RESISTANCE TUBERCULOSIS (MDRTB)
DISUSUN OLEH
RINA YUNITA
NIP. 19790624 200312 2 003
DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Abstrak 1
I. Pendahuluan 2
II. Definisi 3
III. Patogenesa MDR‐TB 4
IV. Mekanisme Molekuler Resistensi Obat Antituberkulosis (OAT) 6
4.1 Isoniazid 7
4.2 Rifampisin 8
4.3 Pirazinamid 9
4.4 Ethambutol 9
V. Metode Deteksi Resistensi Obat Antituberkulosis
5.1 Metode Fenotiping 10
5.1.1 Metode Konvensional 11
Metode Proporsi 11
Metode Konsentrasi Absolut 12
Metode Rasio Resistensi 12
5.1.2 Metode Modern
Metode Radiometri BACTEC 13
Metode Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT) 13
5.2 Metode Genotiping 14
Daftar Tabel
Tabel 1. Obat antituberkulosis dan berbagai gen yang terlibat
Dalam mekanisme resistensi 9
Tabel 2. Konsentrasi kritis antibiotik pada metode proporsi (ug/ml) 12
Tabel 3. Dosis yan dianjurkan untuk OAT lini pertama 16
Tabel 4. Dosis harian dan tingkat toksisitas dari
obat antituberkulosis lini kedua 17
Tabel 5. Anjuran pengobatan pasien dengan MDR‐TB 18
Daftar Gambar
Gambar 1. M. tuberculosis dalam pewarnaan tahan asam
(kiri) dan melalui mikroskop elektron (kanan). CDC 2
Gambar 2. Resistensi ‘didapat’ terjadi karena seleksi alamiah
akibat pengobatan inefektif dan ketidakpatuhan 6
Gambar 3. Medium Lowenstein‐Jensen serta koloni M.tuberculosis 11
Gambar 4. Tabung MGIT menunjukkan reaksi positif dan negatif 14
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis (gambar 1). Sumber penularan adalah dahak yang mengandung
kuman TB. Gejala umum TB paru pada orang dewasa adalah batuk yang terus‐menerus dan
berdahak, selama tiga minggu atau lebih.1 Bila tidak diobati penyakit dapat berkembang
menjadi fatal.2
Estimasi global terhadap insidensi MDR‐TB pada tahun 2006 adalah sebesar 489.139
atau sekitar 4,8% dari jumlah total estimasi insidens tuberkulosis (TB) di 114 negara pada
tahun 2006 (10.229.315). Dua negara penyumbang kasus terbesar adalah China dan India, yang
diperkirakan menyumbang sekitar 50% dari seluruh kasus MDR‐TB dan diikuti oleh Rusia
sekitar 7%.2
Gambar 1. M. tuberculosis dalam pewarnaan tahan asam (kiri) dan melalui mikroskop elektron (kanan).
CDC
Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang mendapat perhatian besar dalam
program penanggulangan TB oleh karena beberapa strain MDR‐TB yang sulit diobati. Strain ini
mendapat perhatian oleh karena dapat menyebar di seluruh dunia, menekankan perlunya
peningkatan program kontrol, seperti metode diagnostik baru, obat‐obatan yang lebih efektif
dan penemuan vaksin yang lebih efektif.3 Pasien dengan MDR-TB membutuhkan pengobatan lebih
lama dengan obat yang sebenarnya kurang efektif namun lebih toksik. Oleh karena itu sangat penting
untuk membedakan diagnosis MDR-TB dengan resistensi lain dengan melakukan kultur
mikobakterial dan uji sensitifitas karena implikasi terapi yang berbeda.4
Prevalensi resistensi OAT diantara pasien baru merupakan indikator yang sangat
penting dalam program pengendalian TB. Prevalensi resisten diantara orang yang belum
pernah diobati merefleksikan gambaran program selama periode yang panjang dan
mengindikasikan tingkat penularan di dalam masyarakat. Pasien yang menjalani pengobatan
Multiple Drug Resistance Tuberculosis (MDR‐TB) adalah suatu keadan dimana M.
