Air Sungai Barito dan Sungai Martapura Provinsi Kalimantan Selatan
yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan warga, sekarang ini telah menjadi ancaman akibat limbah yang telah merusak kualitas air di kedua sungai tersebut. Kondisi air tercemar logam berat dan sampah menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit autis, gangguan saraf, dan ginjal, kata Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Daearah (BLHD) Kalsel, Ninuk Murtini di Banjarmasin. Hasil pemeriksanaan air di beberapa titik hasilnya sebagian besar air sungai tercemar rata-rata di atas ambang batas. Pencemaran antara lain, kandungan mangan atau Mn seharusnya hanya 0,1 miligram tapi di Sungai Barito April 2012 mencapai 0,3135 miligram. Titik terparah berada di Sungai Barito di sekitar Pasar Gampa Marabahan Kabupaten Barito Kuala, selain itu di Hilir Pulau Kaget mencapai 0,2097 miligram dan Hulu Kuripan atau di sekitar kantor Bupati Barito Kuala mencapai 0.2029 miligram. Menurut Ninuk pemeriksanaan tidak hanya dilakukan di Sungai Barito tetapi di sungai lainnya dengan total pengambilan sampel sebanyak 29 titik yaitu enam titik di sungai Barito, enam titik sungai Martapura dan tujuh titik di Sungai Negara.“Hasil dari 29 titik yang kita ambil Mn-nya berada di atas ambang batas,” katanya. Tingginya kandungan mangan dalam air yang disebabkan aktivitas pertambangan dan alam tersebut, bila tidak dilakukan pengolahan dengan baik sebelum dikonsumsi bisa menimbulkan berbagai penyakit tersebut. Ciri air yang mengandung mangan cukup tinggi antara lain rasanya anyir dan berbau, serta akan menimbulkan noda-noda kuning kecoklatan pada peralatan dan pakaian yang dicuci. Meskipun ion kalsium, ion magnesium, ion besi dan ion mangan diperlukan oleh tubuh namun air yang banyak mengandung ion-ion tersebut tidak baik untuk dikonsumsi, karena dalam jangka panjang akan menimbulkan kerusakan pada ginjal, dan hati. “Tubuh kita hanya memerlukan ion-ion tersebut dalam jumlah yang sangat sedikit sedikit sekali. Kalsium untuk pertumbuhan tulang dan gigi, mangan dan magnesium merupakan zat yang membantu kerja enzim, besi dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah,” katanya. Bukan hanya Mangan, hampir semua ion dalam air sungai Kalsel termasuk ecoli atau coliform juga melampaui ambang batas sangat tinggi, seperti ecoli yang di antaranya berasal dari tinja manusia, seharusnya hanya 100 miligram kini mencapai maksimal 5.800 miligram. Kondisi tersebut, menyebabkan penyakit diare, muntaber dan berbagai penyakit lainnya, yang biasanya akan terlihat dalam waktu cepat. Sedangkan penyakit ginjal atau saraf baru bisa terdeteksi selama sepuluh tahun. “Namun untuk air PDAM biasanya sudah dilakukan pengolahan jadi layak dikonsumsi, hanya saja biaya pengolahannya jauh lebih mahal,” katanya. Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Drg.Rosihan Adhani,MS mengimbau warga agar tidak mengkonsumsi air begitu saja tanpa melalui proses pengolahan yang benar. Contohnya bila air dikonsumsi tanpa proses yang baik bisa terjadi kecacatan terhadap bayi maupun warga, karena air sudah tercemar limbah pertambangan emas dan penambangan batubara skala besar di hulu-hulu sungai. Dari hasil survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Kalsel penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat. Hal tersebut tercermin dari masih tingginya kejadian seperti keracunan dan timbulnya penyakit yang berbasis lingkungan demikian. Kondisi ini disebabkan masih buruknya kondisi sanitasi dasar terutama air bersih dan penggunaan jamban keluarga yang tidak memperhatikan ketentuan kesehatan. Data survei dilakukan Dinkes, kematian bayi di Kalsel rata-rata disebabkan karena buruknya kondisi lingkungan. Penyakit akibat faktor lingkungan tersebut diantaranya, Asma 2,5 persen, Pneumena 16,4 persen, Diare 11,4 persen, tetanus 4,7 persen, ISPA 3,9 persen, Ensefalitis 2,5 persen, Bronchitis 2,5 dan Emfisema 2,5 persen. Sebaiknya sebelum air yang tercemar limbah tersebut di konsumsi