Anda di halaman 1dari 3

ASAL USUL PENAMAAN PULAU SABANG, GUNUNG SEULAWAH,

PANTAI ALUE NAGA DAN KAWASAN ULEE LHEU

Dahulu kala pulau Sumatera dikenal dengan nama Andalas namun


sebelum itu juga memiliki nama yang lebih kuno yaitu pulau Perca. Di
ujung paling utara pulau Perca tersebut terdapat sebuah kerajaan
bernama kerajaan Alam, rajanya disebut dengan Mahkota Alam (Meukuta
Alam) sedang ibu kotanya bernama Kota Alam (Kuta Alam). Ratusan
atau ribuan tahun yang lalu bentang geografis belum seperti sekarang
namun diperkirakan kerajaan Alam terletak diwilayah Banda Aceh dan
Aceh Besar sekarang. Karena berada di ujung selat yang ramai maka
kerajaan ini memperoleh kemakmuran dari perdagangan selain juga
ditopang dengan pertanian.
Di sebelah timur kerajaan Alam dipisahkan oleh sebuah sungai terdapat
sebuah kerajaan lain yang bernama kerajaan Pedir yang merupakan
saingan kerajaan Alam diperkirakan letak kerajaan ini berada di kabupaten
Pidie sekarang. Persaingan dagang diantara kerajaan Alam dengan
kerajaan Pedir membuat hubungan antara keduanya memanas terutama
antara kapal-kapal perang mereka di laut maupun sungai yang
memisahkan antara kedua kerajaan tersebut. Armada kapal kedua
kerajaan ini seimbang, sama kuat.

Akan tetapi di daratan pasukan Alam lebih unggul dengan beberapa kali
menyintas perbatasan kerajaan Pedir untuk melakukan gangguan.
Pasukan kerajaan Pedir sendiri tidak bisa memasuki wilayah kerajaan
Alam karena disisi sungai yang memisahkan kedua kerajaan tersebut
hidup seorang naga sakti yang bernama Sabang. Naga tersebut juga
merupakan sahabat dari Meukuta Alam, sehingga apabila ada pasukan
Pedir yang mencoba melintasi sungai tersebut akan dihalau olehnya.
Raja Pedir merasa sangat kesal dengan keadaan tersebut sehingga
memanggil penasehatnya. “Tuha apakah di negeri kita tidak ada jawara
yang mampu mengalahkan naga Sabang?”

Penasehat raja Pedir terdiam. “Paduka yang mulia, naga Sabang adalah
penjaga sungai besar yang memisahkan antara kerajaan kita. Kalau dia
mati maka sungai menyatu yang mengakibatkan gelombang besar di
selat, ada kemungkinan akan muncul ie beuna (tsunami). Naga itu adalah
penjaga kesimbangan alam tuanku, sebaiknya tidak diganggu.”
“Aku tidak peduli, aku ingin menyerang kerajaan Alam!”

“Daulat tuanku, Kerajaan kita memiliki dua orang jagoan yang mampu
menghadapi naga Sabang. Mereka adalah dua raksasa sangat sakti yang
bernama Seulawah Agam (laki-laki) dan Seulawah Inong (perempuan).”
Kata sang penasehat.
“Panggil mereka dan terbitkan SK supaya mereka mau bertempur demi
bangsa dan tanah air!” Perintah raja Pedir. Tak lama kemudian urusan
segera dibuat, kedua jagoan negeri Pedir itu pun menyatakan
kesanggupannya menghadapi naga Sabang. Surat tantangan pun
dikirimkan.

Mendapati surat tantangan tersebut naga Sabang merasa sedih. Kedua


jagoan itu sangat sakti, Seulawah Inong merupakan raksasa perempuan
yang sangat kuat dan memiliki tubuh lebih besar daripada pasangannya.
Akan tetapi Seulawah Agam tak kalah sakti karena memiliki
pedang geulanteu (petir). Ia menjumpai sahabatnya raja Alam dan
berkata. “Mereka sangat kuat, aku khawatir akan kalah. Jika aku terbunuh
maka sungai akan menyatu, bumi akan berguncang keras dan air laut
akan surut, maka serulah rakyatmu berlari ke tempat yang tinggi karena
akan datang ie beuna (tsunami), itu adalah gelombang sangat besar yang
akan menyapu daratan.” Pesan sang naga.
Pada saat yang ditentukan, terjadilah pertarungan di perbatasan antara
kerajaan Alam dan Kerajaan Pedir disaksikan oleh rakyat kedua kerajaan
tersebut. Pertarungan 2 lawan 1 itu berjalan seimbang, naga Sabang
beberapa kali menyakiti lawan-lawannya sedang ia juga terluka juga.
Sampai pada satu kesempatan Seulawah Agam berhasil menebas
pedangnya ke leher naga.