tuberculosis telah resisten terhadap INH dan rifampisin saja atau resisten terhadap INH dan
rifampisin serta OAT lini pertama lainnya.1,3
Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa isolat
Mycobacterium tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan adanya satu atau
lebih obat antituberkulosis (OAT).5 Empat kategori resistensi OAT dapat dibedakan atas3,5 :
Monoresistance : resistensi terhadap salah satu dari OAT
Poly‐resistance : resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (INH) dan
rifampisin secara bersamaan
Multidrug‐resistance : resisten terhadap sekurang‐kurangnya INH beserta
rifampisin
Extensive drug‐resistance : Multidrug‐resistance ditambah resistensi terhadap salah
satu golongan fluoroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini kedua
injeksi (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
Kejadian resistensi M. Tubercolosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami. Amplifikasi
M. tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan manusia seperti1 :
Kesalahan pengelolaan OAT
Kesalahan manajemen kasus TB
Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien
Kesalahan hasil uji DST
Pemakaian OAT dengan mutu rendah
Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai
TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu melalui
droplet saluran nafas yang menyebar di udara. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya kasus
MDR‐TB adalah :
Pengobatan TB sebelumnya yang tidak berhasil : kasus kambuh, gagal, kronik
Kontak erat dengan penderita MDR‐TB : keluarga, sahabat, teman sekerja
Orang dengan daya tahan tubuh rendah : HIV/AIDS, diabetes mellitus, ginjal, kanker,
berat badan rendah, anak‐anak
Tinggal/lahir di tempat prevalensi MDR‐TB yang tinggi
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat
Pengetahuan tentang mekanisme ini akan membantu kita untuk memahami bagaimana
mencegah terjadinya resistensi obat, demikian juga dengan mengidentifikasi gen yang
berhubungan dengan resistensi dari obat baru. Terjadinya resistensi OAT secara klinis dibagai
atas resistensi didapat (acquired) dan resistensi primer (gambar 2). Resistensi ‘didapat’ terjadi
oleh karena adanya seleksi mutan yang resisten terhadap obat sebagai hasil dari pengobatan
yang inefektif, sedangkan resistensi primer adalah jika pasien terinfeksi strain yang resisten.
Mutasi pada genom M. tuberculosis dapat menyebabkan resistensi terhadap OAT terjadi spontan
dengan estimasi frekuensi 3,5 x 10‐6 untuk INH dan 3,1 x 10‐8 untuk rifampisin. Resiko
terjadinya mutasi spontan ganda INH dan RIF sangat rendah, 9 x 10‐14 oleh karena lokus
kromosom yang bertanggungjawab terhadap resistensi obat tidak saling terkait.6
Setiap obat yang digunakan dalam regimen OAT diharapkan memiliki aktifitas sterilisasi
yang efektif serta mampu mempersingkat durasi pengobatan. Saat ini, ada empat macam obat
dalam regimen yang terdiri dari INH, rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol
(EMB).6 INH merupakan obat mycobactericidal yang sangat kuat, memastikan terjadinya
konversi sputum sehingga akan membantu penurunan tingkat penularan tuberkulosis.
ahpC
Ada bukti bahwa kehilangan kemampuan aktifitas dari katG yang berhubungan dengan
substitusi asam amino S315T sering disertai dengan peningkatan ekspresi dari alkyl
hydroperoxide reductase (ahpC) yang memiliki kemampuan untuk mendetoksifikasi kerusakan
dari peroksidase organik.6
inhA
Salah satu target dari aktivasi INH adalah protein yang dikode oleh lokus inhA. InhA
merupakan enoyl–acyl carrier protein (ACP) reductase yang ditujukan untuk menjadi target
utama ketahanan terhadap INH dan ethionamide. INH yang teraktivasi berikatan dengan
kompleks InhANADH untuk membentuk kompleks rangkap yang menghasilkan penghambatan
dari biosistesis asam mikolat dari bakteri. Ada enam jenis mutasi titik pada struktur gen inhA
yang telah diidentifikasi (Ile16Thr, Ile21Thr, Ile21Val, Ile47Thr, Val78Ala and Ile95Pro).
