Anda di halaman 1dari 10

Pengelolaan Kualitas perairan di lingkungan Keramba Jaring Apung,

Studi Kasus di Waduk Cirata


Oleh
Devi Ilma Handayani

ABSTRAK
Kondisi lingkungan KJA di waduk cirata saat ini sudah melebihi ambang batas baku
mutu air budidaya, karena jumlah KJA yang sudahmelebihi daya dukung perairan waduk
Cirata. Kondisi ini memerlukan perhatian dan penanganan yang ekstra dengan melibatkan
semua pihak, baik pemerintah maupun semua stake holder terkait. Budidaya KJA yang ramah
lingkungan dengan memperhatikan penataan ruang, pengaturan tata letak dan perbaikan
kontruksi KJA, serta pemanfaatan Trophoc Level Based Aquaculture diharapkan dapat
memperbaiki kondisi kualitas air lingkungan KJA di Waduk Cirata.
Kata Kunci : Lingkungan KJA, Ramah Lingkungan, Trophic Level Based Aquaculture,
penataan ruang

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan
berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009).
Waduk merupakan salah satu perairan yang memiliki potensi sumber daya hayati. Keberadaan
ekosistem waduk memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia, antara lain
keperluan rumah tangga, industri, pertanian, dan perikanan. Fungsi penting waduk antara lain
sebagai sumber plasma nutfah terutama jenis-jenis ikan dengan tingkat endemisitas yang tinggi,
penyimpan air, kebutuhan air minum, irigasi, pendukung sarana transportasi, budidaya
Budidaya ikan menggunakan KJA merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan bahan pangan. Budidaya ikan baik menggunakan keramba jaring apung
(KJA), keramba jaring tancap (KJT), atau keramba saja akan menyebabkan terjadinya
perubahan kondisi lingkungan. Hal tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap
kondisi lingkungan perairan. Demetrio et al. (2011) menyatakan budidaya ikan menggunakan
KJA dapat menyebabkan berbagai dampak lingkungan pada badan air. Dampak negatif tersebut
berupa sedimentasi, umbalan, dan eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan waduk.
Menurut Simarmata (2007) penurunan kualitas perairan danau atau waduk, disebabkan oleh
aktivitas budidaya ikan pada KJA yang berlebihan. Permasalahan yang selalu muncul dengan

adanya budidaya ikan adalah terjadinya kematian masal ikan, terjangkitnya penyakit, dan
bahkan turunnya produksi ikan budidaya.
Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari tiga waduk kaskade Daerah Aliran Sungai
(DAS) Citarum. Waduk Cirata memiliki luas area sebesar 7.111 Ha dengan luas genangan 6.200
Ha dan daya tampung sebesar 2.165 juta m3. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya,
yaitu Waduk Saguling di bagian hulu dan Waduk Ir.H. Djuanda di bagian hilir. Secara
geografis, Waduk Cirata terletak pada koordinat 107 o1415 107o2203 LS dan 06o4130
06o4807 BT. Secara administratif, Waduk Cirata meliputi tiga kabupaten di wilayah Jawa
Barat, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur. Sumber masukan air berasal
dari Sungai Citarum atau outlet Waduk Saguling dan 14 sungai lainnya seperti Cisokan,
Cibalagung, Cikundul, Gado Bangkong, Cilagkap, Cicendo, Cilandak, Cibakom, Cinangsi,
Cimareuwah, Cimeta, Cihujang, Cihea, dan Cibodas (BPWC, 2011).
Waduk Cirata dibangun pada tahun 1987 yang diawali dengan proses penggenangan
selama satu tahun. Pembangunan Waduk Cirata bertujuan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa- Bali. Namun saat ini pemanfaatan waduk
terus berkembang mulai dari kegiatan perikanan budidaya, perikanan tangkap, restoran apung,
dan pariwisata. Perkembangan perikanan budidaya dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA)
di Waduk Cirata mengalami peningkatan jumlah setiap tahunnya. Berdasarkan informasi
terakhir dari Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), jumlah Rumah Tangga Produksi (RTP)
yang terdapat di waduk cirata terdiri dari 885 RTP dengan jumlah KJA sebanyak 21.500 petak
dengan jenis komoditas ikan yang dibudidayakan di KJA Cirata meliputi mas, nila, bawal, patin,
gurame, nilem, dan tawes (BPWC, 2014).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa usaha keramba jaring apung di waduk cirata
sudah tidak layak lagi, baik secara lingkungan maupun sosial. Penggunaan waduk dengan
jumlah KJA yang melebihi batas yang direkomendasikan atau melebihi daya dukung waduk
dan kelestarian lingkungan merupakan salah satu penyebab permasalahan yang muncul dalam
usaha KJA di waduk Cirata. Dampak dari kegiatan budidaya ikan KJA yaitu terjadinya kasus
kematian massal ikan dan ledakan alga diduga disebabkan oleh pelet/pakan ikan yang tidak
termakan oleh ikan yang jatuh ke dasar danau kemudian meningkatkan unsur hara. Peningkatan
unsur hara ini akan memacu pertumbuhan fitoplankton yang cepat. Unsur N dan P biasanya
menjadi unsur utama dalam produktivitas primer (fitoplankton). Kondisi ini sangat
memungkinkan alga untuk tumbuh berkembang dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan
fosfor yang berlebihan. Akibatnya eutrofikasi menjadi masalah bagi perairan danau/waduk yang
dikenal dengan algal bloom. Algal bloom menyebabkan warna air yang menjadi kehijauan,
berbau tidak sedap dan kekeruhannya menjadi semakin meningkat serta banyak enceng gondok,

