Anda di halaman 1dari 21

Makalah SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

DOSEN PENGAMPU : Ibu Dessy Ari Apsari , SKM, MPH.,

Disusun oleh : zulfatul hasanah selian

Nim: p00933121034

Prodi: D3 TkII-semester 3 kesehatan lingkungan

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN POLITEKNIK KESEHATAN


KEMENKES MEDAN 2022/ 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya saya mampu
menyelesaikan makalah dengan judul

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah survielans epidemiologi yang diharapkan dapat
menunjang nilai saya di dalam mata kuliah survielans epidemiologi. Selain itu, dengan hadirnya
makalah ini dapat memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi
pembacanya.

Pada kesempatan ini kelompok juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Desi Ari Apsari

selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam penulisan makalah
ini.Saya menyadari bahwa, masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Penulis
Kabanjahe, 27 Agustus 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah Surveilans ini (Surveillance) sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang berarti
mengamati tentang sesuatu, Istilah ini awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan atau
intelligent untuk memata - matai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan.
Surveilans kesehatan masyarakat awalnya hanya dikenal dalam bidang epidemiologi,
namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang
epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam
kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah borbiditas, mortalitas,
masalah gizi, demografi, Penyakit Menular, Penyakit Tidak menular, Demografi,
Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan beberapa faktor resiko
pada individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Demikian pula
perkembangan Surveilans Epidemiologi dimulai dengan surveilans penyakit menular, lalu
meluas ke penyakit tidak menular, misalnya cacat bawaan, kekurangan gizi dan lain-lain.
Bahkan baru-baru ini, surveilens epidemiologi digunakan untuk menilai, memonitor,
mengawasi dan merencanakan program-program kesehatan pada umumnya. (Wuryanto,
A.2010).

Istilah Surveilans sudah dikenal oleh banyak orang, namun dalam aplikasinya banyak
orang menganggap bahwa surveilans identik dengan pengumpulan data dan penyelidikan
Kejadian Luar Bisa (KLB), hal inilah yang menyebabkan aplikasi sistem surveilans di
Indonesia belum berjalan optimal, padahal sistem ini dibuat cukup baik untuk mengatasi
masalah kesehatan (Wuryanto, A.2010).

Surveilens epidemiologi pada umumnya digunakan untuk, mengetahui dan melengkapi


gambaran epidemiologi dari suatu penyakit, untuk menentukan penyakit mana yang
diprioritaskan untuk diobati atau diberantas, untuk meramalkan terjadinya wabah, untuk
menilai dan memantau pelaksanaan program pemberantasan penyakit menular, dan
program-program kesehatan lainnya seperti program mengatasi kecelakaan, program kesehatan
gigi, program gizi, untuk mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan (Wuryanto, A.2010).

Jadi surveilans epidemiologi bukan hanya sekedar pengumpulan data dan penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB) saja tetapi kegunaan dari surveilans epidemiologi lebih dari itu
misalnya untuk mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan, untuk meramalkan terjadinya
wabah dan masih banyak lagi manfaat dari surveilans epidemiologi, untuk itu penulis terdorong
untuk melakukan penulisan mengenai surveilans epidemiologi agar mengubah pemikiran
masyarakat akan arti dan kegunaan dari surveilans epidemiologi serta pentingnya mengetahui
unusur dasar survielans ,lingkup survielans ,pertimbangan melakukan survielans,serta indicator
survielans.