Substitusi pada Ser94Ala menyebabkan penurunan sfinitas ikatan dari inhA dengan NADH
untuk menghambat sistesis asam mikolat. Hingga saat ini, sekitar 70‐80% dari resistensi INH
pada isolat klinis M.tuberculosis dapat dikaitkan dengan mutasi pada gen katG dan inhA.6
kasA
Gen ini mengkode βketoacylACP synthase yang terlibat dalam sintesis asam mikolat.
Mutasi dalam gen ini dapat menyebabkan resistensi INH level‐rendah. Analisis genotipik gen
kasA menunjukkan adanya substitusi 4 asam amino yang berbeda, melibatkan kodon 66 (GAT‐
AAT), kodon 269 (GGT‐AGT), kodon 312 (GGC‐AGC) dan kodon 413 (TTC‐TTA). Namun, mutasi
yang sama juga dapat ditemukan pada isolat yang sensitf terhadap INH. Meskipun begitu,
kemungkinan bahwa kasA dapat menyumbang mekanisme resistensi sebaiknya tidak
seluruhnya diabaikan.6
ndh
Gen ndh mengkode NADH dehydrogenase yang berikatan pada sisi aktif inhA untuk
membentuk kompleks rangkap dengan INH. Studi menunjukkan bahwa bentuk reaktif dari INH
memecah ko‐faktor NAD(H) dan menghasilkan sebuah ikatan kovalen INH‐NAD. Mutasi pada
gen ndh menyebabkan gangguan pada aktifitas enzimatik ini. Mutasi titik yang utama pada gen
ndh ini terletak pada kodon 110 dan 268 (T110A dan R268H) yang dapat dideteksi pada 9,5%
sampel INH resisten. Mutasi yang sama tidak terdeteksi pada kelompok yang sensitif terhadap
INH.6
4.2 Rifampisin
Rifampisin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 sebagai obat anti tuberkulosis
yang memiliki aktifitas sterilisasi yang sangat baik. Kerja dari rifampisin yang dikombinasikan
dengan PZA mampu memperpendek pengobatan TB yang rutin dari 1 tahun menjadi 6 bulan.
RIF berkombinasi denga INH merupakan tulang punggung dari kemoterapi jangka pendek. Hal
yang cukup menarik adalah bahwa resistensi tunggal terhadap INH sering dijumpai, namun
resistensi tunggal terhadap RIF cukup jarang. Sehingga diusulkan bahwa resistensi terhadap
RIF dapat menjadi surrogate marker dari MDR‐TB, oleh karena mendekati 90% strain resisten
RIF juga resisten terhadap INH.6
Sebuah studi mengenai gen rpoB pada isolat yang resisten RIF mengidentifikasi berbagai
mutasi dan delesi pendek pada gen ini. Telah dilaporkan ada sebanyak 69 perubahan nukleotida
tunggal, 3 insersi, 16 delesi, dan 38 perubahan nukleotida multipel. Lebih dari 95% dari semua
mutasi missense berlokasi pada 51bp regio inti dari gen rpoB antara kodon 507‐533 denga
perubahan yang tersering pada kodon Ser531Leu, His526Tyr and Asp516Val.6
4.3 Pirazinamid
PZA memiliki target enzim yang terlibat pada sintesis asam lemak dan bertanggung
jawab untuk membunuh basil tuberkel yang persisten pada fase inisial dari kemoterapi. PZA
Tabel 1. Obat antituberkulosis dan berbagai gen yang terlibat dalam mekanisme resistensi4
Jenis Gen yang Terlibat
Isoniazid Enoyl acp reductase (inhA)
Catalase‐peroxidase (katG)
Alkyl hydroperoxide reductase (ahpC)
Oxidative stress regulator (oxyR)
Rifampicin RNA polymerase subunit B (rpoB)
Pyrazinamide Pyrazinamidase (pncA)
Streptomycin Ribosomal protein subunit 12 (rpsL)
16s ribosomal RNA (rrs)
Aminoglycoside phosphotransferase gene (strA)
Ethambutol Arabinosyl transferase (embB A, B, C)
Fluoroquinolone DNA gyrase (gyr A dan B)
V. METODE DETEKSI RESISTENSI OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT)
Deteksi dini dari resistensi OAT merupakan salah satu prioritas dalam program