maka terlebih dahulu di endapkan baru kemudian di rebus hingga mendidih 100 drajat celcius selama satu menit, dengan demikian diharapkan bakteri yang ada dalam air tercemar tersebut bisa mati. Warga Banjarmasin dan warga lain di Kalsel terutama tinggal di pinggiran sungai masih sangat tergantung dengan keberadaan sungai untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu, mandi, mencuci memasak dan membuang air besar. Budaya warga yang masih banyak membuang air besar ke sungai melalui budaya jamban yang menyebabkan kandungan bakteri ecoli sangat tinggi. Bila air yang tercemar bakteri ecoli dikonsumsi tanpa proses pemanasan yang sesuai maka bisa menimbulkan penyakit diare serta infeksi pencernaan. Bukti demikian bisa dilihat dikala air PDAM macet pada musim kemarau dan banyak warga mengandalkan air sungai untuk makan dan minum maka akhirnya sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit diare di kota Banjarmasin. Pencemaran Tinggi Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Banjarmasin sendiri juga mengungkapkan akibat begitu tingginya tingkat pencemaran limbah di sungai maka kandungan oksigen dalam air Sungai Barito dan Martapura terus berkurang. Akibat dari kandungan oksigen dalam air (DO) terus berkurang maka beberapa jenis ikan air Sungai Martapura kini menghilang. Hasil penelitian ternyata kandungan oksigen dalam air tersebut di bawah ambang batas. Sebagai contoh saja, kandungan udara dalam air yang ideal 6 miligram (Mg) per liter, tetapi nyatanya di sepuluh titik lokasi yang diteliti kondisinya sudah memprihatinkan. Akibatnya banyak ikan yang tidak bisa lagi bernapas lantaran oksigen yang kurang itu. Berkurangnya oksigen tersebut tersebut karena begitu tingginya tingkat pencemaran di sungai, seperti pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, serta limbah alam lainnya. Masyarakat Banjarmasin terbiasa membuang sampah ke sungai, sementara 23 industri kayu dan industri lainnya skala besar di pinggir sungai juga dinyatakan positip mencemari air dikedua sungai tersebut. Pencemaran limbah demikian mengakibatkan limbah itu harus diproses oleh jasad organik dalam air. Jasad-jasad dalam air yang memproses limbah air tersebut ternyata memerlukan oksigen cukup besar pula akhirnya jumlah oksigen di dalam air terus berkurang. Dampak kian berkurangnya jumlah oksigen tersebut adalah menghilangnya beberapa jenis ikan terutama ikan khas Sungai Martapura seperti kelabau, sanggang, lampam, jelawat, dan ikan puyau. Berdasarkan penelitian tersebut kandungan oksigen di dalam air sungai yang diteliti seperti di Sungai Basirih kandungan udaranya mencapai 5,36 Mg/L, air Sungai Mantuil 5,8 Ml/L, air Sungai pelambuan 5,8 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucuk 4,8 Mg/L, air Sungai Kayutangi 4,78,Ml/L, air Sungai Banua Anyar 4,79 Ml/L, air Sungai Bilu 5,03 Ml/L, air Sungai Baru 4,74 Ml/L, serta air Sungai Muara Kelayan 4,79 Ml/L. Sungai-sungai kecil yang diteliti itu merupakan anak sungai Martapura, sedangkan Sungai Martapura sendiri adalah bagian dari Sungai Barito. Selain kandungan udara yang terus berkurang ternyata kandungan besi juga ternyata terlalu tinggi, idealnya hanyalah 0,3 Ml/l. Hasil penelitian kandungan besi yang ada seperti di sungai Basisih terdapat kandungan besi 1,1 Mg/L, air Sungai Mantuil 1,91 Mg/L, air Sungai Pelamuan 1,5 Mg/, air Sungai Suaka Insan 1,65 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucok 2,08 Mg/L, di air Saungai Kayutangi 1,76 Mg/L, dan air Sungai banua Anyar 1,84 Mg/L. Berdasarkan catatan lain bukan hanya kandungan besi, yang tinggi di sungai Banjamasin juga kandungan logam berat lainnya yang kalau tidak diantisipasi berbahaya bagi kesehatan, seperti kandungan tembaga, maupun kandungan timah hitam. Melihat kondisi sungai yang demikian, maka berbagai kalangan menganjurkan agar pemerintah lebih serius menangani sungai dan membuat peraturan daerah (Perda) tentang sungai yang memberikan sanksi berat kepada warga maupun industri membuang limbah ke sungai.