kualitas air menjadi sangat rendah yang diikuti oleh rendahnya konsentrasi oksigen terlarut. Hal
ini menyebabkan ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik pada akhirnya terjadi
kematian massal ikan.
Rusaknya lingkungan sekitar DAS Citarum juga membawa dampak buruk terhadap
kualitas air waduk cirata. Penebangan hutan di bagian hulu atau alih fungsi hutan gunung
wayang menjadi lahan pertanian serta meningkatnya buangan limbah industri dan rumah tangga
semakin memperparah kondisi waduk cirata. Tingginya intensitas limbah berat industri yang
masuk ke waduk cirata melalui DAS Citarum, sempat menjadi penyebab kematian massal ikanikan budidaya di waduk Cirata. Limbah logam berat yang masuk ke waduk juga mengakibatkan
peningkatan korosi laju turbin PLTA sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan turbin.
Sehingga berdasarkan beberapa permasalahan tersebut perlu dilakukan penulisan ilmiah
mengenai Pengelolaan Kualitas Air di Lingkungan KJA, sebagai studi kasus dipilih kondisi di
KJA Cirata, Jawa Barat.
Tujuan Penulisan Artikel
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan
kualitas air di lingkungan KJA Cirata
Tinjauan Pustaka
Kualitas air memegang peranan penting sebagai media tempat hidup ikan peliharaan.
Menurut Cholik et al., (1986). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990
menyatakan bahwa kualitas air adalah sifat dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu fisika
(suhu, kekeruhan, padatan, dan sebagainya), parameter kimia (pH, DO, BOD, kadar logam,
dan sebagainya), parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya). Salah
satu sumberdaya air yang perlu di perhatikan kelestariannya adalah Daerah Aliran Sungai
(DAS).
Baku mutu air danau dan/atau waduk menurut Permen LH No. 28 Tahun 2009, terdiri
dari parameter fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan status trofik danau
dan/atau waduk meliputi parameter kecerahan air, Nitrogen, Phosphor serta Klorofil-a. Kadar Ptotal merupakan faktor penentuan status trofik. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur
dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan kelas air adalah peringkat kualitas air
yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Klasifikasi mutu air
ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Berdasarkan PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
penggolongan air menurut peruntukkannya ditetapkan sebagai berikut:

Golongan A : Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu;

Golongan B : Air yang dapat dighunakan sebagai air baku air minum;

Golongan C : Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan;

Golongan D : Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian,


dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.

