Anda di halaman 1dari 3

Page 1

Narasi Bincang Sinema ke-8


Nomadland (2020)

Apakah kalian pernah membayangkan tentang kebahagiaan seperti apa yang ingin dirasakan
ketika kalian tua? Apakah tolak ukur kebahagiaan itu dinilai dari seberapa mewah rumah yang
ditempati, atau seberapa banyak waktu dan uang yang dimiliki untuk bisa menjelajahi dunia,
melihat misteri dan keindahan kota-kota, atau mungkin seberapa lengkap keluarga yang
dimiliki untuk mengisi dan mewarnai sisa-sisa hari? Jika hal tersebut benar menjadi tolak ukur
sebuah kebahagiaan, maka tentu sungguh malang nasib Fern yang tidak memiliki itu semua.
Fern, wanita paruh baya yang menjalani hidupnya sebatang kara, berkelana dengan mobil van
adalannya, membawa sisa-sisa kenangan dari kota Empire, Nevada dan inilah kisahnya.

Hidup sebatang kara tidak lantas membuat Fern menjadi manusia yang lemah, ia dedikasikan
masa tuanya untuk tetap bekerja, tanpa mengharap iba karena ketidak beradaannya. Toh, tidak
berada bukan berarti tidak berdaya, bukan? Ia sendiri bahkan menolak ketika dianggap sebagai
homeless oleh tetangga lamanya, justru ia lebih senang untuk memilih mengatakan bahwa
dirinya houseless. Apakah makna rumah memang sepersonal itu? Lantas bagaimana dengan
realita yang kita lihat bersama, bahwa Fern yang tinggal dalam mobil van (Recreational
Vehicle), Fern yang harus selalu mencari tempat parkir hanya agar bisa tidur dengan nyenyak,
Fern yang merayakan tahun baru dengan hanya menghangatkan diri di dalam van-nya sambil
memakan sup yang dimasak sendiri dengan gerak yang begitu terbatas, karena semua
dilakukannya di dalam mobil, Fern yang menganggap itu semua adalah tempat tinggal baginya,
tempat berlindung baginya, rumah baginya. Lantas apakah semua itu pantas?

Mari kita sedikit berwisata ke ranah yang agak berbeda. Kita mencoba belajar memaknai rumah
lewat lirik lagu yang dipopulerkan oleh GodBless, “Rumah Kita”. Apakah representasi dari
penulis lirik (Ian Antono) berhasil mencerminkan rumah yang ideal bagi setiap orang?
Gambaran rumah yang begitu sederhana, dimana temboknya terbuat dari bilik bambu,
lantainya hanya tanah, atapnya dari jerami, bahkan tidak ada hiasan di dalamnya. Nyatanya
kesederhanaan itu bisa menjadi nilai yang begitu berharga, sementara Ibu Kota yang katanya
bisa mewujudkan mimpi-mimpi kita, dianggap sebagai misteri, dianggap sebagai tanda tanya.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah pandangan tersebut ideal bagi setiap orang? Tentu tidak.
Kenyataannya makna rumah memang sepersonal itu. Bagi sebagian orang mungkin standar
rumah yang ideal haruslah diisi dengan keluarga yang bahagia. Lantas bagaimana dengan Fern
yang hidupnya sebatang kara?

LITMATCH INSTITUTE | Bincang Sinema ke-8 [Nomadland (2020)]