1.2 Unsur Dasar Surveilans Epidemiologi


Unsur-unsur surveilans epidemiologi untuk penyakit, khususnya penyakit
menular, adalah sebagai berikut (Amiruddin, 2013) :
a. Pencatatan Kematian
Pencatatan kematian yang dilakukan di tingkat desa dilaporkan ke
kantor kelurahan lalu ke kantor kecamatan dan Puskesmas. Sementara
itu dari kantor kecamatan, pencatatan tersebut dikirim ke kantor
kapupaten/kota. Unsur ini akan bermanfaat bila data pada pencatatan
kematian cepat diolah dan hasilnya segera diberitahukan kepada yang
berkepentingan.
b. Laporan Penyakit
Unsur ini penting untuk mengetahui distribusi penyakit menurut
wajtu, apakah musiman, cylic, atau secular. Dengan demikian dapat
diketahui pula ukuran endemis suatu penyakit. Jenis data yang diperlukan
sesederhana mungkin, Contohnya variabel orang cukup dicatat nama dan
umurnya, variabel tempat cukup alamatnya. Diagnosis penyakit dan waktu
mulai timbulnya penyakit merupakan hal yang penting dicatat.
c. Laporan Wabah
Laporan wabah dengan distribusi penyakit menurut waktu, tempat,
dan orang penting artinya untuk menganalisis dan menginterpretasikan data
dalam rangka mengetahui sumber dan penyebab wabah tersebut
d. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting untuk
mengetahui kuman penyebbab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu
untuk penyakit- penyakit lainya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit
diabetes mellitus.
e. Penyakit Khusus
Penyelididkan kasus untuk penyakit khusus dimaksudkan untuk
mengetahui riwayat alamiah penyakit yang belum belum diketahui, terjadi
pada seorang atau lebih individu.
f. Penyelidikan Wabah
Bila terjadi lonjakan frekuensi penyakit yang melebihi frekuensi
biasa, perlu diadakan penyelidikan wabah denan analisis data sekunder
sehingga dapat diketahui terjadinya letusan tersebut. Dalam hal ini
diperlukan diagnosis klisis dan diagnosis labiratoris disamping
penyelidikan epidemic di lapangan.
g. Survei
Survei ialah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengetahui
prevalens penyakit. Dengan ukuran ini dapat diketahui luas masalah
penyakit tersebut. Setelah survey pertama dilakukan, berikan
pengobatan terhadap penderita sehingga survey kedua dapat ditentukan
keberhasilan pengobatan tersebut.
h. Penyelidikan Tentang Distribusi Vector Dan Reservoir Penyakit
Penyakit zoonis terdapat pada manusia dan hewan. Sehingga
dalam hal ini manusia dan hewan merupakan reservoir. Penyakit pada
hewan diselidiki oleh dokter hewan dan penyakit akibat vector seranggga
diselidiki oleh ahli entomologis.
i. Penggunaan Obat-Obatan, Sera, Dan Vaksin
Keterangan yang menyangkut penggunaan bahan-bahan tersebut
mengenai banyaknya, jenisnya , dan waktunya memberi petunjuk kepada
kita mengenai masalah penyakit. Disamping itu, dapat pula dikumpulkan
keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut
j. Keterangan Tentang Penduduk Serta Lingkungan
Keterangan penduduk penting untuk menetapkan “population at
risk”. Persediaan bahan makanan juga penting diketahui apakah ada
hunbungan kekurangan gizi, faktot-faktor lain yang berhubungan dengan
kependudukan, dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka
analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai kependudukan dan
lingkungan itu tentu harus didapat di lembaga-lemabaga nonkesehatan.

BAB II

RUANG LINGKUP SURVIELANS EPIDEMIOLOGI

1.1 Lingkup Surveilans Epidemiologi


Ruang lingkup surveilans epidemiologi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal 4 ayat 1 adalah :
a) Surveilans epidemiologi penyakit menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit
menular dan faktor risiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular.
b) Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit
tidak menular.
c) Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor
risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungan.
d) Surveilans epidemiologi masalah kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah
kesehatan dan factor risiko untuk mendukung program-program kesehatan
tertentu.
e) Surveilans epidemiologi kesehatan matra
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah
kesehatan dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra

1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor
risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular. Ruang lingkupnya antara lain :
 Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
 AFP
 Penyakit potensial wabah atau klb penyakit menular dan keracunan
 Penyakit DBD/DSS
 Malaria
 Penyakit zoonosis, antraks, rabies, leptospirosis, dsb.
 Penyakit filariasis
 Penyakit tuberkulosis
 Penyakit diare, tifus perut, kecacingan, dan penyakit perut lainnya
 Penyakit kusta
 Penyakit HIV/AIDS
 Penyakit Menular Seksual
 Penyakit pneumonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (termasuk SARS) (Murti, B.
2010).