Kondisi Kualitas Air di KJA Cirata


Sebagian besar potensi yang ada di waduk cirata, daya gunanya sangat tergantung pada
kualitas air badan waduk, dimana jika kualitas air menurun atau terpolusi, maka potensi-potensi
tersebut akan hilang dengan sendirinya. Waduk cirata tercemar logam berat jenis timbal dan
tembaga, hingga melebihi standar baku mutu air budidaya, , yang menurunkan kualitas ikan
hasil budidaya, menambah ongkos pemeliharaan turbin akibat tingginya laju korosi, dan
mengancam kesehatan manusia.
Hasil penelitian Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) pada tahun 2007-2012 pada
lima stasiun adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Sekunder Kualitas Air Waduk Cirata
No.

Parameter

1.
2.

NH3-N (ppm)
Nitrit: NO2-N
(ppm)
DO (ppm)
BOD (ppm)
CU (ppm)
Zn (ppm)
Pb (ppm)

3.
4.
5.
6.
7.

Kisaran

Standar Baku mutu


air budidaya : PP
RI No. 82 Thn
1981 (Kelas tiga)

Kadar maksimum air


budidaya : PP No. 20
Tahun
1990
(Golongan C)

0,008-0,018
0,035-0,082

0,02
0,06

2,81-3,59
8,769-11,049
0,030-0,038
0,022-0,045
0,018-0,033

3
6
0,02
0,05
0,03

>3
0,02
0,02
0,03

Kesesuaian
PPRI
PP No.
No. 82 20 Thn.
Thn
1990
1981
X

X
X
X

X
X
X
X

Hasil pengamatan kondisi perairan pada tahun 2014, terhadap kondisi kualitas air di
waduk cirata pada beberapa blok juga cukup besar untuk kandungan nitrit dan nitrat, dan
melebihi batas baku mutu air budidaya, berdasarkan data evaluasi cirata tahun 2014 oleh UPTD
BBPBPPU Cirata adalah sebagai berikut :
Perairan blok jangari : Nilai pH 6, Nitrit (NO2-) sebesar 0,25 mg/l, Nitrat (NO3-) sebesar
10 mg/l;
Perairan blok pasir pogor: Nilai pH 6, Nitrit (NO 2-) sebesar 0,25 mg/l, Nitrat (NO3-)
sebesar 25 mg/l;
Perairan blok jati nenggang : nilai pH 6, Nitrit (NO 2-) sebesar 0,25 mg/l, Nitrat (NO3-)
sebesar 10 mg/l;

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kualitas air termasuk kandungan logam berat di
waduk cirata sudah melebihi batas maksimum standar baku mutu air budidaya. Bahkan dari
kriteria penilaian parameter kualitas air (Tabel 2), berdasarkan kandungan DO dan BOD dapat
digolongkan sebagai perairan yang tercemar berat (kelas 3). Selain itu pencemaran juga
disebabkan oleh sampah yang berasal dari styrofoam yang sudah tidak terpakai lagi, dengan
adanya penggunaan styrofoam pada jaring apung yang melampaui batas (sekitar 40% dari
jumlah petani ikan di waduk cirata). Sehingga perlu disosialisasikan KJA yang ramah
lingkungan yaitu KJA ganda dan konstruksi KJA dengan pelampung polystyrene foam.
Tabel 2. Kriteria Penilaian parameter Kualitas (mutu) Air

No.

Parameter

Klasifikasi Kualitas (mutu) Air


Tercemar
Tercemar
Tercemar
Tercemar
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
(Kelas 1)
(Kelas 2)
(Kelas 3)
(Kelas 4)

1.

BOD (mg/l)

< 1,0

1,0-3,0

3,0-6,0

>6,0

2.

COD (mg/l)

<5

5,0-10,0

10,0-15,0

>15,0

3.

