Anda di halaman 1dari 1

Oleh Karina untuk Aksara

Malam kemarin sahabatmu kembali,


dengan bunga tulip dibalik tubuhnya yang kini bertengger di laci mejaku.
Surainya sedikit basah, lengkap dengan setelan kemeja hitam dan dasi yang berantakan.
Langkahnya sedikit tergesa dari biasanya, bahkan ketukan pintu yang tak lebih dari 3 kali
kini menjadi 2 kali lebih banyak.

Sejenak kupandangi netra coklat sepekat jelaga yang mirip seperti milikmu itu, cukup membuatku
bergeming tatkala kutemukan tanda kemerahan bak tubuh lelaki seusai bercinta dengan pelacur di
Rumah Bordir. Kami pun hanya diam dan saling pandang, bahkan udara dingin dipenghujung musim
semi terasa lebih baik ketimbang atmosfer ruangan yang kuisi dengannya.

Keheningan itu mencekik leherku, rasa tak nyaman seolah menginterupsi jiwa pemberontak para
leluhur yang kuwarisi. namun tak lantas membuatku lupa petuah usang milik ibu bahwa “Tamu ialah
Raja”, aku sedikit berdeham memberinya isyarat untuk duduk. Ya, duduk di sofa tempat kita
bersenggama.
Dengan sisa rasa tak enakku, sengaja kuhidangkan teh vanila dan bukan kopi seperti saat masih
denganmu. Jangan mengomeliku nanti, karna Ini kali pertama aku menjamu temanmu seorang diri.
Gumpalan asap tipis yang keluar dari belah bibirnya kini menyeruak seisi ruangan, bau tembakau
bakar yang menusuk indera penciuman tak juga cukup untuk menghilangkan rasa penasaranku.

Ia menyodoriku surat dengan kertas berwarna abu-abu, sudut bibirku tertarik meski enggan
menaikan pandang sebab wangi musk yang melekat pada surat, bahkan rasa muak karna harus
menjamu temanmu seolah lenyap. aku teramat yakin surat itu berisi tulisan tanganmu, dan
keyakinanku terbukti benar.

Surat itu memang berasal darimu, Aksara Mahari lelaki yang hidup denganku 4 tahun lamanya, lelaki
yang tertawa dengan suara bariton setiap kali kujelajahi harum tubuhnya di bilik kamar.
Nafsuku tak urung surut untuk menyelesaikan suratmu kendati nafasku sesak dan terbatuk-batuk ,
Hingga Kesadaranku terkorupsi, dadaku kebas, dan seolah tengah menanti mati.
Ku buang surat sialan berisi bualan bahwa seterusnya aku harus hidup sendirian,
menyentak lututku untuk berlutut pada tanah merengek, memohon memintamu pulang.

********

Anda mungkin juga menyukai