penggulangan TB. Hal ini dapat memfasilitasi pengobatan yang tepat pada pasien dan juga
surveilans resistensi OAT. Pemeriksaan resistensi OAT telah dapat dilakukan sejak lama
5.1 Metode Fenotiping
Secara umum, metode fenotiping melihat bagaimana pertumbuhan M.tuberculosis
setelah pemberian antibiotik, untuk membedakan strain yang sensitif dan resisten. Definisi
klasik dari M.tuberculosis yang resisten OAT adalah yang menunjukkan tingkat sensitifitas yang
secara signifikan lebih rendah dari strain liar yang belum pernah kontak dengan obat.3 Secara
tradisional, kultur untuk uji resistensi menggunakan media Lowenstein‐Jensen (LJ) (gambar 3).4
Ada tiga jenis metode untuk uji kepekaan pada medium padat : metode proporsi, metode rasio
resistensi dan metode konsentrasi absolut.3,4 Cara konvensional ini membutuhkan waktu 6‐8
minggu sampai hasil sensitifitas diketahui.4
Metode yang lebih mutakhir adalah berbasis media cair mencakup BACTEC radiometrik
dan metode Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT).3 Dengan metode BACTEC dapat
mengurangi sekitar 15 hari dari waktu pemeriksaan.6
Metode proporsi
Merupakan metode yang paling banyak digunakan didunia diantara metode
konvensional yang lain. Metode ini dapat menghasilkan determinasi yang tepat dari proporsi
mutan yang resisten terhadap obat tertentu. Pada metode ini, beberapa larutan bakteri serial
dengan pengenceran 100 kali diinokulasi pada media yang mengandung obat dan media yang
bebas obat (kontrol). Satu dari larutan tersebut akan menghasilkan sejumlah koloni yang
mudah untuk dihitung. Jumlah koloni yang didapat dari media tersebut dihitung dan proporsi
dari mutan yang resisten dapat dikalkulasi. Jika dilakukan pada media Lowenstein‐Jensen, hasil
tes dibaca pertama kali setelah inkubasi selama 28 hari pada suhu 370C.3 Isolat dengan
resistensi minimal 1% akan dilaporkan sebagai “resisten terhadap konsentrasi obat tersebut.1
Jika proporsi bakteri yang resisten lebih dari 1% untuk isoniazid, rifampicin dan para‐amino
salycilic acid, dan 10% untuk jenis obat lain, strain dianggap resisten dan tes dikatakan selesai.3
Di lain pihak, tes dibaca kembali pada hari ke 42 inkubasi untuk menilai kembali jika strain
sensitif untuk beberapa obat. Jika tes dilakukan pada agar Middle brook 7H10/11, diinkubasi
pada suasana CO2 10%. Hasil dibaca setelah 21 hari inkubasi atau dapat lebih awal jika
menunjukkan strain yang cenderung resisten. Konsentrasi kritis dari obat utama yang
digunakan pada metode ini ditunjukkan pada tabel berikut3.
Saat ini telah banyak penelitian yang dipublikasi mengenai aplikasi sistem MGIT untuk
deteksi cepat resistensi terhadap OAT lini pertama dan kedua. Melalui penelitian‐penelitian ini,
sistem MGIT menunjukkan hasil yang sangat baik dengan korelasi terhadap metode
konvensional pada media padat dan sistem BACTEC TB‐460. MGIT960 baru‐baru ini telah
disetujui oleh US FDA untuk mendeteksi resistensi terhadap OAT lini pertama.3
5.2 Metode Genotiping
Pada metode ini, resistensi obat dilihat dengan menemukan determinan genetik dari
resistensi, bukan sifat fenotipiknya, serta melibatkan dua langkah dasar : amplifikasi asam
nukleat‐seperti pada PCR‐untuk mengamplifikasi bagian dari genome M.tuberculosis yang
diketahui berubah pada strain yang resisten. Tahap kedua adalah menilai produk yang
diamplifikasi untuk mutasi spesifik yang berkorelasi dengan sifat resistensi terhadap obat.