2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular


Merupakan analisis terusmenerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan
faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular. Ruang lingkupnya
antara lain :

 Hipertensi, Stroke dan Penyakit Jantung Koroner (PJK)


 Diabetes Mellitus
 Neoplasma
 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
 Gangguan mental
 Masalah kesehatan akibat kecelakaan (Murti, B. 2010).

3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor risiko untuk
mendukung program penyehatan lingkungan. Ruang lingkupnya antara lain:

 Sarana Air Bersih


 Tempat - tempat umum
 Pemukiman dan Lingkungan Perumahan
 Limbah industri, RS dan kegiatan lainnya
 Vektor penyakit
 Kesehatan dan Keselamatan Kerja
 RS dan sarana yankes lain, termasuk Infeksi Nosokomial (INOS) (Murti, B. 2010).

4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan


Merupakan analisis terus-menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor
risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.

Ruang lingkupnya antara lain:

 Surveilans gizi dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG)


 Gizi mikro (Kekurangan yodium, anemia zat Besi KVA)
 Gizi lebih
 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) termasuk kesehatan reproduksi (Kespro)
 Penyalahgunaan napza
 Penggunaan sediaan farmasi, obat, obat tradisional, bahan kosmetika serta peralatan
 Kualitas makanan dan bahan tambahan makanan (Murti, B. 2010).

5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra


Merupakan analisis terus-menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor
risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra.

Ruang lingkupnya antara lain:

 Kesehatan Haji
 Kesehatan Pelabuhan dan Lintas Batas Perbatasan
 Bencana dan masalah sosial
 Kesehatan matra laut dan udara
 Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Keracunan (Murti, B. 2010).

Menurut tempatnya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Surveilans Epidemiologi Dalam Masyarakat


Surveilans epidemiologi ini dilakukan pada suatu wilayah administrasi atau pada kelompok
populasi tertentu. Dengan analisis secara teratur berkesinambungan terhadap data yang
dikumpulkan mengenai kejadian kesakitan atau kematian, dapat memberikan kesempatan lebih
mengenal kecenderungan penyakit menurut variabel yang diteliti. Variabel tersebut diantaranya
adalah distribusi penyakit menurut musim atau periode waktu tertentu, mengetahui daerah
geografis dimana jumlah kasus atau penularan meningkat atau berkurang, serta berbagai
kelompok risiko tinggi menurut umur, jenis kelamin, ras, agama, status sosial ekonomi serta
pekerjaan.

2. Surveilans Epidemiologi di Rumah Sakit


Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap terjadinya resiko mendapatkan penyakit
infeksi, sehingga teknik surveilans termasuk kontrol penyakit pada rumah sakit rujukan pada
tingkat provinsi dan regional memerlukan perlakuakan sendiri. Rumah sakit mungkin dapat
menjasi tempat berkembang biaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.
Dikembangkannya sistem surveilans epidomologi yang khusus dan cukup efekif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit didalam lingkungan rumah sakit
dikenal dengan infeksi nosokominal.

Saat ini penderita penyakit menular yang dirawat di rumah sakit jumlahnya masih cukup
besar. Suatu keadaan khusus dimana faktor lingkungan, secara bermakna dapat mendukung
terjadinya risiko meendapatkan penyakit infeksi, sehingga tekhnik surveilans termasuk kontrol
penyakit pada rumah sakit rujukan pada tingkat propinsi dan regional memerlukan perlakuan
tersendiri. Pada rumah sakit tersebut, terdapat beberapa penularan penyakit dan dapat
menimbulkan infeksi nosokomial. Selain itu, rumah sakit mungkin dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.

Untuk mengatasi masalah penularan penyakit infeksi di rumah sakit maka telah
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan infeksi nosokomial)
di dalam lingkungan rumah sakit.
BAB III

PERTIMBANGAN MELAKUKAN SURVIELANS

1.1 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal
5, penyelenggaraan surveilans kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ruang lingkup
diatas dapat dilaksanakan secara terpadu yang didasarkan pada pertimbangan efektifitas
dan efisiensi sesuai kebutuhan program

1.2 Pengumpulan Data

Tahap ini merupakan permulaan kegiatan surveilans yang sangat penting untuk
menghasilkan data kejadian penyakit yang baik. Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan
secara aktif dan pasif (lihat sub bab tentang jenis surveilans).

