Anda di halaman 1dari 3

Pencemaran air dan Permasalahan yang ditimbulkan akibat pencemaran air

Pencemaran Air
Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP RI No
82Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang
dimaksud dengan Pencemaran Air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat,
energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya. Dari definisi tersebut tersirat bahwa pencemaran air dapat terjadi secara
sengaja maupun tidak sengaja dari kegiatan manusia pada suatu perairan yang
peruntukkannya sudah jelas.

Air bersih dan limbah cair perkotaan. Sumber air didayagunakan manusia untuk berbagai
keperluan. Pendayagunaan air dalam berbagai bidang budaya, antara lain untuk
transportasi, menghasilkan listrik dari energi potensial pada bendungan, industri dan
pariwisata. Perkembangan budaya ini terjadi akibat peningkatan kebutuhan yang dirasakan
manusia dan adanya interaksi manusia itu sendiri dengan lingkungan air. Peninggalan
sejarah telah menunjukkan bahwa air telah memberi rangsangan bagi perkembangan budaya
manusia purba, tampak pada benda-benda purbakala yang seringkali terdapat pada
penggalian berupa periuk-periuk yang dipakai untuk menyimpan air.

Perlengkapan sanitasi sudah ada sejak jaman Neolithic (2000 BC), berupa latrine (kakus)
dan saluran drainase, ditemukan dalam masyarakat Minoan di Pulau Crete, Yunani. Pada
jaman Romawi juga sudah ditemukan terowongan air besar, sepanjang 80 km, yang
membawa air bersih dari pegunungan masuk ke dalam kota dan adanya saluran buangan
dari kakus ke luar kota. Pada tahun 1579 di Inggris, khususnya di kota London sudah ada
kebijakan yang mengatur untuk setiap 60 rumah di suatu jalan disediakan 3 buah kakus
umum (sistem komunal). Adanya kebijakan ini menunjukkan bahwa pada masa itu limbah
domestik sudah menjadi masalah bagi masyarakat kota London.

Pada tahun 1815 di Inggris sudah ada Undang-Undang yang melarang pembuangan air
limbah ke saluran air hujan, karena pada akhirnya air hujan akan masuk ke sungai dan sungai
merupakan sumber air bersih bagi masyarakat. Namun demikian dalam rangka
memperbaiki keadaan, pada tahun 1847 diberlakukan Undang-Undang yang mewajibkan
warga London untuk membuang limbah dari kakus ke saluran air buangan. Namun air
buangan dialirkan ke sungai Thames, padahal sungai Thames dipergunakan sebagai
sumber air minum. Setelah beberapa lama saluran pembuangan bocor dan akuifer air
tanah tercemar dan sungai Thames menjadi tidak nyaman untuk dipandang, bau dan
menjadi sumber penyakit. Selang 7 tahun dari kebijakan tersebut, tepatnya tahun 1854,
terjadilah wabah kolera di Broad Street yang menewaskan 10.000 orang. Sejak saat itu
orang mulai sadar adanya hubungan antara limbah pada air minum dan penyakit, seperti
kolera dan tipus.
Air dan budaya hidup nampaknya tidak banyak berubah, walaupun sudah ratusan tahun.
Kondisi saat ini tidak jauh berbeda, sungai-sungai di kota besar,seperti Jakarta, Semarang,
dan Surabaya mempunyai kecenderungan untuk tercemar dengan limbah dari domestik,
industri dan pertanian.

Pencemaran air di Jakarta telah menunjukkan gejala yang cukup serius, terutama yang berasal
dari buangan industri dari pabrik-pabrik yang membuang begitu saja air limbahnya tanpa
pengolahan lebih dahulu ke sungai atau kelaut, dan tidak kalah memegang andil baik secara
sengaja atau tidak adalah masyarakat Jakarta itu sendiri, yakni akibat air buangan rumah
tangga yang jumlahnya makin hari makin besar sesuai dengan perkembangan penduduk
maupun perkembangan kota Jakarta.

Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan rendahnya kesadaran sebagian masyarakat yang
membuang kotoran maupun sampah ke dalam sungai, dengan demikian akan mempercepat
pencemaran sungai-sungai yang ada di Jakarta. Padatnya pemukiman dan kondisi sanitasi
lingkungan yang buruk, serta buangan industri yang langsung dibuang ke badan air tanpa
proses pengolahan telah menyebabkan pencemaran sungai-sungai yang ada di Jakarta, dan
air tanah dangkal di sebagian besar daerah di wilayah DKI Jakarta, bahkan kualitas air di
perairan teluk Jakarta pun sudah menjadi semakin buruk dari tahun ketahun.

Dampak pencemaran perairan terhadap budidaya ikan


Dari hasil analisis lapangan dan wawancara dengan petani ikan, hambatan yang sangat
menonjol adalah perubahan pola air antara musim kemarau dan musim hujan atau sebaliknya,
menyebabkan budidaya ikan dikaramba seringkali menghadapi masalah kematian pada ikan
yang dibudidayakan.
Sungai Kahayan merupakan suatu ekosistem yang peka sehingga dapat dipengaruhi atau
terkena dampak oleh berbagai kegiatan manusia, misalnya usaha budidaya ikan dalam
karamba, rumah sakit dan rumah tangga.
Pemanfaatan Sungai Kahayan untuk kebutuhan fisiologis dan pemanfaatan sebagai tempat
pembuangan limbah jika dihubungkan dengan nilai guna suatu perairan akan menyebabkan
kriteria perairan tersebut menjadi turun, hal ini terjadi karena nilai guna suatu perairan
tergantung kepada kondisi kualitas perairannya. Mengacu pada Pasal 2 dan 3 UU RI Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka azas dan tujuan pengelolaan perikanan perairan
umum di Kalimantan Tengah adalah bahwa pengelolaan perikanan perairan umum harus
dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Sedangkan tujuannya secara
spesifik adalah untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil;
meningkatkan penerimaan; mendorong perluasan dan kesempatan kerja; meningkatkan
ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya
ikan; meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; menigkatkan
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; mencapai pemanfaatan sumberdaya
ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan
menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.
Kegiatan budidaya ikan di Kota Palangka Raya merupakan upaya pemanfaatan badan air
secara optimal dengan tetap memperhatikan pelestarian fungsi dan lingkungan perairan.
Terdapat dua hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelestarian kegiatan budidaya
perikanan yaitu (a) ancaman kelestarian dari kegiatan non perikanan seperti pencemaran
limbah pertanian, domestik, industri dan faktor alamiah lainnya berupa gangguan alam, (b)
ancaman kelestarian sebagai akibat kegiatan budidaya yang berlebihan. Pemanfaatan perairan
tidak hanya untuk kegiatan budidaya perikanan saja tetapi banyak pihak yang juga memiliki
kepentingan didalamnya, sehingga untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pemanfaatan. Untuk itu diperlukan adanya pengaturan tata ruang perairan yang disesuaikan
dengan peruntukannya, melalui penetapan zonasi seperti zona inti (lindung), zona budidaya,
zona penangkapan dan zona wisata.
Adanya pola penataan ruang tersebut, diharapkan kegiatan-kegiatan yang ada di wilayah
perairan Kota Palangka Raya tidak tumpang tindih dan dapat dikendalikan sehingga
terjadinya penurunan fungsi perairan akibat berbagai kegiatan tersebut dapat dicegah. Adanya
peningkatan kegiatan budidaya dan bertambahnya kepadatan jumlah karamba, jaring apung
yang beroperasi, akan mengakibatkan terjadinya akumulasi limbah organik di dasar perairan.
Kondisi demikian apabila berlangsung terus akan menyebabkan terjadinya pencemaran dan
penurunan kualitas perairan, sehingga akan berdampak negati terhadap ikan-ikan yang
dibudidayakan (kematian ikan) dan kegagalan panen. Sebagai contoh kasus kematian ikan
budidaya dalam karamba secara masal di Kelurahan Pahandut Seberang yang terus
berlangsung setiap tahun saat musim kemarau. Dengan demikian, kegiatan budidaya
perikanan harus tetap berpedoman pada prinsip-prinsip pelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya untuk menghindari terjadinya pencemaran dan gangguan lingkungan perairan.

Sumber :
https://www.unkripjournal.com/index.php/JIHT/article/view/74/73
http://ejurnal2.bppt.go.id/index.php/JAI/article/view/2280/1899

Anda mungkin juga menyukai