Beberapa metode genotiping yang dilakukan saat ini adalah3 :
Desoxyribonucleic acid (DNA) sequencing
Solid‐phase hybridization techniques
Saat ini ada dua metode komersial yang digunakan : Line Probe Assay
(INNO‐LiPA Rif TB Assay, Innogenetics, Ghent, Belgium) untuk melihat resistensi RIF
dan GenoType MTBDR assay (Hain Lifesciences, Nehren, Germany) untuk deteksi
simultan resistensi terhadap INH dan RIF.
Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) memiliki dua tujuan utama. Pertama,
dibutuhkan pemusnahan secara cepat basil yang hidup ekstraselular pada kavitas paru, yang
aktif secara metabolik dan membelah terus‐menerus. Hal ini dibutuhkan untuk mencapai hasil
negatif dari sputum sehingga dapat mencegah penularan penyakit lebih jauh. Hal yang kedua,
diperlukan sterilisasi dan eliminasi yang komplit dari basil yang bereplikasi kurang aktif pada
lesi tertutup dengan suasana asam dan anoksia, dan untuk membunuh basil semi‐dormant yang
hidup secara intraselular pada jaringan tubuh host yang lainnya.3 Oleh karena basil ini dapat
menetap dan menjadi penyebab kasus relaps TB. INH adalah obat dengan aktifitas yang tinggi
melawan basil yang membelah aktif, sementara RIF dan PZA memiliki efek sterilisasi terbaik
terhadap basil yang tidak sedang membelah. Alasan tersebut bersama dengan pertimbangan
pencegahan resistensi, mendukung penggunaan terapi kombinasi untuk pengobatan TB.3,7
Obat untuk mengatasi TB umumnya diklasifikasi atas obat lini pertama dan kedua. Ada
lima macam obat lini pertama : INH, rifampicin, pirazinamide, ethambutol dan streptomycin
(tabel 3).6 Obat lini kedua mencakup aminoglycosides (kanamycin dan amikacin), polypeptide
(capreomycin, PAS, cycloserine), thioamides (ethionamide and prothionamide) dan beberapa
fluoroquinolones seperti moxifloxacin, levofloxacin and gatifloxacin. Obat‐obat baru seperti
rifamycin derivat rifapentine dan rifabutin dapat dipertimbangkan diantara obat lini pertama,
dan yang akan datang, kecenderungan beberapa fluoroquinolone dapat digabungkan dalam
pengobatan antituberkulosis standar yang dipertimbangkan sebagai obat lini pertama.3
Pengobatan short‐course terbaru untuk eliminasi komplit dari basil yang aktif dan
dorman mencakup dua fase3 :
• initial phase : tiga atau lebih obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan ethambutol atau
streptomisin) digunakan selama dua bulan, menghasilkan konversi sputum menjadi negatif
• continuation phasefase lanjutan : obat dikurangi (isoniazid and rifampicin) digunakan
selama 4‐7 bulan untuk membunuh basil yang dorman atau masih tersisa, untuk mencegah
kekambuhan.
b : INH dapat diberikan juga 1 x dalam seminggu pada dosis 15 mg/kg, maksimal 900 mg
c : untuk RIF, beberapa pedoman merekomendasikan dosis yang lebih tinggi (10‐15
mg/kg) secara intermiten (2‐3 x seminggu), dosis maksimal 900 mg (Martindale 2004)
d : untuk PZA dan EMB, dosis dihitung dengan akurat berdasarkan kisaran berat badan
e : SM : dosis harus dikurangi sampai 10 mg/kg pada usia >59 tahun
Obat Lain untuk Tuberkulosis
Obat dalam kelompok ini memiliki karakteristik3,5 :
Digunakan secara luas pada waktu lampau tetapi penggunaannya digantikan oleh obat
baru yang lebih efektif dan memiliki toksisitas rendah
Digunakan ketika terjadi resistensi terhadap OAT lini pertama, baik yang diduga atau
yang sudah dikonfirmasi, biasanya juga dikenal sebagai obat lini kedua
Universitas Sumatera Utara