Sumber data yang bisa digunakan dalam surveilans antara lain: Laporan penyakit,
Pencatatan kematian, Laporan wabah, Pemeriksaan laboratorium, Penyelidikan peristiwa
penyakit, Penyelidikan wabah, Survey/Studi Epidemiologi, Penyelidikan distribusi vektor dan
reservoir, Penggunaan obat-serum-vaksin, Laporan kependudukan dan lingkungan, Laporan
status gizi dan kondisi pangan, dan sebagainya.

Sedangkan jenis data surveilans meliputi: Data kesakitan, Data kematian, Data
demografi, Data geografi, Data laboratorium, Data kondisi lingkungan, Data status gizi, Data
kondisi pangan, Data vektor dan reservoir, Data dan informasi penting lainnya.

Dilihat dari frekuensi pengumpulannya, data surveilans dibedakan dalam empat kategori:

1) Data rutin bulanan, yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi. Misalnya: data yang
bersumber dari SP2TP, SPRS.
2) Data rutin harian dan mingguan, yang digunakan dalam Sistem Deteksi Dini pada
Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Misalnya: data yang bersumber dari Laporan Penyakit
Potensial Wabah (W2).
3) Data insidensil. Misalnya: Laporan KLB (W1), dan
4) Data survey.

` 3.2 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan kegiatan penyusunan data yang sudah dikumpulkan ke


dalam format-format tertentu, menggunakan teknik-teknik pengolahan data yang sesuai. Dalam
pengolahan data, dua aspek perlu dipertimbangkan yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data
(lihat sub bab tentang Atribut Surveilans).

Dalam pengolahan data, terdapat langkah yang penting yaitu Kompilasi Data, yang
bertujuan untuk menghindari duplikasi (doble) data dan untuk menilai kelengkapan data. Proses
kompilasi data dapat dilakukan secara manual (dengan kartu pengolah data atau master table),
atau komputerisasi (dengan aplikasi pengolah data, misalnya Epiinfo). Variabel yang dikompilasi
meliputi orang, tempat, dan waktu.

Pengolahan data yang baik memenuhi kriteria antara lain:

1) Selama proses pengolahan data tidak terjadi kesalahan sistemik


2) Kecenderungan perbedaan antara distribusi frekeuensi dengan distribusi kasus dapat
diidentifikasi dengan baik
3) Tidak ada perbedaan atau tidak ada kesalahan dalam menyajikan pengertian/definisi dan
4) Menerapkan metode pembuatan tabel, grafik, peta yang benar.

3.3 Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk membantu dalam penyusunan
perencanaan program, monitoring, evaluasi, dan dalam upaya pencegahan serta penanggulangan
penyakit. Penganalisis data harus memahami dengan baik data yang akan dianalisa. Data yang
telah diolah dan disusun dalam format tertentu umumnya lebih mudah dipahami. Beberapa cara
berikut biasanya dilakukan untuk memahami data dengan baik, antara lain:

1) Pada data sederhana dan jumlah variabel tidak terlalu banyak, cukup dengan mempelajari
tabel saja.
2) Pada data yang kompleks, selain mempelajari tabel juga dilengkapi dengan peta dan
gambar. Peta dan gambar berfungsi untuk mempermudah pemahaman akan trend, variasi,
dan perbandingan.

Beberapa teknik berikut umumnya dipakai dalam analisa data surveilans, seperti:
1) Analisis univariat, yaitu teknik analisis terhadap satu variable saja dengan menghitung
proporsi kejadian penyakit dan menggambarkan deskripsi penyakit secara statistik (mean,
modus, standar deviasi)
2) Analisis Bivariat, yaitu teknik analisis data secara statistik yang melibatkan dua variable.
Untuk menggambarkan analisis ini bisa digunakan tools seperti Tabel (menghitung
proporsi dan distribusi frekuensi), Grafik (menganalisis kecenderungan), dan Peta
(menganalisis kejadian berdasarkan tempat dan waktu) dan
3) Analisis lebih lanjut dengan Multivariat, yaitu teknik analisis statistik lanjutan terhadap
lebih dari dua variable, untuk mengetahui determinan suatu kejadian penyakit.

