Anda di halaman 1dari 4

Nama : Delvianus

NIM ETE10170053

AIR SUNGAI KALSEL SUDAH ANCAM KESEHATAN

Air Sungai Barito dan Sungai Martapura Provinsi Kalimantan Selatan


yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan warga, sekarang ini telah menjadi
ancaman akibat limbah yang telah merusak kualitas air di kedua sungai tersebut.
Kondisi air tercemar logam berat dan sampah menjadi salah satu pemicu
timbulnya penyakit autis, gangguan saraf, dan ginjal, kata Kepala Bidang
Pemantauan dan Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Daearah (BLHD) Kalsel,
Ninuk Murtini di Banjarmasin. Hasil pemeriksanaan air di beberapa titik hasilnya
sebagian besar air sungai tercemar rata-rata di atas ambang batas. Pencemaran
antara lain, kandungan mangan atau Mn seharusnya hanya 0,1 miligram tapi di
Sungai Barito April 2012 mencapai 0,3135 miligram.
Titik terparah berada di Sungai Barito di sekitar Pasar Gampa Marabahan
Kabupaten Barito Kuala, selain itu di Hilir Pulau Kaget mencapai 0,2097
miligram dan Hulu Kuripan atau di sekitar kantor Bupati Barito Kuala mencapai
0.2029 miligram.
Menurut Ninuk pemeriksanaan tidak hanya dilakukan di Sungai Barito
tetapi di sungai lainnya dengan total pengambilan sampel sebanyak 29 titik yaitu
enam titik di sungai Barito, enam titik sungai Martapura dan tujuh titik di Sungai
Negara.“Hasil dari 29 titik yang kita ambil Mn-nya berada di atas ambang batas,”
katanya. Tingginya kandungan mangan dalam air yang disebabkan aktivitas
pertambangan dan alam tersebut, bila tidak dilakukan pengolahan dengan baik
sebelum dikonsumsi bisa menimbulkan berbagai penyakit tersebut.
Ciri air yang mengandung mangan cukup tinggi antara lain rasanya anyir
dan berbau, serta akan menimbulkan noda-noda kuning kecoklatan pada peralatan
dan pakaian yang dicuci. Meskipun ion kalsium, ion magnesium, ion besi dan ion
mangan diperlukan oleh tubuh namun air yang banyak mengandung ion-ion
tersebut tidak baik untuk dikonsumsi, karena dalam jangka panjang akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal, dan hati.
“Tubuh kita hanya memerlukan ion-ion tersebut dalam jumlah yang sangat
sedikit sedikit sekali. Kalsium untuk pertumbuhan tulang dan gigi, mangan dan
magnesium merupakan zat yang membantu kerja enzim, besi dibutuhkan untuk
pembentukan sel darah merah,” katanya.
Bukan hanya Mangan, hampir semua ion dalam air sungai Kalsel termasuk
ecoli atau coliform juga melampaui ambang batas sangat tinggi, seperti ecoli yang
di antaranya berasal dari tinja manusia, seharusnya hanya 100 miligram kini
mencapai maksimal 5.800 miligram.
Kondisi tersebut, menyebabkan penyakit diare, muntaber dan berbagai
penyakit lainnya, yang biasanya akan terlihat dalam waktu cepat. Sedangkan
penyakit ginjal atau saraf baru bisa terdeteksi selama sepuluh tahun. “Namun
untuk air PDAM biasanya sudah dilakukan pengolahan jadi layak dikonsumsi,
hanya saja biaya pengolahannya jauh lebih mahal,” katanya.
Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Drg.Rosihan
Adhani,MS mengimbau warga agar tidak mengkonsumsi air begitu saja tanpa
melalui proses pengolahan yang benar. Contohnya bila air dikonsumsi tanpa
proses yang baik bisa terjadi kecacatan terhadap bayi maupun warga, karena air
sudah tercemar limbah pertambangan emas dan penambangan batubara skala
besar di hulu-hulu sungai.
Dari hasil survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Kalsel penyakit berbasis
lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat. Hal
tersebut tercermin dari masih tingginya kejadian seperti keracunan dan timbulnya
penyakit yang berbasis lingkungan demikian. Kondisi ini disebabkan masih
buruknya kondisi sanitasi dasar terutama air bersih dan penggunaan jamban
keluarga yang tidak memperhatikan ketentuan kesehatan.
Data survei dilakukan Dinkes, kematian bayi di Kalsel rata-rata
disebabkan karena buruknya kondisi lingkungan. Penyakit akibat faktor
lingkungan tersebut diantaranya, Asma 2,5 persen, Pneumena 16,4 persen, Diare
11,4 persen, tetanus 4,7 persen, ISPA 3,9 persen, Ensefalitis 2,5 persen,
