidak ada lagi kekhawatiran akan tercampurnya al-Quran dan hadis karena
keduanya sudah bisa dibedakan dan al-Quran telah dibukukan dalam satu mushaf dan
telah merata di seluruh umat Islam, dan khawatir hadis akan hilang karena banyak ulama
hadis yang gugur dalam medan perang. Kitab hadis yang ditulis pada masa ini masih
bercampur antara hadis Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabiin, belum dipisahkan
antara hadis yang marfu, mawquf, dan maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan,
dan dhaif. Fathullah mengatakan kitab hadis yang masyhur pada masa ini adalah:
1. Al-Muwaththa oleh Malik pada 144 H atas anjuran Khalifah al-Manshur berisi
kurang lebih 1.720 hadis.
2. Musnad al-Syafii, mencantumkan seluruh hadis dalam al-Umm.
3. Mukhtalif al-Hadits, karya al-Syafii, menjelaskan cara-cara menerima hadis
sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadis-hadis yang
kontradiksi satu sama lain (Fathullah, Metode Belajar Interaktif Hadis & Ilmu
Hadis).
Lalani di dalam al-Fikr al-Syi'i al-Mubakkir Ta'alim al-Imam Muhammad al-Baqir
mengatakan bahwa sebagaimana sudah diketahui literasi hadis mengalami wujud
mutakaddirkeberadaan yang tercemar pada masa pembentukannya. Orang-orang
yang terlibat dalam kompilasi dan periwayatan hadis segera mendapati bahwa mereka
harus mempertimbangkan pengawasan ketat dari negara. Lalani mengatakan bahwa al-
Zuhri mengakui bahwa para penguasa memaksa mereka untuk menulis hadis dan al-
Thabari di dalam Tarikh al-Thabari 2/112 mengatakan bahwa Muawiyah telah
memerintahkan untuk mencela Ali dan para pendukungnya secara terbuka, dan pada
waktu yang sama memuji keagungan keluarga Utsman. Dan, dalam kondisi seperti itu,
sampai runtuhnya kekuasaan Umawiyah, nyaris tidak ada kemungkinan untuk siapa pun
untuk secara terbuka bersimpati pada Keluarga Ali (Lalani, al-Fikr al-Syi'i al-Mubakkir
Ta'alim al-Imam Muhammad al-Baqir, h. 137-138)