3.4 Penyebarluasan Informasi

Tahap selanjutnya adalah menyebarluaskan informasi berdasarkan kesimpulan yang


didapat dari analisis data. Penyebaran informasi disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan program kesehatan, seperti Pimpinan program, Pengelola program, atau
Unit-unit kerja yang kompeten di lintas program atau sektoral. Menurut Noor (2008) informasi
surveilans sebaiknya disebarkan kepada tiga arah yaitu:

1) Kepada tingkat administrasi yang lebih tinggi, sebagai tindak lanjut dalam menentukan
kebijakan
2) Kepada tingkat administrasi yang lebih rendah atau instansi pelapor, dalam bentuk data
umpan balik dan
3) Kepada instansi terkait dan masyarakat luas

Kapan informasi disebarkan? Penyebaran dapat memanfaatkan waktu-waktu atau kegiatan


yang memungkinkan berkumpulnya para pemangku kepentingan, misalnya pada rapat rutin,
rapat koordinasi, atau pertemuan rutin warga masyarakat.

Selain berbentuk laporan, media untuk penyebaran informasi dapat berupa bulletin, news
letter, jurnal akademis, website, dan media sosial.
BAB IV

INDIKATOR

4.1 Rumusan Indikator Kinerja Surveilans

Setiap penyelenggaraan sistem surveilans yang baik, selalu menetapkan ancangan


indikator kinerjanya, dan kemudian kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
sistem surveilans adalah berdasar pada indikator kinerja ini. Boleh dikatakan, melakukan
monitoring terhadap indikator kinerja surveilans adalah merupakan salah satu kegiatan surveilans
terhadap penyelenggaraan program surveilans itu sendiri.

Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah dilaksanakan, tetapi tetap mengukur
mutu/kualitas kinerja surveilans dengan baik. Setiap satu indikator kinerja surveilans ditetapkan,
maka diperlukan beberapa variabel data yang perlu direkam, dihimpun, diolah dan dianalisis.
Banyaknya kegiatan perekaman, pengumpulan, pengolahan data tersebut akan memberikan
beban kerja dan menggangu upaya meningkatkan kinerja surveilans. Oleh karena itu, setiap
penyelenggaraan sistem surveilans perlu menetapkan sesedikit mungkin indikator kinerja,
sesederhana mungkin, tetapi tetap dapat mengukur kualitas penyelenggaraan surveilans tersebut.

Indikator kinerja yang paling sering digunakan adalah kelengkapan laporan, ketepatan
waktu laporan, kelengkapan distribusi informasi, terbitnya buletin epidemiologi. Beberapa
penyelenggaraan surveilans tertentu memiliki indikator kinerja spesifik.

4.2 Kelengkapan Laporan

Kelengkapan laporan selalu mengukur jumlah laporan yang diterima dari pelapor (unit)
dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya diterima.

Kelengkapan laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja surveilans yang paling
sering digunakan, baik itu ditingkat nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota, bahkan juga
digunakan pada indikator kinerja surveilans di unit-unit pelayanan dan di masyarakat sebagai
laporan kelurahan, desa, atau kelompok-kelompok masyarakat.

Kelengkapan laporan, merupakan metode pengukuran kinerja yang paling sederhana, dan
jika dirumuskan dengan tepat, dapat memberi dukungan pengukuran kinerja surveilans yang
tepat, dan dapat memberi manfaat untuk mengidentifikasi adanya permasalah kinerja surveilans
lebih fokus dan tepat waktu.
Rumusan kelengkapan laporan yang baik adalah kelengkapan laporan unit sumber data
awal (unit pelayanan), tetapi pada penyelenggaraan sistem surveilans nasional dan provinsi lebih
sering berdasarkan pada kelengkapan laporan unit pengumpul data (Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi).

Contoh: Surveilans DBD Provinsi

Sistem surveilans DBD secara nasional berbasis data yang diperoleh dari laporan bulanan
data kasus dan kematian DBD Rumah Sakit.

