Anda di halaman 1dari 5

KEMERDEKAAN BELAJAR

Oleh

Alvina Yusarianti

Mahasiswa Aktif Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan, Fakultas Seni Pertunjukan,

Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

“Merdeka Dalam Belajar” terdiri dari dua kata inti, yaitu: merdeka dan belajar.

Merdeka artinya bebas, tidak adanya suatu aturan, paksaan ataupun batas-batas tertentu.

Sedangkan belajar merupakan penggalian potensi dalam diri. Jadi, merdeka belajar

merupakan suatu kebebasan kita sebagai peserta didik dalam menggali atau

mengeksplor potensi-potensi yang dimiliki tanpa ada tekanan dari pihak manapun dan

atau oleh siapapun, baik dari pihak sekolah, pendidik (guru), maupun orang tua. Hal ini

dikarenakan ketika kita diberi suatu kebebasan maka akan lebih mudah mengenali

potensi yang ada dalam diri kita. Bagaimana cara mengembangkannya? Bagaimana cara

memperdalam dan mengekplorasi potensi tersebut?.

Dalam esai Roy Martin Simamora yang berjudul “Merdeka dalam Belajar” di

Waspada (2017), ada alinea pertama yang menarik bagi saya: “Saya mengamati dengan

seksama dan mengikuti proses perkembangan menggambarnya. Saya biarkan ia

berimajinasi dan berkreasi dalam menggambar. Hasilnya sungguh mencengangkan.

Imajinasinya luar biasa. Ada beberapa gambar yang membuat saya terkesan: Ia

menggambar sebuah kapal selam dan teropongnya menembus awan, robot-robot

bermacam-macam bentuk, manusia dengan sayap, sebuah bulatan dengan bermacam-

macam hewan di dalamnya dan masih banyak gambar-gambar yang lain.”. Dari
kebebasan yang diberikan oleh Roy Martin Simamora tersebut membuat objek

pengamatan (anak usia 8 tahun) mampu mengeksplor dirinya sendiri.

Merdeka = Potensi Berkembang

Potensi anak atau peserta didik mampu berkembang apabila adanya suatu

dorongan yang kuat oleh orang tua, sekolah maupun pendidik. Dorongan tersebut dapat

berupa kemerdekaan dalam proses mengembangkan potensi tersebut. Sebagai contoh,

orang tua saya membebaskan diri saya untuk memilih sekolah lanjutan yang diinginkan,

membebaskan masuk SMP, SMA/SMK ataupun kuliah sesuai dengan keinginan saya

baik di swasta atau negeri. Saya tidak mendapatkan tekanan ataupun paksaan harus

bersekolah di sekolah favorit seperti ESPERO (SMPN 2 Klaten) atau SMANSA

(SMAN 1 Klaten). Sebagai orang tua atau pun orang dewasa berkewajiban untuk

mendukung, mendorong, dan menuntun seperti ulasan dari esai di atas. Artinya, peran

orang tua mendukung, mendorong dan menuntun mereka menggapai impian itu. Dari

kecil hingga dewasa. Dengan begitu, anak-anak semakin berani memantapkan

pilihannya..

Sekolah dan pendidikan diharapkan mampu memfasilitasi peserta didik dengan

pendidikan “merdeka” yang beragam serta setara guna menggali potensi-potensi dalam

diri peserta didik, sebagai contoh kegiatan ekstrakurikuler. Berdasarkan pengalaman

saya, sewaktu SMP terdapat beberapa jenis ekstrakurikuler yang ditawarkan oleh pihak

sekolah kepada peserta didik. Ekstrakurikuer tersebut adalah salah satu fasilitas

pendidikan dari pihak sekolah dalam bentuk non formal. Kegiatan tersebut dimulai dari

yang berkaitan dengan akademik hingga non akademik. Peserta didik diperbolehkan

bebas untuk memilih ekstrakurikuler tanpa ada pengecualian.


Sekolah memfasilitasi peserta didik yang berkeinginan mengembangkan potensi

di bidang akademik dapat mengikuti ekstrakurikuler mengenai bahasa asing yaitu

Bahasa Inggris serta persiapan olimpiade (Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa

Indonesia). Sedangkan ekstrakurikuler berkaitan non akademik yaitu pramuka, PMR

(Palang Merah Remaja), tari, musik modern (band), musik tradisional (gamelan),

jurnalistik, baca dan tulis Al-Qur’an, PBB, olahraga (ping pong dan basket) serta

hardroh.