DO (mg/l)

>6,0

5,0-6,0

3,0-5,0

<3

4.

pH

6,5-8,5

5,0-9,0

6,0-9,0

5,0-9,0

Keterangan

Dijabarkan
dari baku mutu
Air Gol-A, B,
C dan D

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1990


Pengelolaan Waduk dan Kualitas Air di Lingkungan KJA Cirata
Berbicara mengenai pengelolaan kualitas air lingkungan KJA Cirata, tentu saja tidak
dapat dipisahkan dengan pengelolaan waduk Cirata dan pengelolaan perikanan budidaya di KJA
Cirata. Pengelolaan perikanan, baik tangkap maupun budidaya ikan KJA di waduk sepanjang
aliran Sungai Citarum harus dilakukan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem yang
berbasis kemitraan supaya berkelanjutan. Langkah-langkah strategis pengelolaan yang harus
dilakukan untuk perikanan budidaya ikan KJA adalah sebagai berikut:
1. Rasionalisasi jumlah unit KJA yang boleh beroperasi, di, di Waduk Cirata harus
diturunkan dari 49.985 unit menjadi 7.037 unit menjadi 3.625 unit dan kemudian harus
diikuti dengan penataan kembali zonasinya sehingga tidak melebihi daya dukung
perairan;

2. Kepemilikan KJA untuk setiap kepala keluarga harus didistribusikan secara adil dan
rasional sesuai dengan skala ekonomis sehingga tidak ada lagi perbedaan yang
mencolok antara satu pemilik dengan pemilik lainnya;
3. Pengaturan biomassa ikan yang dipelihara secara adil di antara pembudidaya sehingga
total biomassa ikan yang dipelihara tidak melebihi daya dukung;
4. Pengembangan regulasi dan diikuti dengan penegakan hukum melalui pengembangan
kemitraan antara pembudidaya KJA dengan otoritas waduk dan Pemerintah Daerah;
5. Pengembangan sistem peringatan dini bagi pembudidaya melalui Dinas Perikanan dan
otoritas waduk setelah mendapat rekomendasi dari Lembaga Penelitian;
6. Pengembangan prinsip budidaya KJA ramah lingkungan dengan pendekatan ekosistem.
Sumber : majalah trobos (2015)
DAS Citarum hulu yang telah tercemar beban pencemaran organik dari industri di hulu
Citarum telah melampaui daya tampung sungai sehingga kualitas air pada musim kemarau tidak
memenuhi baku mutu air yang telah ditetapkan. Pengelolaan waduk kaskade seperti Waduk
Cirata ini tidak bisa terpisahkan dari pengelolaan waduk-waduk lainnya dalam satu kesatuan.
Peranan dari setiap stake holder sangat berpengaruh dalam melakukan pengelolaan waduk
secara terpadu seperti intansi pemerintah, badan pengelola, tokoh masyarakat, dan pelaku
kegiatan. Waduk-waduk yang berada di DAS Citarum ini memiliki badan pengelolaan yang
berbeda-beda sehingga perlu adanya forum yang menjadi penghubung baik badan pengelola
Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk Ir.H. Djuanda maupun pengelola DAS Citarum
(Permana, 2012).
Pengelolaan waduk ini dapat dilakukan dengan pendekatan penataan ruang dalam hal
ini adalah perencanaaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengeloaan budidaya
karamba jaring apung di perairan waduk secara terpadu mencakup beberapa aspek yaitu tata
ruang, teknologi budidaya dalam hal ini daya dukung perairan.
Penataan ruang perairan adalah suatu upaya pengelolaan sumberdaya perairan waduk
secara keseluruhan dengan mengingat kelestarian sumberdaya tersebut atau pemwilayahan
waduk merupakan suatu upaya pengelolaan perairan waduk secara terpadu dan lestari.
Pengelolaan waduk berdasarkan penataan ruang ini menurut Ilyas (1998) dalam Siagian (2014),
perairan waduk dibagi atas kawasan sesuai peruntukannya dengan memperhatikan kondisi
ligkungan fisik, kimia, biologis perairan dan sosial ekonomi sekitarnya. Berdasarkan tata ruang
ini kawasan waduk dibagi menjadi beberapa kawasan atau zona berdasarkan pemanfaatannya,
ada yang disebut dengan kawasan bahaya, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan
penangkapan, kawasan perhubungan air (transportasi) dan kawasan wisata. Dengan adanya
pembagian berdasarkan tata ruang ini diharapkan pengelolaan waduk tersebut lebih mudah dan
6