4.3 Rumusan Kelengkapan Laporan Unit Pelapor

Berdasarkan kelengkapan laporan berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,


dapat diketahui, bahwa angka kesakitan DBD Kota TangSel sebesar 64,0 kasus per 100.000
populasi, adalah dapat dipercaya, karena kelengkapan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota
ke Dinas Kesehatan Provinsi mencapai 100%.

4.4 Rumusan Kelengkapan Laporan Berdasarkan Data Sumber Data Awal

Kelengkapan laporan berdasarkan laporan unit pelapor sebagaimana tersebut diatas


tersebut adalah kelengkapan laporan bulanan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (unit pelapor), sementara kelengkapan laporan masing-masing rumah sakit
(sumber data awal), tidak diketahui, dan oleh karena itu, angka kesakitan DBD Kota TangSel
sebesar 64,0 kasus per 100.000 populasi, adalah belum sepenuhnya dapat dipercaya.
Kelengkapan laporan berdasarkan data sumber data awal (rumah sakit) dapat dibuat
dalam 2 model, yaitu : Kelengkapan Laporan Total RS per Kab/Kota per tahun dan % RS dengan
Kelengkapan Laporan lebih dari indikator kinerja surveilans yang ditentukan (missal 75%) per
tahun.

Dari sisi penyelenggaraan manajemen penyelenggaraan surveilans yang baik, indikator


kinerja surveilans terakhir ini merupakan indikator yang paling baik, karena dapat menunjukkan
secara lebih spesifik RS (sumber data awal) yang kurang aktif membuat laporan dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang mana yang memiliki banyak RS yang tidak lengkap
laporannya. Gambar Peta Kelengkapan Laporan RS per Kabupaten/Kota Provinsi Banten dapat
menjelaskan maksud tersebut.

Pada laporan tersebut diatas dapat dilakukan analisis sebagai berikut :

1) Rate insidens Kota Tengerang adalah sangat tinggi (merah), tetapi jumlah RS yang
melapor rendah (merah), sehingga laporan rate insidens tidak bisa dipercaya
2) Rate insidens Serang adalah rendah (hijau), dan ini dipercaya karena jumlah RS yang
melapor tinggi juga (hijau)
3) Secara cepat, berdasarkan kelengkapan laporan Rumah Sakit ini, dapat diketahui
Kabupaten/Kota yang perlu mendapatkan prioritas perbaikan peningkatan kinerja
surveilans, yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Cilegon (merah)

4.5 Kelengkapan Laporan Sumber Data Berdasarkan Waktu Pelaporan

Kelengkapan laporan biasanya dihitung untuk periode waktu setahun, tetapi seringkali
kelengkapan laporan juga perlu dihitung pada saat pelaporan itu dilaporkan, tergantung periode
waktu pelaporan. Indikator kinerja berdasarkan kelengkapan laporan pada saat pelaporan ini,
sering digunakan pada penyelenggaraan surveilans untuk keperluan pemantauan ketat, seperti
pewantauan wilayah setempat, surveiilans pada waktu terjadi KLB dsb. Seberapa ketat
dilaksanakan, tergantung kebutuhan masing-masing situasi, bisa tiap hari, tiap bulan atau yang
paling sering adalah tiap minggu.

Contoh:

Pada Laporan Bulanan Data Kesakitan DBD, laporan dibuat dan dikirimkan oleh Rumah
Sakit ke Dinas Kesehatan Kab/Kota setiap bulan. Contoh laporan sebagai berikut :

Berdasarkan data tersebut diatas dapat disusun gambaran kurva bulanan Data Kasus DBD
Kota Tangerang Selatan, 2010, dan kelengkapan laporannya dapat dicermati pada grafik dibawah
ini.

Sepintas dapat dilihat, kurva kasus DBD menurut Bulan Kejadian pada bulan Agustus,
September dan Oktober sebetulnya lebih tinggi, karena ini hanya berdasarkan data laporan
Rumah Sakit dengan kelengkapan <80% dari seluruh Rumah Sakit yang harusnya melapor.

Pada kurva perkembangan kasus yang ketat, seperti pada pemantauan wilayah setempat
ini, seringkali disebutkan batas kritis kelengkapan laporan sebagai indikator kinerja surveilans
yang menyatakan untuk berhati-hati melakukan analisis data, jika kelengkapan laporan berada
dibawah batas kelengkapan yang diharapkan.