Kemudian, pendidikan beragam juga telah diterapkan pada kelas formal pada saat

SMP yang menggunakan kurikulum 13. Di kurikulum tersebut, peserta didik diharapkan

terebih dahulu mencari tahu atau belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari setelah

itu diperkuat dengan pengetahuan dari pendidik atau referensi-referensi. Maksud

pendidikan beragam adalah peserta didik tidak diharapkan terus menerus belajar dari

penjelasan pendidik ataupun membaca dari buku. Selain itu peserta didorong untuk

belajar melalui film atau video baik berupa animasi atau refleksi kehidupan, melakukan

kegiatan secara langsung berupa praktik, ataupun memaparkan presentasi teman satu

kelas. Melihat hal tersebut keberagaman pendidikan berfungsi bagi peserta didik agar

dapat menjajaki, memposisikan, dan menggali potensi.

Terkotak = Potensi Terpendam

Keberagaman dan kesetaraan dalam pendidikan seperti contoh di atas sudah

dilaksanakan oleh sekolah namun demikian pihak sekolah belum dapat merangkul

semua potensi peserta didik. Hal ini terlihat jelas dalam jenjang SMA, peserta didik

diharuskan menentukan jurusan yang diambil seperti IPA dan IPS. Sedangkan potensi
peserta didik tidak ada dalam pilihan dimaksud dan dengan terpaksa mengambil jurusan

yang tidak sesuai dengan potensi mereka.

Salah satu contoh kasus adalah peserta didik berpotensi di bidang kesusastraan

atau bahasa dan berkeinginan mendalami bidang dimaksud akan tetapi tidak ada

fasilitas, maka hal tersebut dapat memadamkan potensi mereka. Hal ini tidak

memerdekakan peserta didik dikarenakan terasa terkotak. Selain itu masih sering

dijumpai pada pendidikan jenjang SD sampai dengan SMA/SMK, pendidik masih

menganakemaskan peserta didik yang pandai dalam bidang tertentu. Seorang pendidik

lupa bahwa peserta didik yang lain sebenarnya juga mempunyai kemampuan namun

potensi yang dimiliki berbeda dengan si “anak emas” tersebut.

Maka sistem pendidikan dalam defenisi itu perlu diubah dikarenakan sistem

tersebut hanya akan membatasi ruang peserta didik. Peserta didik akan merasa

“ terkotak “ tidak bebas untuk mengekspresikan potensi mereka. Seperti halnya dengan

pendidikan yang menerapkan kurikulum KTSP. Dalam kurikulum tersebut, peserta

didik tidak menggunakan pola pikir kreatifitasnya namun menggunakan tuntunan dari

pendidik. Sebagai contoh, pendidik memberikan contoh menggambar bintang di langit,

maka peserta didik akan melakukan hal yang sama seperti pendidik. Maka penerapan

pola pikir peserta didik akan berasumsi apabila menggambar bintang tidak di langit

akan salah. Lain halnya apabila sekolah menggunakan kurikulum 13, di mana

pendidikan diperoleh dari pengalaman peserta didik. Pendidik diharapkan mampu

menerapkan merdeka belajar. Dalam hal ini, seyogyanya pendidik melihat suatu proses

ataupun solusi dari pembelajaran bukan untuk mencari suatu jawaban/hasil: apakah

peserta didik pintar atau bodoh?


Dalam filsafat pendidikan, saya belajar tentang bagaiman untuk tidak mencari

suatu jawaban ya atau tidak, benar atau salah, serta pandai atau bodoh. Tetapi

bagaimana menyelesaikan sebuah permasalahan dengan logika. Ketika dihadapkan

dengan situasi kelas yang tidak berpotensi di bidang akademik, pendidik harus berusaha

mencari solusi dengan mengapa peserta didik kurang berpotensi di bidang akademik?

Apakah metode pembelajaran pendidik membosankan? Apakah harus ada kolaborasi

dengan bidang non akademik? Seperti adanya sentuhan unsur kesenian? Olahraga?

Atau, perlu kelas privat?

Pendidik yang berpijak pada prinsip mencari siapa pintar dan bodoh tanpa

memperhatikan proses eksplorasi potensi, maka akan terasa membosankan, menekan,

terkotak serta membunuh potensi peserta didik. Hal ini perlu diingat kecerdasan pada

setiap peserta didik tidak dapat dipukul sama rata seperti pada ilmu cabang filsafat yaitu

metafisika tentang kecerdasan.

Dengan demikian, dapat dsimpulkan bahwa pendidikan, sekolah, pendidik dan

orang tua wajib memiliki jiwa merdeka dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran

terhadap peserta didik sehingga peserta didik tidak merasakan “terkotak” serta mampu

mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka.*

Anda mungkin juga menyukai