Bronchitis 2,5 dan Emfisema 2,5 persen. Sebaiknya sebelum air yang tercemar
limbah tersebut di konsumsi maka terlebih dahulu di endapkan baru kemudian di
rebus hingga mendidih 100 drajat celcius selama satu menit, dengan demikian
diharapkan bakteri yang ada dalam air tercemar tersebut bisa mati.
Warga Banjarmasin dan warga lain di Kalsel terutama tinggal di pinggiran
sungai masih sangat tergantung dengan keberadaan sungai untuk melakukan
aktivitas sehari-hari baik itu, mandi, mencuci memasak dan membuang air besar.
Budaya warga yang masih banyak membuang air besar ke sungai melalui budaya
jamban yang menyebabkan kandungan bakteri ecoli sangat tinggi. Bila air yang
tercemar bakteri ecoli dikonsumsi tanpa proses pemanasan yang sesuai maka bisa
menimbulkan penyakit diare serta infeksi pencernaan. Bukti demikian bisa dilihat
dikala air PDAM macet pada musim kemarau dan banyak warga mengandalkan
air sungai untuk makan dan minum maka akhirnya sering terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) penyakit diare di kota Banjarmasin.
Pencemaran Tinggi Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota
Banjarmasin sendiri juga mengungkapkan akibat begitu tingginya tingkat
pencemaran limbah di sungai maka kandungan oksigen dalam air Sungai Barito
dan Martapura terus berkurang. Akibat dari kandungan oksigen dalam air (DO)
terus berkurang maka beberapa jenis ikan air Sungai Martapura kini menghilang.
Hasil penelitian ternyata kandungan oksigen dalam air tersebut di bawah
ambang batas. Sebagai contoh saja, kandungan udara dalam air yang ideal 6
miligram (Mg) per liter, tetapi nyatanya di sepuluh titik lokasi yang diteliti
kondisinya sudah memprihatinkan. Akibatnya banyak ikan yang tidak bisa lagi
bernapas lantaran oksigen yang kurang itu. Berkurangnya oksigen tersebut
tersebut karena begitu tingginya tingkat pencemaran di sungai, seperti
pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, serta limbah alam lainnya.
Masyarakat Banjarmasin terbiasa membuang sampah ke sungai, sementara
23 industri kayu dan industri lainnya skala besar di pinggir sungai juga dinyatakan
positip mencemari air dikedua sungai tersebut. Pencemaran limbah demikian
mengakibatkan limbah itu harus diproses oleh jasad organik dalam air. Jasad-jasad
dalam air yang memproses limbah air tersebut ternyata memerlukan oksigen
cukup besar pula akhirnya jumlah oksigen di dalam air terus berkurang. Dampak
kian berkurangnya jumlah oksigen tersebut adalah menghilangnya beberapa jenis
ikan terutama ikan khas Sungai Martapura seperti kelabau, sanggang, lampam,
jelawat, dan ikan puyau.
Berdasarkan penelitian tersebut kandungan oksigen di dalam air sungai
yang diteliti seperti di Sungai Basirih kandungan udaranya mencapai 5,36 Mg/L,
air Sungai Mantuil 5,8 Ml/L, air Sungai pelambuan 5,8 Mg/L, air Sungai Kuin
Cerucuk 4,8 Mg/L, air Sungai Kayutangi 4,78,Ml/L, air Sungai Banua Anyar 4,79
Ml/L, air Sungai Bilu 5,03 Ml/L, air Sungai Baru 4,74 Ml/L, serta air Sungai
Muara Kelayan 4,79 Ml/L. Sungai-sungai kecil yang diteliti itu merupakan anak
sungai Martapura, sedangkan Sungai Martapura sendiri adalah bagian dari Sungai
Barito. Selain kandungan udara yang terus berkurang ternyata kandungan besi
juga ternyata terlalu tinggi, idealnya hanyalah 0,3 Ml/l. Hasil penelitian
kandungan besi yang ada seperti di sungai Basisih terdapat kandungan besi 1,1
Mg/L, air Sungai Mantuil 1,91 Mg/L, air Sungai Pelamuan 1,5 Mg/, air Sungai
Suaka Insan 1,65 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucok 2,08 Mg/L, di air Saungai
Kayutangi 1,76 Mg/L, dan air Sungai banua Anyar 1,84 Mg/L.
Berdasarkan catatan lain bukan hanya kandungan besi, yang tinggi di
sungai Banjamasin juga kandungan logam berat lainnya yang kalau tidak
diantisipasi berbahaya bagi kesehatan, seperti kandungan tembaga, maupun
kandungan timah hitam. Melihat kondisi sungai yang demikian, maka berbagai
kalangan menganjurkan agar pemerintah lebih serius menangani sungai dan
membuat peraturan daerah (Perda) tentang sungai yang memberikan sanksi berat
kepada warga maupun industri membuang limbah ke sungai.

Anda mungkin juga menyukai