Penulisan Hadis Pada Masa Tabi TabiIn


Pada abad ketiga, yang berperan adalah generasi setelah Tabiin. Ada usaha
untuk memisahkan hadis yang shahih dari yang tidak shahih sehingga tersusunlah tiga
macam kitab hadis, yaitu kitab shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), kitab sunan
(Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai, al-Darimi), berisi hadis shahih dan hadis
dhaif yang tidak munkar. Dan kitab musnad (Abu Yala, al-Humaydi, Ali Madaini, al-
Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawayh), berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian
dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli untuk bahan perbandingan.
Pada masa ini jurang pemisah antara Sunnah dengan Syiah semakin lebar. Kitab-
kitab hadis Syiah dalam pandangan Sunnah adalah senjata yang berbahaya untuk
menghancurkan agama. Para penulis dan para perawi di dalam buku-buku hadis Syiah,
dalam pandangan Sunnah, adalah para pendusta. Para penganut Syiah pun meragukan
dan penuh kehati-hatian pada kitab-kitab hadis Sunni. Apalagi al-Bukhari di dalam kitab
hadis yang dipandang paling sahih oleh Sunni pun tidak meriwayatkan dari al-Shadiq dan
keturunannya, padahal dia meriwayatkan dari seperti Muawiyah, Marwan bin al-Hakam,
dan Imran bin Hiththan al-Khariji yang memuji Abd al-Rahman bin Muljam karena telah
membunuh Ali bin Abu Thalib (Hasan Maruf al-Hasani, Dirasat Fi al-Hadits wa al-
Muhadditsin, h. 10). Pujian Imran bin Hiththan pada Ibnu Muljam dan respon para penyair
terhadapnya dapat dibaca di (Ali Yaqub Suwayf al-Qathifi, al-Ghadir fi Mashadir al-
Fariqayn, tp., cet. 1, 1423 H./2003 M., h. 31-33)
Perlawanan Terhadap Kebijakan Pelarangan Periwayatan Dan Penulisan Hadis
Tsamir Hasyim Habib al-Amidi mengatakan, Sikap Syiah terhadap pelarangan
penulisan hadis sangat jelas. Mereka menolaknya sepenuhnya, tidak merasa terikat
olehnya, melawannya dengan sengit, dan bersegera melanggarnya. Mereka menulis
hadis sepanjang masa pelarangan tersebut, juga sebelumnya, sebagaimana terlihat
pada kitab al-Shahifah yang ditulis oleh Imam Ali.
Syaraf al-Din di dalam al-Murajaat, h. 291, mengatakan, Para peneliti mengetahui
secara langsung bahwa kepeloporan Syiah dalam mengkodifikasi berbagai ilmu daripada
mazhab lain. Sebab, tidak ada yang melakukan hal tersebut pada abad pertama selain
Ali dan para pengikutnya. Boleh jadi hal ini disebabkan perbedaan para sahabat tentang
boleh atau tidak bolehnya menuliskan ilmu. Umar bin al-Khaththab, sebagaimana
disebutkan oleh al-Asqallani di pendahuluan Fath al-Bari, serta beberapa figur lain, tidak
menyukai penulisan hadis karena khawatir hadis akan bercampur dengan al-Kitab.
Sementara itu, Amir al-Mukminin, dan selanjutnya al-Hasan Cucu Rasulullah, serta
sejumlah sahabat membolehkannya. Demikianlah sampai orang-orang pada Abad
Kedua di akhir masa Tabiin sepakat untuk membolehkannya. (Asad Kasyif al-Ghitha,
al-Ushul al-Arbaumiah, h. 4).
Al-Amidi lalu menuturkan bahwa orang Syiah yang menjadi pelopor penulisan
hadis adalah Abu Rafi mawla Rasulullah saw dan sahabat Ali yang dia angkat menjadi
bendahara Baitul Mal di Kufah saat dia menjadi khalifah. Abu Rafi menulis kitab al-Sunan
wa al-Ahkam wa al-Qadhaya. Dia menulis hadis-hadis dalam bab salat, puasa, haji,
zakat, dan tema-tema lain. Salman al-Farisi menulis Kitab al-Gatsliq, Abu Dzar al-Ghifari
menulis kitab al-Khutbah. Begitu juga tokoh Syiah awal yang lain seperti al-Ashbagh bin
Nubatah, Ubaydillah bin Abu Rafi, al-Harts bin Abdullah, Rabiah bin Sami, Sulaym bin
Qays, Ali bin Abu Rafi, Maytsam al-Tammar, Ubaydillah bin al-Hurr, Muhammad bin
Qays al-Bajili, dan Yala bin Murrah yang kesemuanya semasa dengan Ali bin Abu Thalib
(Tsamir Hasyim Habib al-Amidi, Difa An al-Kafi, j. 1, h. 17; Tsamir Hasyim Habib al-
Amidi, Maa al-Kulayni wa Kitabihi al-Kafi, Ulum al-Hadits, vol.1, no. 1, Muharram 1418
H., h. 184).
Ali bin Abu Thalib, Imam Maksum, dan para pengikut mereka berjuang tetap
menyebarkan dan menjelaskan sabda-sabda Nabi saw meskipun untuk itu mereka
mengorbankan nyawa. Al-Askari mengutip riwayat dari Sunan al-Darimi, 1/146, Bab al-
Balagh An Rasulillah saw wa Talim al-Sunan, hadis no. 4, bahwa pada suatu hari Abu
Dzar al-Ghifari duduk di dekat Jumrah Wustha. Lalu, banyak orang mengelilinginya dan
menanyakannya masalah-masalah agama. Lalu, seorang pengikut Bani Umayyah
melihat hal itu, mendatanginya, lalu berkata, Apakah engkaut idak tahu bahwa Amir al-
Mukminin melarangmu mengeluarkan fatwa? Abu Dzar berkata, Apakah engkau
menjadi pengawasku? Lalu, Abu Dzar menunjuk ke lehernya dan berkata, Demi Allah,
walaupun kalian menusukkan pedang ke sini agar aku tidak menyampaikan satu kalimat
yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku tetap akan menyampaikannya sebelum hal itu
terjadi.
Al-Askari mengatakan bahwa di dalam Ikhtiyar Marifah al-Rijal karya al-Thusi,
1/290 entri no. 131, dan Bihar al-Anwar 42/122 Kitab Tarikh Amir al-Muminin Bab Ahwal
Rasyid al-Hijri, ada kisah yang lebih mencekam berkaitan dengan Rasyid al-Hijri. Ketika
Ibnu Ziyad menjadi gubernur Kufah, Ibnu Ziyad memotong tangan dan kakinya. Ketika
dia dibawa pulang, orang-orang menangisinya. Lalu, dia berkata kepada mereka,
Ayyuhannas, ambilkan aku kertas dan pena. Akan kutuliskan untuk kalian apa yang akan
terjadi hingga hari Kiamat. Ibnu Ziyad dikabari hal itu, lalu Ibnu Ziyad pun memerintahkan
untuk memotong lidahnya.
Hal yang sama terjadi pada Maytsam al-Tammar. Ketika Ibnu Ziyad berkuasa di
Kufah, Ibnu Ziyad menangkap, menyalib, dan memotong tangan dan kakinya. Lalu, dari
atas tiang salib, dia berteriak sekeras-kerasnya, Ayyunnas, siapa yang ingin mendengar
hadis yang tersembunyi dari Ali bin Abu Thalib? Orang-orang berkumpul dan dia pun
menceritakan kepada mereka hal-hal yang menakjubkan. Ibnu Ziyad dikabari hal itu, lalu
Ibnu Ziyad pun memerintahkan untuk memotong lidahnya. Maytsam berkubang darah
selama beberapa saat, lalu meninggal dunia (Murtadha al-Askari, Taammul fi Majra al-
Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 22).
Syahadah Husayn berhasil membendung pemenjaraan dan penyiksaan terhadap
para perawi hadis, dan mendorong tersebarnya hadis-hadis yang shahih ke tengah
masyarakat yang telah dicekoki oleh pemalsuan hadis (al-Askari, Taammul fi Majra al-
Hadits dalam Adhwa Ala al-Shahihayn, h. 23).
Al-Subhani mengatakan bahwa pada abad ketiga hijriah di kalangan Syiah muncul
banyak kitab hadis, seperti al-Jami karya Ahmad bin Muhammad bin Abu Nashr al-
Bizanthi (w. 221 H.), al-Tsalatsin karya Husayn bin Said al-Ahwazi yang meriwayatkan
dari al-Ridha dan al-Jawad, al-Mahasin karya Ahmad bin Muhammad bin Khalid (w. 274
H.), dan Nawadir al-Hikmah karya Muhammad bin Ahmad bin Yahya al-Asyari (w. 293
H.). Kitab-kitab ini menjadi rujukan bagi al-Kulayni dalam menulis al-Kafi (al-Subhani,
Tadzkirah al-Ayan, h. 273).

Anda mungkin juga menyukai