Anda di halaman 1dari 4

Mari Acuhkan Kata Acuh!

(Sulistiari Tsani)

Bangsa Indonesia sepatutnya bersyukur dan bangga memiliki bahasa sendiri yaitu
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa kenegaraan. Hal ini patut
disyukuri dan dibanggakan karena tidak semua bangsa dan negara memiliki bahasa
nasional dan bahasa kenegaraannya sendiri, contohnya negara tetangga kita, Singapura.
Singapura menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dan menjadikannya
sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Sebagai bentuk syukur dan bangga
terhadap bahasa Indonesia, sepatutnya kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar sesuai konteks penggunaannya. Namun pada kenyataannya, problematika
berbahasa Indonesia kerap muncul dalam penggunaannya. Di antara berbagai
problematika berbahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa yang salah kaprah.
Salah satu kata yang sering digunakan dengan salah kaprah adalah kata acuh. Kata
acuh pastinya bukan lagi kata yang asing bagi kalangan umat Indonesia. Bahkan, kata
acuh sering sekali digunakan dalam aktivitas berbahasa masyarakat Indonesia. Namun,
tanpa disadari oleh kebanyakan pengguna kata tersebut, mereka salah kaprah terhadap
kata ini. Kaprah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan ‘lazim; biasa’. Jadi,
salah kaprah artinya kesalahan yang biasa dilakukan sehingga orang-orang tidak lagi
menyadari bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
Mari sesaat kita menyanyikan sepenggal lagu D’Masiv yang berjudul Cinta Ini
Membunuhku berikut ini!
Kau membuat ku berantakan
Kau membuat ku tak karuan
Kau membuat ku tak berdaya
Kau menolakku acuhkan diriku.
Cukup!
Banyak orang yang menikmati lagu ini tanpa menyadari sebenarnya ada yang
mengganjal dalam penggalan lirik lagu ini dan membuat orang yang mengetahui arti
sesungguhnya menjadi geregetan. Untuk kita ketahui bersama, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata acuh memiliki arti ‘peduli; mengindahkan’. Namun,
kebanyakan orang melakukan kesalahan dalam menggunakan kata ini. Entah bagaimana

1
cerita awalnya sehingga mayoritas orang Indonesia menganggap kata acuh ini berarti
sebaliknya, ‘tidak peduli’. Karena kata acuh memiliki arti ‘peduli’, maka sebenarnya
penggunaan kata acuh dalam penggalan lagu di atas menjadi tidak bernalar. Si penyanyi
ditolak oleh orang yang dicintainya, dia diacuhkan (dipedulikan) oleh orang yang
dicintainya itu. Tidak bernalar bukan?
Nasib serupa dialami juga oleh kata membonceng. Mari kita cermati ilustrasi berikut!
“Pada suatu pagi, Syueb bergegas merapikan diri karena sudah dijemput oleh
Otong. Mereka berdua akan mengantarkan teman sekampungnya melangsungkan akad
nikah dan resepsi di kampung sebelah. Karena Syueb tidak mempunyai kendaraan, hari
sebelumnya dia meminta Otong untuk menjemputnya. Setelah Syueb bersiap-siap, Syueb
pun menaiki motor yang dikendarai Otong.”
Pertanyaannya, dalam ilustrasi di atas, siapakah yang membonceng dan siapakah
yang diboncengi? Bisa jadi, kebanyakan di antara kita menjawab bahwa yang
membonceng adalah Otong, sementara Syueb dibonceng Otong. Hal tersebut keliru
karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, membonceng diartikan ‘ikut naik
(kendaraan beroda dua)’. Jadi, yang sebenarnya membonceng adalah Syueb. Syueb
membonceng pada Otong, bukan Otong yang membonceng Syueb.
Mari kita lanjutkan cerita tentang Syueb dan Otong!
“Syueb dan Otong tiba di tempat digelarnya pernikahan. Akad nikah berlangsung
dengan lancar dan khidmat. Semakin siang, tamu undangan semakin banyak
berdatangan. Banyak di antara tamu undangan yang datang itu adalah teman-teman
SMA Otong. Wajar jika Otong bertemu teman-teman satu almamater pada acara
pernikahan ini karena Otong dan pengantin pria sama-sama alumni SMA Galaksi. Otong
pun memanfaatkan momen ini untuk mengenang masa-masa sekolahnya yang sudah
berlalu sekitar 8 tahun. Lain halnya dengan Syueb, dia lebih banyak tersenyum
mendengarkan cerita Otong dan teman-temannya tanpa banyak terlibat dalam
percakapan nostalgia itu. Hal itu karena Syueb tidak begitu mengenal teman-teman
Otong. Syueb adalah alumnus SMA Bimasakti, beda dengan Otong dan orang-orang
yang baru dikenalnya itu.
Dalam ilsutrasi di atas, kita bisa menemukan kata alumni dan kata alumnus. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Latin. Dalam bahasa Latin, kata alumnus merupakan kata
benda yang ditujukan untuk lulusan laki-laki (masculine) perorangan, sedangkan kata