Page 2

Dalam nelangsanya ternyata ia masih memiliki saudara kandung, meskipun sialnya ia telah
ditinggal mati lebih dulu oleh suaminya. Lantas apakah ia benar-benar sendiri ketika
memutuskan untuk hidup dalam kesendirian? Takdirnya dalam perjalanan ternyata malah
mempertemukan ia kepada banyak orang yang juga memilih hidup mengembara, berpacu
bersama roda dan aspal jalanan, bergumam dibalik kursi kemudi, mencibir cuaca yang tidak
bersahabat. Setiap orang tentu memiliki alasan memilih jalan tersebut, sebagian mungkin
sedang mencari kebebasan, sebagian mungkin sedang mengais sisa-sisa kenangan, sebagian
mungkin sedang mencari kedamaian. Seperti layaknya Swankie, teman Fern yang difonis
hanya bisa bertahan hidup tidak lebih dari 8 bulan karena kanker yang menggerogoti otaknya.
Lantas apakah benar, anggapan bahwa kesendirian adalah momok yang mekutkan? Kalaupun
iya, maka Swankie tidaklah mungkin bisa tersenyum indah sambil menceritakan nestapa
hidupnya. Sungguh gambaran keindahan seperti layaknya bait dalam lagu yang dilantunkan
Chrisye, bahwasanya “Ia (Swankie) sejatinya sendiri, melangkah di jalan remang membisu,
menanti datangnya sinar bersama sang fajar”. Bukankah itu sesuatu yang benar-benar indah?
Jika realita yang dihadapi Fern dan teman-temannya dalam film Nomadland mungkin kita
anggap suatu nestapa, lantas bagaimana keindahan tersebut bisa lahir didalamnya? Saya sendiri
merasa tertipu ketika menyadari bahwa ternyata film ini bukanlah cerita tentang nestapa,
melainkan jauh lebih dalam maknanya. Film ini menceritakan tentang perjalanan seorang Fern
dalam mengais nilai-nilai kebahagiaan hidup yang hakiki. Bagaimana bisa?

Mari kita coba membungkus makna kebahagian itu sendiri lewat bingkai pemikiran seorang
Kaisar Romawi yang bijak, Marcus Aurelius. Ia beranggapan bahwa kebahagian hidup berasal
dari dimensi internal diri manusia itu sendiri, lebih tegasnya yaitu kualitas berfikir manusia,
bukan sebaliknya, dimana belakangan kebahagiaan selalu diasosiasikan terhadap hal-hal
eksternal (di luar diri manusia) seperti materi, popularitas bahkan mood. Setiap manusia harus
yakin bahwa tidak ada yang sepenuhnya baik untuk seseorang, yang tidak akan membuatnya
menjadi orang yang adil, sederhana, jantan dan juga bebas; dan tidak ada yang sepenuhnya
buruk, yang tidak akan melakukan hal yang sebaliknya. Akhirnya setiap manusia pada
dasarnya bisa menemukan kebahagiaan kapanpun ia mau bahkan pada saat ini juga, bahkan
dengan segala keterbatasannya. Seperti halnya Fern yang menemukan kebahagiaan bersama
teman-temannya. Sesederhana menari bersama di bar kecil sambil diiringi musik country,
sesederhana berbagi rokok dengan orang yang bahkan baru dikenalnya, sesederhana saling
berbagi cerita dengan teman-temannya, bahkan lewat kesendiriannya ia bisa merasakan
kebahagiaan yang hakiki.

LITMATCH INSTITUTE | Bincang Sinema ke-8 [Nomadland (2020)]


Page 3

Pada akhirnya kita yang memiki keluarga yang utuh, pekerjaan yang tetap, rumah yang hangat,
teman yang begitu banyak, bukankah tetap mempertanyakan “Apakah hidupku benar-benar
sudah bahagia?”. Realita hidup sepertinya sudah bisa menjawab, bahwa banyak orang yang
sebenarnya terjebak dalam dimensional pragmatis, bahwa keluarga yang utuh tidak melulu
menjamin keharmonisan dalam keluarga itu sendiri, bahwa menjadi budak korporat ternyata
tidak sebebas “itu”, bahwa rumah yang selama ini kita anggap memberi kenyamanan ternyata
malah mengurung kita dalam zona nyaman, bahwa teman-teman yang kita elukan ternyata
menghilang saat kita dilanda kesulitan.

Seperti yang dikatakan Gautama Budha, bahwa “Tidak ada jalan menuju kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah jalannya”. Juga seperti hal yang sering saya sisipkan dalam tutur salam,
bahwa “Jangan lupa bahagia”.

LITMATCH INSTITUTE | Bincang Sinema ke-8 [Nomadland (2020)]

Anda mungkin juga menyukai