Kopi yang khusus aku seduh untuk memperingati harimu dan hari perngorbanan nyawa kawan-
kawanmu, yah.. termasuk nyawa buyutku.
Syahdu bukan ?
Tidakkah bung juga menghirup aroma dari kepul asap yg sama, Aroma asap yang mengepul dari letup
mesiu sehingga menggantikan kepul asap rokokmu sebab peluru mendesir tepat disamping bibir
hitammu.
Namun, justru berkat kepul asap gelora semangat juang dan keberanianmulah hari ini aku dapat
menghisap dalam kepul asap rokokku, sembari heran menyaksikan ini negara yang semakin gaduh.
Bung, tau tidak kenapa Aroma kepul asap kopi itu sangat dahsyat aromanya ?
itu karena asap yang mengepul berasal dari biji kopi yang bukan semabarang biji.
Hanya ditanah adiluhung, tanah tumpah darah, dan tanah air mata lah bisa untuk ditanaminya.
Tapi, bukan 350 tahun tentang dongen ibu guru TK yang menceritakan masa dijajahnya negri kita.
Toh buktinya, bung tidak tinggal diam kan atas penjarahan-penjarahan itu.
Meskipun hingga hari ini kami masih dijarah oleh saudara-saudara kami sendiri dengan
mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, tapi ternyata hanya untuk partai politiknya sendiri.
Dan hari ini bung. setiap partai politik negari ini sedang saling membinasakan partai politik lainnya, agar
mampu menguasai kekayaan negara kita tercinta. Edan kan bung.
Oh iya bung, Air mendidih yang dituangkan kedalam cangkrinya pun juga tidak bisa sembarang air bung,
adalah air yang membasuh perbedaan sebagai penghalang kebersamaan
Air yang menumbuhkan dedaunan cemara dipegunungan, pun menumbuhkan tanaman lamun di laut
perbatasan.
Bung, lihatlah hitam resam ampas pada dasar cangkir kopi itu.
Itulah hitam resam do'a dan tekad yg terpendam akibat laut, udara dan daratan dikepung peluru, asap,
granant serta khianat cukong penjajah.
Adalah hitam kental kokohnya persatuan dan gotong royong kalian dalam merebut kemerdekaan.
Pada percik yang tersirat atas jingkrak kaki bocah di bawah hujan itu, sapamu kembali terunjuk padaku.
Kau unjukkan lengkap dengan senyum penuh sendu, bertalamkan angin syahdu yang berakhir pada
embun kaca jendelaku.
Aku terdiam sebab dicerca tanya oleh titik lebam pada ingatan yang beranjak sembuh.
Ia bertanya kepadaku : "Hujan apa yang ia maksudkan. Banjir dan genangan, ataukah sejuk dan
kesuburan ?"
Kembali ia bertanya : "Hujan yang menguap dari selokan penuh sampah dan tikus, atau hujan dari danau
yang terapung diatasnya bunga teratai dan bunga rawa ?"
Jawabku tetap sama : "yang aku tahu, ia hanyalah hujan yang menetes ke bumi, mengembun di ujung-
ujung daun pagi."
Disela-sela cerca tanya, hati pun berdeham, dan kami terdiam, hati memberi kesimpulan.
Atas dasar kesimpulan hati, aku pun menoleh ke arah datangnya sapa mu.
Namun, jingkrak kaki bocah-bocah itu sudah tidak lagi di halaman rumahku.