Kemudian Seulawah Inong mengangkat tubuh naga dan melemparkan


tubuh naga itu sejauh-jauhnya ke arah utara melewati wilayah kerajaan
Alam sampai ke tengah laut. Sejenak semua orang terdiam, kemudian raja
Alam berteriak melambaikan tangan ke tubuh naga yang terbang melewati
mereka. “Sabaaaaaang! Sabaaaang!” Kelak tubuh Sabang menjadi Pulau
Weh atau dikenal juga dengan nama Pulau Sabang, titik nol Republik
Indonesia pada bagian barat.

Kemudian Seulawah Agam melemparkan kepala naga Sabang kearah


utara. Karena Seulawah Agam memiliki tubuh lebih kecil dibandingkan
Seulawah Inong maka lemparannya tidak terlalu jauh dan jatuh di darat
kerajaan Alam namun terus berguling membentuk sebuah alur dan
berhenti di tepi pantai Utara kerajaan Alam. Lokasi alur bergulingnya
kepala naga Sabang menjadi sungai yang pada muaranya itu kelak
dikenal dengan nama Alue Naga (Alur naga). Kepala naga mencapai bibir
pantai dan terbawa arus dan gelombang ke arah barat sampai akhirnya
tersangkut pada wilayah daratan beberapa kilometer dari Alue Naga. Raja
Alam menangis dan memanggil-manggil sahabatnya. Maka berkatalah
raja Pedir. “Wahai Meukuta Alam tidak usah kau panggil-panggil lagi naga
itu! Dia sudah mati, kepalanya sudah terlepas!” Lokasi kepala naga
tersebut kelak akan dinamai Ulee Lheut (Kepala terputus/copot). Dalam
perjalanan waktu berubah menjadi Ulee Lheu, pada masa penjajahan
Belanda karena mereka kesulitan menyebutkan kata (lidah bangsa Eropa)
tersebut sehingga disebut dan ditulis menjadi Ulele dalam dokumen-
dokumen kolonial.

Tak lama kemudian daratan antara kerajaan Alam dan kerajaan Pedir
bergerak saling mendekat dan berbenturan sehingga terjadi gempa yang
sangat keras, tanah bergoyang kesana kemari, tak ada yang mampu
berdiri. Kedua raksasa Seulawah Agam dan Seulawah Inong pun terjatuh.
Setelah gempa berhenti, air laut surut jauh sekali sehingga ikan-ikan
bergelaparan di pantai. Rakyat kerajaan Pedir dan kerajaan Alam segera
memungut ikan-ikan tersebut. Raja Alam teringat pesan sahabatnya
mencoba memperingatkan orang-orang agar mencari dataran tinggi.

Tak lama kemudian datanglah gelombang yang sangat besar menyapu


utara dari pulau Perca. Kedua raksasa sakti adalah yang pertama
dihempas oleh gelombang besar tersebut, akibat hantaman tersebut
ditambah luka-luka setelah pertarungan dengan naga Sabang, keduanya
mati. Rumah-rumah hancur, hewan ternak mati bergelimpangan, sawah-
sawah musnah dan kota hancur berantakan. Rakyat kedua kerajaan
akhirnya berlari ke atas tubuh dua raksasa tersebut yang telah tewas
untuk menyelamatkan diri. Tubuh kedua raksasa tersebut kelak menjadi
gunung Seulawah Inong dan Seulawah Agam yang menjadi perbatasan
alami antara kerajaan Alam dengan kerajaan Pedir. Di masa sekarang
gunung-gunung tersebut menjadi perbatasan antara kabupaten Aceh
Besar dan Pidie.

Akibat bencana besar yang terjadi pada kedua kerajaan tersebut, akhirnya
kedua belah pihak menjadi sadar tidak ada gunanya berperang. Mungkin
dalam kesengsaraan manusia bisa melihat segala sesuatu lebih jernih.
Sejak hari itu terciptalah kedamaian antara kedua kerajaan tersebut, untuk
melanggengkan keadaan tersebut diadakan perkawinan antara anggota
kerajaan tersebut.  

Anda mungkin juga menyukai