4.6 Ketepatan Laporan


Ketepatan waktu laporan merupakan indikator kinerja kedua yang paling sering
digunakan. Ketepatan waktu laporan adalah tersedianya data surveilans pada unit yang
memanfaatkan data tersebut tepat waktu pada saat data tersebut dipergunakan.

Secara operasional, ketepatan waktu laporan sering diartikan sebagai tanggal waktu
laporan harus sudah diterima. Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas diterima di
Dinas Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.

Pelaporan dan atau penggabungan data pada periode waktu yang bukan waktu kejadian
seharusnya, dapat mengacaukan pola kurva dari data surveilans yang akan dianalisis. Oleh
karena itu, data surveilans sebaiknya dikirimkan selalu tepat waktu, jika terlambat, jangan
digabungkan dengan data surveilans waktu berikutnya, tetapi tetap dikirim sebagai data
surveilans periode waktu yang seharusnya.

4.7  Keakuratan Jumlah Kasus dan Diagnosis

Unit Sumber Data, misalnya Rumah Sakit atau puskesmas, mendapat kasus berdasarkan
data kunjungan berobat, atau kunjungan lain, dan kemudian diperiksa dan didiagnosis oleh
dokter. Oleh karena itu, terdapat makna keakuratan : keakuratan data sebagai ketepatan
diagnosis, dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah kasus yang diidentifikasi, direkam dan
dilaporkan oelh sumber data (misal Rumah Sakit). Untuk mengetahui kualitas keakuratan jumlah
kasus dan diagnosis dilakukan dengan wawancara (kualitatif) dan observasi kegiatan di lapangan
serta membuka pencatatan kasus-kasus yang datang ke unit pelayanan.

A. Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Diagnosis

Ketidaktepatan penetapan kasus sebagaimana diharapkan adalah bias yang


disebabkan karena tidak akuratnya definisi kasus atau kemampuan dokter untuk
mendiagnosis:

 Bukan kasus, tetapi dinyatakan sebagai kasus


 Kasus benar dinyatakan sebagai kasus
 Kasus, tetapi dinyatakan sebagai bukan kasus

B. Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Jumlah Kasus Teridentifikasi, Direkam dan


Dilaporkan

Kasus-kasus yang telah didiagnosis oleh dokter, semestinya terekam dan dilaporkan
sebagai kasus, tetapi seringkali kasus-kasus ini tidak terlaporkan:
1. Telah didiagnosis dokter, tetapi tidak tertuliskan diagnosisnya di buku register
2. Telah didiagnosis, dan tercatat dalam buku register, tetapi terlewatkan

Secara operasional, tidak mudah memantau tingkat keakuratan data surveilans


sebagamana  tersebut diatas, biasanya, pemantauan lapangan (observasi) dilakukan di
sumber data awal (misal Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium) untuk mengukur
tingkat keakuratan data tersebut :

1. Bagaimana kesepakatan mengenai definisi operasional kasus ?


2. Bagaimana prosedur penemuan kasus dibuat dan diterapkan ?
3. Siapa yang mendiagnosis, apakah mereka cukup memiliki kemampuan profesional
yang memadai ?
4. Memeriksa register harian dan kartu kasus dan menguji apakah semua kasus yang
ditemukan telah direkam dan dilaporkan
5. Menguji pengetahuan dan perhatian setiap orang yang terkait dengan
penyelenggaraan surveilans di Sumber Data
6. Menguji apakah umpan balik perbaikan data, absensi dan pencapaian indikato
kinerja telah dibuat dan dikirimkan ke sumber data oleh unit yang menerima
laporan

4.8 Estimasi Jumlah Kasus Sebagai Indikator Kinerja

Pada surveilans berbasis data masyarakat, indikator kinerja surveilans, seringkali


digunakan estimasi jumlah kasus yang ada di masyarakat, baik berdasarkan hasil penelitian dan
atau berdasarkan hasil-hasil surveilans sebelumnya, atau hasil surveilans di tempat lain.. Contoh:

Surveilans AFP menggunakan indikator kinerja “ditemukannya kasus AFP sebesar


minimal 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun pertahun”. Artinya, jika jumlah kasus AFP
yang ditemukan pada suatu Provinsi kurang dari 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun
pertahun, maka dikatakan surveilans dilaksanakan dengan kualitas kinerja rendah.