lebih efisien dan masing-masing kawasan mempunyai persyaratan yang berbeda-beda sesuai
dengan peruntukannya,
Dalam pengelolaan waduk berdasarkan tata ruang ini, pengamatan kualitas perairan
mencakup fisik, kimia air (seperti oksigen, karbon dioksida, pH, suhu air, kecerahan, alkalinitas,
TDS, kondutivitas, BOD, COD, total N, total P, Fe, SO , Ca dan Mg) dan parameter biologi
2

perlu mendapat perhatian. Jika di perairan waduk tersebut telah ada penataan berdasarkan tata
ruang sesuai dengan peruntukannya maka karamba jaring apung harus diletakkan pada kawasan
budidaya dan jumlah karamba jaring apung yang beroperasi didasarkan pada perhitungan
ambang atas yang aman dari penyuburan yang disebabkan oleh fosfor dari pakan yang terbuang
dari limbah kotoran ikan. Krismono (1998) dalam Siagian (2014), mengatakan jika telah
ditentukan kawasan budidaya maka jumlah karamba jaring apung yang beroperasi pada
kawasan tersebut harus sesuai daya dukung lahannya agar usaha ini mencapai pemanfaatan yang
optimal. Jadi sebelum waduk serba guna difungsikan sebaiknya dilakukan penelitian terhadap
wilayah waduk tersebut agar dapat ditentukan kawasan peruntukannya dengan tujuan supaya
tidak terjadi tumpang tindih antara peruntukan yang satu dengan peruntukan yang lainnya dan
untuk mencegah terjadinya konflik antara pengguna yang satu dengan pengguna lainnya. Selain
hal tersebut, apabila telah dilakukan penataan ruang suatu kawasan waduk berdasarkan
peruntukannya perlu adanya pengaturan sarana dan prasarana pada masing-masing peruntukan.
Beberapa pendapat mengenai penggunaan KJA terhadap daya dukung waduk,
diantaranya (http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=518):
o Menurut Soemarwoto (1991), bahwa luas areal perairan waduk yang aman untuk
kegiatan budidaya ikan di KJA adalah 1% dari luas seluruh perairan waduk dengan
pertimbangan bahwa angka 1% tersebut non significant untuk luasan suatu waduk
serbaguna sehingga dianggap tidak akan mengganggu kepentingan fungsi utama waduk
dan memberi peluang bagi peruntukan lainnya,;
o Memperbaiki konstruksi KJA yang ramah lingkungan dengan pelampung polystyrene
foam. Hasil analisis penelitian yang dilakukan Prihadi dkk (2008) KJA yang terbuat dari
bambu dengan pelampung polystyrene foam merupakan KJA yang paling ramah
lingkungan dibandingkan dengan KJA lainnya.
o Menurut Rochdianto (2000), letak antara jaring apung sebaiknya berjarak 1030 m agar
arus air leluasa membawa air segar ke dalam jaring-jaring tersebut, sedangkan menurut
Schmittou (1991), jarak antar unit KJA yang baik adalah 50 m.
o Pengendalian/pengurangan jumlah KJA yang beroperasi. Pemindahan lokasi KJA pada
saat akan terjadi umbalan yang terjadi secara menyeluruh (holomictic) ke lokasi
perairan yang lebih dalam (Enan dkk, 2009). Untuk meningkatkan DO di perairan

menggunakan : 1) kincir yang dapat dipasang pada setiap unit KJA atau pada satu lokasi
KJA (Enan dkk, 2009); 2) pompa air yang dipancarkan dari atas (Krismono, 1995),
dengan penambahan oksigen murni yang diberikan pada saat oksigen kritis (dini hari)
(Danakusumah, 1998). Keramba jaring apung ganda/berlapis dikembangkan dengan
tujuan untuk mengurangi beban dari sisa pakan, yang dapat mencemari perairan.
Kuantitas limbah pakan yang siginifikan tinggi perlu diadakan restorasi waduk melalui
pengangkatan sedimen (dredging) agar kegiatan perikanan dapat aman dari tingginya
bahan toksik dan limbah pencemaran ini berpeluang dijadikan pupuk pertanian (Yap,
2003).
o Selain itu dalam PERDA Provinsi Jawa Barat Nomor : 7 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan

Perikanan,

disebutkan

bahwa

setiap

pembudidaya

ikan

hanya

diperbolehkan memiliki paling banyak 20 petak keramba jaring apung (KJA), dengan
ukuran petakan 7 x 7 meter.
Prinsip dasar pengendalian pencemaran air adalah melakukan reduksi kadar atau beban
pencemaran sampai dengan tingkat baku mutu limbah cair (effluent standard) yang ditetapkan,
atau diversifikasi kegiatan dengan menggunakan peralatan yang menghasilkan limbah cair
sedikit, ataupun menggunakan sistem industri bersih, mengurangi perluasan atau peningkatan
sistem produksi industri, serta revitalisasi infrastruktur pengendalian pencemaran air yang telah
ada. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan
air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar
kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya.
Menurut John (1995) dalam Samino, dkk (2004), keuntungan penggunaan sifat fisika
dan kimia suatu perairan untuk memantau kualitas air adalah karena memiliki nilai yang
sederhana dan dapat ditentukan pada waktu tertentu, sedangkan kelemahannya adalah bahwa
hasil pengukuran tersebut hanyalah menggambarkan keadaan sesaat dan tidak dapat
memberikan gambaran tentang kondisi ekosistem secara keseluruhan. Bahan kimia di dalam air
mempunyai fluktuasi yang besar dalam waktu yang relatif pendek sehingga pengukuran sifat
kimia air meskipun dilakukan sesering mungkin tetap belum dapat mencerminkan kadar yang
ada, selain itu dalam analisa kimia belum termasuk di dalamnya penghitungan kecepatan
transformasi bahan kimia tersebut oleh organisme. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat
dieliminir dengan menggunakan metode pengukuran parameter biologi, sehingga untuk
memperkirakan tingkat pencemaran akibat beban masukan bahan toksik di perairan dapat
digunakan metode biologi. Perubahan yang terjadi dalam perairan sebagai akibat adanya bahan
pencemar akan menyebabkan perubahan pada komposisi, kelimpahan dan distribusi dari
komunitas yang ada, dalam hal ini fitoplankton.
8

Untuk memperbaiki kualitas perairan danau/waduk diperlukan suatu cara salah satunya
dengan penggunaan bio-cleaning agent yaitu ikan yang memanfaatkan plankton (plankton
feeder) yang blooming di danau. Penebaran (restocking) dan budidaya ikan yang bisa
mengkonsumsi fitoplankton atau perifiton (fitoplankton yang menempel pada substrat di dalam
air), seperti ikan mola (Hypopthalmichtys molitrix), ikan tambakan (Helostoma temminckii),
ikan nilem (Osteochillus hasselti) atau kerang air tawar diharapkan bisa memanfaatkan limbah
organik akibat aktivitas budidaya di KJA. Ikan pemakan fitoplankton tersebut diharapkan bisa
membersihkan waduk cirata dari fitoplankton dan perifiton yang berlebihan, sehingga ekosistem
waduk mendekati keseimbangan.