2
jamaknya disebut dengan alumni. Sementara untuk wanita, kata alumna digunakan untuk
lulusan (perorangan), sedangkan kata jamaknya adalah alumnae. Dari keempat kata
berbahasa Latin tersebut, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah kata alumnus
dan alumni.
Dalam KBBI, kata alumnus memiliki arti ‘orang yang telah mengikuti atau tamat dari
suatu sekolah atau perguruan tinggi’. Sementara kata alumni memiliki arti orang-orang
yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi’. Perbedaan
keduanya terletak pada bentuk tunggal dan jamaknya. Alumni merupakan bentuk jamak
dari kata alumnus, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah penggunaan kata alumnus yang
lagi-lagi salah kaprah. Banyak orang yang menggunakan kata alumnus dengan artian
‘alumni yang tidak lulus’. Secara logika, orang yang tidak lulus bagaimana bisa dikatakan
sebagai alumni? Mungkin pada awalnya orang mengartikan kata alumnus sebagai alumni
yang tidak lulus itu ingin memberikan istilah pada orang yang tidak tamat dalam
menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tertentu dengan sebutan yang simpel.
Namun, pemilihan kata alumnus ternyata malah menjadi jalan yang menyesatkan bagi
para pengikutnya yang akhirnya memahami kata alumnus sebagai orang yang tidak
menyelesaikan pendidikan di sekolah tertentu. Ini merupakan salah satu di antara
banyaknya problematika dalam berbahasa Indonesia.
Tetap tenang dan mari kita cermati kelanjutan cerita Syueb dan Otong!
“Banyak sekali yang diceritakan Otong dan teman-temannya dalam mengenang
masa-masa sekolahnya dulu, termasuk kenakalan-kenakalan yang pernah mereka
lakukan semasa sekolah. Di antara kenakalan yang dilakukannya adalah datang ke kelas
hanya untuk diabsen kemudian mohon izin ke toilet dan tidak kembali sampai jam
pelajaran berakhir.”
Kali ini kita fokus pada kata absen. Dalam penggunaannya, kata ini sering pula
mengalami salah kaprah sebagaimana kata-kata yang telah dibahas sebelumnya.
Sebagaimana penggalan ilustrasi di atas, kata absen sering digunakan untuk mewakili
konsep kehadiran sesorang dalam sebuah acara atau kegiatan. Seseorang yang menghadiri
sebuah kegiatan dan memberi tanda kehadiran sering dikatakan diabsen. Padahal,
menurut KBBI, absen memiliki arti ‘tidak masuk (sekolah, kerja, dan sebagainya); tidak
hadir’. Jika mengacu pada pengertian tersebut, maka kata diabsen pada ilustrasi di atas

3
tidaklah dapat diterima secara nalar dan kaidah bahasa Indonesia karena bisa saja
diartikan ‘dianggap absen; dianggap tidak masuk; atau dianggap tidak hadir’.
Sebagai bangsa Indonesia yang mengaku bangga terhadap bahasanya sendiri, sudah
sepatutnya kita menunjukkan kebanggaan tersebut dengan menggunakan bahasa
Indonesia sebagaimana mestinya. Kesalahan-kesalahan yang telah ada sudah sepatutnya
diperbaiki. Kita sebagai pengguna bahasa, terutama kaum terpelajar, harus bisa memberi
contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar untuk melestarikan bahasa Indonesia
serta tidak membiarkan kesalahan-kesalahan berbahasa ini terus menjamur. Sudah
saatnya kita mulai mengacuhkan kata acuh, membonceng, alumnus, absen, dan kata-kata
lainnya yang bernasib sama agar tidak lagi salah kaprah dalam pemakaiannya.

Anda mungkin juga menyukai