Pada surveilans AFP tersebut, jumlah kasus AFP yang diharapkan ditemukan adalah
estimasi jumlah kasus AFP yang ada pada suatu populasi pertahun.

Pada beberapa program-program pengendalian penyakit, dimana tindakan terhadap kasus


itu merupakan sasaran program, seringkali membuat estimasi kasus sebagai indikator kinerja
surveilans, misalnya pada program pengendalian pnemonia, pengendalian TBC, pengendalian
penyakit tidak menular, dsb. Disini, surveilans berperan sebagai bagian dari startaegi program
untuk menemukan kasus.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

 ilmu pengetahuan epidemiologi digunakan CHN sebagai alat meneliti danmengobservasi


pada pekerjaan dan sebagai dasar untuk intervensi dan evaluasiliteratur riset epidemiologi.

 Ilmu bedah didefinisikan sebagai salah satu disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengobatan
dan penatalaksanaan berbagai macam penyakit dengan cara pembedahan atau operasi.

 penyakit-penyakit yang dikelompokkan sebagai penyakit yang dapat ditanganidengan


pembedahan adalah: penyakit infeksi, Kongenital, neoplasma,trauma/injuri/cedera.

 epidemiologi untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor penyebab masalahkesehatan dan


mengarahkan intervensi yang diperlukan maka epidemiologidiharapkan mempunyai peranan
dalam keperawatan bedah, baik pra maupun pascaoperasi dalam bidang kesehatan
masyarakat.

5.2 Saran

Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi padasistemnya


melainkan pada pelaksanaanya. Selain itu, pelaksanaan program surveilansoleh unit kesehatan
belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran petugaskesehatan ditengah-tengah
masyarakat sebagai tempat mereka bertanya tentang masalahnya.

kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan aletrnatif dan solusi untuk
permasalahan tersebut. (WHO, 2006).Lemahnya sistem investigasi dan surveilans di negara
berkembang untuk penyakit bawaan makanan menyebabkan angka kasus yang tinggi atau berita
mengenai KLBtersebut jarang ditemui, tetapi hal ini menggugah kewaspadaan negara diseluruh
duniatentang potensi masalah yang membayangi dibidang keamanan makanan dan potensi
peningkatan serta penyebaran penyakit bawaan makanan. (WHO, 2006).Oleh karena itu, masih
banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan programsurveilans agar dapat ditingkatkan
derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakatsecara umum. (WHO, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am J Public Health;97:S44-48.
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. com. Diakses pada
tanggal 25 September 2013
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control
Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses pada tanggal 25
September 2013
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
SurveilensEpidemiologi Penyakit Menular dn Penyakit Tidak Menular, Jakarta, 2004.
http://www.hukor.depkes.go.id/
up_prod_kepmenkes/KMK/No./1479/ttg/Pedoman/Peneyelenggaraan/Sistem/Surveilans/
Epidemiologi/Penyakit/Menular/Dan/Penyakit/Tidak/Menular/Terpadu.pdf. Diakses pada
tanggal 26 September 2015

Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-


health.../epidemiologic-surveillance. Diakses pada tanggal 25 September 2013
Chandra B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: ECG

Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.


Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
JHU (Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns
Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Irwanto,Roim A, Sudarmo SM. 2002. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan
penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1. Salemba Medika: jakarta

Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-
i114(1).
UNICEF. 2009. Diarhoea: Why children are still dying and what can be done.
Wardhana, W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta

WHO, 1996, Guidelines for Drinking-Water Quality, V.2.: Health Criteria and Other Supporting
Information, Snd Edition, Geneva

WHO. 2010. World Health Statistics 2010: Causes of death.

1. Keputusan Menkes RI No. 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan


Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.
http://www.pdk3mi.org/?p=download&action=go&pid=96.17/3/2017
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1501/MENKES/PER/X/2010
tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya
Penanggulangan

Anda mungkin juga menyukai