Pengembangan ikan tersebut berarti pula mengimbangi

populasi ikan omnivora dan bersifat pellet based, sehingga struktur populasi dan biomassa ikan
dalam ekosistem waduk Cirata diusahakan mengarah pada piramida makanan yang biasa
berlaku secara alamiah. Penerapan konsep trophic level-based aquaculture ini diharapkan dapat
menjadikan usaha budidaya perikanan di waduk bisa berkelanjutan dan juga bisa meningkatkan
produksi perikanan tangkap (Effendi dan Mulyadi, 2012).
Berdasarkan penelitian Nurnaningsih et al. (2005), ikan-ikan dominan di Waduk Ir. H.
Djuanda memanfaatkan plankton yang berbeda dan terjadi perubahan komposisi makanan yang
tidak terlalu besar dalam tiap kelompok, yaitu ikan oskar (A.ocellatus) dan red devil
(A.critinellus) serta nila (O.nilotoicus) termasuk omnivor, sedangkan bandeng (C.chanos)
termasuk herbivor. Sehingga dengan adanya relung yang berbeda dalam pemanfaatan makanan
dapat diartikan bahwa ikan asli perairan tersebut dapat dengan optimal dalam memakan
fitoplakton yang berlebihan.
Siklus pemanfaatan pakan dalam pola TLBA (Trophic Level Based Aquaculture), yaitu
sistem budidaya dengan menempatkan komoditas utama dan benilai ekonomis tinggi pada KJA
(Keramba Jaring Apung) dan hamparan di luarnya berisi komoditas biaya murah (ikan
tambakan, nilem, tawes, sepat maupun kijing). Praktek akan berujung pada terciptanya
ekosistem perairan waduk yang terbebas dari berbagai limbah sisa pakan dan kotoran, sekaligus
meningkatkan kelestarian lingkungannya. Bahkan, keuntungan lain dalam jangka panjang,
kijing bisa diandalkan untuk menghasilkan mutiara air tawar (fresh water pearl), sebagaimana
telah dibuktikan di Cina dan Jepang (Husen, 2006).
Penutup
Dari beberapa alternatif pengelolaan lingkungan kualitas air di KJA di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan harus didukung oleh semua stake holder dengan melalui
penataan ruang yang didukung oleh hasil monitoring kualitas air KJA secara berkala, sehingga
jumlah KJA yang ada tidak melebihi daya dukung perairan. Pemanfaatan Trophic Level Based
Aquaculture merupakan salah satu alternatif dalam memperbaiki kualitas air di lingkunga KJA,
9

di samping budidaya ikan di KJA yang ramah lingkungan, sehingga menjadikan usaha budidaya
perikanan di waduk bisa berkelanjutan dan juga bisa meningkatkan produksi perikanan tangkap.
KKP akan melakukan moratorium dan rasionalisasi KJA di Danau Tondano dan Waduk
Citarum yang seharusnya dapat direalisasikan dengan segera.

Daftar Pustaka
Badan Pengelola Waduk Cirata. 2014. Laporan Evaluasi Waduk Cirata Tahun 2014. Cianjur.
Cholik, F., A. Hardjamulia dan R. Arifudin. 1986. Budidaya Perikanan. BLPP SUPM Negeri,
Bogor.
Effendi, I. Dan Mulyadi. Trophic Level-Based Aquaculture. 2012. Buku Materi Pokok
Budidaya Perikanan Cetakan ketiga. Universitas Terbuka. Jakarta.
http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=518.
http://dokumen.tips/documents/waduk-cirata.html
http://www.trobos.com/2015/detail_berita.php?sid=5788&sir=86
http://www.trobos.com/detail-berita/2015/03/15/86/5788/moratorium-kja-danau-toba-danwaduk-aliran-citarum
Husen, M. 2006. Akuakultur Untuk Waduk Jatigede. www.pikiranrakyat.co.id. Diakses tanggal
20 November 2007
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran air.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Danau dan / atau Waduk.
Permana, A. 2012. Tingkat pencemaran perairan Waduk Cirata, Jawa Barat: pengaruh sungai
dan keramba jaring apung (KJA). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. IPB. Bogor.
Siagian, M. 2014. Pengelolaan waduk yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
produktivitas perairan. Pidato pengukuhan Guru Besar Produktivitas Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, universitas Riau. Riau.
Samino S., Catur, R., Dwi, S., dan Rudina, A.R. 2004. Monitoring Dinamika Komunitas

Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang. Jurusan Biologi Fakultas


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya. Malang.

10

Anda mungkin juga menyukai